SKRIPSI
Oleh :
RIZKI DWI WELIAWATI NPM. 0833010025
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN” JAWA TIMUR
SURABAYA
(Triticum vulgare) DAN GEMBILI (Dioscorea esculenta) DAN
PENAMBAHAN TELUR
Disusun Oleh :
Rizki Dwi Weliawati
NPM : 0833010025
Telah Dipertahankan Dihadapan dan Diterima Oleh Tim Penguji Pada Tanggal 17 Februari 2012
Tim Penguji 1
Ir. Latifah, MS NIP. 19570307 198603 2 001
Dosen Pembimbing 1
Rosida, STP., MP NIP. 3 7012 97 0159 1 2
Ir. Ulya Sarofa, MM NIP. 19630516 198803 2 001
3
Rosida, STP., MP NIP. 3 7012 97 0159 1
Mengetahui
Dekan Fakultas Teknologi Industri
Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran” Jawa Timur Surabaya
pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Mie dari Tepung Komposit Terigu (Triticum vulgare) dan Gembili (Dioscorea esculenta) dan Penambahan Kunig Telur” hingga terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.
Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :
1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.
2. Ibu Ir. Latifah, MS selaku Ketua Jurusan Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jawa Timur.
3. Ibu Rosida, STP, MP. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
4. Ibu Ir. Sudaryati, HP, MP dan Ibu Latifah, MS selaku Dosen Penguji seminar proposal dan hasil penelitihan, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Latifah, MS, Ibu Rosida, STP, MP, dan Ibu Ulya Sarofa, MM selaku Dosen Penguji Lisan, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.
6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.
7. Keluargaku Tercinta Ayah dan Ibu, Kakakku Tersayang, terima kasih banyak atas segala dorongan, kesabaran, dukungan material dan spiritual yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. “Tanpa kalian aku bukanlah apa-apa”
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masihlah jauh dari sempurna serta banyak kekurangannya, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.
DAFTAR ISI C. Manfaat Penelitian ...
C. Alat ... 33
D. Metode Penelitian ... 33
E. Parameter ... 36
F. Prosedur Penelitian ... 37
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1. Komposisi kimia mie kering per 100 gram bahan...
2. Tabel 2. Syarat mutu mie kering... 7
3. Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan ... 9
4. Tabel 4. Komposisi gizi gembili tiap 100 gram bahan... 10
5. Tabel 5. Komposisi kimia labu kuning per 100 gram bahan... 13
6. Tabel 6. Komposisi kimia telur... 17
7. Tabel 7. Hasil analisa tepung terigu, tepung gembili dan tepung labu kuning per 100 gram bahan... 42
8. Tabel 8. Nilai rata-rata kadar pati mie kering dari perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili... 43
9. Tabel 9. Nilai rata-rata kadar pati mie kering dari perlakuan penambahan telur... 44
10. Tabel 10. Nilai rata-rata kadar air mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur... 45
11. Tabel 11. Nilai rata-rata kadar protein mie kering dari perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili... 47
12. Tabel 12. Nilai rata-rata kadar protein mie kering dari perlakuan penambahan telur... 47
13. Tabel 13. Nilai rata-rata elastisitas mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dengan penambahan telur... 48
14. Tabel 14. Nilai rata-rata daya rehidrasi mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur... 51
15. Tabel 15. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan mie kering dari perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili...53
16. Tabel 16. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan mie kering dari Perlakuan penambahan telur... 54
17. Tabel 17. Nilai rata-rata kesukaan rasa pada produk mie kering... 55
18. Tabel 18. Nilai rata-rata kesukaan warna pada produk mie kering... 57
19. Tabel 19. Nilai rata-rata kesukaan tekstur pada mie kering... 58
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Tanaman gembili dan umbi gembili... ... 9
2. Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung gembili………12
3. Gambar 3. Buah labu kuning……….……...…….. 13
4. Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan labu kuning……….……… 15
5. Gambar 5. Mekanisme gelatinisasi pati………..………..…….. 6. Gambar 6.1. Reduksi ikatan SS……….…...……… 7. Gambar 6.2. Reduksi ikatan disulfida dalam gliadin dan glutenin... 22
8. Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan mie kering... 24
9. Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan tepung gembili... 38
10. Gambar 9. Diagram alir proses pembuatan tepung labu kuning... 11. Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan mie kering... 12. Gambar 11. Pengaruh antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili terhadap kadar air mie kering... 13. Gambar 12. Pengaruh perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili terhadap elastisitas mie kering... 49
14. Gambar 13. Pengaruh perlakuan proporsi tepung terigu : Tepung gembili terhadap daya rehidrasi mie kering... 52
7 9 10 12 16 17 17 19 28 29 31
35
38
DAFTAR LAMPIRAN
1. Prosedur Analisa ... 2. Lembar Kuisioner Organoleptik ... 3. Kadar Pati ... 4. Kadar Air ... 5. Kadar Protein ... 6. Elastisitas ... 7. Daya Rehidrasi ... 8. Aktivitas Antioksidan ... 9. Organoleptik Rasa ... 10. Organoleptik Warna ... 11. Organoleptik Tekstur ... 12. Asumsi yang digunakan ... 13. Analisa Finansial Produk Mie Kering ... 14. Perhitungan Modal Perusahaan ... 15. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun... 16. Perhitungan Keuntungan Produksi Cake Pisang... 17. Perhitungan Payback Period dan Break Event Point Produksi
RIZKI DWI WELIAWATI Npm : 0833010025
INTISARI
Mie yang umumnya banyak beredar di pasaran adalah mie dengan berbahan dasar tepung terigu, dimana gandum sebagai bahan baku tepung terigu masih impor. Sebagai usaha untuk mengurangi impor gandum, bahan baku mie dapat digantikan dengan bahan baku lokal yaitu tepung gembili. Permasalahan dalam pembuatan mie kering adalah tidak dapat membentuk tekstur seperti gluten sehingga mie yang dihasilkan dari tepung gembili rapuh atau kurang elastis. Untuk menghasilkan mie yang elastis maka ditambahkan telur yang dapat meningkatkan elastisitas dan daya rekat mie sehingga akan memudahkan pencetakan dan mie yang dihasilkan tidak mudah patah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur terhadap kualitas mie kering. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan 2 faktor dan 3 kali ulangan, Faktor I proporsi tepung terigu : tepung gembili 80:20 (b/b), 70:30 (b/b), 60:40 (b/b). Faktor II penambahan telur 15 % (v/b), 20 % (v/b), dan 25% (v/b).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah pada perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili 70:30 (b/b) dan penambahan telur 20% (v/b) yang menghasilkan mie kering dengan kriteria kadar air 8,7966%, kadar protein 10,8588%, kadar pati 58,8260%, elastisitas 25,0062%, daya rehidrasi air 52,7117%, aktivitas antioksidan 2,8803%, total ranking kesukaan tekstur 86 ; warna 82 ; rasa 71.
A. Latar Belakang
Mie merupakan produk makanan yang cukup popular dan disukai oleh berbagai golongan masyarakat. Mie banyak disukai karena citarasanya yang enak dan mudah dalam penyajiannya. Menurut Royaningsih (1987), berdasarkan pengolahan mie yang dipasarkan di Indonesia dikelompokkan menjadi empat macam yaitu mie mentah (Raw Chinese Noodle), mie basah (Boilled Noodle), mie kering (Steamed Fried Noodle) dan mie instan (Instant Noodle).
Bahan baku utama dalam pembuatan mie pada umumnya adalah tepung terigu. Menurut Manwan (1993) Indonesia masih mengimpor terigu 2 juta ton per tahun dan jumlah ini meningkat 8% per tahun. Bagi Indonesia yang bukan negara penghasil gandum, substitusi sebagian terigu dengan tepung non terigu untuk pembuatan makanan akan dapat menghemat devisa negara. Tepung campuran (composite flour) adalah tepung yang merupakan campuran tepung terigu dengan tepung non terigu, atau tepung yang dibuat dari beberapa tepung serealia, umbi - umbian atau leguminosa yang digunakan dalam pembuatan roti, kue, mie atau produk - produk makanan lainnya (Enie, 1989).
