• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS."

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU

PADA TEMA LEMARI PENDINGIN

BERBASIS LITERASI SAINS

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi IPA

Oleh

EFIK FIRMANSAH

1204737

(2)

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH

PEMBIMBING:

Pembimbing I

Dr. Ida Hamidah, M.Si 196809261993032002

Pembimbing II

Dr. Dadi Rusdiana, M.Si 196810151994031002

Mengetahui

Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan IPA

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPATERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS” beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku di masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut saya siap menanggung resiko yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudidan hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini.

Bandung

Yang membuat pernyataan

(4)
(5)

Halaman

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Manfaat Penelitian ... 8

D. Definisi Operasional ... 9

BAB II REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS A. Bahan Ajar IPA Terpadu ... 10

1. IPA Terpadu ... 11

2. Rekonstruksi Bahan Ajar ... 14

B. Literasi Sains ... 16

1. Bagaimana Suhu Dingin Mengawetkan Makanan dan Terjadinya Pendinginan ... 23

2. Cara Kerja dan Bagian-Bagian Lemari Pendingin ... 26

3. Masalah Yang Ditimbulkan Lemari Pendingin Terhadap Atmosfer ... 30

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 35

1. Model Pengembangan ... 35

2. Prosedur Pengembangan ... 37

(6)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

B. Alur Penelitian ... 40

C. Instrumen Penelitian ... 42

D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43

1. Data Untuk Studi Pendahuluan ... 43

2. Data Tentang Validitas Bahan Ajar ... 45

3. Analisis Soal Literasi Sains ... 47

4. Data Kemampuan Literasi Sains Siswa ... 53

5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Yang Dikembangkan ... 54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Studi Pendahuluan Untuk Mengidentifikasi Permasalahan IPA ... 55 B. Penyusunan Bahan Ajar ... 56

C. Validasi Bahan Ajar ... 64

1. Penilaian Oleh Dosen Ahli ... 64

2. Penilaian Oleh Guru IPA ... 65

3. Nilai CVI ... 70

D. Ujicoba Produk Untuk Mengukur Kemampuan Literasi Sains 71 E. Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

(7)

Tabel 2.1. Konteks Literasi Sains ... 18

Tabel 2.2. Kompetensi Sains ... 20

Tabel 2.3. Pengetahuan Sains ... 20

Tabel 2.4. Sikap Ilmiah ... 21

Tabel 2.5. Titik Lebur, Kalor Lebur, Titik Didih, Kalor Uap, dan Kalor Jenis Berbagai Benda Pada Tekanan 1 Atmosfer. ... 25 Tabel 2.6. Beberapa Sifat Fisis Refrigeran. ... 31

Tabel 2.7. Parameter Lingkungan Beberapa Refrigeran. ... 34

Tabel 3.1. Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA . ... 44

Tabel 3.2. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA yang Biasa Digunakan. ... 45

Tabel. 3.3. Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan. ... 45 Tabel 3.4. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan. ... 45 Tabel 3.5. Penskoran Tanggapan Validator. ... 46

Tabel 3.6. Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05). ... 47

Tabel 3.7. Interpretasi Reliabilitas. ... 50

Tabel 3.8. Kriteria Daya Pembeda. ... 51

Tabel 3.9. Kriteria Tingkat Kesukaran. ... 52

Tabel 3.10. Kriteria Nilai N-Gain. ... 54

Tabel 4.1. Konsep Dasar dalam Tema Teknologi Lemari Pendingin. ... 56

Tabel 4.2. Koreksi dan Saran Dosen Ahli Lemari Pendingin Terhadap Bahan Ajar. ... 64 Tabel 4.3. Nilai CVR Bahan Ajar IPA terpadu Pada Aspek Materi. ... 65

Tabel 4.4. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Penyajian. .. 67

Tabel 4.5. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Bahasa dan Keterbacaan. ... 69

Tabel 4.6. Nilai CVI Pada Setiap Aspek Penilaian Bahan Ajar ... 71

Tabel 4.7. Hasil Pretes dan Postes ... 72

Tabel L3. Rekapitulasi Pendapat Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan ... 172

Tabel L4. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Setiap Item Pernyataan. ... 173

(8)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Tabel L6. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Penyajian. 174 Tabel L7. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Bahasa

dan Keterbacaan ... 174 Tabel L8. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Materi

Berdasarkan nilai CVR ... 174 Tabel L9. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek

Penyajian Berdasarkan nilai CVR ... 176 Tabel L10. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek

Bahasa dan Keterbacaan Berdasarkan nilai CVR ... 177 Tabel L11. Rekapitulasi Judgemen Soal ... 178 Tabel L12. Rekapitulasi Skor Postes Siswa ... 179 Tabel L13. Perhitungan Validitas Kriteria (Dibandingkan Terhadap Nilai

UTS) dan Reliabilitas Internal ... 181 Tabel L14. Rekapitulasi Skor Postes Kelompok Atas dan Kelompok

Bawah ... 183 Tabel L15. Perhitungan Nilai Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran

Butir Soal ... 184 Tabel L16. Skor Pretes dan Skor Postes ... 186 Tabel L17. Rekapitulasi Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA

Terpadu ... 187 Tabel L18. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Tanggapan Siswa

(9)

Gambar 2.1. Alur penyusunan pembelajarn terpadu ... 14 Gambar 2.2. Komponen-komponen literasi sains dan hubunganya ... 18 Gambar 2.3. Siklus pendinginan pada lemari pendingin ... 26 Gambar 2.4. Sirkulasi udara yang dibantu fan evaporasi membantu

pendinginan ... 28 Gambar 2.5. Reaksi pemecahan CFC oleh UV dan pemecahan Ozon oleh

klorin ... 32 Gambar 3.1. Tiga komponen MER ... 36 Gambar 3.2. Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan 39 Gambar 3.3. Alur penelitian ...

40 Gambar 3.4. Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal...

52 Gambar 3.5. Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal

53 Gambar 4.1. Grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, rata-rata postes,

(10)

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

DAFTAR LAMPIRAN

A. INSTRUMEN PENELITIAN

A. 1. RPP ... 82

A. 2. Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin berbasis Literasi Sains ... 100 A.2. a. Analisis Wacana ... 104

A.2. b. Handout ... 118

A.2. c. LKS ... 136

A. 3. Kisi-kisi Tes ... 142

A. 4. Lembar Judgemen Soal ... 151

A. 5. Instrumen Studi Pendahuluan ... 154

A. 6. Lembar Tes ... 156

A. 7. Tabel Validasi Bahan Ajar ... 162

A. 8. Instrumen Tanggapan Siswa ... 170

B. PENGOLAHAN DATA B.1. Pengolahan Studi Pendahuluan ... 171

B.2. Pengolahan Validitas Bahan Ajar ... 174

B.3. Pengolahan Analisis Tes B.3.a. Validitas Isi ... 178

B.3.b. Validitas Kriteria dan Reliabilitas ... 179

B.3.c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran ... 183

B.3.d. Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186

(11)

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual untuk memberikan pengetahuan yang utuh, sehingga pengetahuan tersebut benar-benar bermakna bagi siswa. Kegiatan utama dari penelitian ini adalah merekonstruksi struktur konten pengetahuan tentang teknologi dan mengubahnya menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran, dengan memperhatikan kurikulum, dan keadaan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin serta untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa dan tanggapan siswa tentang bahan ajar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan, dengan model pengembangan prosedural, yang diadaptasi dari model MER. Bahan ajar yang dihasilkan kemudian divalidasi oleh dua orang dosen dan sepuluh orang guru IPA untuk mengetahui keakuratan materi dan kelayakan bahan tersebut bagi siswa SMP. Setelah divalidasi bahan ajar diujicobakan kepada siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Untuk mengubah struktur konten pengetahuan menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran dapat dilakukan dengan: penggunaan analogi, menambahkan pengetahuan yang relevan, dan penyisipan gambar. Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Analisis tanggapan siswa terhadap bahan ajar menunjukan bahwa siswa sangat menyenangi pembelajaran, khususnya kegiatan praktikum.

