REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU
PADA TEMA LEMARI PENDINGIN
BERBASIS LITERASI SAINS
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi IPA
Oleh
EFIK FIRMANSAH
1204737
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH
PEMBIMBING:
Pembimbing I
Dr. Ida Hamidah, M.Si 196809261993032002
Pembimbing II
Dr. Dadi Rusdiana, M.Si 196810151994031002
Mengetahui
Ketua Jurusan/Program Studi Pendidikan IPA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPATERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS” beserta isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku di masyarakat keilmuan. Atas pernyataan tersebut saya siap menanggung resiko yang dijatuhkan kepada saya apabila dikemudidan hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini.
Bandung
Yang membuat pernyataan
Halaman
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
1. Tujuan Penelitian ... 8
2. Manfaat Penelitian ... 8
D. Definisi Operasional ... 9
BAB II REKONSTRUKSI BAHAN AJAR IPA TERPADU PADA TEMA LEMARI PENDINGIN BERBASIS LITERASI SAINS A. Bahan Ajar IPA Terpadu ... 10
1. IPA Terpadu ... 11
2. Rekonstruksi Bahan Ajar ... 14
B. Literasi Sains ... 16
1. Bagaimana Suhu Dingin Mengawetkan Makanan dan Terjadinya Pendinginan ... 23
2. Cara Kerja dan Bagian-Bagian Lemari Pendingin ... 26
3. Masalah Yang Ditimbulkan Lemari Pendingin Terhadap Atmosfer ... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 35
1. Model Pengembangan ... 35
2. Prosedur Pengembangan ... 37
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
B. Alur Penelitian ... 40
C. Instrumen Penelitian ... 42
D. Prosedur Pengumpulan Data ... 43
1. Data Untuk Studi Pendahuluan ... 43
2. Data Tentang Validitas Bahan Ajar ... 45
3. Analisis Soal Literasi Sains ... 47
4. Data Kemampuan Literasi Sains Siswa ... 53
5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Yang Dikembangkan ... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Studi Pendahuluan Untuk Mengidentifikasi Permasalahan IPA ... 55 B. Penyusunan Bahan Ajar ... 56
C. Validasi Bahan Ajar ... 64
1. Penilaian Oleh Dosen Ahli ... 64
2. Penilaian Oleh Guru IPA ... 65
3. Nilai CVI ... 70
D. Ujicoba Produk Untuk Mengukur Kemampuan Literasi Sains 71 E. Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 76
B. Saran ... 77
Tabel 2.1. Konteks Literasi Sains ... 18
Tabel 2.2. Kompetensi Sains ... 20
Tabel 2.3. Pengetahuan Sains ... 20
Tabel 2.4. Sikap Ilmiah ... 21
Tabel 2.5. Titik Lebur, Kalor Lebur, Titik Didih, Kalor Uap, dan Kalor Jenis Berbagai Benda Pada Tekanan 1 Atmosfer. ... 25 Tabel 2.6. Beberapa Sifat Fisis Refrigeran. ... 31
Tabel 2.7. Parameter Lingkungan Beberapa Refrigeran. ... 34
Tabel 3.1. Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA . ... 44
Tabel 3.2. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA yang Biasa Digunakan. ... 45
Tabel. 3.3. Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan. ... 45 Tabel 3.4. Kategori Presentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan. ... 45 Tabel 3.5. Penskoran Tanggapan Validator. ... 46
Tabel 3.6. Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05). ... 47
Tabel 3.7. Interpretasi Reliabilitas. ... 50
Tabel 3.8. Kriteria Daya Pembeda. ... 51
Tabel 3.9. Kriteria Tingkat Kesukaran. ... 52
Tabel 3.10. Kriteria Nilai N-Gain. ... 54
Tabel 4.1. Konsep Dasar dalam Tema Teknologi Lemari Pendingin. ... 56
Tabel 4.2. Koreksi dan Saran Dosen Ahli Lemari Pendingin Terhadap Bahan Ajar. ... 64 Tabel 4.3. Nilai CVR Bahan Ajar IPA terpadu Pada Aspek Materi. ... 65
Tabel 4.4. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Penyajian. .. 67
Tabel 4.5. Nilai CVR Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Bahasa dan Keterbacaan. ... 69
Tabel 4.6. Nilai CVI Pada Setiap Aspek Penilaian Bahan Ajar ... 71
Tabel 4.7. Hasil Pretes dan Postes ... 72
Tabel L3. Rekapitulasi Pendapat Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan ... 172
Tabel L4. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Setiap Item Pernyataan. ... 173
