• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN AMPAS SAGU SEBAGAI CAMPURAN PAKAN KOMPLIT KAMBING BOERKA FASE PERTUMBUHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN AMPAS SAGU SEBAGAI CAMPURAN PAKAN KOMPLIT KAMBING BOERKA FASE PERTUMBUHAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN AMPAS SAGU SEBAGAI CAMPURAN

PAKAN KOMPLIT KAMBING BOERKA FASE

PERTUMBUHAN

(The Use of Sago Waste as Component of

Complete Feed for Growing Boerka Goat)

Kiston Simanihuruk, Antonius, Sirait J

Loka Penelitian Kambing Potong, Sei Putih, PO Box 1. Galang 20585, Sumatera Utara

ABSTRACT

Sago waste is a by-product from sago palm processing that potentially can be used as feedstuff for goat. Twenty male Boerka goats (average initial body weight 11.63±1.21 kg) were used in this experiment to study the effect of utilization of sago waste as component of complete feed on their growth. This experiment was arranged in completely randomized design consisting of 4 diets and 5 replications. Animal were randomly allocated into 4 diets (0, 20, 30, 40% of sago waste). Each diet contained 12% crude protein and 2.8 Kkal/kg digestible energy. The ration was offered at 3.8% of body weight based on dry matter. Result showed that dry matter, organic matter and N intake, dry matter, organic matter, NDF and ADF digestibilities, average daily gain, feed efficency and income over feed cost were not affected by level of sago waste (P>0.05). Average daily gain and feed efficiency tended to decrease with the increasing level of sago waste in the diet. It is concluded that sago waste can be used upto 40% in the diet. Sago waste is one of alternative feedstuffs to substitute energy dan fiber source in feed.

Key Words: Sago, Complete Pellet Ration, Boerka Goat

ABSTRAK

Industri pengolahan tanaman sagu menjadi tepung sagu menghasilkan limbah berupa ampas sagu. Limbah tersebut mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak kambing. 20 ekor kambing Boerka jantan sedang tumbuh (rataan bobot hidup awal 11,63±1,21 kg) digunakan dalam penelitian untuk mempelajari pengaruh pemanfaatan tepung ampas sagu sebagai campuran pakan pelet komplit terhadap pertumbuhannya. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap yang terdiri atas 4 perlakuan pakan dan 5 ulangan. Ternak secara acak dialokasikan kedalam perlakuan pakan yang terdiri dari 0, 20, 30 dan 40% taraf tepung ampas sagu dalam campuran pakan. Semua perlakuan pakan mempunyai kandungan protein kasar 12% dan DE 2,8 Kkal/kg. Pemberian pakan sebanyak 3,8% dari bobot hidup berdasarkan bahan kering. Hasil penelitian menunjukkan konsumsi bahan kering, bahan organik dan N, kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dan ADF, pertambahan bobot hidup serta in come over feed cost tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P>0,05). Pertambahan bobot hidup harian dan efisiensi penggunaan pakan cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya taraf tepung ampas sagu dalam campuran pakan. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa tepung ampas sagu dapat digunakan sampai taraf 40% dalam campuran pakan pelet komplit kambing, sekaligus merupakan bahan pakan alternatif untuk menggantikan sumber energi dan serat pada komponen pakan.

Kata Kunci: Sagu, Pelet Komplit, Kambing Boerka

PENDAHULUAN

Dari sisi populasi, potensi kambing relatif cukup menggembirakan, namun dari sisi produktivitas masih perlu ditingkatkan. Salah satu kendala yang dihadapi oleh usaha ternak

kambing adalah belum tercukupinya kebutuhan nutrisi terutama protein pakan, hal ini mengakibatkan tumbuh kembang ternak belum sesuai dengan yang diharapkan. Perbaikan kualitas pakan dengan pemberian pakan komersil merupakan salah satu alternatif untuk

(2)

meningkatkan produksi ternak kambing, namun penggunaan pakan komersil tidak selalu menjamin penambahan pendapatan peternak. Hal ini terjadi karena mahalnya harga pakan komersil sehingga tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. Selain karena harga dedak padi yang sering berfluktuasi, ketergantungan akan bahan pakan impor seperti bungkil kedelai, jagung dan tepung ikan mengakibatkan harga pakan komersil cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut menuntut temuan sumber bahan pakan baru (alternatif) yang mampu menjadi pakan andalan dalam jangka panjang. Produk yang berpotensi sebagai bahan pakan alternatif yang tersedia dalam jumlah besar dan tersedia sepanjang tahun umumnya dari limbah industri pengolahan hasil pertanian, misalnya dalam produksi tepung sagu.