Menurut Muchtadi dan Soeryo (1986), untuk mengurangi impor perlu dicari bahan yang dapat mensubstitusi sebagian terigu, salah satu alternatif adalah tepung gembili. Gembili (Dioscorea esculenta) adalah tumbuhan famili Dioscoreaceae yang dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari daratan Indo-Cina. Di negara tropis basah, gembili bersama dengan ubi kayu menjadi makanan dari berjuta penduduk (Sastrahidayat dan Soemarno, 1991). Gembili mempunyai nilai kalori 95 kal/100 g atau sekitar dua per lima bagian dari nilai kalori ubi kayu dan sekitar seperlima bagian dari nilai kalori tepung beras (Suhardi dkk, 2002).
lain-lain. Widowati dan Sunilhardi (2002), menyatakan bahwa tepung terigu dapat disubstitusi oleh tepung dari umbi – umbian, sorgum dan jagung. Tepung lain yang digunakan sebagai komposit (campuran ) tepung terigu selain tepung gembili adalah tepung labu kuning.
Kekurangan vitamin A merupakan salah satu masalah gizi utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Buah labu kuning (Cucurbita moschata) memiliki kandungan β-karoten atau provitamin A yang tinggi yaitu 180 SI/g (Murdijati dan Gardjito, 1989). Labu kuning juga mengandung zat gizi seperti protein, karbohidrat, beberapa mineral (seperti kalsium, fosfor, besi) serta beberapa vitamin, yaitu vitamin B dan C.
Penambahan tepung gembili pada mie akan menyebabkan kurang elastisnya mie maka perlu ditambahkan telur untuk menambah daya liat atau elastisitas mie.
Telur merupakan bahan tambahan yang sangat penting dalam pembuatan mie. Penggunaan telur pada mie bertujuan untuk menambah elastisitas mie dan mempercepat hidrasi air. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan (2001), bahwa penambahan telur pada pembuatan mie basah adalah untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus, produk mie yang ada di pasaran dapat berbentuk basah dan kering.
Menurut Astawan (1999), mie kering adalah mie segar yang telah dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8 - 10%. Pengeringan umumnya dilakukan dengan penjemuran dibawah sinar matahari atau dengan dryer. Mie kering mempunyai kadar air rendah sehingga mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya.
B. Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pengaruh proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur terhadap sifat fisik, kimia dan organoleptik pada produk mie.
2. Menentukan kombinasi perlakuan terbaik antara proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur yang dapat menghasilkan mie kering dengan kualitas baik dan disukai konsumen.
C. Manfaat Penelitian
1. Diversifikasi produk mie kering dengan substitusi tepung gembili dan penambahan telur.
2. Meningkatkan nilai ekonomis gembili dan labu kuning.
A. Mie
Mie merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak - anak sampai orang dewasa, karena rasanya yang enak dan menyenangkan. Mie mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi, hampir setara dengan kalori dari nasi, sehingga mie sering digunakan sebagai pengganti nasi (Widyaningsih, 2006).
Menurut Astawan (1994), mie di Indonesia dikelompokkan menjadi empat macam yaitu mie mentah, mie basah, mie kering dan mie instan. Mie kering adalah mie segar yang mengalami pengeringan kadar air hingga mencapai 8 - 10 %, pengeringan umumnya dilakukan dibawah sinar matahari atau dengan alat pengering, karena bersifat kering maka mie mempunyai daya simpan yang relatif panjang dan mudah penanganannya.
Proses pengolahan mi kering sedikit berbeda dengan mi instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air mi hingga 8 - 10 persen, sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe, kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan segera (Intan, 1997). Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100 gram mi kering terkandung energi dan zat gizi protein, lemak, karbohidrat, dan mineral kalsium, fosfor, besi, vitamin B1, air. Komposisi kimia mie kering (per 100 gram bahan) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia mie kering (per 100 gram bahan) Sumber : Depkes RI (1992)
Tabel 2. Syarat mutu mie kering menurut SNI 01-2974-1996
No Kriteria uji Satuan Persyaratan
1
1. Angka lempeng total 2. E. coli
adalah gluten. Gluten tidak terdapat pada biji gandum ataupun pada tepung terigu, akan tetapi gluten terbentuk bila gliadin bereaksi dengan air. Gliadin dan glutenin merupakan penyusun utama gluten yang diperoleh bila adonan dicuci untuk membebaskan patinya (Desrosier, 1988).
Glutenin merupakan fraksi protein yang memberikan kepadatan dan kekuatan pada adonan untuk menahan gas pada pengembangan adonan serta berperan dalam pembuatan struktur adonan. Sedangkan gliadin adalah fraksi protein yang memberikan sifat lembut dan elastis (Anni, 2008).
Menurut Anonymus (1994), berdasarkan kandungan proteinnya tepung terigu dibedakan atas :
1. Tepung terigu keras
Kandungan proteinnya tinggi, yaitu maksimal 12% dengan merk dagang Kereta Kencana dan Cakra Kembar. Jenis tepung ini banyak digunakan untuk pembuata aneka produk beragi yang difermentasi dan mie yang berkualitas tinggi.
2. Tepung terigu setengah keras
Biasanya mengandung protein antara 10-11% dengan merk dagan Gunung Bromo. Tepung setengah keras cocok dibuat kue, aneka produk pasta, biskuit dan mie serta berbagai kue basah.
3. Tepung terigu lunak
Mempunyai kandungan protein 8-9% dengan merk dagang Roda Biru. Paling sesuai digunakan untuk bahan pembuatan biskuit dan aneka kue kering. Komposisi kimia tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Terigu per 100 gr bahan
C. Gembili (Dioscorea esculenta)
Gembili (Dioscorea esculenta) merupakan jenis umbi yang tumbuh merambat dengan daun berwarna hijau dan batang agak berduri. Buahnya menyerupai ubi jalar dengan ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa. Berwarna coklat muda dengan kulit tipis. Gembili tumbuh pada ketinggian 0 – 900 m dibawah permukaan laut dengan pH tanah antara 5,5 – 6,5 dan curah hujan 875 – 1750 mm/tahun (Anonymus, 2009).
Gambar 1. Tanaman gembili secara utuh dan umbi gembili
Tumbuhan gembili merambat dan rambatannya berputar kearah kanan (searah jarum jam jika dilihat dari atas), batangnya agak berduri. Gembili dianggap sebagai tumbuhan berpotensi besar dimasa depan. Gembili merupakan potensi sumber hidrat arang, protein, rendah lemak, kalsium, fosfor, potasium, zat besi, serat makanan, vitamin B1, dan C. Gembili dapat dipakai sebagai makanan tambahan atau makanan pengganti, selain itu juga dapat menunjang usaha untuk penganekaragaman bahan makanan, sehingga tidak bergantung pada beras
Tabel 4. Kandungan gizi gembili tiap 100 gram Sumber : Depkes RI (1987)
Proses pengolahan gembili menjadi tepung gembili menurut Endang (2008), adalah melalui tahap - tahap sebagai berikut :
1. Sortasi dan Pencucian
Umbi gembili dilakukan sortasi (dipilih yang bagus) kemudian dicuci untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit buahnya. 2. Pengupasan
Gembili yang telah dicuci selanjutnya dikupas kulitnya sampai benar - benar bersih.
3. Pengirisan
Gembili yang telah dikupas kulitnya diiris tipis-tipis dan kecil dengan tujuan untuk mempercepat proses pengeringan.
4. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga surya (penjemuran) ataupun dengan alat pengering (Cabinet Dryer). Apabila menggunakan tenaga surya, pengeringan gembili dilakukan selama 1 hari (tergantung pada cuaca), sementara apabila menggunakan dryer, dilakukan dengan suhu 70⁰C selama 4 jam.