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Tabel L6. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Penyajian. 174 Tabel L7. Penilaian Dosen Terhadap Bahan Ajar Pada Aspek Bahasa
dan Keterbacaan ... 174 Tabel L8. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek Materi
Berdasarkan nilai CVR ... 174 Tabel L9. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek
Penyajian Berdasarkan nilai CVR ... 176 Tabel L10. Analisis Validasi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Aspek
Bahasa dan Keterbacaan Berdasarkan nilai CVR ... 177 Tabel L11. Rekapitulasi Judgemen Soal ... 178 Tabel L12. Rekapitulasi Skor Postes Siswa ... 179 Tabel L13. Perhitungan Validitas Kriteria (Dibandingkan Terhadap Nilai
UTS) dan Reliabilitas Internal ... 181 Tabel L14. Rekapitulasi Skor Postes Kelompok Atas dan Kelompok
Bawah ... 183 Tabel L15. Perhitungan Nilai Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran
Butir Soal ... 184 Tabel L16. Skor Pretes dan Skor Postes ... 186 Tabel L17. Rekapitulasi Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA
Terpadu ... 187 Tabel L18. Persentase Persetujuan dan Interpretasi Tanggapan Siswa
Gambar 2.1. Alur penyusunan pembelajarn terpadu ... 14 Gambar 2.2. Komponen-komponen literasi sains dan hubunganya ... 18 Gambar 2.3. Siklus pendinginan pada lemari pendingin ... 26 Gambar 2.4. Sirkulasi udara yang dibantu fan evaporasi membantu
pendinginan ... 28 Gambar 2.5. Reaksi pemecahan CFC oleh UV dan pemecahan Ozon oleh
klorin ... 32 Gambar 3.1. Tiga komponen MER ... 36 Gambar 3.2. Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan 39 Gambar 3.3. Alur penelitian ...
40 Gambar 3.4. Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal...
52 Gambar 3.5. Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal
53 Gambar 4.1. Grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, rata-rata postes,
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
DAFTAR LAMPIRAN
A. INSTRUMEN PENELITIAN
A. 1. RPP ... 82
A. 2. Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin berbasis Literasi Sains ... 100 A.2. a. Analisis Wacana ... 104
A.2. b. Handout ... 118
A.2. c. LKS ... 136
A. 3. Kisi-kisi Tes ... 142
A. 4. Lembar Judgemen Soal ... 151
A. 5. Instrumen Studi Pendahuluan ... 154
A. 6. Lembar Tes ... 156
A. 7. Tabel Validasi Bahan Ajar ... 162
A. 8. Instrumen Tanggapan Siswa ... 170
B. PENGOLAHAN DATA B.1. Pengolahan Studi Pendahuluan ... 171
B.2. Pengolahan Validitas Bahan Ajar ... 174
B.3. Pengolahan Analisis Tes B.3.a. Validitas Isi ... 178
B.3.b. Validitas Kriteria dan Reliabilitas ... 179
B.3.c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran ... 183
B.3.d. Perhitungan Pretes, Postes, dan N-Gain ... 186
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kebutuhan akan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual untuk memberikan pengetahuan yang utuh, sehingga pengetahuan tersebut benar-benar bermakna bagi siswa. Kegiatan utama dari penelitian ini adalah merekonstruksi struktur konten pengetahuan tentang teknologi dan mengubahnya menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran, dengan memperhatikan kurikulum, dan keadaan siswa. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin serta untuk mengetahui kemampuan literasi sains siswa dan tanggapan siswa tentang bahan ajar. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian pengembangan, dengan model pengembangan prosedural, yang diadaptasi dari model MER. Bahan ajar yang dihasilkan kemudian divalidasi oleh dua orang dosen dan sepuluh orang guru IPA untuk mengetahui keakuratan materi dan kelayakan bahan tersebut bagi siswa SMP. Setelah divalidasi bahan ajar diujicobakan kepada siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Untuk mengubah struktur konten pengetahuan menjadi struktur konten pengetahuan untuk pembelajaran dapat dilakukan dengan: penggunaan analogi, menambahkan pengetahuan yang relevan, dan penyisipan gambar. Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat meningkatkan kemampuan literasi sains siswa. Analisis tanggapan siswa terhadap bahan ajar menunjukan bahwa siswa sangat menyenangi pembelajaran, khususnya kegiatan praktikum.