Hamparan sagu liar di Indonesia memiliki luas 1,6 juta hektar, dari luasan tersebut pada tahun 2005 dapat diproduksi sagu sebanyak 15 juta ton karena setiap batang sagu menghasilkan 200 kg sagu (Prastowo 2007). Kertopermono (1996) melaporkan bahwa penyebaran tanaman sagu di Indonesia adalah; Irian Jaya 1.406.469 ha, Maluku 41.949 ha, Sulawesi 45.540 ha, Kalimantan 2.795 ha, Jawa Barat 292 ha, dan Sumatera 31.872 ha. Ampas sagu (ela sagu) yang didapatakan pada proses pengolahan tepung sagu, dimana menurut Rumalatu (1981) dalam proses pengolahan tepung sagu diperoleh tepung dan ampas sagu dengan perbandingan 1: 6. Berdasarkan proporsi tersebut jumlah ampas sagu yang dihasilkan sebanyak 245.000 ton/hari. Jumlah limbah yang banyak ini sampai saat ini belum termanfaatkan secara optimal, hanya dibiarkan menumpuk dilokasi pengolahan tepung sagu sehingga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah/ampas sagu ini cukup potensial untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia termasuk kambing. Kandungan zat nutrisi yang terdapat pada limbah sagu seperti; protein kasar sebesar 3,36%, NDF 67,40%, ADF 42,11 dan energi kasar 3.738 Kkal/kg (Nurkurnia 1989; Trisnowati 1991), relatif sebanding dengan zat nutrisi rumput. Dengan kandungan zat nutrisi tersebut, maka limbah sagu diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi diperlukan

pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi.

Limbah pengolahan sagu termasuk kategori limbah basah (wet by-products) karena masih mengandung kadar air 75-80%, sehingga dapat rusak dengan cepat apabila tidak segera diproses. Perlakuan melalui pengeringan (dijadikan dalam bentuk tepung) dan digunakan sebagai campuran pakan kambing merupakan teknologi alternatif, sehingga produk tersebut dapat dimanfaatkan secara lebih efisien. Mengingat ampas sagu mempunyai potensi yang tinggi sebagai bahan pakan ternak ruminansia termasuk kambing, maka perlu dilakukan penelitian pemanfaatan tepung ampas sagu sebagai campuran pakan kambing. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggunaan tepung ampas sagu sebagai campuran pakan pelet komplit terhadap pertumbuhan kambing Boerka.

MATERI DAN METODE Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Percobaan Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih. Waktu pelaksanaan selama 6 bulan (persiapan bahan 2 bulan, adaptasi pakan 1 bulan dan pengumpulan data 3 bulan) mulai bulan Juni-Desember 2012.

Ternak kambing

Digunakan 20 ekor kambing jantan Boerka fase pertumbuhan (umur 9-10 bulan) dengan bobot badan berkisar antara 11-13 kg. Ternak diberi obat cacing (Kalbazen, Kalbe Farma) sebelum penelitian dilakukan. Secara acak kambing dialokasikan dalam 4 perlakuan pakan (5 ekor per perlakuan), ditempatkan dalam kandang individu, dilengkapi dengan palaka yang terbuat dari papan. Air minum disediakan secara bebas dalam ember plastik hitam berkapasitas 5 liter.

Perlakuan pakan

Ampas sagu yang telah dikeringkan (selama 3-4 hari bergantung kepada intensitas sinar matahari) digiling secara mekanis

(3)

menggunakan alat penggiling (hummer mill) sehingga berbentuk tepung. Rumput alam sebagai sumber hijauan diperoleh dari areal perkebunan PTPN V Sei Putih, dipotong dengan ukuran 2-4 cm menggunakan alat pemotong rumput (chopper), kemudian dikeringkan (selama 3-4 hari bergantung kepada intensitas sinar matahari). rumput alam yang sudah kering juga digiling, dengan menggunakan saringan yang lebih besar sehingga dihasilkan tepung rumput berukuran 0,10-0,50 cm. Hal ini dilakukan agar tidak mempengaruhi sistem ruminasi pada ternak penelitian.