5. Penggilingan
Potongan gembili hasil pengeringan dapat segera digiling atau dihancurkan dengan menggunakan blender kering maupun alat penggiling yang lain.
6. Pengayakan
Proses pembuatan tepung gembili selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gembili
Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan tepung gembili (Bekti, 2008)
D. Labu Kuning (Cucurbita moschata)
Labu kuning (Cucurbita moschata) atau yang sering disebut dengan waluh (Jawa Tengah), ataupun pumpkin (Inggris), merupakan salah satu sayuran yang mempunyai bentuk bulat sampai lonjong dan berwarna kuning kemerahan. Pada bagian tengah buah labu kuning tersebut, terdapat biji yang diselimuti lendir dan serat. Berat buah labu kuning dapat mencapai ± 4 kg sampai 20 kg. Buah labu kuning sudah dapat dipanen pada umur 3-4 bulan (Hendrasty, 2003).
Labu kuning atau waluh merupakan bahan pangan yang kaya vitamin A dan C, mineral, serta karbohidrat. Daging buahnya pun mengandung antioksidan sebagai penangkal berbagai jenis kanker (Astawan, 2004). Komposisi kimia buah labu lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 5.
Pencucian 1
Pengupasan kulit
Pengirisan
Pengayakan (100 mesh) Penggilingan (blender)
Pengeringan
(Dryer dengan suhu 70⁰ C, 4 jam) (Sinar Matahari selama 1 hari)
Pencucian 2
Tabel 5. Komposisi Kimia Labu Kuning dalam 100 gr bahan segar
Komposisi Jumlah
Kalori Protein Lemak Karbihidrat Kalsium Fosfor Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air
29 kal 1,1 gr 0,3 gr 6,6 gr 45 mg 64 mg 1,4 mg 180 SI 0,08 mg
52 mg 91,20 gr Sumber : Depkes RI (1992)
Gambar 3. Buah Labu Kuning
Sesuai namanya, labu kuning mempunyai warna kuning atau jingga akibat kandungan karotenoidnya yang sangat tinggi. Karotenoid dalam buah labu sebagian besar berbentuk β-karoten, yang berfungsi untuk melindungi mata dari serangan katarak, dan berbagai penyakit degeneratif (Astawan M, 2004). Proses pengolahan labu kuning menjadi tepung labu kuning menurut Henny (2003), adalah melalui tahap - tahap sebagai berikut :
1. Pemotongan dan pencucian
buahnya. Pencucian dilakukan hingga kulit labu kuning tersebut benar-benar bersih.
2. Pengupasan
Labu kuning yang telah dicuci selanjutnya dihilangkan biji dan serabutnya, serta dikupas kulitnya sampai bersih.
3. Pengecilan ukuran
Labu kuning yang telah dikupas kulitnya dipotong tipis-tipis dan kecil dengan tujuan untuk mempercepat proses pengeringan.
4. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan tenaga surya (penjemuran) ataupun dengan alat pengering (Cabinet Dryer). Apabila menggunakan tenaga surya, pengeringan labu kuning dilakukan selama 4-6 hari (tergantung pada cuaca), sementara apabila menggunakan dryer, dilakukan dengan suhu 70⁰C selama 48 jam.
5. Penggilingan
Potongan labu kuning hasil pengeringan dapat segera digiling atau dihancurkan dengan menggunakan blender kering maupun alat penggiling yang lain. Penggilingan dilakukan hingga labu kuning tersebut hancur menjadi bubuk (tepung).
6. Pengayakan
Tepung labu kuning hasil penghancuran kemudian diayak dengan saringan berukuran 80 mesh. Tepung yang lolos ayakan ditampung dalam tempat tersendiri, sementara yang tidak lolos ayakan dapat digiling lagi hingga akhirnya dapat lolos ayakan.
7. Pengemasan
Tepung labu kuning hasil pengayakan harus segera ditimbang dan dikemas dalam kantong plastik dengan ukuran sesuai, kemudian dibungkus kembali dengan alunimium foil.
Labu Kuning
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan tepung labu kuning (Henny, 2003)
E. Bahan Pembantu Pembuatan Mie Kering
Menurut Astawan (2005), bahan pembantu untuk pembuatan mie adalah bahan-bahan selain bahan baku yang ditambahkan untuk membantu terlaksananya proses produksi sehingga didapatkan produk sesuai dengan yang diharapkan. Bahan pembantu yang dipakai antara lain seperti : air, garam dapur, soda kue (Natrium Karbonat) dan minyak goreng.
1. Air
Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dengan karbohidrat (akan mengembang), melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Air yang digunakan harus memenuhi persyaratan sebagai air minum, diantaranya tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa.
Jumlah air yang ditambahkan pada umumnya sekitar 28-38 %dari campuran bahan yang akan digunakan. Jika lebih dari 38%, adonan akan menjadi sangat lengket dan jika kurang dari 28%, adonan akan menjadi rapuh sehingga sulit dicetak.
Pencucian 1
Pengupasan kulit
Pengirisan
Pengayakan (100 mesh) Penggilingan
Tepung labu kuning Pengeringan
2. Garam dapur
Pada pembuatan mie, penambahan garam dapur untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.
3. T elur
Menurut Astawan (1999), secara umum penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang liat sehingga tidak mudah putus. Komposisi kimia telur dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi Kimia Telur
Komposisi Kimia Kadar (%) Protein (gr)
Sumber : Depkes RI (2003)
Telur merupakan bahan tambahan yang sangat penting dalam pembuatan mie, dimana penambahan kuning telur berfungsi untuk mengembangkan adonan dan akan memberikan warna seragam. Pada pembuatan mie telur digunakan untuk meningkatkan kadar protein pada mie. Hal ini dikarenakan putih telur yang menyebabkan kenyal dan kuning telur bisa memberi warna pada mie juga membuat mie berasa lebih gurih.
Wahyudi (2003), menyatakan bahwa protein putih telur dapat membentuk lapisan yang cukup kuat, dan albumin pada telur menyebabkan pengikatan air yang lebih baik. Sifat albumin berdasarkan kelarutannya adalah larut dalam air dan larutan garam.
4. Soda kue
elastisitas dan fleksibilitas mie, meningkatkan kehalusan tekstur, serta meningkatkan sifat kenyal.
5. Minyak goreng
Tujuan penggunaan lemak minyak dalam bahan makanan ada beberapa macam, diantaranya adalah untuk memperbaiki struktur fisik bahan makanan, meningkatkan gizi dan kalori serta untuk memberikan cita rasa yang gurih dari bahan pangan (Ketaren, 1986).
F. Sifat – Sifat Mie Kering 1) Daya Rehidrasi
Daya rehidrasi adalah daya serap air. Daya seap air pada terigu adalah banyaknya air yang masuk dalam adonan, semakin tinggi protein semakin tinggi pula daya serap airnya (De man, 1997)
Kapasitas rehidrasi merupakan kemampuan mengikat air melalui ikatan hidrogen yang dinyatakan sebagai rasio berat mie sebelum dan sesudah rehidrasi (Siwawej, 1990).
2) Tingkat pengembangan mie
Pengembangan granula pati disebabkan molekul - molekul air berpenetrasi masuk kedalam granula pati dan terperangkap dalam susunan amilosa dan amilopektinnya. Pada saat pengukusan, air terperangkap dalam 3 struktur dimensi penyusun gel (Imam, 2006). 3) Elastisitas
G. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembuatan mie
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap sifat mie yang dihasilkan, diantaranya adalah gelatinisasi pati dan kandungan gluten yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Gelatinisasi Pati
Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak - balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi pati dan akan menjadi tidak bolak - balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air.
Gambar 5. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)
2. Gluten
Gluten adalah protein dari tepung terigu yang terbentuk pada waktu protein - protein terigu yaitu glutenin dan gliadin yang dicampur dengan air. Air yang ditambahkan akan menyebabkan gliadin dan glutenin membentuk senyawa koloid yang disebut dengan gluten. Gluten menghasilkan sifat - sifat kenyal dan elastis melalui pengaturan selama proses pencampuran (Anonymus, 1998). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), gluten yang ada dalam adonan menyebabkan adonan tidak mudah pecah atau robek pada waktu di roll.