Efik Firmansah, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masyarakat
harus dipandang sebagai tantangan untuk menyiapkan peserta didik lebih baik
lagi. Siswa perlu dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan yang dapat
mereka gunakan untuk bekal kehidupan dimasa datang. Melalui pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), guru harus memfasilitasi siswa agar melek
sains dan teknologi, mampu berpikir kritis, kreatif, serta dapat berfikir logis.
Hal ini diperlukan siswa sebagai bekal menuju kemandirian di masa depan,
sesuai dengan amanat Pasal 1 undang-undang no. 20 tahun 2003, yang
menyatakan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Melihat prestasi siswa di salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kabupaten Cianjur membuat penulis yakin bahwa siswa belum dapat menguasai sains dengan baik. Nilai rata-rata ulangan umum IPA, pada tahun ajaran 2012/2013, yang masih pada angka tiga koma delapan mengindikasikan masih rendahnya kemampuan siswa. Siswa masih mengalami kesulitan menyelesaikan soal pada aspek kognitif yang rendah, apalagi untuk menyelesaikan soal-soal yang menuntut kemampuan berfikir tingkat tinggi. Konsep-konsep IPA masih merupakan sesuatu yang sangat abstrak yang sulit dimengerti.
2
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
saat ujian saja. Pengetahuan diperoleh siswa hanya berdasarkan hapalan secara instan. Tidak jarang siswa menganggap bahwa fisika merupakan ilmu tentang menghafal rumus, yang tidak mereka fahami manfaat kongkrit dari rumus-rumus itu. Berdasarkan pengalaman penulis pada saat mengajarkan konsep tekanan, siswa terlihat belum dapat diajak berdiskusi untuk menjelaskan mengapa pisau tajam lebih mudah memotong. Fakta ini menunjukan bahwa pada umumnya siswa belum dapat menggunakan konsep IPA untuk menjelaskan fenomena sederhana yang terjadi ataupun
menjelaskan bagaimana suatu teknologi bekerja pada kehidupan sehari-hari.
Hal ini menandakan pembelajaran yang kurang bermakna. Pembelajaran yang tidak bermakna menyebabkan pengetahuan akan mudah terlupakan, sehingga tidak dapat digunakan sebagai prasyarat untuk membantu siswa mempelajari konsep-konsep berikutnya.
Diperlukan paradigma baru dalam mengajarkan IPA, sehingga IPA
bukan sekedar pengetahuan yang hanya diperlukan dalam ujian. Pendidikan
IPA di Sekolah seharusnya tidak hanya mengajarkan konten pengetahuan
secara langsung, tetapi juga metode ilmiah sehingga siswa mampu
menggunakan cara bagaimana mengembangkan pengetahuan sains (Oh,
2009). Secara tradisional, IPA diajarkan hanya dengan mentransmisikan
pengetahuan langsung kepada siswa, dan tingkat kesuksesan pembelajaran
hanya ditentukan dengan apa yang dapat diingat siswa (Yager, et al., 2005; T.
Bell et al., 2009). Lebih jauh, (Bell et al., 2009) menyatakan bahwa dalam
pengajaran IPA guru harus mendorong siswa untuk memahami, dan
mengaplikasikan konsep dan metode sains.
Dalam Standar Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun
2006, dikemukakan bahwa IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek
pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya dalam kehidupan
IPA diharapkan dapat membantu peserta didik berfikir logis, kritis, kreatif,
serta dapat mengidentifikasi dan memecahkan masalah yang timbul dalam
kehidupan sehari-hari dengan metode ilmiah, seperti yang dilakukan
ilmuwan. Pembelajaran IPA tidak boleh hanya menyampaikan konten dengan
benar, tetapi juga harus dapat membentuk sikap ilmiah pada siswa.