Disusun 4 jenis formula pakan yang iso protein (12%) dan iso energi (DE 2,8 Kkal/kg) dengan kandungan ampas sagu sebanyak: 0, 20, 30 dan 40% bahan kering (Tabel 2). Tepung ampas sagu dan tepung rumput dicampur secara merata dengan bahan konsentrat lainnya sesuai dengan tingkat penggunaan yang telah ditentukan. Campuran pakan tersebut ditekan melalui dinding saringan cetak berbentuk ring metal pada mesin pelet, sehingga dihasilkan pakan komplit dalam bentuk pelet. Pemberian pakan disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering pakan untuk setiap ekor kambing dan

diasumsikan bahwa kebutuhan adalah sebesar 3,8% dari bobot hidup (NRC 1981). Pemberian pakan pelet komplit dilakukan pada pagi hari (jam 9.00 WIB) setelah dilakukan pembersihan kandang. Ternak dibiarkan beradaptasi dengan perlakuan pakan selama 2 minggu (hingga konsumsi stabil) sebelum pengumpulan data dilakukan.

Pengamatan kecernaan pakan yang dikonsumsi dilakukan pada minggu terakhir masa pengamatan, dengan cara menimbang jumlah pemberian dan sisa pakan serta jumlah produksi feses dan urin yang dihasilkan setiap hari. Contoh bahan (pakan, sisa pakan dan feses) ditimbang dan selanjutnya untuk kepentingan analisis, ditetapkan sub-contoh sebanyak 10% dari jumlah koleksi setiap harinya. Sub-contoh selama periode pengamatan disatukan dalam satu kantong plastik dan secara komposit ditetapkan 10% untuk kepentingan analisis. Contoh yang telah kering dihaluskan dengan alat penghalus dan melewati saringan yang berukuran 0,8 mm.

Analisis kimia sampel pakan (tumput lapangan, konsentrat dan tepung ampas sagu dilakukan sesuai dengan metode analisis proksimat. Analisis bahan kering dilakukan dengan metode pemanasan di dalam oven 60°C

Tabel 1. Komposisi bahan dalam perlakuan pakan

Bahan pakan Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan 0% (R0) 10% (R1) 20% (R2) 30% (R3) --- % --- Dedak halus 17 14,5 11,5 13 Jagung 12 12 12 12 Bungkil kelapa 25 27 30 28 Tepung ikan 2 2 2 2 Urea 1 1,5 1,5 2 Tepung tulang 1 1 1 1 Ultra mineral 1 1 1 1 Garam 1 1 1 1

Tepung ampas sagu 0 20 30 40

Tepung rumput 40 20 10 0

Jumlah 100 100 100 100

PK (%) 12 12 12 12

(4)

selama 48 jam dan 140°C selama 2 jam. Analisis protein kasar dilakukan dengan cara mengukur kandungan total nitrogen contoh dengan menggunakan macro-Kjeldahl (AOAC, 1995). Analisis kandungan serat (serat detergen netral dan serat detergen asam) ditentukan menurut metode Goering dan Van Soest (1970), kandungan energi ditentukan dengan menggunakan alat bomb kalorimeter, sedangkan kandungan abu dilakukan dengan membakar contoh dalam tanur dengan suhu pembakaran 600°C selama 6 jam.

Peubah yang diamati

Peubah yang diamati adalah tingkat konsumsi pakan, pertambahan bobot hidup harian (PBHH), efisiensi penggunaan pakan, income over feed cost (IOFC) dan kecernaan pakan. Pengamatan jumlah konsumsi dilakukan setiap hari dengan cara menimbang jumlah pakan yang diberikan dan sisa pada keesokan harinya. Pertambahan bobot hidup harian dihitung berdasarkan data bobot hidup yang diperoleh dari penimbangan ternak setiap minggu selama 10 minggu masa pengamatan. Efisiensi penggunaan pakan dihitung berdasarkan data pertambahan bobot hidup per unit bahan kering pakan yang dikonsumsi. Income over feed cost dihitung berdasarkan penerimaan yang diperoleh dari penjualan ternak setelah dikurangi biaya pakan. Kecernaan pakan diukur dengan persamaan:

Kecernaan = A – B x 100%

A Keterangan:

A = Zat makanan yang dikonsumsi B = Zat makanan di feses

Rancangan penelitian

Percobaan ini dilakukan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 4 perlakuan pakan dan 5 ulangan (Steel dan Torrie 1993). Setiap ulangan terdiri atas satu ekor kambing, sehingga jumlah ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 ekor. Data yang diperoleh diolah dengan analisis keragaman (ANOVA) menurut

petunjuk SAS (SAS 1998), dan bila hasil analisis keragaman menunjukkan terdapat pengaruh nyata (P<0,05) dari perlakuan terhadap peubah yang diukur, maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Kaps dan Lamberson, 2004). Model umum dari rancangan ini adalah:

Yij = μ + αij + εij.