(12)

Efik Firmansah, 2014

(13)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat

harus dipandang sebagai tantangan untuk menyiapkan peserta didik lebih baik

lagi. Siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang dapat

mereka gunakan untuk bekal kehidupan dimasa datang. Melalui pembelajaran

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), guru harus memfasilitasi siswa agar melek

sains dan teknologi, mampu berpikir kritis, kreatif, serta dapat berfikir logis.

Hal ini diperlukan siswa sebagai bekal menuju kemandirian di masa depan,

sesuai dengan amanat Pasal 1 undang-undang no. 20 tahun 2003, yang

menyatakan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Melihat prestasi siswa di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kabupaten Cianjur membuat penulis yakin bahwa siswa belum dapat menguasai sains dengan baik. Nilai rata-rata ulangan umum IPA, pada tahun ajaran 2012/2013, yang masih pada angka tiga koma delapan mengindikasikan masih rendahnya kemampuan siswa. Siswa masih mengalami kesulitan menyelesaikan soal pada aspek kognitif yang rendah, apalagi untuk menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan berfikir tingkat tinggi. Konsep-konsep IPA masih merupakan sesuatu yang sangat abstrak yang sulit dimengerti.

(14)

2

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

saat ujian saja. Pengetahuan diperoleh siswa hanya berdasarkan hapalan secara instan. Tidak jarang siswa menganggap bahwa fisika merupakan ilmu tentang menghafal rumus, yang tidak mereka fahami manfaat kongkrit dari rumus-rumus itu. Berdasarkan pengalaman penulis pada saat mengajarkan konsep tekanan, siswa terlihat belum dapat diajak berdiskusi untuk menjelaskan mengapa pisau tajam lebih mudah memotong. Fakta ini menunjukan bahwa pada umumnya siswa belum dapat menggunakan konsep IPA untuk menjelaskan fenomena sederhana yang terjadi ataupun

menjelaskan bagaimana suatu teknologi bekerja pada kehidupan sehari-hari.

Hal ini menandakan pembelajaran yang kurang bermakna. Pembelajaran yang tidak bermakna menyebabkan pengetahuan akan mudah terlupakan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai prasyarat untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep berikutnya.

Diperlukan paradigma baru dalam mengajarkan IPA, sehingga IPA

bukan sekedar pengetahuan yang hanya diperlukan dalam ujian. Pendidikan

IPA di Sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan konten pengetahuan

secara langsung, tetapi juga metode ilmiah sehingga siswa mampu

menggunakan cara bagaimana mengembangkan pengetahuan sains (Oh,

2009). Secara tradisional, IPA diajarkan hanya dengan mentransmisikan

pengetahuan langsung kepada siswa, dan tingkat kesuksesan pembelajaran

hanya ditentukan dengan apa yang dapat diingat siswa (Yager, et al., 2005; T.

Bell et al., 2009). Lebih jauh, (Bell et al., 2009) menyatakan bahwa dalam

pengajaran IPA guru harus mendorong siswa untuk memahami, dan

mengaplikasikan konsep dan metode sains.

Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun

2006, dikemukakan bahwa IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi

peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek

pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan

(15)

IPA diharapkan dapat membantu peserta didik berfikir logis, kritis, kreatif,

serta dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang timbul dalam

kehidupan sehari-hari dengan metode ilmiah, seperti yang dilakukan

ilmuwan. Pembelajaran IPA tidak boleh hanya menyampaikan konten dengan

benar, tetapi juga harus dapat membentuk sikap ilmiah pada siswa.

Satu konsep yang muncul dalam kurikulum IPA tahun 2006 adalah

penekanan pembelajaran sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara

terpadu untuk siswa SMP dan MTs. IPA diajarkan secara terpadu melalui

suatu tema yang mengikat. Konsep IPA terpadu dinilai akan dapat membuat

pembelajaran lebih efektif, karena materi ajar dapat disesuaikan dengan

kebutuhan dan kemampuan setiap satuan pendidikan. Pembelajaran IPA

terpadu dapat dilakukan dengan memilih tema yang diambil dari fenomena

sehari-hari yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Pembelajaran melalui

tema kontekstual akan menarik minat siswa untuk belajar. Motivasi belajar akan tumbuh pada seseorang jika mereka mengetahui manfaat dari apa yang mereka pelajari. Siswa dapat melihat hubungan bermakna antar konsep dan membantu menciptakan struktur kognitif sebagai pengetahuan awal untuk

mempelajari materi selanjutnya. Karena memerlukan wawasan yang luas,

maka IPA terpadu akan membantu siswa meningkatkan kemampuan

berfikirnya. Pembelajaran IPA terpadu merupakan cara terbaik untuk

memberikan pemahaman yang holistik dan mendalam tentang alam.

Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema dari isu-isu

kontekstual memungkinkan siswa lebih aktif berperan dalam pembelajaran di

kelas karena mereka telah memiliki pengetahuan awal sebelumnya, yaitu

mengenali permasalahan yang dibahas. Dahar (2006) mengemukakan dua

asumsi pendekatan Brunner, yaitu: (1) perolehan pengetahuan merupakan

suatu proses interaksi manusia dengan lingkungannya secara aktif. (2) Orang

mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang

(16)

4

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Pendekatan kontekstual dapat berpotensi merangsang dan memberi peluang

kepada siswa untuk belajar dan mengembangkan potensinya secara maksimal.

Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual berpotensi

sebagai pembelajaran yang bermakna.

Salah satu produk dari IPA adalah terciptanya teknologi. Teknologi

yang tercipta merupakan keberhasilan manusia memanipulasi alam. Sebuah

teknologi pada umumnya tidak tercipta dari satu disiplin ilmu, akan tetapi

merupakan produk dari berbagai disiplin ilmu. Sebelum teknologi tersebut

benar-benar bermanfaat bagi manusia, diperlukan penelaahan yang seksama

dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu contoh produk teknologi yang

memerlukan pemahaman IPA secara terpadu adalah mobil. Mesin mobil

bekerja berdasarkan ilmu termodinamika; Bagaimana bensin naik dari

mangkuk karbulator bercampur dengan udara menggunakan prinsip

Bernoulli; Untuk memahami reaksi yang terjadi saat pembakaran bensin

diperlukan pemahaman ilmu kimia; Bagaimana pengaruh gas yang di

keluarkan mobil terhadap kehidupan diperlukan ilmu biologi; Bahan apa

yang tidak boleh digunakan untuk membuat kanvas rem agar tidak

mengganggu kesehatan diperlukan ilmu biologi/kesehatan. Masih banyak

ilmu-ilmu lainnya yang terlibat dalam menciptakan teknologi mobil. Ilmu

tersebut memiliki peranan penting untuk memastikan bahwa teknologi yang

diciptakan memiliki manfaat maksimal, dengan dampak merusak yang

minimal. Uraian diatas menunjukan pentingnya memberikan pengetahuan

yang utuh tentang IPA dan menunjukan pentingnya pembelajaran IPA

terpadu.

Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran IPA terpadu

merupakan solusi untuk memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna

bagi siswa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Pembelajaran IPA terpadu pada tema air dan kesehatan dapat meningkatkan

(17)

sains merupakan salah satu kemampuan yang penting bagi siswa dan

berkaitan dengan kemampuan menjelaskan fenomena dan teknologi

sehari-hari. Menurut Programme for International Student Assessment (PISA)

tahun 2009, dalam Bybee (2012) literasi sains mencakup konteks sains,

kompetensi sains, pengetahuan sains, dan sikap sains. Cakupan literasi sains

beserta komponen-komponennya dapat digunakan sebagai indikator

pemahaman siswa yang holistik tentang alam, yang nantinya dapat digunakan

siswa untuk mengembangkan potensi dirinya. Sangat baik jika menjadikan

literasi sains sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki siswa.

Terwujudnya pembelajaran IPA terpadu sangat tergatung pada

dukungan guru. Guru memiliki peran yang dominan untuk mewujudkan

pendidikan yang baik. Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan

proses pendidikan, khususnya tingkat institusional dan instruksional. Tanpa

guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk

kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak

yang berada pada garis terdepan, yaitu guru (Surya, 2008). Pelaksanaan

kebijakan pemerintah yang baik tentang pembelajaran IPA terpadu, tidak

akan terwujud tanpa dukungan guru.

Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa Guru IPA di Kabupaten

Cianjur, guru-guru masih kesulitan mengimplementasikan pembelajaran IPA

terpadu. Ada keengganan dari guru untuk mengajarkan konsep IPA yang

tidak sesuai dengan bidang studi pendidikannya. Guru yang berlatar belakang

pendidikan fisika umumnya merasa enggan untuk mengajarkan konsep–

konsep biologi, dan begitupun sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan dari

karakteristik bidang studi fisika dan biologi berbeda. Guru dengan latar

belakang fisika biasanya kesulitan dengan istilah-istilah asing dalam biologi,

sementara guru dengan latar belakang pendidikan biologi merasa kesulitan

(18)

6

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Masalah lainnya yang muncul dalam usaha mengimplementasikan

pembelajaran IPA terpadu adalah ketersediaan bahan ajar. Buku ajar yang ada

di Sekolah masih membahas konsep-konsep IPA secara terpisah, walaupun

konsep-konsep fisika, biologi, dan kimia telah disatukan dalam satu jilid. Hal

ini memungkinkan guru untuk memilih materi, lebih memfokuskan

pengajarannya pada konsep-konsep yang sesuai dengan bidang pendidikannya.

Bahan ajar yang konvensional tidak hanya membahas konsep fisika, biologi, dan kimia secara terpisah, porsi pembahasan materi secara kontekstual masih minim. Pembahasan masih mengutamakan membangun sebuah konsep, tidak membangun keutuhan sebuah konteks. Hal ini menyebabkan siswa kurang mampu menerapkan konsep IPA pada kehidupan sehari-hari.

Kegiatan praktikum tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran IPA. Pada buku yang konvensional, kegiatan praktikum telah mampu membantu siswa untuk membangun konsep, tetapi pada umumnya materi praktikum kurang kontekstual, dan menggunakan alat dan bahan yang tidak mudah ditemukan di lingkungan sekitar siswa. Hal ini menjadi hambatan bagi sekolah yang tidak memiliki fasilitas laboratorium yang lengkap.

(19)

Untuk membahas konsep IPA yang ada di lingkungan secara utuh

diperlukan bahan-bahan lainnya sebagai pendukung buku ajar. Guru tidak

dapat menggunakan buku-buku yang membahas aplikasi langsung dari

konsep-konsep IPA, seperti buku-buku tehnik atau artikel-artikel cetak

maupun elektronik yang ada. Penelaahan yang mendalam tentang konten

buku/artikel harus dilakukan untuk mengetahui apakah konten buku/artikel

telah sesuai dengan perkembangan siswa SMP. Konsep yang diajarkan harus

sesuai dengan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan

Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ditetapkan. Untuk itu, guru harus

meluangkan waktu untuk mengembangkan bahan ajar IPA dan menyatukan

konsep-konsep IPA melalui tema yang kontekstual. Diperlukan rekonstruksi

konten ilmu pengetahuan menjadi bahan ajar untuk pembelajaran. Dengan

merekonstruksi bahan ajar, guru tidak hanya akan mendapatkan bahan ajar

yang benar-benar sesuai untuk siswa, tetapi dapat memperkaya pengetahuan

guru itu sendiri.

Pemilihan konteks pembelajaran juga harus dipertimbangkan dengan

baik. Sebaiknya konteks yang dipilih merupakan hal yang ada atau terjadi di

sekitar siswa, karena siswa pada umumnya memiliki ketertarikan untuk dapat

menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Satu konteks

yang ada disekitar siswa yaitu teknologi lemari pendingin. Siswa telah

mengenal lemari pendingin dan merasakan manfaatnya, akan tetapi

pengetahuan siswa tentang cara kerjanya, berapa energi yang diperlukannya,

dan bahaya penggunaan bahan pendingin terhadap lingkungan masih perlu

dikembangkan. Tema lemari pendingin dapat mencakup indikator-indikator

literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, maka pembuatan bahan ajar yang

bertemakan lemari pendingin untuk pembelajaran di tingkat SMP layak

dilakukan.

Aspek yang harus dipertimbangkan dari sebuah konteks/tema

(20)

8

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

perkembangan siswa, (2) kesesuaian dengan kurikulum, dan (3) pengetahuan

awal siswa tentang tema kontekstual. Struktur konten sains untuk

pembelajaran harus lebih sederhana daripada struktur konten sains agar

mudah dimengerti siswa (Duit, 2007).

Salah satu model untuk mengembangkan bahan ajar adalah Model of

Educational Reconstruction (MER), dengan contoh langkah rekonstruksi

yang dikembangkan oleh Katmann. MER mencakup tiga langkah besar,

yaitu: (1) menganalisis struktur konten, (2) merancang pembelajaran, dan (3)

melakukan penelitian empiris pada proses pembelajaran.

Ketersediaan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema

kontekstual masih merupakan masalah yang menghambat implementasi

pembelajaran IPA terpadu di SMP. Oleh sebab itu, penulis ingin melakukan

penelitian yang berjudul “Rekonstruksi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains”.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Rumusan masalah untuk peneltian ini adalah bagaimana merekonstruksi

bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains?

Rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik bahan ajar IPA terpadu yang direkonstruksi

menggunakan model MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi

sains?

2. Bagaimana hasil belajar siswa sebelum dan setelah mendapatkan

pembelajaran menggunakan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari

pendingin?

3. Bagaimana tanggapan siswa terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema

lemari pendingin?

(21)

1. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

a. Menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin

yang berbasis literasi sains, yang mengintegrasikan konsep adaptasi,

perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer.

b. Mengetahui hasil belajar siswa pada aspek literasi sains sebelum dan

setelah bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin

diujicobakan.

2. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas

pendidikan, melalui perbaikan proses pembelajaran, antara lain :

a. Bagi siswa

1) Memperoleh hasil belajar yang optimal, melalui pembelajaran

yang lebih bermakna.

2) Lebih memahami fenomena lingkungan dan teknologi, melalui

pembelajaran terpadu yang mengangkat tema kontekstual.

3) Memiliki kepedulian tentang isu yang terjadi di lingkungan dan

ikut berperan dalam menjaga lingkungan.

b. Bagi guru

1) Dapat memperkaya metode/pendekatan guru dalam

menyelenggarakan pembelajaran IPA.

2) Dapat lebih mengefektifkan pembelajaran.

c. Bagi peneliti lain

Sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti

selanjutnya, dengan konsep yang berbeda.