Satu konsep yang muncul dalam kurikulum IPA tahun 2006 adalah
penekanan pembelajaran sains, lingkungan, teknologi, dan masyarakat secara
terpadu untuk siswa SMP dan MTs. IPA diajarkan secara terpadu melalui
suatu tema yang mengikat. Konsep IPA terpadu dinilai akan dapat membuat
pembelajaran lebih efektif, karena materi ajar dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan setiap satuan pendidikan. Pembelajaran IPA
terpadu dapat dilakukan dengan memilih tema yang diambil dari fenomena
sehari-hari yang terjadi di lingkungan sekitar siswa. Pembelajaran melalui
tema kontekstual akan menarik minat siswa untuk belajar. Motivasi belajar akan tumbuh pada seseorang jika mereka mengetahui manfaat dari apa yang mereka pelajari. Siswa dapat melihat hubungan bermakna antar konsep dan membantu menciptakan struktur kognitif sebagai pengetahuan awal untuk
mempelajari materi selanjutnya. Karena memerlukan wawasan yang luas,
maka IPA terpadu akan membantu siswa meningkatkan kemampuan
berfikirnya. Pembelajaran IPA terpadu merupakan cara terbaik untuk
memberikan pemahaman yang holistik dan mendalam tentang alam.
Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema dari isu-isu
kontekstual memungkinkan siswa lebih aktif berperan dalam pembelajaran di
kelas karena mereka telah memiliki pengetahuan awal sebelumnya, yaitu
mengenali permasalahan yang dibahas. Dahar (2006) mengemukakan dua
asumsi pendekatan Brunner, yaitu: (1) perolehan pengetahuan merupakan
suatu proses interaksi manusia dengan lingkungannya secara aktif. (2) Orang
mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang
4
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Pendekatan kontekstual dapat berpotensi merangsang dan memberi peluang
kepada siswa untuk belajar dan mengembangkan potensinya secara maksimal.
Pembelajaran IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual berpotensi
sebagai pembelajaran yang bermakna.
Salah satu produk dari IPA adalah terciptanya teknologi. Teknologi
yang tercipta merupakan keberhasilan manusia memanipulasi alam. Sebuah
teknologi pada umumnya tidak tercipta dari satu disiplin ilmu, akan tetapi
merupakan produk dari berbagai disiplin ilmu. Sebelum teknologi tersebut
benar-benar bermanfaat bagi manusia, diperlukan penelaahan yang seksama
dari berbagai disiplin ilmu. Salah satu contoh produk teknologi yang
memerlukan pemahaman IPA secara terpadu adalah mobil. Mesin mobil
bekerja berdasarkan ilmu termodinamika; Bagaimana bensin naik dari
mangkuk karbulator bercampur dengan udara menggunakan prinsip
Bernoulli; Untuk memahami reaksi yang terjadi saat pembakaran bensin
diperlukan pemahaman ilmu kimia; Bagaimana pengaruh gas yang di
keluarkan mobil terhadap kehidupan diperlukan ilmu biologi; Bahan apa
yang tidak boleh digunakan untuk membuat kanvas rem agar tidak
mengganggu kesehatan diperlukan ilmu biologi/kesehatan. Masih banyak
ilmu-ilmu lainnya yang terlibat dalam menciptakan teknologi mobil. Ilmu
tersebut memiliki peranan penting untuk memastikan bahwa teknologi yang
diciptakan memiliki manfaat maksimal, dengan dampak merusak yang
minimal. Uraian diatas menunjukan pentingnya memberikan pengetahuan
yang utuh tentang IPA dan menunjukan pentingnya pembelajaran IPA
terpadu.
Hasil penelitian menyatakan bahwa pembelajaran IPA terpadu
merupakan solusi untuk memberi pengalaman belajar yang lebih bermakna
bagi siswa, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Pembelajaran IPA terpadu pada tema air dan kesehatan dapat meningkatkan
sains merupakan salah satu kemampuan yang penting bagi siswa dan
berkaitan dengan kemampuan menjelaskan fenomena dan teknologi
sehari-hari. Menurut Programme for International Student Assessment (PISA)
tahun 2009, dalam Bybee (2012) literasi sains mencakup konteks sains,
kompetensi sains, pengetahuan sains, dan sikap sains. Cakupan literasi sains
beserta komponen-komponennya dapat digunakan sebagai indikator
pemahaman siswa yang holistik tentang alam, yang nantinya dapat digunakan
siswa untuk mengembangkan potensi dirinya. Sangat baik jika menjadikan
literasi sains sebagai standar kemampuan yang harus dimiliki siswa.