Menurut De Mann (1997), modifikasi kimia protein gluten memegang peranan penting, terutama reaksi yang mengakibatkan terputusnya atau terbentuknya ikatan SS dapat sangat mempengaruhi kelarutan dan sifat
Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)
Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak
Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula
SH SH
elastisitas seperti pemanjangan dan kekenyalan. Reduksi SS pereaksi yang mengandung gugus SH dapat dilihat pada Gambar 6.1.
Protein Protein RHS Protein
+ RHS + R – S – S – R
S S HS SSR SH SH
Gambar 6.1. Reduksi ikatan SS (De Mann, 1997)
Reduksi ikatan disulfida dalam gliadin dan glutenin mengakibatkan ikatan rantai peptida terbuka seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.2. Perubahan seperti ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap sifat reologi adonan.
Gambar 6.2. Reduksi Ikatan Disulfida dalam Gliadin dan Glutenin (Kurl dan Wall, 1969) dalam De Mann (1997)
H. Proses pembuatan mie kering
1. Persiapan bahan
Tahap awal pembuatan mie kering meliputi persiapan bahan - bahan seperti pengayakan tepung, penghalusan bahan tambahan dan menimbang bahan - bahan sesuai yang dikehendaki.
2. Pencampuran bahan
Bahan - bahan (tepung terigu, garam, air, telur dan soda kue) yang telah disiapkan dicampur semuanya secara perlahan – lahan sampai membentuk adonan yang homogen.
3. Pengadukan adonan
Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni, pengulenan dilakukan secara berulang – ulang selama 15 menit.
4. Pembentukan lembaran
Adonan yang sudah kalis dibagi menjadi dua bagian dengan menggunakan pisau. Bagian yang pertama dimasukkan ke dalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya dan diulang empat kali sampai ketebalan mie mancapai 1,5 mm, demikian halnya dengan lembaran kedua.
5. Pencetakan mie
Proses pencetakan mie umumnya dengan alat pencetak mie (roll press) yang digerakkan secara manual. Alat ini mempunyai dua roll, roll I berfungsi untuk menipiskan lembaran dan roll II berfungsi untuk mencetak mie.
6. Pengukusan
Mie dipanaskan dengan cara pengukusan, proses pengukusan dilakukan selama 10 menit dengan suhu 100⁰ C.
7. Pengeringan
Mie yang telah dicetak selanjutnya dimasukkan ke dalam kabinet dryer, untuk mengeringkan mie secara sempurna (kadar air 11 - 12%), menjadikan produk kering dan renyah serta terbentuk lapisan protein. Suhu yang digunakan untuk proses adalah 70⁰ C selama 1 jam.
8. Pengemasan
Tahap akhir dari proses mie adalah pengemasan. Proses pembuatan mie kering dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan mie kering (Astawan, 1994)
I. Analisa Keputusan
Keputusan ialah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusn adalah proses yang mencakp semua pikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagin, 1987).
Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu proses prosedur logis yang kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai pengambilan keputusan, tetapi juga suatu cara unutk membuat keputusan (Mangkusubroto dan Listriani, 1987).
Analisa keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakuakn dengan mengadakn aspek antara kualitas, kuantitas dan aspek finansial dari produk yang dihasilkan dari tiap kombinasi perlakuan , kemudian ditentukan alternatif yang terbaik.
Bahan Baku
- Garam - Air - Telur Pencampuran
Pengadukan hingga adonan homogen
Pembuatan lembaran dengan tebal 1,5 mm
Pencetakan
Pengukusan 100-105⁰ C, 5 menit
Pengeringan
J. Analisa Finansial
Analisis finansial adalah analisis yang melihat proyek dari sudut lembaga atau menginvestasikan modalnya kedalam proyek (Pujosumarto, 1984).
Analisis kelayakan adalah analisis yang ditujukan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proyek tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak (Tiomar, 1994).
Benefit atau laba yang diperoleh perusahaan sering dipakai untuk menilai atau sukses tidaknya manajemen perusahaan, sedangkan besarnya laba tersebut terutama dipengaruhi oleh biaya produksi, harga jual produk dan volume penjualan (Muljadi, 1986).
Dalam rangka mencari suatu ukuran menyeluruh tentang layak tidaknya suatu proyek yang dikembangkan, maka digunakan beberapa kriteria yang digunakan dapat dipertanggung jawabkan penggunaannya adalah :
1. Break Event Point (BEP) 2. Net Present Value (NPV)
3. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) 4. Payback Period
5. Internal Rate of Return (IRR)
1. Break Even Point (BEP)
BEP adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai/hasil penjualan atau laba. Jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mengalami kerugian (Susanto dan Saneto, 1994).
Rumus untuk mencari titik impas adalah sebagai berikut:
a. Biaya Titik Impas
Biaya Tetap BEP =
b. Presentase
Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas. Rumus kapasitas titik impas adalah sebagai berikut:
Kapasitas Titik Impas = Persen Titik Impas x Jumlah Produksi
2. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan sekarang dengan niali biaya sekarang. Bila dalam analisia diperoleh nilai NPV lebih besar dari 0 (nol), berarti nilai proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam perhitungan diperoleh nilai NPV lebih kecil dari 0 (nol), maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Rumus NPV adalah :
NPV =
Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t
Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t t = 1, 2, 3,………n
n = Umur ekonomi dari pada proyek. i = Sosial discount rate (Muljadi, 1986)
3. Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio)
Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan sekarang (present value). (Muljadi, 1986)
Nilai B/C Ratio =
Produksi
Biaya
4. Payback Period
Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa prosentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback period tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis. Rumus penentuannya adalah sebagai berikut:
Ab = Penerimaan bersih perbulan
5. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return merupakan tingkat bunga yang menunjukkan persamaan antara interval penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.
IRR = 1 +
NPV' = NPV positif hasil percobaan nilai NPV" = NPV negatif hasil percobaan nilai; i = Tingkat bunga
(Tiomar, 1994).
K. Landasan teori
Mie kering dibuat dari adonan terigu atau tepung beras atau tepung lainnya sebagai bahan utama dengan atau tanpa penambahan bahan lainnya, dapat diberi perlakuan dengan bahan alkali.
Gluten merupakan protein dalam tepung terigu yang dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya (Koswara, 2005). Glutenin merupakan fraksi protein yang memberikan kepadatan dan kekuatan pada adonan untuk menahan gas pada pengembangan adonan serta berperan dalam pembuatan struktur adonan, sedangkan gliadin adalah fraksi protein yang memberikan sifat lembut dan elastis (Anni, 2008). Glutenin dan gliadin dapat saling berinteraksi membentuk gluten saat dilakukan pencampuran dengan air. (Anonymus, 2010).
Hal-hal yang berpengaruh terhadap tektsur mie adalah protein dan pati. Pada pembentukan mie dapat terjadi gelatinisasi pati, pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula - granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi asalkan pasta pati tersebut dalam keadaan panas. Jika pasta tersebut kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul - molekul amilosa berikatan kembali dengan cabang amilopektin sehingga menggabungkan butir pati yang membengkak dan membentuk semacam jaring - jaring sehingga terbentuk mikrokristal dan mengendap. Tahap pertama pada fenomena gelatinisasi ialah dimana permukaan mie akan mengalami pembasahan. Pada tahap pertama ini pori - pori mie akan terbuka sehingga mempermudah proses gelatinisasi pati. Tahap kedua mie akan mengalami proses gelatinisasi. Granula pati dibuat membengkak luar biasa sehingga bersifat tidak bisa kembali seperti semula. Air yang berada di dalam bahan pangan tersebut terserap oleh granula pati sehingga membengkak. Tahap ketiga merupakan tahap penguapan air pada permukaan mie dan mulai membentuk lapisan film tipis sehingga mie menjadi halus dan kering (Winarno, 2002).
partikel gluten berikatan dengan membran tipis yang melekat pada granula pati dan komponen tepung lainnya. Sifat - sifat adonan dan struktur gluten optimal terbentuk karena akibat adanya banyak ikatan - ikatan sekunder dan interaksi. Hidrasi protein gluten menyebabkan terbentuknya benang-benang yang dengan gliadin membentuk lapisan tipis (film) dan glutenin membentuk untaian (Suhardi, 1988). Menurut Koswara (2005), setelah pembentukan mie dilakukan proses pengukusan karena pada proses ini terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.