D. Definisi Operasional

1. Rekonstruksi Bahan ajar IPA terpadu berbasis literasi sains adalah upaya

(22)

10

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

konten sains untuk pembelajaran (bahan ajar). Konten pengetahuan dalam

bahan ajar yang bertema lemari pendingin terdiri dari konten pengetahuan

fisika (konsep kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer)

dan konten pengetahuan biologi (konsep adaptasi) yang disatukan dalam

tema kontekstual (teknologi lemari pendingin), dan disusun agar siswa

mampu menyelesaikan soal-soal literasi sains. Rekonstruksi tidak hanya

menyederhanakan konten, tetapi juga memperkaya konten pengetahuan

dengan menyisipkan informasi-informasi tambahan yang penting dan

dapat mempermudah pemahaman siswa SMP. Keandalan bahan ajar IPA

terpadu pada tema lemari pendingin diuji melalui uji ahli dengan

menggunakan tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari buku

Penilaian Buku Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat

Perbukuan Depdiknas tahun 2008.

2. Hasil belajar adalah kemampuan kognitif siswa pada aspek yang diukur

melalui tes objektif pilihan ganda sebelum dan setelah pemberian bahan

(23)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian

pengembangan. Penelitian ini tidak bertujuan menguji sebuah teori, tetapi

untuk menghasilkan produk berupa bahan ajar IPA terpadu yang disesuaikan

dengan kebutuhan peserta didik. Pada tahun 2008, Pusat Penelitian Kebijakan

dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov), mengemukakan tiga komponen utama

dalam penelitian pengembangan, yaitu: model pengembangan, prosedur

pengembangan, dan ujicoba produk.

1. Model pengembangan

Model pengembangan memuat pedoman untuk mengembangkan

produk yang akan dihasilkan. Puslitjaknov (2008) menyatakan bahwa

model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual

dan model teoritik. Model prosedural bersifat deskriptif, yang

menunjukkan langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk

mendapatkan produk. Model konseptual bersifat analitis, yang

menyebutkan komponen-komponen produk, dan menunjukan hubungan

antar komponen. Model teoritik menggambarkan kerangka berfikir yang

didasarkan pada teori-teori yang relevan dan didukung data empirik.

Model penelitian pengembangan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Model of Educational Reconstruction (MER). MER didesain

dengan tujuan menyediakan kerangka teoritis yang bermanfaat untuk

mengajarkan fakta sains. Satu ide penting pada model tersebut adalah

struktur konten untuk pelajaran tidak bisa diambil secara langsung dari

struktur konten sains, tetapi secara spesial di rekonstruksi dengan

memperhatikan tujuan pembelajaran kognitif dan perspektif siswa (Duit et

(24)

36

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

konten, penelitian mengajar dan belajar, pengembangan dan evaluasi

pelajaran dan hubungannya yang saling berkaitan. Hubungan ketiga

komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Tiga komponen MER (sumber: Duit, 2007)

Analisis struktur konten adalah proses analisis untuk mengubah

pengetahuan kebudayaan manusia seperti pengetahuan bidang sains

menjadi pengetahuan untuk sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan

siswa. Kedua struktur secara substansi berbeda. Struktur konten sains yang

terdapat dalam buku teks disajikan secara abstrak dan padat, yang tidak (1) Analisis struktur konten

 Penjelasan materi subjek

 Analisis tentang pentingnya materi bagi pembelajaran

Ide dasar konten setelah

(25)

sesuai dengan kondisi siswa (Niebert et al., 2013). Struktur konten untuk

topik tertentu harus diubah menjadi struktur konten untuk pembelajaran.

Konten tersebut tidak hanya dibuat sedasar mungkin agar dapat diterima

oleh siswa, tetapi juga diperkaya dengan meletakkannya ke dalam konteks

yang membuat siswa mengerti dan menambah rasa ingin tahu. Struktur

konten sains untuk pembelajaran tidak hanya harus lebih dasar dari sudut

pandang sains, tetapi harus lebih kaya (Duit et al., 2012).

Komponen kedua, yaitu penelitian tentang belajar dan mengajar,

mencakup penelitian empiris tentang berbagai hal dalam seting

pembelajaran. Penelitian tentang perspektif siswa, termasuk konsep awal,

dan variabel afektif seperti ketertarikan, konsep diri dan sikap memiliki

peran penting dalam rekonstruksi pendidikan (Duit, 2007). Metode

kualitatif seperti interviu dan mempelajari proses pembelajaran diperlukan

(Komorek et al., 2004 dalam Duit et al., 2012). Dari langkah ini, kita dapat

mengetahui kesulitan-kesulitan dalam mengajarkan konten tertentu, serta

masalah yang dirasakan siswa selama belajar IPA. Hal ini dapat dijadikan

pedoman bagi pengembang untuk mengembangkan bahan ajar yang lebih

baik, dan mampu menutupi kekurangan yang ada pada bahan ajar yang

konvensional.

Komponen ketiga, yaitu mendesain dan mengevaluasi lingkungan

belajar. Komponen ini terdiri dari mendesain bahan ajar, mendesain

aktivitas pembelajaran, dan menentukan urutan pembelajaran (Duit et al.,

2012). Selain harus memiliki isi yang sesuai dengan tahap perkembangan

siswa, bahan ajar yang disusun juga harus dapat menarik perhatian siswa.

Siswa harus merasa senang mempelajari bahan ajar tersebut.

Konsep-konsep yang akan diajarkan harus ditampilkan melalui pendekatan yang

tidak membingungkan siswa, lebih kongkret, serta urutan penyajian yang

logis dan sistematis.

(26)

38

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Ketiga komponen model rekonstruksi pendidikan pada Gambar

3.1 hanya menampilkan hubungan dari ketiga aspek, tetapi bukan

merupakan rangkaian prosedur untuk mengembangkan bahan ajar. Pada

kenyataannya, langkah proses akan menjadi cukup kompleks (Duit,

2012). Gambar 3.2 menyajikan satu kemungkinan prosedur dalam MER,

yang dikembangkan oleh Kattmann.

Gambar 3.2 Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan (sumber: Kattman et al., 1995 dalam Duit et al., 2012)

Anak panah yang terdapat pada Gambar 3.2 menunjukan proses

yang rumit, dan beberapa langkah dilakukan secara berulang. Pada

penelitian ini, tidak akan mengikuti langkah yang disajikan Kattmann,

seperti Gambar 3.2. Karena keterbatasan waktu dan biaya, prosedur

penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 3.3. Ketiga aspek dalam ANALISIS STRUKTUR KONTEN

PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN

(27)

MER masih tetap ada pada penelitian ini, akan tetapi prosesnya

merupakan penyederhanaan dari prosedur yang dilakukan Kattmann.

3. Ujicoba produk

Ujicoba produk merupakan bagian yang sangat penting dalam

penelitian pengembangan, yang dilakukan setelah rancangan produk

selesai (Puslitjaknov, 2008). Ujicoba bahan ajar dapat memberi informasi

kelayakan penggunaan dalam implementasi pembelajaran sebenarnya.

Ujicoba juga dapat memberikan informasi mengenai sejauh mana efek

yang diberikan bahan ajar, atau apakah sebuah tujuan pembelajaran dapat

dicapai dengan penggunaan bahan ajar.

Ujicoba bahan ajar dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap,

yaitu ujicoba/penilaian ahli dan uji lapangan. Ujicoba ahli dilakukan oleh

validator, yaitu guru IPA SMP sebanyak 10 orang. Data dikumpulkan

menggunakan tabel validasi bahan ajar, dengan format ceklis dan

tanggapan. Validator diminta menilai keakuratan konsep-konsep ilmu

yang disajikan bahan ajar, kesesuaian elemen bahan ajar (LKS, gambar,

dan fenomena sehari-hari), bahasa yang digunakan, dan penampilan

bahan ajar. Puslitjaknov (2008) bependapat bahwa produk yang baik

harus memenuhi dua kriteria, yaitu: kriteria pembelajaran dan kriteria

penampilan.