Terwujudnya pembelajaran IPA terpadu sangat tergatung pada
dukungan guru. Guru memiliki peran yang dominan untuk mewujudkan
pendidikan yang baik. Guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan
proses pendidikan, khususnya tingkat institusional dan instruksional. Tanpa
guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk, karena segala bentuk
kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak
yang berada pada garis terdepan, yaitu guru (Surya, 2008). Pelaksanaan
kebijakan pemerintah yang baik tentang pembelajaran IPA terpadu, tidak
akan terwujud tanpa dukungan guru.
Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa Guru IPA di Kabupaten
Cianjur, guru-guru masih kesulitan mengimplementasikan pembelajaran IPA
terpadu. Ada keengganan dari guru untuk mengajarkan konsep IPA yang
tidak sesuai dengan bidang studi pendidikannya. Guru yang berlatar belakang
pendidikan fisika umumnya merasa enggan untuk mengajarkan konsep–
konsep biologi, dan begitupun sebaliknya. Hal ini mungkin disebabkan dari
karakteristik bidang studi fisika dan biologi berbeda. Guru dengan latar
belakang fisika biasanya kesulitan dengan istilah-istilah asing dalam biologi,
sementara guru dengan latar belakang pendidikan biologi merasa kesulitan
6
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Masalah lainnya yang muncul dalam usaha mengimplementasikan
pembelajaran IPA terpadu adalah ketersediaan bahan ajar. Buku ajar yang ada
di Sekolah masih membahas konsep-konsep IPA secara terpisah, walaupun
konsep-konsep fisika, biologi, dan kimia telah disatukan dalam satu jilid. Hal
ini memungkinkan guru untuk memilih materi, lebih memfokuskan
pengajarannya pada konsep-konsep yang sesuai dengan bidang pendidikannya.
Bahan ajar yang konvensional tidak hanya membahas konsep fisika, biologi, dan kimia secara terpisah, porsi pembahasan materi secara kontekstual masih minim. Pembahasan masih mengutamakan membangun sebuah konsep, tidak membangun keutuhan sebuah konteks. Hal ini menyebabkan siswa kurang mampu menerapkan konsep IPA pada kehidupan sehari-hari.
Kegiatan praktikum tidak dapat dilepaskan dari pembelajaran IPA. Pada buku yang konvensional, kegiatan praktikum telah mampu membantu siswa untuk membangun konsep, tetapi pada umumnya materi praktikum kurang kontekstual, dan menggunakan alat dan bahan yang tidak mudah ditemukan di lingkungan sekitar siswa. Hal ini menjadi hambatan bagi sekolah yang tidak memiliki fasilitas laboratorium yang lengkap.
Untuk membahas konsep IPA yang ada di lingkungan secara utuh
diperlukan bahan-bahan lainnya sebagai pendukung buku ajar. Guru tidak
dapat menggunakan buku-buku yang membahas aplikasi langsung dari
konsep-konsep IPA, seperti buku-buku tehnik atau artikel-artikel cetak
maupun elektronik yang ada. Penelaahan yang mendalam tentang konten
buku/artikel harus dilakukan untuk mengetahui apakah konten buku/artikel
telah sesuai dengan perkembangan siswa SMP. Konsep yang diajarkan harus
sesuai dengan Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ditetapkan. Untuk itu, guru harus
meluangkan waktu untuk mengembangkan bahan ajar IPA dan menyatukan
konsep-konsep IPA melalui tema yang kontekstual. Diperlukan rekonstruksi
konten ilmu pengetahuan menjadi bahan ajar untuk pembelajaran. Dengan
merekonstruksi bahan ajar, guru tidak hanya akan mendapatkan bahan ajar
yang benar-benar sesuai untuk siswa, tetapi dapat memperkaya pengetahuan
guru itu sendiri.
Pemilihan konteks pembelajaran juga harus dipertimbangkan dengan
baik. Sebaiknya konteks yang dipilih merupakan hal yang ada atau terjadi di
sekitar siswa, karena siswa pada umumnya memiliki ketertarikan untuk dapat
menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya. Satu konteks
yang ada disekitar siswa yaitu teknologi lemari pendingin. Siswa telah
mengenal lemari pendingin dan merasakan manfaatnya, akan tetapi
pengetahuan siswa tentang cara kerjanya, berapa energi yang diperlukannya,
dan bahaya penggunaan bahan pendingin terhadap lingkungan masih perlu
dikembangkan. Tema lemari pendingin dapat mencakup indikator-indikator
literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, maka pembuatan bahan ajar yang
bertemakan lemari pendingin untuk pembelajaran di tingkat SMP layak
dilakukan.