Keterangan:

Yij = Respon peubah yang diamati

μ = Rataan umum

αij = Pengaruh pakan ke-i pada ulangan ke-j

εij = Pengaruh komponen galat

i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3, 4, 5

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimiawi pakan penelitian

Kandungan protein kasar tepung ampas sagu adalah sebesar 3,07%, kandungan energi kasarnya 3.757 kkal/kg, kandungan NDF 42,59% dan kandungan ADF 27,78 seperti yang disajikan pada Tabel 2. Kandungan protein kasar energi kasar dan ADF tepung ampas sagu pada penelitian ini relatif sebanding dengan yang dilaporkan Nurkurnia 1989; Bintoro et al, 1990 dan Trisnowati 1991, tetapi kandungan NDFnya lebih kecil (42,59 vs 67,84%).

Kandungan bahan kering keempat perlakuan pakan berkisar 89,59-90,34% dan kandungan bahan organiknya berkisar 89,91-90,78%. Kandungan protein kasar keempat perlakuan pakan berkisar 13,93-14,08%, kandungan energi kasarnya berkisar 3.849-3.855 kkal/kg. Kandungan NDF keempat perlakuan pakan berkisar 45,3-51,19%, kandungan ADFnya berkisar 28,05-32,67%. Tepung ampas sagu memiliki kandungan serat kasar, NDF dan ADF yang lebih kecil dibandingkan dengan rumput alam. Hal ini menyebabkan semakin tinggi taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan, maka kandungan seratnya ( NDF dan ADF) juga lebih kecil (Tabel 2). Kandungan serat kasar yang terdapat pada suatu bahan pakan didefinisikan sebagai suatu komponen yang tidak larut pada larutan deterjen netral, dan keberadaannya secara kuantitatif dalam bentuk.

(5)

Tabel 2. Komposisi kimiawi pakan penelitian

Komposisi Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan Tepung ampas sagu 0% (R0) 20% (R1) 30% (R2) 40% (R3) Bahan kering (%) 90,34 89,98 89,82 89,59 90,05 Bahan organik (%) 90,78 90,41 90,27 89,91 89,34 Protein kasar (%) 12,01 12,04 11,98 11,95 3,07 Abu (%) 9,22 9,59 9,73 10,09 10,66 Lemak kasar (%) 6,33 6,02 5,58 5,14 2,71

Energi kasar (Kkal/kg) 3.855 3.849 3.852 3.850 3.757

NDF (%) 51,19 48,55 46,87 45,93 42,59

ADF (%) 32,67 30,88 28,84 28,05 27,78

NDF yang sebagian besar merupakan polisakkarida, hemiselulosa, selulosa dan lignin (Hatfield 1989; Jung dan Deetz 1993). Tepung ampas sagu diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan sumber serat dan energi, karena kandungan energi kasarnya cukup tinggi yaitu 3.757 Kkal/kg.

Konsumsi pakan (bahan kering, bahan organik dan N)

Pengaruh taraf tepung ampas sagu dalam campuran pakan terhadap konsumsi bahan kering dan bahan organik disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering pakan tidak dipengaruhi oleh taraf tepung kulit ampas yang diberikan (P>0,05). Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap konsumsi bahan kering pakan disebabkan oleh pakan yang digunakan pada penelitian ini berbentuk pelet komplit. Tafaj et al. (2007) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering pakan akan lebih merata jika diberikan dalam bentuk pakan komplit, keadaan ini berlaku terkait dengan upaya ternak untuk meminimalisir fluktuasi kondisi ekosistem di dalam rumen.

Apabila menggunakan campuran bahan makanan yang sama maka sebagian besar ternak lebih menyukai pakan dalam bentuk pelet dibandingkan dengan pakan berbentuk tepung. Disamping itu, ternak tidak dapat memilih bahan makanan yang disukai atau tidak disukai karena keseluruhan bahan pakan telah menyatu dalam bentuk pelet (Cheeke

1999; Mc Donald et al. 2002). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembuatan pakan dalam bentuk pelet dapat meningkatkan konsumsi pakan, karena dengan volume yang sama pakan berbentuk pelet bobotnya lebih besar dibandingkan dengan bentuk tepung, karena pembuatan pakan dalam bentuk pelet akan mengurangi sifat berdebu dari pakan, sehingga dapat meningkatkan nilai akseptabilitas pakan tersebut. Morand-Fehr (2003) menyatakan bahwa ternak kambing biasanya lebih menyukai pakan komplit dalam bentuk pelet dibandingkan dengan bentuk tepung, karena kambing sangat sensitif terhadap iritasi pada saluran pernafasan akibat partikel pakan yang kecil seperti pada bentuk tepung.