Ujicoba tahap dua adalah ujicoba lapangan, yang dilakukan

terhadap siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Subjek

penelitian yang dipilih adalah kelas VII A, yang terdiri dari 37 siswa.

Perlakuan yang diberikan kepada siswa di antaranya: (1) pemberian

pretes, (2) pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar sebanyak lima

pertemuan, (3) pemberian postes.

Ujicoba lapangan tidak hanya dilakukan untuk melihat apakah

bahan ajar dapat membantu mencapai tujuan pembelajaran, tetapi juga

(28)

40

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

pembelajaran. Ujicoba lapangan juga dilakukan untuk mengumpulkan

informasi berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap pembelajaran. Hal

ini sangat penting, karena kita membuat produk untuk siswa. Semua

aspek pengembangan harus memperhatikan kepentingan siswa, tidak

hanya memperhatikan konten ilmu, bahan ajar juga harus membangkitkan

motivasi belajar siswa.

B. Alur Penelitian

Alur kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukan pada

(29)

Gambar 3.3 Alur penelitian

Berdasarkan Gambar 3.3, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam upaya

pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa mengenai bahan

ajar/pembelajaran IPA konvensional dan bagaimana IPA diajarkan dari

instrumen yang disebarkan kepada siswa.

2. Menentukan tema pembelajaran yang kontekstual.

3. Telaah kepustakaan pembelajaran literasi sains dan kepustakaan

teknologi lemari pendingin dari sumber: (1) World Book Of

PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN

(30)

42

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Knowledge. (2) Buku IPA SMP kelas VII (3) www.howstuffwork.com.

(4) http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pembekuan_makanan. (5)

www.infodokterku.com.

4. Melakukan pendasaran konsep dan memperkaya konsep, dengan

menyisipkan informasi tentang fenomena-fenomena fisika sehar-hari.

5. Menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar pada submateri:

kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, lingkungan, dan adaptasi

pada standar isi mata pelajaran IPA SMP.

6. Perumusan indikator literasi sains dan tujuan pembelajaran aspek

kognitif melalui telaah konteks, kompetensi sains, dan konten sains.

7. Produksi wacana yang diawali dengan penghalusan dan pendasaran

materi, hingga menghasilkan teks luaran.

8. Penyusunan lesson sequence map, yang disesuaikan dengan urutan

pengajaran materi pada strukur isi pembelajaran.

9. Rekonstruksi proposisi makro.

10. Produksi handout bahan ajar dilakukan dengan menyusun ulang teks

luaran dan menambahkan berbagai informasi dalam bentuk gambar,

verbal, dan kegiatan pembelajaran.

11. Menyusun soal evaluasi berdasarkan indikator literasi sains siswa.

12. Penyusunan dan penyebaran tabel validasi bahan ajar kepada dosen ahli

dan guru IPA untuk mengetahui validitas bahan ajar yang telah

dikembangkan.

13. Pengolahan data validasi bahan ajar.

14. Pretes.

15. Ujicoba bahan ajar/implementasi.

16. Postes.

17. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa tentang bahan ajar.

18. Pengolahan data.

(31)

C. Instrumen Penelitian

1. Instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa

Instrumen digunakan untuk mendapatkan data tanggapan siswa

tentang bahan ajar IPA yang konvensional dan data tentang bagaimana

biasanya konten IPA diajarkan. Instrumen ini dimaksudkan sebagai studi

pendahuluan dan untuk mengetahui masalah pembelajaran IPA yang

terjadi di lapangan. Instrumen dapat dilihat pada Lampiran A.5.

Instrumen tanggapan juga digunakan untuk mengetahui tanggapan

siswa tentang bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang

telah mereka gunakan. Instrumen ini dapat dilihat pada Lampiran A.8.

2. Tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari Pedoman Penilaian Buku

Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat Perbukuan

Depdiknas tahun 2008. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui

karakteristik bahan ajar yang direkonstruksi dengan menggunakan model

MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains. Instrumen

untuk mengembangkan bahan ajar terdiri dari aspek materi, aspek

penyajian, serta aspek bahasa dan keterbacaan (Ismunandar dan

Permanasari, 2004). Ketiga aspek tersebut diuraikan menjadi sub-sub

aspek sebagai berikut:

a. Materi, yang memuat sub aspek kesesuaian materi dengan

kompetensi, keakuratan materi, kegiatan yang mendukung materi,

kemutahiran materi, dan keterkaitan antar konsep.

b. Penyajian, yang terdiri dari sub aspek penyajian materi, uraian

materi mendudukan siswa sebagai pusat pembelajaran, perhatian

terhadap imtaq dan lingkungan, dan penyajian ilustrasi/gambar.

c. Bahasa dan keterbacaan, yang memuat sub aspek penyajian

menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar, peristilahan,

(32)

44

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Setiap sub aspek diuraikan lagi menjadi beberapa indikator

penilaian buku ajar. Tabel penilaian terhadap bahan ajar IPA terpadu

diperlihatkan pada Lampiran A.7. Validator menilai apakah bahan ajar

telah sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam tabel validasi,

dengan memberi tanda check pada kolom yang disediakan. Untuk

perbaikan bahan ajar, pada instrumen dilengkapi dengan komentar dan

saran.

3. Seperangkat tes berbentuk pilihan ganda sebanyak 37 butir soal. Ke-37

soal ini disesuaikan dengan jumlah indikator pembelajaran yang telah

disusun. Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengetahui hasil

belajar siswa sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan bahan ajar

IPA terpadu pada tema lemari pendingin. Tes disusun berdasarkan

indikator literasi sains, pada aspek konten sains, kompetensi sains, dan

konteks sains. Sebelum digunakan, validitas isi tes diuji melalui penilaian

ahli untuk mengetahui kesesuaian tes dengan indikator-indikator literasi

sains. Setiap butir soal yang dijawab dengan benar diberi skor satu, dan

skor nol untuk butir soal yang dijawab tidak benar. Butir soal instrumen

dapat dilihat pada Lampiran A.6.

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Data untuk studi pendahuluan

Data penelitian diperoleh berupa tanggapan siswa tentang

pembelajaran IPA yang biasa dilakukan dan bagaimana konten IPA

diajarkan. Informasi-informasi tentang masalah pembelajaran IPA yang

terkumpul, dijadikan media oleh peneliti untuk dapat menentukan arah

pengembangan bahan ajar. Hal ini dimaksudkan agar bahan ajar yang

dikembangkan dapat memperbaiki hasil belajar siswa. Studi pendahuluan

tidak diberikan terhadap satu kelas tertentu untuk mendapatkan data dari

(33)

berkaitan dengan bagaimana konten IPA biasanya diajarkan. Studi

pendahuluan diberikan kepada 14 orang siswa kelas VII, 11 orang siswa

kelas VII, dan 8 orang siswa kelas IX.

Semua pernyataan-pernyataan dalam instrumen tanggapan dibuat

dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Penskoran

instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa tentang bahan ajar IPA

konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel. 3.1

Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA

Tanggapan Skor

Sangat setuju 4

Setuju 3

Tidak setuju 2

Sangat tidak setuju 1

Menurut Sugiyono (2008), untuk menghitung persentase hasil

tanggapan siswa digunakan persamaan :

Dari Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa skor maksimum untuk setiap

item bernilai 4, maka jumlah skor maksimum tanggapan siswa untuk

setiap item adalah banyaknya siswa dikali dengan 4. Panuju (2000)

mengemukakan langkah-langkah untuk menginterpretasi persentase

tanggapan, sebagai berikut:

a. Menentukan rentang persentase tanggapan (R), dengan persamaan:

R = persentase maksimum – persentase minimum

R = 100 % - 25% = 75%.

b. Menentukan banyaknya kategori tanggapan (K). K= 4. Terdapat

empat pilihan tanggapan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak

setuju (TS) , dan sangat tidak setuju (STS).