Penambahan telur pada mie bertujuan untuk menambah daya liat mie, mengembangkan adonan dan mempercepat hidrasi air. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan (2001), bahwa penambahan telur pada pembuatan mie basah adalah untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah putus. Pada penggunaannya didasarkan pada penggunaan tiga sifat fungsional protein telur : koagulasi termal, kemampuan berbusa, dan sifat pengemulsi ditambah warna dan aroma (Pomeranz, 1998).
Wahyudi (2003), menyatakan bahwa pada protein putih telur dapat membentuk lapisan yang cukup kuat dan albumin pada telur menyebabkan pengikatan air yang lebih baik, hal ini dikarenakan putih telur yang menyebabkan kenyal, dan kuning telur bisa memberi warna pada mie juga membuat mie terasa lebih gurih.
Menurut penelitian Anggraini (2009) penambahan telur 20% memberikan hasil yang terbaik pada produk mie yang dibuat dari tepung singkong asam dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung singkong asam (70 : 30).
L. Hipotesis
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium Analisa Pangan dan Laboratorium Uji Inderawi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur pada bulan September - Desember 2011.
B. Bahan
Bahan baku yang akan digunakan untuk pembuatan mie kering adalah tepung terigu, gembili dan labu kuning yang diperoleh dari pasar Sepanjang Surabaya. Bahan yang digunakan untuk analisa meliputi aquades, alkohol, HCl, NaOH, indikator PP, larutan fehling, indikator metil blue, H2SO4.
C. Alat Analisa
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah oven, cabinet dryer, roll press, alat pencetak mie, timbangan analitik, deksikator, labu kjeldahl, pisau stainless, baskom plastik, alat pengukus, pengaduk, penggilingan, blender, botol timbang, erlenmeyer, gelas beker, pipet tetes, gelas ukur.
D. Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancang Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor masing - masing terdiri dari 3 level dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA, bila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji DMRT (Gasperz, 1991).
1. Variabel berubah terdiri dari 2 faktor yaitu : Faktor I : Proporsi tepung terigu : tepung gembili :
Faktor II : Penambahan telur (% berat) : • B1 = telur 15 %
• B2 = telur 20 % • B3 = telur 25%
Sehingga dari kedua faktor diatas diperoleh 9 kombinasi perlakuan sebagai berikut :
Proporsi tepung terigu: tepung gembili
telur (%)
B1 B2 B3
A1 A1B1 A1B2 A1B3 A2 A2B1 A2B2 A2B3 A3 A3B1 A3B2 A3B3
Keterangan :
A1B1 = Proporsi t.terigu : t.gembili (80:20) dan penambahan telur 15% A1B2 = Proporsi t.terigu : t.gembili (70:30) dan penambahan telur 20% A1B3 = Proporsi t.terigu : t.gembili (60:40) dan penambahan telur 25% A2B1 = Proporsi t.terigu : t.gembili (80:20) dan penambahan telur 15% A2B2 = Proporsi t.terigu : t.gembili (70:30) dan penambahan telur 20% A2B3 = Proporsi t.terigu : t.gembili (60:40) dan penambahan telur 25% A3B1 = Proporsi t.terigu : t.gembili (80:20) dan penambahan telur 15% A3B2 = Proporsi t.terigu : t.gembili (70:30) dan penambahan telur 20% A3B3 = Proporsi t.terigu : t.gembili (60:40) dan penambahan telur 25%
Menurut Vincent (1999), perhitungan statistika dengan rumus sebagai berikut:
Dimana:
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j dari faktor II)
µ = Nilai tengah populasi (rata – rata yang sesungguhnya)
Αi = Pengaruh aditif ke-i dari faktor I Βj = Pengaruh aditif ke-j dari faktor II
(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i dari faktor I dan taraf ke-j dari faktor II Ε = Pengaruh kesalahan (galat dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi dari perlakuan ij)
2. Variabel tetap :
1. Tepung Labu Kuning 20 gram
2. Berat tepung terigu dan tepung gembili 100 gram 3. Total berat seluruh tepung 120 gram
4. Berat soda kue 1 gr 5. Berat garam 2 gr 6. Volume air 50 ml
7. Waktu pencampuran selama 15 menit
8. Suhu dan waktu pengukusan 100⁰ C selama 5 menit 9. Pengeringan suhu 70⁰ C selama 1 jam
Data yang diperoleh dianalisia dengan analisis ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan perlakuan. Apabila terdapat perbedaan dari perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Duncant (DMRT) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan.
E.Parameter Yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini yaitu : 1) Pada tepung gembili
1. Kadar air Metode Pengeringan (Sudarmadji,1997) 2. Kadar pati (Sudarmadji, 1984)
2) Pada tepung labu kuning
1. Kadar air Metode Pengeringan (Sudarmadji,1997) 2. Kadar pati (Sudarmadji, 1984)
3. β – karoten (Apriyantono, 1989) 3) Pada produk mie kering
3. Kadar Protein (Sudarmadji dkk, 1984)
4. Daya Rehidrasi (Muchtadi dan Sugiono, 1992) 5. Uji Elastisitas Mie (Marthen, 1997)
6. Uji organoleptik (Scale Scoring) meliputi : warna, tekstur, rasa 7. β - karoten (perlakuan terbaik) (Apriyantono, 1989)
8. Aktifitas Antioksidan
F. PROSEDUR PENELITIAN a. Pembuatan tepung gembili
1. Gembili dipilih yang bagus, dikupas dan dicuci sampai bersih
2. Gembili diiris tipis – tipis kemudian dikeringkan dengan dryer pada suhu 70⁰ C selama 4 jam
3. Gembili yang sudah kering digiling dengan blender dan diayak dengan ayakan 100 mesh
4. Tepung gembili disimpan dan sebagian dianalisis meliputi : rendemen, kadar air dan kadar pati.
Gembili
Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan tepung gembili Pencucian 1
Pengupasan kulit
Pengirisan
Pengayakan (100 mesh) Penggilingan (blender)
Tepung gembili Pengeringan
(Dryer dengan suhu 70⁰ C, 4 jam) (Sinar Matahari selama 1 hari)
Pencucian 2
Analisa : - Kadar Pati - Kadar Air - β-karoten
b. Pembuatan tepung labu kuning
1. Labu kuning dipilih yang bagus, dikupas dan dicuci sampai bersih 2. Labu kuning diiris tipis – tipis kemudian dikeringkan dengan dryer
pada suhu 70⁰ C selama 48 jam
3. Labu kuning yang sudah kering digiling dengan blender dan diayak dengan ayakan 100 mesh
4. Tepung labu kuning disimpan dan sebagian dianalisis meliputi : rendemen, kadar air, kadar pati, β-karoten
Labu Kuning
Gambar 9. Diagram alir proses pembuatan tepung labu kuning Pencucian 1
Pengupasan kulit
Pengirisan
Pengayakan (100 mesh) Penggilingan
Tepung labu kuning Pengeringan
c. Pembuatan mie kering
1. Proporsi tepung terigu : tepung gembili (80 : 20 ; 70 : 30 ; 60 : 40), telur (20%, 25%, 30%) dan bahan-bahan lain (garam dapur, tepung labu kuning 20% dan soda kue) dicampur dan diuleni dengan penambahan air sedikit demi sedikit sampai kalis.