Aspek yang harus dipertimbangkan dari sebuah konteks/tema
8
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
perkembangan siswa, (2) kesesuaian dengan kurikulum, dan (3) pengetahuan
awal siswa tentang tema kontekstual. Struktur konten sains untuk
pembelajaran harus lebih sederhana daripada struktur konten sains agar
mudah dimengerti siswa (Duit, 2007).
Salah satu model untuk mengembangkan bahan ajar adalah Model of
Educational Reconstruction (MER), dengan contoh langkah rekonstruksi
yang dikembangkan oleh Katmann. MER mencakup tiga langkah besar,
yaitu: (1) menganalisis struktur konten, (2) merancang pembelajaran, dan (3)
melakukan penelitian empiris pada proses pembelajaran.
Ketersediaan bahan ajar IPA terpadu yang mengangkat tema
kontekstual masih merupakan masalah yang menghambat implementasi
pembelajaran IPA terpadu di SMP. Oleh sebab itu, penulis ingin melakukan
penelitian yang berjudul “Rekonstruksi Bahan Ajar IPA Terpadu Pada Tema Lemari Pendingin Berbasis Literasi Sains”.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Rumusan masalah untuk peneltian ini adalah bagaimana merekonstruksi
bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains?
Rumusan masalah ini dijabarkan dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik bahan ajar IPA terpadu yang direkonstruksi
menggunakan model MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi
sains?
2. Bagaimana hasil belajar siswa sebelum dan setelah mendapatkan
pembelajaran menggunakan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari
pendingin?
3. Bagaimana tanggapan siswa terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema
lemari pendingin?
1. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
a. Menghasilkan bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin
yang berbasis literasi sains, yang mengintegrasikan konsep adaptasi,
perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer.
b. Mengetahui hasil belajar siswa pada aspek literasi sains sebelum dan
setelah bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin
diujicobakan.
2. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pendidikan, melalui perbaikan proses pembelajaran, antara lain :
a. Bagi siswa
1) Memperoleh hasil belajar yang optimal, melalui pembelajaran
yang lebih bermakna.
2) Lebih memahami fenomena lingkungan dan teknologi, melalui
pembelajaran terpadu yang mengangkat tema kontekstual.
3) Memiliki kepedulian tentang isu yang terjadi di lingkungan dan
ikut berperan dalam menjaga lingkungan.
b. Bagi guru
1) Dapat memperkaya metode/pendekatan guru dalam
menyelenggarakan pembelajaran IPA.
2) Dapat lebih mengefektifkan pembelajaran.
c. Bagi peneliti lain
Sebagai sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi peneliti
selanjutnya, dengan konsep yang berbeda.
D. Definisi Operasional
1. Rekonstruksi Bahan ajar IPA terpadu berbasis literasi sains adalah upaya
10
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
konten sains untuk pembelajaran (bahan ajar). Konten pengetahuan dalam
bahan ajar yang bertema lemari pendingin terdiri dari konten pengetahuan
fisika (konsep kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, dan atmosfer)
dan konten pengetahuan biologi (konsep adaptasi) yang disatukan dalam
tema kontekstual (teknologi lemari pendingin), dan disusun agar siswa
mampu menyelesaikan soal-soal literasi sains. Rekonstruksi tidak hanya
menyederhanakan konten, tetapi juga memperkaya konten pengetahuan
dengan menyisipkan informasi-informasi tambahan yang penting dan
dapat mempermudah pemahaman siswa SMP. Keandalan bahan ajar IPA
terpadu pada tema lemari pendingin diuji melalui uji ahli dengan
menggunakan tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari buku
Penilaian Buku Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat
Perbukuan Depdiknas tahun 2008.
2. Hasil belajar adalah kemampuan kognitif siswa pada aspek yang diukur
melalui tes objektif pilihan ganda sebelum dan setelah pemberian bahan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian
pengembangan. Penelitian ini tidak bertujuan menguji sebuah teori, tetapi
untuk menghasilkan produk berupa bahan ajar IPA terpadu yang disesuaikan
dengan kebutuhan peserta didik. Pada tahun 2008, Pusat Penelitian Kebijakan
dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov), mengemukakan tiga komponen utama
dalam penelitian pengembangan, yaitu: model pengembangan, prosedur
pengembangan, dan ujicoba produk.