(34)

46

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

d. Menentukan kategori persentase tanggapan, yang dituangkan pada

Tabel 3.2 dibawah ini:

Tabel 3.2

Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA

Persentase Kategori

25,00%≤% tanggapan siswa<43,75% Sangat tidak setuju 43,75%≤% tanggapan siswa<62,50% Tidak setuju 62,50%≤% tanggapan siswa<81,25% Setuju

tanggapan siswa ≥ 81,25% Sangat setuju

Penskoran instrumen untuk tanggapan siswa tentang bagaimana

konten IPA biasanya diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel. 3.3

Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan

Perhitungan untuk menentukan kategori persentase tanggapan

siswa tentang bagaimana konten IPA diajarkan dilakukan seperti

perhitungan kategori seperti pada Tabel 3.2. Kategori tanggapan

bagaimana IPA diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan

(35)

33,33%<% tanggapan siswa<55,56 % Tidak pernah 55,56%<% tanggapan siswa<77,78% Jarang

tanggapan siswa ≥ 77,78 % Sering

2. Data Tentang Validasi Bahan Ajar

Validasi bahan ajar dilakukan untuk menilai kelayakan bahan ajar

jika digunakan di kelas. Sebelum divalidasi oleh sepuluh orang guru IPA,

draf bahan ajar yang telah tersusun diserahkan kepada satu orang dosen

ahli lemari pendingin dan satu orang dosen ahli IPA. Tujuan utama dari

langkah ini adalah untuk memastikan tidak ada kesalahan konsep dalam

aspek materi. Akan tetapi hal ini menjadi kesempatan yang baik untuk

meminta penilaian kedua ahli tentang aspek penyajian serta aspek bahasa

dan keterbacaan. Semua koreksi, tanggapan, dan masukan dari dosen ahli

digunakan untuk memperbaiki bahan ajar.

Bahan ajar yang telah diperbaiki disebarkan kepada sepuluh orang

guru IPA untuk divalidasi dengan menggunakan instrumen tabel validasi

bahan ajar. Data tanggapan validator yang diperoleh berupa ceklist, untuk

mengetahui apakah bahan ajar yang disusun telah sesuai atau tidak.

Penskoran tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Penskoran Tanggapan Validator

Kriteria Skor

Ya 1

Tidak 0

Tanggapan guru-guru IPA terhadap bahan ajar, dianalisis dengan

menggunakan Content Validation Ratio (CVR). Lawshe (1975)

merumuskan persamaan untuk menentukan nilai CVR setiap butir

indikator pada aspek penilaian seperti pada persamaan (3.1).

(36)

48

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

ne : jumlah validator yang menyatakan Ya.

N : total validator.

Ketentuan:

1) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya kurang dari setengah total

validator maka CVR bernilai negatif.

2) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya setengah dari total

validator, maka nilai CVR = 0

3) Jika seluruh validator menyatakan Ya maka nilai CVR = 1

4) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya lebih dari setengah total

validator maka CVR bernilai antara 0 sampai 1. Hal ini menjadi

masalah, apakah bahan ajar telah sesuai dan dapat diterima atau tidak.

Nilai CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima

tergantung pada jumlah validator. Data pada Tabel 3.6 menunjukan nilai

CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima.

Tabel 3.6

Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05)

Jumlah validator Nilai minimum

5 0,99

(37)

Perhitungan CVR dilakukan untuk menentukan apakah sebuah item

diterima atau ditolak. Untuk menentukan validitas tiap aspek, dilakukan

perhitungan Content Validation Index (CVI). Secara sederhana CVI

merupakan rata-rata dari nilai CVR untuk sub pertanyaan (Lawshe, 1975).

(3.2)

Setelah divalidasi, bahan ajar langsung diujicobakan kepada siswa.

Ujicoba pembelajaran dilakukan sebanyak lima pertemuan.

3. Analisis Soal Literasi Sains

Status dari implementasi pembelajaran ini adalah untuk

mengujicobakan bahan ajar yang telah disusun, bukan implementasi

penelitian sebenarnya. Pretes dan postes dilakukan dengan menggunakan

instrumen yang telah diuji validitas isinya saja. Analisis soal ini dilakukan

untuk melengkapi informasi tentang kualitas tes, jika ada peneiti lain yang

bertujuan menggunakan instrumen ini pada penelitian sebenarnya.

a. Validitas

Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin ini

ditujukan untuk meningkatkan literasi sains siswa. Oleh sebab itu,

soal-soal evaluasi yang digunakan harus disesuaikan dengan

indikator-indikator literasi sains. Soal-soal evaluasi yang digunakan

diuji validitas isinya. Tes yang memiliki validitas isi yang baik ialah

tes yang benar-benar mengukur penguasaan materi yang seharusnya

dikuasai (Djaali dan Pudji, 2008). Validitas isi suatu tes tidak

memiliki besaran, sehingga tidak memerlukan cara perhitungan

tertentu untuk menentukannya. Instrumen yang digunakan untuk

menilai adalah lembar penilaian kesesuaian butir soal dengan

(38)

50

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

dosen mengenai soal-soal literasi sains selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran B.3.a. Semua butir soal telah dinyatakan sesuai dengan

indikatornya. Adapun koreksi yang harus dilakukan berkenaan dengan

tata tulis butir soal, diantaranya: penggunaan huruf kapital dan jumlah

titik pada tipe soal melengkapi kalimat.

Soal-soal literasi sains juga digunakan untuk mengukur

kemampuan akademis. Instrumen ini bisa dikatakan valid jika siswa

yang memiliki prestasi akademis yang baik akan mendapatkan skor

tinggi pada kegiatan postes. Metode pembeda merupakan validitas

yang digunakan untuk membedakan antara orang yang memiliki sifat

tertentu dengan orang yang tidak memiliki sifat tersebut (Sukardi,

2011). Diperlukan nilai pembanding sebagai kriteria eksternal, untuk

menguji validitas kriteria (validitas banding) dari instrumen. Untuk

menentukan tingkat validitas kriteria suatu tes dilakukan dengan

menghitung koefisien korelasi antara nilai-nilai hasil tes yang akan

diuji validitasnya dengan nilai-nilai hasil tes terstandar yang telah

mencerminkan kemampun siswa (Priatna, 2008). Nilai yang dipilih

sebagai kriteria eksternal adalah nilai ujian tengah semester (UTS).

Kedua kumpulan nilai akan dicari koefisien korelasinya dengan

menggunakan persamaan korelasi produk momen Pearson.

dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi pearson dari tabel, pada

(39)

valid, jika nilai rhit > r(dk, 0,05). Guilford (1956) dalam Priatna (2008)

mengemukakan kategori validitas instrumen sebagai berikut: 0,8< r ≤ 1,0 validitas sangat tinggi

0,6< r ≤ 0,8 validitas tinggi 0,4< r ≤ 0,6 validitas sedang 0,2< r ≤ 0,4 validitas rendah

0,0< r ≤ 0,2 validitas sangat rendah r ≤ 0,0 tidak valid.