2. Adonan dimasukkan ke dalam cetakan mie untuk dibuat lembaran. 3. Lembaran adonan tersebut selanjutnya dimasukkan lagi ke dalam
mesin pencetak untuk membuat mie. Pada tahap ini dilakukan pelumuran minyak yang bertujuan untuk memperkecil tingkat kelengketan antar jalinan mie yang dihasilkan.
4. Mie dikukus pada suhu 100⁰ C selama 5 menit kemudian dilakukan penirisan.
5. Mie selanjutnya dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam kabinet dryer selama 1 jam pada suhu 70⁰ C
Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan mie kering Pencampuran 2
Pengadukan hingga adonan homogen
Pengeringan (T=70°C ; t = 1jam) Pembuatan lembaran
Pencetakan
Pengukusan (T=100⁰ C : t =10 menit) Proporsi Tepung Terigu : Tepung
A. Analisa Bahan Awal
Pada awal penelitian dilakukan analisa bahan awal tepung terigu, tepung gembili
dan tepung labu kuning yang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisa tepung terigu, tepung gembili dan tepung labu
kuning per 100 gr bahan
Komponen
Tepung Terigu
Tepung Gembili
Tepung Labu Kuning
Kadar Pati (%) 57,09 66,32 29,38
Kadar Air (%) 8,73 8,1 13,69
Kadar Beta Karoten (μ g/g) - - 305,005
Hasil analisa bahan awal menunjukkan bahwa tepung terigu mengandung kadar
pati sebesar 57,09% dan kadar air sebesar 8,73%. Menurut Kent (1967), kadar pati
tepung terigu sebesar 65% dan kadar air sebesar 13%. Hasil analisa pada tepung
gembili, menunjukkan kadar pati sebesar 66,32% dan kadar air 8,1%. Menurut penelitian
Richana (2004), tepung gembili mempunyai kadar pati sebesar 51,34% dan kadar air
sebesar 6,44%, sedangkan hasil analisa pada tepung labu kuning, menunjukkan kadar
pati sebesar 29,38%, kadar air 13,69%, dan kadar beta karoten sebesar 305,005 μ g/g.
Menurut Budiman (1984), labu kuning mengandung kadar pati sebesar 31,92%, tepung
labu kuning mengandung kadar air sebesar 12,01% dan beta-karoten sebesar 222,81
μ g/g. Hasil perbedaan analisa seperti pada kadar air dan kadar pati, disebabkan karena
1. Kadar Pati
Hasil analisis ragam (Lampiran 3), menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi
yang nyata (p≤0,05) antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur terhadap kadar pati mie kering. Perlakuan proporsi tepung terigu :
tepung gembili berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar pati produk mie kering,
sedangkan penambahan telur tidak berpengaruh nyata. Rerata kadar pati mie kering
dengan proporsi tepung terigu dengan tepung gembili dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili terhadap kadar pati mie kering
Pada Tabel 8 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya proporsi
tepung gembili maka kadar pati mie kering semakin meningkat. Hal ini disebabkan
karena kandungan pati tepung gembili relatif tinggi yaitu sebesar 66,32%, sehingga
dalam pembuatan mie kering secara langsung akan menaikkan kadar patinya.
Menurut penelitian Bekti (2006), semakin meningkatnya penggunaan tepung
gembili pada substitusi adonan mie maka kadar pati, lemak, abu dan serat akan
semakin meningkat.
Tabel 9. Pengaruh penambahan telur terhadap kadar pati mie kering.
Perlakuan Penambahan Telur
(% v/b)
Rata-rata
Kadar Pati (%) Notasi
DMRT 5%
15 58.5446 tn -
20 58.8906 tn 0.7181
25 59.0213 tn 0.7544
Penambahan telur pada masing - masing tingkat proporsi tepung gembili
menunjukkan bahwa tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan karena telur
merupakan bahan pangan hewani yang tidak mengandung pati.
T.Terigu : T.Gembili Rata-rata
Kadar Pati (%) Notasi
DMRT 5%
(80 : 20) 57.5949 a -
(70 : 30) 58.7749 b 0.7181
paling sedikit adalah lemak. Sedangkan pada kuning telur, porsi terbanyak adalah
lemak, dan bagian yang paling sedikit adalah arang. Dengan kata lain, putih telur
merupakan sumber protein, sedangkan kuning telurnya merupakan sumber lemak.
Pada kuning telur juga dikemukakan vitamin A dalam jumlah yang banyak.
(Soewedo, 1983).
2. Kadar Air
Hasil anilisis ragam (Lampiran 4), menunjukkan adanya interaksi yang nyata (p ≤
0,05) antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur,
masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap kadar air mie kering.
Rerata kadar air mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur dapat dilihat pada Tabel 10. Pengaruh proporsi tepung terigu : tepung
gembili dan penambahan telur terhadap kadar air mie kering, ditunjukkan pada Gambar
11.
Tabel 10. Nilai rata-rata kadar air mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu :
tepung gembili dan penambahan telur.
Perlakuan
Kadar Air
(%) Notasi
DMRT 5 %
T.Terigu : T.Gembili Penambahan Telur
(% v/b)
(80 : 20) gr 15 8.4896 a -
20 8.5375 ab 0.1876
25 8.5815 ab 0.1971
(70 : 30) gr 15 8.7334 b 0.2027
20 8.7966 bc 0.2065
25 8.9639 c 0.2097
(60 : 40) gr 15 9.0867 c 0.2122
20 9.4121 d 0.2135
25 9.7151 e 0.2147
Keterangan : nilai rata-rata yang didampingi dengan huruf berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Pada Tabel 10, menunjukkan bahwa rata-rata kadar air mie kering berkisar antara
8.4896% - 9.7151%. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili (60:40) dan
telur (15% v/b) memberikan hasil kadar air mie kering terendah (8.4896%).
Gambar 11. Pengaruh antara proporsi tepung terigu : tepung gembili
dan penambahan telur terhadap kadar air mie kering.
Pada Gambar 11, menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi tepung gembili
dan penambahan telur dapat meningkatkan kadar air mie kering, sebaliknya semakin
rendah penambahan proporsi tepung gembili dan penambahan telur dapat menurunkan
kadar air mie kering. Hal ini disebabkan karena tepung gembili mengandung komponen
penyusun terbesar yaitu pati, yang bersifat hidrofilik sehingga dapat mengikat air bebas
dalam jumlah yang besar, demikian pula semakin tinggi penambahan telur akan
meningkatkan kadar air mie kering, karena telur juga memiliki kandungan air yang tinggi.
Selain itu telur juga mengandung protein yang bersifat dapat mengikat air sehingga dapat
menyebabkan kadar air meningkat. Menurut Rahayu (2003), telur mempunyai kandungan
kadar air sebesar 71,98%.
Menurut Haryadi (1993), gelatinisasi pati merupakan peristiwa terbentuknya gel
dengan terjadinya hidrasi pati, yaitu penyerapan molekul air oleh
molekul-molekul pati. Campuran granula pati dengan air dingin menunjukkan peristiwa hidrasi
yang diperkirakan mencapai 25 - 30 persen air terserap. Pati yang cukup tinggi terutama
cepat dan menyerap air dalam jumlah yang besar (Haryadi, 1993).
3. Kadar Protein
Hasil analisis ragam (Lampiran 5), menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi
yang nyata (p≤0,05) antara proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur
terhadap kadar protein mie kering. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur masing-masing berpengaruh nyata terhadap kadar protein (p ≤ 0,05).
Rerata kadar protein mie kering dengan perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili
dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili terhadap kadar protein mie kering
Tabel 11 menunjukkan bahwa semakin besar proporsi tepung terigu, maka nilai
rata-rata kadar protein semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena tepung gembili
mempunyai kadar protein yang lebih kecil dibandingkan dengan kadar protein tepung
terigu (12,83%). Meningkatnya proporsi tepung terigu akan meningkatkan kadar protein
mie kering dan sebaliknya, berkurangnya proporsi tepung terigu dan proporsi tepung
gembili yang semakin besar, maka akan menyebabkan kadar protein pada mie kering
menjadi menurun. Analisa bahan baku menunjukkan kadar protein tepung gembili adalah
6,65%. Menurut Richana (2004), kadar protein pada tepung gembili adalah 6,11%.