Rataan konsumsi bahan organik keempat perlakuan pakan adalah 528,41-551,81 g/ekor/hari. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan organik tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu yang diberikan (P>0,05). Hal ini terjadi terkait dengan konsumsi bahan kering pakan yang juga tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu. Bahan kering terdiri atas bahan organik dan abu (mineral), dan sebagian besar bahan kering tersebut terdiri atas bahan organik (Mc. Donald et al. 2002). Tingkat konsumsi bahan kering pakan berdasarkan persen bobot hidup berkisar antara 3,34-3,41%, capaian ini diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan produksi kambing selama penelitian.

Rataan konsumsi N keempat perlakuan pakan adalah 11,24-11,76 g/ekor/hari seperti yang disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi N

(6)

juga tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan (P>0,05). Tidak adanya perbedaan yang nyata terhadap konsumsi N terkait dengan konsumsi bahan kering dan bahan organik yang juga tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu. Selain itu juga karena kandungan Nitrogen keempat pakan perlakuan relatif sebanding. Lallo (1996) dan Damshik (2001) menyatakan bahwa konsumsi N pada kambing dipengaruhi oleh kandungan protein pakan yang diberikan. Konsumsi N keempat perlakuan pakan termasuk kepada kategori rendah hal ini terkait dengan kandungan protein pakan yang diberikan pada penelitian ini yang juga termasuk rendah.

Kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dan ADF

Rataan kecernaan bahan kering adalah 60,03; 62,22; 59,47,56 dan 59,15% masing-masing untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3 seperti yang disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P>0,05). Kecernaan bahan kering keempat perlakuan pakan relatif sebanding, hal ini terjadi diduga terkait dengan konsumsi bahan kering pakan yang juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan. Selain itu juga karena komposisi kimiawi, pemberian pakan, umur dan bobot hidup ternak yang

digunakan pada penelitian ini relatif sebanding. Mc Donald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, nilai gizi pakan, faktor ternak serta tingkat pemberian pakan. Simanihuruk et al. (2006) menyatakan bahwa kambing Kacang jantan yang diberi pakan pelet komplit (komponen tepung kulit buah markisa 45%), kecernaan bahan kering adalah sebesar 66,69%, angka ini lebih besar dibandingkan dengan kecernaan bahan kering keempat perlakuan pakan pada penelitian ini.

Rataan kecernaan bahan organik adalah 58,98; 60,04; 58,36 dan 58,01% masing-masing untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kecernaan bahan organik juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P>0,05), keadaan ini berlaku terkait dengan kecernaan bahan kering yang juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan, karena sebahagian besar bahan kering terdiri atas bahan organik (Sutardi 1980; Mc. Donald et al. 2002). Bahan kering terdiri atas bahan organik dan abu (mineral), kecernaan bahan organik pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan kecernaan bahan kering, hal ini terjadi kemungkinan karena kecernaan mineral pada penelitian ini relatif rendah.

Rataan kecernaan NDF adalah 57,75; 58,18; 57,25 dan 56,86% berturut-turut untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hasil analisis

Tabel 3. Konsumsi bahan kering dan bahan organik dan N

Uraian Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan

0% (R0) 20% (R1) 30% (R2) 40% (R3)

Konsumsi BK (g/ekor/hari) 600,43 610,35 598,05 587,71

Konsumsi BO (g/ekor/hari) 545,07 551,81 539,85 528,41

Konsumsi N (g/ekor/hari) 11,54 11,76 11,46 11,24

% Bobot hidup 3,38 3,41 3,35 3,34

Tabel 4. Kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dan ADF

Uraian Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan

0% (R0) 20% (R1) 30% (R2) 40% (R3) Kecernaan (%) Bahan kering 60,03 62,22 59,47 59,15 Bahan organik 58,98 60,04 58,36 58,01 NDF 57,75 58,18 57,25 56,86 ADF 55,93 56,87 55,59 55,14

(7)

keragaman menunjukkan bahwa kecernaan NDF tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P>0,05), keadaan ini terjadi terkait dengan konsumsi dan kecernaan bahan kering yang juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan. Selain itu juga karena kandungan protein pada keempat pakan perlakuan relatif sama. Pertumbuhan bakteri pencerna serat di dalam rumen dipengaruhi oleh kandungan nitrogen pakan (Grant dan Mertens 1992; Lallo 1996).