Setelah tata tulis butir soalnya dikoreksi, tes digunakan dalam

kegiatan pretes dan postes. Data dari postes digunakan untuk menguji

validitas kriteria tes, memanfaatkan nilai UTS siswa sebagai

pembandingnya. Perhitungan Lampiran B.3.b menghasilkan nilai

koefisien validitas sebesar 0,59. Nilai ini lebih besar daripada nilai rtabel

(pada taraf signifikansi 0,05 dan dk = n-2), sebesar 0,2826. Hal ini

menunjukan bahwa tes valid dan dapat digunakan untuk mengukur

kemampuan akademis siswa, dengan kriteria sedang.

b. Reliabilitas

Syarat kedua untuk menentukan layak tidaknya suatu instrumen

adalah nilai reliabilitas. Reliabilaitas adalah tingkat ketetapan suatu

instrumen dalam mengukur apa yang harus diukur (Priatna, 2008).

Perhitungan koefisien reliabilitas pada penelitian ini menggunakan

persamaan Kuder-Richardson (KR-21), seperti pada persamaan 3.4.

r11 : koefisien korelasi

M : rata-rata skor total.

n : jumlah butir soal

(40)

52

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Guilford (1956) dalam Priatna (2008) mengemukakan kategori

derajat reliabilitas instrumen yang diiperoleh, yang dapat dilihat dalam

Tabel 3.7.

Perhitungan pada Lampiran B.3.b menghasilkan nilai r11

sebesar 0,75. Berdasarkan informasi dalam Tabel 3.7, dapat

disimpulkan bahwa tes termasuk kriteria reliabilitas tinggi.

c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran

Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk

membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa

yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2009). Karno To (1996)

mengemukakan langkah-langkah menentukan daya pembeda tiap butir

soal sebagai berikut:

1) Mengurutkan siswa berdasarkan skor total yang diperoleh dari

skor terbesar.

2) Mengambil kelompok atas, yaitu 27% siswa yang mendapat skor

tertinggi dan kelompok bawah, yaitu 27% siswa yang

mendapatkan skor terendah.

3) Menghitung daya pembeda tiap butir soal dengan persamaan:

DP : daya pembeda.

(41)

BB : jumlah jawaban benar pada kelompok bawah.

NA : jumlah siswa pada kelompok atas.

Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka hasil

perhitungan daya pembeda, yang dapat dilihat pada Tabel 3.8

Tabel 3.8 Kriteria Daya Pembeda Koefisien Korelasi Kriteria

0,70 – 1,00 baik sekali (exelent)

0,40 – 0,70 Baik (good)

0,20 – 0,40 Cukup (satisfactory)

0,00 – 0,20 Jelek (poor)

Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil daya

pembeda butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan seperti pada

Gambar 3.4.

Gambar 3.4 Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal

Tingkat kesukaran diperoleh dengan menghitung jumlah siswa

dari kelompok atas dan bawah yang dapat menjawab soal dengan

benar. Untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal digunakan

(42)

54

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

TK : tingkat kesukaran.

NB : jumlah siswa pada kelompok bawah.

Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka tingkat

kesukaran, yang dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Kriteria Tingkat Kesukaran Nilai Tingkat Kesukaran Kriteria

0,00 – 0,30 sukar

0,30 – 0,70 sedang

0,70 – 1,00 mudah

Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil

tingkat kesukaran butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan

seperti pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5 Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal

(43)

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa,

dilakukan pretes dan postes dengan menggunakan tes yang terdiri dari 37

butir soal. Pretes ditujukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa

menjawab soal-soal literasi sains pada konteks teknologi lemari pendingin.

Kegiatan pembelajaran dilakukan setelah pretes. Setiap siswa diberi

masing-masing satu set handout. Pada proses pembelajaran, siswa

difasilitasi untuk melakukan semua percobaan dengan petujuk LKS,

berdiskusi, mendapatkan pemaparan materi, dan mengerjakan latihan soal

sesuai dengan yang tertuang dalam handout. Setelah semua materi

tersampaikan, dilanjutkan dengan pengambilan data postes.

Postes diselenggarakan untuk mengetahui kemampuan siswa setelah

pembelajaran menggunakan handout diterapkan. Postes dilaksanakan

dengan menggunakan soal-soal yang sama dengan yang digunakan saat

pretes. Data yang diperoleh dari ujicoba digunakan sebagai dasar untuk

menentukan keefektifan, efisiensi, dan daya tarik produk yang dihasilkan

(Puslitjaknov, 2008).

Selisih rata-rata persentase penguasaan soal pretes dan postes,

dihitung kemudian ditentukan kategori kenaikannya dengan menggunakan

gain ternormalisasi (N-Gain). N-Gain didefinisikan sebagai perbandingan

rata-rata gain terhadap gain rata-rata maksimum yang mungkin (Hake,

1999). Hake merumuskan cara untuk menentukan nilai N-gain, seperti

pada persamaan 3.7.

%Sf : persentase rata-rata skor postes.

%Si : persentase rata-rata skor pretes.

Kriteria N-gain menurut Hake terdapat pada Tabel 3.10.

(44)

56

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

>70% Tinggi

30%<G-gain <70% Sedang

<30% Rendah

5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar Yang Dikembangkan

Data terakhir yang diambil adalah tanggapan siswa tentang bahan

ajar. Data diambil setelah pembelajaran dilakukan melalui instrumen yang

terdiri dari 14 butir pernyataan. Semua pernyataan dalam instrumen dibuat

dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Pemberian skor

setiap butir pernyataan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan kategori persentase

tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Instrumen tanggapan siswa

terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat dilihat

(45)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu dengan model MER menghasilkan

bahan ajar dengan karakteristik yang memuat konsep yang utuh dan kaya

materi yang mendukung peningkatan literasi sains siswa. Karakteristik bahan

ajar seperti ini dihasilkan dengan menggunakan analogi, menambahkan

pengetahuan yang relevan dengan konsep yang dibahas, dan menyisipkan

gambar. Ketiga hal tersebut memberikan pengalaman pembelajaran yang

lebih kongkret kepada siswa. Diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk

menjaga keutuhan konsep yang membangun tema. Oleh sebab itu, tema-tema

kontekstual merupakan cara yang tepat untuk menerapkan IPA terpadu. Pada

tema lemari pendingin, konsep tentang kalor (fisika) paling banyak muncul

pada bahan ajar, diantaranya tentang bagaimana proses yang terjadi pada

siklus pendinginan. Konsep adaptasi (biologi) muncul saat menjelaskan

bagaimana suhu dingin menyebabkan makanan lebih awet. Konsep-konsep

dalam IPBA muncul saat membahas bagaimana kerusakan atmosfer yang

disebabkan oleh lemari pendingin. Di dalam bahan ajar, siswa juga telah

dikenalkan pada penggunaan rumus kimia beberapa zat.

Produk bahan ajar yang dihasilkan dari rekonstruksi tidak cukup dengan

hanya memuat konsep-konsep yang akurat. Bahan ajar harus divalidasi,

setidaknya dari tiga aspek utama, yaitu aspek materi, penyajian, dan bahasa

serta keterbacaan. Nilai CVI bahan ajar pada setiap aspek menunjukan bahwa

setiap aspek valid, dan dapat diterima.

Persentase kemampuan literasi sains siswa berdasarkan hasil pretes

menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan literasi sains yang rendah.

(46)

77

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

kehidupan sehari-hari. Melalui bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari

pendingin yang dikembangkan dengan model MER, kemampuan literasi sains

siswa dapat meningkat. Hal ini dibuktikan dengan nilai N-gain yang termasuk

kategori sedang. Rata-rata kemampuan kognitif sebesar 63% merupakan nilai

yang cukup tinggi bagi siswa di tempat penelitian dilaksanakan.

Bahan ajar IPA terpadu tidak hanya meningkatkan kemampuan

akademis siswa, tetapi juga mendapatkan tanggapan positif dari siswa.