1. Model pengembangan
Model pengembangan memuat pedoman untuk mengembangkan
produk yang akan dihasilkan. Puslitjaknov (2008) menyatakan bahwa
model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual
dan model teoritik. Model prosedural bersifat deskriptif, yang
menunjukkan langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk
mendapatkan produk. Model konseptual bersifat analitis, yang
menyebutkan komponen-komponen produk, dan menunjukan hubungan
antar komponen. Model teoritik menggambarkan kerangka berfikir yang
didasarkan pada teori-teori yang relevan dan didukung data empirik.
Model penelitian pengembangan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah Model of Educational Reconstruction (MER). MER didesain
dengan tujuan menyediakan kerangka teoritis yang bermanfaat untuk
mengajarkan fakta sains. Satu ide penting pada model tersebut adalah
struktur konten untuk pelajaran tidak bisa diambil secara langsung dari
struktur konten sains, tetapi secara spesial di rekonstruksi dengan
memperhatikan tujuan pembelajaran kognitif dan perspektif siswa (Duit et
36
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
konten, penelitian mengajar dan belajar, pengembangan dan evaluasi
pelajaran dan hubungannya yang saling berkaitan. Hubungan ketiga
komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1 Tiga komponen MER (sumber: Duit, 2007)
Analisis struktur konten adalah proses analisis untuk mengubah
pengetahuan kebudayaan manusia seperti pengetahuan bidang sains
menjadi pengetahuan untuk sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan
siswa. Kedua struktur secara substansi berbeda. Struktur konten sains yang
terdapat dalam buku teks disajikan secara abstrak dan padat, yang tidak (1) Analisis struktur konten
Penjelasan materi subjek
Analisis tentang pentingnya materi bagi pembelajaran
Ide dasar konten setelah
sesuai dengan kondisi siswa (Niebert et al., 2013). Struktur konten untuk
topik tertentu harus diubah menjadi struktur konten untuk pembelajaran.
Konten tersebut tidak hanya dibuat sedasar mungkin agar dapat diterima
oleh siswa, tetapi juga diperkaya dengan meletakkannya ke dalam konteks
yang membuat siswa mengerti dan menambah rasa ingin tahu. Struktur
konten sains untuk pembelajaran tidak hanya harus lebih dasar dari sudut
pandang sains, tetapi harus lebih kaya (Duit et al., 2012).
Komponen kedua, yaitu penelitian tentang belajar dan mengajar,
mencakup penelitian empiris tentang berbagai hal dalam seting
pembelajaran. Penelitian tentang perspektif siswa, termasuk konsep awal,
dan variabel afektif seperti ketertarikan, konsep diri dan sikap memiliki
peran penting dalam rekonstruksi pendidikan (Duit, 2007). Metode
kualitatif seperti interviu dan mempelajari proses pembelajaran diperlukan
(Komorek et al., 2004 dalam Duit et al., 2012). Dari langkah ini, kita dapat
mengetahui kesulitan-kesulitan dalam mengajarkan konten tertentu, serta
masalah yang dirasakan siswa selama belajar IPA. Hal ini dapat dijadikan
pedoman bagi pengembang untuk mengembangkan bahan ajar yang lebih
baik, dan mampu menutupi kekurangan yang ada pada bahan ajar yang
konvensional.
Komponen ketiga, yaitu mendesain dan mengevaluasi lingkungan
belajar. Komponen ini terdiri dari mendesain bahan ajar, mendesain
aktivitas pembelajaran, dan menentukan urutan pembelajaran (Duit et al.,
2012). Selain harus memiliki isi yang sesuai dengan tahap perkembangan
siswa, bahan ajar yang disusun juga harus dapat menarik perhatian siswa.
Siswa harus merasa senang mempelajari bahan ajar tersebut.
Konsep-konsep yang akan diajarkan harus ditampilkan melalui pendekatan yang
tidak membingungkan siswa, lebih kongkret, serta urutan penyajian yang
logis dan sistematis.
38
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Ketiga komponen model rekonstruksi pendidikan pada Gambar
3.1 hanya menampilkan hubungan dari ketiga aspek, tetapi bukan
merupakan rangkaian prosedur untuk mengembangkan bahan ajar. Pada
kenyataannya, langkah proses akan menjadi cukup kompleks (Duit,
2012). Gambar 3.2 menyajikan satu kemungkinan prosedur dalam MER,
yang dikembangkan oleh Kattmann.