Kecernaan ADF lebih menggambarkan kecernaan serat suatu jenis pakan (van Soest 1982). Rataan kecernaan ADF adalah 55,93; 56,87; 55,59 dan 55,14% berturut-turut untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kecernaan ADF juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan (P>0,05), keadaan ini terjadi terkait dengan kecernaan NDF yang juga tidak dipengaruhi oleh perlakuan pakan, karena NDF terdiri atas ADF dan hemiselulosa (van Soest 1993; Cheeke 1999).

Pertambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan pakan

Pengaruh taraf tepung ampas sagu dalam campuran pakan terhadap pertambahan bobot hidup disajikan pada Tabel 5. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa pertambahan bobot hidup tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu (P>0,05). Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot hidup terkait dengan konsumsi bahan kering yang tidak dipengaruhi oleh taraf tepung ampas sagu. Selain itu juga karena komposisi kimiawi pakan pada semua perlakuan penelitian relatif sama, sehingga ketersediaan kandungan nutrien untuk kebutuhan tubuh juga relatif sebanding.

Berdasarkan hasil analisis kimia kandungan protein kasar keempat perlakuan pakan berkisar antara 11,95-12,04% dan energi kasar 3.849-3.855 Kkal/kg (Tabel 2). Simanihuruk (2009) menyatakan bahwa kambing kacang yang diberi pakan pelet komplit dengan taraf tepung kulit buah markisa 45% (kandungan protein kasar 13,88% dan energi kasar 4.272 Kkal/kg) pertambahan bobot hidupnya sebesar 80,86 g/ekor/hari, angka ini relatif sebanding dengan perlakuan pakan R1 pada penelitian ini. Khususnya pada ternak ruminansia, efisiensi penggunaan pakan dipengaruhi oleh kualitas dan nilai biologis pakan juga besarnya pertambahan bobot hidup dan nilai kecernaan pakan tersebut. Pengaruh taraf tepung ampas sagu dalam campuran pakan komplit terhadap efisiensi penggunaan pakan juga disajikan pada Tabel 5. Rataan efisiensi penggunaan pakan selama penelitian adalah 0,125; 0,129, 0,121 dan 0,119 berturut-turut untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Efisiensi penggunaan pakan terbesar diperoleh pada perlakuan pakan R1, hal ini berlaku terkait dengan konsumsi bahan kering pakan dan pertambahan bobot hidup, karena efisiensi penggunaan pakan adalah rasio antara pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi (Tillman et al 1998). Efisiensi penggunaan pakan keempat pakan perlakuan tergolong kategori moderat, karena 1 kg bahan kering pakan menghasilkan pertambahan bobot hidup sebesar 125; 129; 121 dan 119 g berturut-turut untuk perlakuan pakan R0, R1, R2 dan R3. Pi et al. (2005) melaporkan bahwa kambing Boer yang diberi pakan dalam bentuk pelet komplit berbasis jerami padi efisiensi penggunaan pakannya adalah 0,093, angka ini lebih kecil dibandingkan dengan efisiensi penggunaan pakan keempat perlakuan pakan pada penelitian ini.

Tabel 5. Rataan pertambahan bobot hidup dan efisiensi penggunaan pakan

Uraian Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan

0% (R0) 20% (R1) 30% (R2) 40% (R3) Bobot awal (kg) 11,62 11,63 11,63 11,65 Bobot akhir (kg) 16,89 17,14 16,70 16,54 Pertambahan bobot (kg) 5,27 5,51 5,07 4,89 PBHH (g/ekor/hari) 75,34 78,75 72,36 69,87 EPP 0,125 0,129 0,121 0,119

(8)

Tabel 6. Analisis ekonomi pemanfaatan tepung ampas sagu pada kambing Boerka

Uraian Taraf tepung ampas sagu pada perlakuan pakan

0% (R0) 20% (R1) 30% (R2) 40% (R3)