Tabel 12. Pengaruh penambahan telur terhadap kadar protein mie kering.
Perlakuan Penambahan Telur
(% v/b)
Rata-rata
Kadar Protein (%) Notasi
DMRT 5%
15 10.6781 A -
20 10.9283 a 0.4968
25 11.5373 b 0.5219
T.Terigu : T.Gembili Rata-rata
Kadar Protein (%) Notasi
DMRT 5%
(80 : 20) 11.3337 B 0.5219
(70 : 30) 10.8352 B 0.4968
Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan telur yang semakin besar,
maka kadar protein dalam mie kering semakin meningkat. Sebaliknya, semakin kecil
penambahan telur, maka kadar protein mie kering semakin menurun. Hal ini disebabkan,
karena kandungan kadar protein pada telur cukup tinggi. Hal ini didukung oleh Anonymus
(2003), telur mempunyai kadungan kadar protein sebesar 12,8%.
4. Elastisitas
Hasil analisis ragam (Lampiran 6), menunjukkan adanya interaksi yang nyata
(p≤0,05) antara perlakuan proporsi tepung terigu : gembili dan penambahan telur, serta
masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p≤0,05) terhadap elastisitas mie. Rerata
nilai elastisitas mie kering dengan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur dapat dilihat pada Tabel 13. Pengaruh proporsi tepung terigu : tepung
gembili dan penambahan telur terhadap elastisitas mie, ditunjukkan pada Gambar 12.
Tabel 13. Nilai rata-rata uji elastisitas mie kering dengan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur
Keterangan : nilai rata-rata yang didampingi dengan huruf berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05)
Pada Tabel 13, menunjukkan bahwa rata-rata uji elastisitas mie kering berkisar
antara 15.2878% - 34.1065%. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili (80:20)
dan penambahan telur (25%) memberikan hasil uji elastisitas mie tertinggi (34.1065%),
(15.2878%).
Gambar 12. Pengaruh antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur terhadap elastisitas mie kering.
Pada Gambar 12, menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan telur dan
semakin besar proporsi tepung terigu, maka elastisitas mie akan semakin meningkat dan
sebaliknya, semakin rendah penambahan telur dan semakin rendah proporsi tepung
terigu, maka elastisitas mie akan semakin menurun. Hal ini di sebabkan semakin
berkurangnya penambahan tepung terigu akan menyebabkan kandungan protein di
dalam mie semakin turun dan semakin sedikit penambahan telur maka Binding Agent
pada telur akan semakin menurun, sehingga mempengaruhi elastisitas dari mie.
Adanya pengurangan tepung terigu pada pembuatan mie kering maka secara
langsung dapat mengurangi kandungan gluten yang terdapat pada tepung terigu karena
pembentukan gluten terjadi pada saat proses pengadonan yang akan terbentuk sifat
kohesif gluten yang berikatan dengan molekul air, sehingga akan menurunkan daya
elastisitas pada mie kering, begitu pula dengan meningkatnya penambahan telur
tekstur dari mie kering.
Fungsi telur pada mie kering dengan adanya substitusi tepung lain adalah
sebagai bahan pengikat molekul pati atau stabilizer yang berfungsi sebagai pengikat
molekul pati yang terdapat pada tepung terigu dengan tepung gembili sehingga dapat
membantu pembentukan tekstur dari mie yang dihasilkan.
Menurut De Man (1997), bahan yang memegang peranan penting dalam
pembuatan mie adalah gluten yang terdapat pada tepung terigu. Gluten merupakan
komponen yang bersifat elastis, kokoh dan mudah direntangkan, sehingga memegang
peranan penting dalam pengolahan dan pembentukan sifat – sifat yang khas pada mie.
Keistimewaan terigu adalah kemampuannya membentuk gluten pada saat terigu dibasahi
dengan air.
Menurut Susrini (1989), penambahan telur yang semakin tinggi akan
menimbulkan peningkatan elastisitas dari mie, hal ini disebabkan telur mempunyai sifat
yang dapat mengikat bahan – bahan lain (Binding Agent) sehingga tidak mudah putus.
5. Daya Rehidrasi
Hasil analisis ragam pada (Lampiran 7), menunjukkan adanya interaksi yang
nyata (p ≤ 0,05) antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur, serta masing-masing perlakuan berpengaruh nyata (p ≤ 0,05)
terhadap daya rehidrasi mie kering. Rerata nilai daya rehidrasi mie kering dengan
proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur dapat dilihat pada Tabel
14. Pengaruh perlakuan proporsi tepung terigu : gembili dan penambahan telur dapat
dilihat pada Gambar 13.
Pada Tabel 14, menunjukkan bahwa rata-rata nilai daya rehidrasi mie kering
berkisar antara 50.3733% - 56.0547%. Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili
(60:40) dan penambahan telur (25%) memberikan nilai daya rehidrasi pada mie kering
tertinggi (56.0547%), sedangkan proporsi tepung terigu : tepung gembili (80:20) dan
penambahan telur (15%) memberikan hasil nilai daya rehidrasi pada mie kering terendah
terigu dengan tepung gembili dan penambahan telur.
Keterangan : nilai rata-rata yang didampingi dengan huruf berbeda menyatakan perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05).
Gambar 13 menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi tepung gembili dan
semakin tinggi penambahan telur maka dapat meningkatkan daya rehidrasi pada mie
kering yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin rendah proporsi tepung gembili dan
penambahan telur maka dapat menurunkan daya rehidrasi pada mie kering yang
dihasilkan. Kadar pati mie kering semakin tinggi dengan penambahan proporsi tepung
gembili yang semakin banyak dikarenakan pati yang terdapat pada tepung gembili
jumlahnya besar, dan pati bersifat dapat menyerap air. Pada pembuatan adonan dengan
adanya penambahan telur, menyebabkan adanya udara yang terperangkap di dalam
adonan pada saat proses pengulenan, dan pada saat proses pengeringan, udara yang
ada pada adonan akan menguap dan menyebabkan adanya ruang kosong di dalam
adonan, sehingga pada saat proses rehidrasi adonan manyebabkan air dari luar cepat
diserap kembali dikarenakan air tersebut menempati ruang kosong di dalam adonan,
sehingga dengan proporsi tepung gembili dan penambahan telur yang semakin banyak
menyebabkan daya rehidrasinya menjadi lebih tinggi. Selain itu kuning telur mengandung
protein dan merupakan emulsifier yang dapat mengikat air, oleh sebab itu daya rehidrasi
Gambar 13. Pengaruh antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur terhadap daya rehidrasi mie kering.
Pati mempunyai sifat mengikat air, dimana semakin tinggi tepung gembili yang
ditambahkan maka daya serap air semakin bertambah (Winangun, 2007). Kandungan
pati yang cukup tinggi pada tepung gembili dapat memberikan pengaruh yang besar
terhadap peningkatan daya rehidrasi pada mie kering.
Menurut Charley (1998), pati yang telah mengalami gelatinisasi dapat
dikeringkan, tetapi sifat – sifat molekulnya tidak dapat kembali ke kondisi semula. Bahan
yang kering tersebut masih dapat menyerap air dalam jumlah besar (rehidrasi).
6. Aktivitas Antioksidan
Hasil analisis ragam (Lampiran 8), menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi
yang nyata (p≤0,05) antara perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan
penambahan telur terhadap aktivitas antioksidan mie kering. Perlakuan proporsi tepung
terigu : tepung gembili berpengaruh nyata (p ≤ 0,05) terhadap aktivitas antioksidan
produk mie kering, sedangkan penambahan telur tidak berpengaruh nyata. Rerata
aktivitas antioksidan mie kering dengan proporsi tepung terigu : tepung gembili dapat
antioksidan mie kering
Pada Tabel 15 menunjukkan bahwa dengan semakin meningkatnya proporsi
tepung gembili maka aktivitas antioksidan mie kering semakin meningkat.