Kegiatan praktikum merupakan komponen pembelajaran yang mendapat nilai

tanggapan terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa memperbanyak kegiatan

praktikum merupakan upaya terbaik untuk meningkatkan ketertarikan siswa

dalam pembelajaran.

B. Saran

Bertolak dari adanya peningkatan kemampuan akademis siswa setelah

pembelajaran, peneliti menyarankan kepada penyelenggara pendidikan untuk

membantu mewujudkan pembelajaran IPA secara terpadu. Mengembangkan

bahan ajar sendiri merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan

guru, baik dari segi konten IPA maupun dari segi pedagogik. Guru harus

selalu mengembangkan kemampuannya. Merancang praktikum, menjelaskan

fenomena-fenomena sekitar, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi merupakan bagian dari aktivitas guru sebagai bekal

mengembangkan bahan ajar sekaligus mengajarkan konsep–konsep IPA.

Penelitian seperti ini akan lebih baik jika dilakukan dengan menyertakan

aspek sikap dalam evaluasi. Aspek sikap sains merupakan salah satu aspek

dari literasi sains yang penting, yang hanya disentuh dalam diskusi kelas

dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya harus mengembangkan instrumen

yang mengukur aspek sikap sains.

Dari aktivitas siswa saat pembelajaran, guru menyadari adanya

(47)

praktikum. Hal ini diperkuat dengan hasil tanggapan siswa tentang bahan ajar,

yang menunjukan sikap positif dengan persentase tertinggi pada kegiatan

praktikum. Sangat baik jika penelitian selanjutnya menjadikan kegiatan

praktikum sebagai variabel penelitian yang diukur.

Berdasarkan hasil ujicoba, pembelajaran dengan menggunakan bahan

ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual dapat meningkatkan

literasi sains siswa. Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil tersebut tidak

menguji signifikansi hipotesis. Sangat baik jika penggunaan bahan ajar

diterapkan pada penelitian sebenarnya, dimulai dengan langkah pemilihan

subjek penelitian yang benar. Dengan demikian, penelitian dapat dilakukan

hingga menguji hipotesis, sehingga taraf signifikansi peningkatan prestasi

dapat diuji secara statistik.

Berdasarkan hasil validasi bahan ajar, terdapat dua hal yang menjadi

perhatian peneliti untuk pengembangan bahan ajar berikutnya. Kedua hal

tersebut diantaranya :

1. Peneliti merasakan sulitnya merangkaikan kata yang sesuai dengan

perkembangan siswa SMP. Oleh sebab itu, penjelasan konsep dalam bahan

ajar yang akan dikembangkan harus memperbanyak gambar yang menarik

dan memperjelas konsep.

2. Walaupun terdapat penjelasan untuk setiap istilah baru, akan tetapi masih

ada siswa yang kesulitan dalam mencarinya. Untuk itu, penambahan daftar

(48)

79

Efik Firmansah, 2014

Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.

Bahriah, E.S. (2012). Pengembangan Multimedia Interaktif Keseimbangan

Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis pada SPS UPI

Bandung : tidak diterbitkan.

Bell, T., Urhahne, D., Schanze, S., Ploentzer, R. (2010). “Collaborative

Inquiry Learning: Models, Tools, and Challenges”. International

Journal of Science Education. 32 (3), 349-377.

Bybee, R., Mc Crae, B., Laurie, R. (2009). “PISA 2006 : An Assessment of

Science Literacy”. Journal Research in Science Teaching. 46 (8),

865-883.

Dahar, R.W. (2006). Teori Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.

Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu

Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta:

Depdiknas.

Dikti. ( ). Bahan Ajar, [Online]. Tersedia: www.dikti.go.id/files/atur/KTSP-SMK/11.ppt [16 Februari 2013]

Djaali., Muljono, P. (2008). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.

Duit, R. (2007). “Science Education Research Internationally: Conceptions,

Research Methods, Domains of Research”. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 3–15.

Duit, R., Gropengiesser, H., Kattmann, U., Komorek, M., Parchmann, I. (2012). The Model Of Educational Reconstruction – A Framework For Improving Teaching And Learning Sciences. Eurasia Journal of

Mathematics, Science & Technology Education. 5, 13-38.

(49)

Holbrook, J., Rannikmae, M. (2008). The Meaning of Scientific Literacy.

International Journal of Enviroment & Science Education. 5(3),

275-288.

Ismunandar, Permanasari, A. (2004). Pedoman Penilaian Buku Pelajaran

Kimia Sekolah Mengah Atas. Jakarta: Depdiknas.

Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.

Lawshe, C. H. (1975). “A Quantitative Approach to Content Validity”.

Personnel Psychology. 28, 563-575.

Niebert, K., Gropengiesser, H. (2013). “The Model of Educational

Reconstruction: A framework for the Design of Theory Based Content

Specific Interventions. The Example of Climate Change”. Netherlands

Institute for Curriculum Depelopement. __(__), 511-531.

Oh, P. S. (2009). “How Can Teacher Help Student Formulate Scientific

Hypotheses? Some Strategy Found in Abductive Inquiry Activities of

Earth Science”. International Journal of Science Education. 32 (4),

541-560.

Panuju, R. (2000). [Online]. Tersedia: http://elib.unikom.ac.id/

files/disk1/587/jbptunikompp-gdl-titaadisuk-29345-9-unikom_t-i.pdf.

Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian Pengembangan, Jakarta: Depdiknas.

Ramdani, Y. (2012). “Pengembangan Instrumen Dan Bahan Ajar Untuk

Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Koneksi Matematis dalam Konsep Integral” Jurnal Penelitian Pendidikan.

13(1), 44-52.

Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.

Gambar

Gambar 2.1.  Alur penyusunan pembelajarn terpadu ................................... Gambar 2.2
Tabel Validasi Bahan Ajar .......................................................... Instrumen Tanggapan Siswa ......................................................
Gambar 3.1 Tiga komponen MER (sumber: Duit, 2007)
Gambar 3.2 Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan (sumber: Kattman et al., 1995 dalam Duit et al., 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Bila salah satu dari no 1 dan 2 berhasil, langsung berikan soal no 5, namun bila soal no 1 dan 2 gagal, maka hentikan tes.  Pertanyaan bisa diulang

Pada hari ini, Selasa tanggal Sembilan Belas bulan Agustus tahun Dua Ribu Empat Belas, sesuai dengan jadwal yang termuat pada Portal LPSE http://lpse.mahkamahagung.go.id,

Sehubungan dengan hasil evaluasi penawaran saudara, perihal penawaran Pekerjaan Pembangunan Jalan Tassa Sebatik Tengah (DAK Perbatasan &amp; Pendamping), dimana

3 wird folgender Satz als erster Satz eingefügt: „Zum Vortrag sind Mitglieder und Angehörige der Fakultät als Zuhörerinnen und Zuhörer zugelas- sen.“.

2. Tata tertib sekolah ditetapkan oleh kepala sekolah melalui rapat dewan pendidik dengan mempertimbangkan masukan komite sekolah, dan peserta didik. Penetapan Kode etik sekolah

Berikan penilaian pada salah satu pilihan yang tersedia di sebelah kanan setiap pernyataan, berkaitan dengan apa yang saudara rasakan saat mendengarkan musik yang

Die Habilitationsordnung der Rechtswissenschaftlichen Fakultät der Universität zu Köln vom 18. § 2 Absatz 3 Satz 2 wird wie folgt neu gefasst: „Die Bewerberin oder der Bewerber

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Deli Serdang agar dapat meminimalkan pengaruh faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya pemanfaatan jampersal dengan cara sosialisasi