Konsumsi pakan (kg/ekor) 42,09 42,79 41,93 41,20

Harga pakan (Rp./kg) 3.000 2.975 2.900 2.850

Jumlah biaya pakan (Rp./ekor) 126.281 127.294 121.587 117.428

Rataan PBH (kg/ekor) 5,27 5,51 5,07 4,89

Nilai jual (Rp/ekor)* 237.231 248.063 227.934 220.091

IOFC (Rp./ekor selama 10 minggu) 111.040 120.769 106.347 102.663 * Harga jual ternak Rp. 45.000/kg bobot hidup (akhir tahun 2012)

PBH: Pertambahan bobot hidup

Income over feed Cost (IOFC)

Nilai ekonomi pemanfaatan tepung ampas sagu pada penelitian ini dapat diketahui dengan menghitung income over feed cost (pendapatan yang diperoleh dari nilai jual ternak setelah dikurangi biaya pakan). Pengaruh penggunaan tepung ampas sagu sebagai campuran komponen pakan pelet komplit terhadap rataan nilai IOFC dicantumkan pada Tabel 6. Harga per kilogram campuran pakan pada keempat perlakuan pakan konsentrat diketahui melalui harga dan jumlah masing-masing campuran bahan konsentrat, rumput dan tepung ampas sagu yang digunakan pada penelitian ini. Harga jual per kilogram bobot hidup kambing penelitian ditentukan berdasarkan harga yang berlaku disekitar Kabupaten Deli Serdang pada akhir Desember 2012.

Rataan nilai IOFC selama penelitian (10 minggu) berturut-turut adalah sebesar 111.040; 120.769; 106.347 dan 102.663 rupiah per ekor untuk perlakuan R0, R1, R2 dan R3. Nilai IOFC tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan R1 keadaan ini berlaku terkait dengan pertambahan bobot hidup yang terbesar juga diperoleh pada perlakuan pakan tersebut. Meskipun konsumsi dan harga pakan pada perlakuan pakan R1 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pakan R2 dan R3, tetapi nilai IOFC pada perlakuan pakan R1 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pakan R2 dan R3, hal ini terjadi terkait dengan pertambahan bobot hidup pada perlakuan pakan R1 lebih besar dibandingkan dengan perlakuan pakan R2 dan R3.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil rataan konsumsi bahan kering pakan, kecernaan bahan kering, bahan organik, NDF dan ADF, pertambahan bobot hidup, efisiensi penggunaan pakan dan income over feed cost dari penelitian ini maka disimpulkan bahwa tepung ampas sagu dapat digunakan sampai taraf 40% sebagai campuran pakan pelet komplit untuk ternak kambing, sekaligus merupakan bahan pakan alternatif untuk menggantikan sumber energi dan serat (rumput) pada komponen pakan.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Ed. K. Helrich (Ed.). Association of Official Analytical Chemist, Inc. Arlington, Virginia, USA.

Bintoro MH, Hariyanto B, Honigone T, Marangkey MP, Sakaguchi E, Takamura Y. 1990. Feeding value of pith and pith residue from sago palm. Proceeding Takahashi-Shi Nutrition Conference, Okayama. p. 1-12.

Cheeke PR. 1999. Applied Animal Nutrition Feeds and Feeding. 2nd Ed. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River.

Damshik M. 2001. Produktivitas kambing Kacang yang mendapat ransum penggemukan dengan kandungan protein yang berbeda. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Goering HK, Van Soest PJ. 1970. Forage Fiber Analyses (apparatus, reagents, procedures and some application). Agric. Handbook 379. Washington DC:ARS. USDA.

(9)

Grant RJ, Mertens DR. 1992. Impact of in vitro fermentation techniques upon kinetics of fiber digestion. J Dairy Sci. 75:1263-1272.

Hatfield RD. 1989. Structural polysaccharide in forage and their degrability. Agron J. 81:39-46.

Jung HG, Deetz DA. 1993. Cell wall lignification and degrability. In: Forage Cell Wall Sructure and Degrability. Jung HG, Buxton DR, Hatfield RD, Ralph J (Eds.). Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA.

Kaps M, Lamberson WR. 2004. Biostatistic for Animal Science. CABI Publishing, Cambridge, USA.

Kertopermono AP. 1996. Inventory and evaluation of sago palm (Metroxylon sp) distribution. Sixt International Sago Symposium. Pakan Baru 9-12 Desember 1996. pp. 59-68

Lallo CHO. 1996. Feed intake and nitrogen utilization by growing goats fed by-product based diets of different protein and energy levels. Small Rum Res. 22:193-204.

Mc Donald P, Edwards RA, Greenhald JFD, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. Ashford Colour Pr. Gosfort.