Peningkatan aktivitas antioksidan disebabkan karena adanya komponen antioksidan pada gembili. Sebuah studi tahun 2006, menunjukkan bahwa tanaman akar yang dikonsumsi di Filipina (Ipomoea batata, ubi, dioscorea, singkong, talas, wortel) merupakan sumber yang kaya akan senyawa fenolik (Anonymus, 2006). Menurut Nasir (2009), kandungan senyawa fenol pada dioscorea adalah sebesar 33,9 mg dalam 100 gram.
Tabel 16. Pengaruh penambahan telur terhadap aktivitas antioksidan mie kering.
Perlakuan
menunjukkan bahwa tidak berpengaruh nyata. Hal ini bisa disebabkan karena telur
yang digunakan pada penambahan pembuatan mie kering perbedaan level
perlakuan penambahannya hanya sedikit.
Zat makan pada putih telur yang terbanyak adalah protein albumin, dan
paling sedikit adalah lemak, sedangkan pada kuning telur, porsi terbanyak adalah
lemak, dan bagian yang paling sedikit adalah arang. Putih telur merupakan sumber
protein, sedangkan kuning telurnya merupakan sumber lemak. Pada kuning telur
Kualitas bahan pangan dapat diketahui dengan tiga cara yaitu kimiawi, fisik dan
sensorik. Diterima tidaknya produk pangan oleh konsumen banyak ditentukan oleh faktor
mutu terutama mutu organoleptik.
Sifat organoleptik adalah sifat bahan yang dimulai dengan menggunakan indera manusia
yaitu indera penglihatan, pembau dan perasa. Sifat organoleptik mie kering yang diuji
meliputi tekstur, warna dan rasa. Penelitian mie kering yang dihasilkan diujikan secara
organoleptik meliputi:
1. Rasa
Rasa merupakan parameter yang sangat menentukan kualitas dari bahan
makanan, namun setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap rasa dari
suatu bahan makanan. Menurut Winarno (1992), rasa yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya konsentrasi dan interaksi dengan komponen lain.
Hasil analisis Friedman (Lampiran 9), menunjukkan bahwa perlakuan proporsi
tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur terhadap kesukaan rasa mie kering
terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05). Rerata tingkat kesukaan panelis terhadap mie
kering dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Nilai rata-rata kesukaan rasa pada produk mie kering.
Perlakuan Jumlah Ket: Semakin besar nilai semakin disukai
Dari Tabel 17, menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa mie
kering didapat hasil rata-rata kesukaan 3,00 – 4,18 masuk dalam skala (agak suka –
tepung terigu : gembili (60 : 40) dan penambahan telur 15% dengan tingkat kesukaan
terendah. Hal ini disebabkan karena proporsi tepung gembili yang terlalu tinggi dapat
menimbulkan rasa gembili pada mie kering yang terlalu menonjol dan kurang disukai oleh
panelis. Semakin tinggi penambahan telur maka tingkat kesukaan panelis cenderung
meningkat. Hal ini disebabkan karena rasa gurih yang terdapat dari protein telur semakin
menonjol, sehingga disukai oleh panelis.
Mie dengan tekstur yang tidak terlalu kenyal, jalinan mienya bagus dan tidak
lengket lebih disukai oleh konsumen (Whistler et al, 1984). Mie yang rapuh atau mudah
patah, mempunyai rasa tepung saat dikonsumsi karena belum sempurnanya proses
gelatinisasi pati.
2. Warna
Produk pangan yang memiliki warna yang menarik akan berpeluang besar untuk
dibeli konsumen. Pengaruh warna terhadap penerimaan konsumen merupakan salah
satu pelengkap kualitas yang penting sehingga dapat mengisyaratkan produk yang
berkualitas (Kartika, 1988). Berdasarkan uji friedman (Lampiran 10), menujukkan bahwa
perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur terhadap
kesukaan warna mie kering terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05). Rerata tingkat
kesukaan panelis dapat dilihat pada Tabel 18.
Pada Tabel 18. menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap warna
mie kering didapatkan hasil rata-rata kesukaan 1,85 – 4,75 masuk dalam kategori (tidak
suka – sangat suka). Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili (70 : 30) dan
penambahan telur 25% dengan tingkat kesukaan tertinggi, sedangkan perlakuan proporsi
tepung terigu : tepung gembili (60 : 40) dan penambahan telur 15% dengan tingkat
kesukaan terendah. Hal ini dikarenakan pada penambahan tepung gembili yang semakin
tinggi dan penambahan telur yang rendah menyebabkan warna mie kurang disukai oleh
panelis pada tingkat proporsi tepung terigu : tepung gembili (60:40) dengan penambahan
Tabel 18. Nilai rata-rata kesukaan warna pada produk mie kering. Ket: Semakin besar nilai semakin disukai
Pada proporsi tepung gembili yang semakin tinggi warna yang dihasilkan kurang
disukai oleh konsumen karena warnanya kurang menarik yaitu kuning pucat, hal ini
dikarenakan pada tepung gembili mempunyai kandungan pati yang cukup besar yaitu
66,32%. Semakin tinggi tepung gembili yang ditambahkan maka semakin pucat mie yang
dihasilkan sehingga perlu ditambahkan telur.
Penambahan jumlah telur dapat mempengaruhi warna mie kering yang
dihasilkan, hal ini dikarenakan telur mempunyai sifat yang hanya dimiliki oleh kuning
telur, yaitu pigmen kuning xantofil, lutein dan beta karoten dan kriptoxantin. Sehingga
dapat mempengaruhi warna mie kering yang dihasilkan yaitu warna mie kering
kekuning-kuningan dan disukai oleh konsumen.
3. Tekstur
Berdasarkan uji friedman (Lampiran 11), menunjukkan bahwa perlakuan proporsi
tepung terigu : tepung gembili dan penambahan telur terhadap kesukaan tekstur mie
kering terdapat perbedaan yang nyata (p ≤ 0,05). Rerata tingkat kesukaan panelis dilihat
Perlakuan Jumlah Ket: Semakin besar nilai semakin disukai
Pada Tabel 19. menunjukkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur mie
kering didapatkan hasil rata - rata kesukaan 1,45 - 4,30 masuk dalam skala (tidak suka –
sangat suka). Perlakuan proporsi tepung terigu : tepung gembili (70 : 30) dan
penambahan jumlah telur 20% dengan tingkat kesukaan tertinggi, sedangkan perlakuan
proporsi tepung terigu : tepung gembili (60 : 40) dan penambahan telur 15% dengan
tingkat kesukaan terendah. Dimana tekstur mie yang dihasilkan, agak tidak disukai oleh
panelis. Hal ini disebabkan tepung gembili mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi
yaitu sebesar 66,32%.
Semakin tinggi proporsi tepung gembili berarti meningkatkan kandungan pati dan
menurunkan kandungan gluten yang menyebabkan tekstur mie kering menjadi tidak
kenyal sehingga dapat mengurangi elastisitas dari mie.
Menurut Haryanto & Pangloli (1992), menyatakan gluten yang ada dalam adonan
tidak mudah pecah atau robek pada waktu dipipihkan. Sifat – sifat inilah yang
meningkatkan tekstur mie yang dihasilkan.
Demikian pula pada penambahan telur dapat mempengruhi tekstur mie yang
dihasilkan, dimana telur jika dipanaskan akan terkoagulasi, sehingga produk mie kering
mempunyai daya elastisitas yang cukup baik yaitu tekstur mie yang dihasilkan menjadi
lebih kenyal dan disukai oleh konsumen.
Hal ini didukung oleh Winarno (1992), yang menyatakan putih telur merupakan
protein globuler yang mempunyai sifat antara lain mudah terkoagulasi. Dengan sifat