Morand-Fehr P. 2003. Dietary choices of goats at the trough. Small Rum Res. 49:231-239. National Research Council. 1981. Nutrient

requirement of goats: angora, dairy, and meat goats in temperate and tropical countries. Washington DC: National Academy Pr. Nurkurnia E. 1989. Hasil fermentasi rumen kambing

Kacang betina dengan pemberian beberapa tingkat ampas sagu (Metroxylon sp.) dalam ransum. Karya Ilmiah Fapet IPB, Bogor. Pi ZK, Wu YM, Liu JX. 2005. Effect of

pretreatment and pelletization on nutritive value of rice straw-based total mixed ration, and grwoth performance and meat quality of growing Boer goats fee on TMR. Small Rumin Res. 56:81-88.

Prastowo B. 2007. Potensi sektor pertanian sebagai penghasil dan pengguna energi terbarukan. Perspektif 6:84-92.

Rumalatu FJ. 1981. Distribusi dan potensi pati beberapa sagu (Metroxylon sp.) di daerah seram barat. Karya Ilmiah. Fakultas

Pertanian/Kehutanan yang Berafiliasi dengan Fateta IPB. Bogor.

Simanihuruk K, Wiryawan KG, Ginting SP. 2006. Pengaruh taraf kulit buah markisa (Passiflora

edulis Sims f. Edulis Deg) sebagai campuran

pakan kambing kacang: I. Konsumsi, kecernaan dan retensi nitrogen. JITV 11:97-105.

Simanihuruk K. 2009. Pemanfaatan kulit buah markisa (Passiflora edulis Sims f. edulis Deg) sebagai campuran pakan komplit kambing Kacang fase pertumbuhan. JITV. 14:36-44. Statistics Analytical System. 1998. SAS User’s

Guide: Statistic. 8th ed., Cary (NC), USA: SAS Institute Inc.

Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan prosedur statistika: suatu pendekatan biometrik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics.

Sutardi T. 1980. Landasan ilmu nutrisi I. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tafaj M, Zebeli Q, Baes CH, Steingass H, Drochner

W. 2007. A meta-analysis examining effects od particle size of total mixed ration on intake, rumen digestion and milk production in high-yeilding dairy cows at early lactation. Anim Feed Sci Tech. 138:137-161.

Tillman DA, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekotjo S. 1998. Ilmu makanan ternak dasar. Cetakan ke-5. Yogyakarta: Univ Gadjah Mada Pr. Fakultas Peternakan.

Trisnowati. 1991. Kecernaan in vitro ampas sagu metroxylon yang diperlakukan secara biologis. Skripsi, Bogor IPB, Fakultas Peternakan. Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the

Ruminant. Comstock Publishing Assoc. Cornell University Press, USA.

Van Soest PJ. 1993. Cell wall matrix interactions and degradation-session synopsis. In : Forage Cell Wall Sructure and Degrability. Jung HG, Buxton DR, Hatfield RD, Ralph J. (Eds.). Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA.

Referensi

Dokumen terkait

(pengargaan dan hukuman), Pemberian nasehat, dan Melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun faktor pendukung dan penghambatdalam proses pembinaan mental keagamaan santri Pondok

Bibliokonseling merupakan kegiatan konseling yang dapat membantu klien daam menyelesaikan permasalahan menggunakan buku sebagai media untuk kegiatan konseling.

Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bahwa tata letak lantai produksi PT Sinwa Perdana Mandiri saat ini tidak efisien, pada mesin Injeksi dengan Ultra Sonic

Hasil docking dapat diamati pada tabel 1 dimana dari 19 ligan yang dianalisis, nilai skor CHEMPLP yang terendah berada pada ligan senyawa biji buah nangka yaitu senyawa

Beberapa Fakultas di lingkup Universitas Trisakti yang melakukan kerjasama pada tahap ini adalah Fakultas Seni Rupa dan Disain (FSRD), Fakultas Ekonomi (FE) dan Fakultas Hukum

Setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada didalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi saudara Paisal Fahmi Harahap, NIM 07210019, mahasiswa Jurusan Al-Ahwal

Namun, ada sejumlah syarat yang perlu diperhatikan agar kebijakan “Hari Sekolah” ini dapat berjalan efektif dan optimal bagi penguatan pendidikan karakter peserta didik

Catatan dan Tanggapan Penilai terhadap dokumen dan/atau keterangan guru (catat kegiatan yang dilakukan). Guru memiliki catatan tentang kemajuan belajar siswa, siswa yang tidak