Gambar 3.2 Contoh proses berulang dari model rekonstruksi pendidikan (sumber: Kattman et al., 1995 dalam Duit et al., 2012)
Anak panah yang terdapat pada Gambar 3.2 menunjukan proses
yang rumit, dan beberapa langkah dilakukan secara berulang. Pada
penelitian ini, tidak akan mengikuti langkah yang disajikan Kattmann,
seperti Gambar 3.2. Karena keterbatasan waktu dan biaya, prosedur
penelitian yang dilakukan seperti pada Gambar 3.3. Ketiga aspek dalam ANALISIS STRUKTUR KONTEN
PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN
MER masih tetap ada pada penelitian ini, akan tetapi prosesnya
merupakan penyederhanaan dari prosedur yang dilakukan Kattmann.
3. Ujicoba produk
Ujicoba produk merupakan bagian yang sangat penting dalam
penelitian pengembangan, yang dilakukan setelah rancangan produk
selesai (Puslitjaknov, 2008). Ujicoba bahan ajar dapat memberi informasi
kelayakan penggunaan dalam implementasi pembelajaran sebenarnya.
Ujicoba juga dapat memberikan informasi mengenai sejauh mana efek
yang diberikan bahan ajar, atau apakah sebuah tujuan pembelajaran dapat
dicapai dengan penggunaan bahan ajar.
Ujicoba bahan ajar dalam penelitian ini dilakukan dalam dua tahap,
yaitu ujicoba/penilaian ahli dan uji lapangan. Ujicoba ahli dilakukan oleh
validator, yaitu guru IPA SMP sebanyak 10 orang. Data dikumpulkan
menggunakan tabel validasi bahan ajar, dengan format ceklis dan
tanggapan. Validator diminta menilai keakuratan konsep-konsep ilmu
yang disajikan bahan ajar, kesesuaian elemen bahan ajar (LKS, gambar,
dan fenomena sehari-hari), bahasa yang digunakan, dan penampilan
bahan ajar. Puslitjaknov (2008) bependapat bahwa produk yang baik
harus memenuhi dua kriteria, yaitu: kriteria pembelajaran dan kriteria
penampilan.
Ujicoba tahap dua adalah ujicoba lapangan, yang dilakukan
terhadap siswa kelas VII SMPN 2 Cilaku Kabupaten Cianjur. Subjek
penelitian yang dipilih adalah kelas VII A, yang terdiri dari 37 siswa.
Perlakuan yang diberikan kepada siswa di antaranya: (1) pemberian
pretes, (2) pembelajaran dengan menggunakan bahan ajar sebanyak lima
pertemuan, (3) pemberian postes.
Ujicoba lapangan tidak hanya dilakukan untuk melihat apakah
bahan ajar dapat membantu mencapai tujuan pembelajaran, tetapi juga
40
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
pembelajaran. Ujicoba lapangan juga dilakukan untuk mengumpulkan
informasi berkaitan dengan tanggapan siswa terhadap pembelajaran. Hal
ini sangat penting, karena kita membuat produk untuk siswa. Semua
aspek pengembangan harus memperhatikan kepentingan siswa, tidak
hanya memperhatikan konten ilmu, bahan ajar juga harus membangkitkan
motivasi belajar siswa.
B. Alur Penelitian
Alur kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini ditunjukan pada
Gambar 3.3 Alur penelitian
Berdasarkan Gambar 3.3, tahapan kegiatan yang dilakukan dalam upaya
pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa mengenai bahan
ajar/pembelajaran IPA konvensional dan bagaimana IPA diajarkan dari
instrumen yang disebarkan kepada siswa.
2. Menentukan tema pembelajaran yang kontekstual.
3. Telaah kepustakaan pembelajaran literasi sains dan kepustakaan
teknologi lemari pendingin dari sumber: (1) World Book Of
PENELITIAN EMPIRIS PADA PROSES PEMBELAJARAN
42
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Knowledge. (2) Buku IPA SMP kelas VII (3) www.howstuffwork.com.
(4) http://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pembekuan_makanan. (5)
www.infodokterku.com.
4. Melakukan pendasaran konsep dan memperkaya konsep, dengan
menyisipkan informasi tentang fenomena-fenomena fisika sehar-hari.
5. Menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar pada submateri:
kalor, perubahan wujud, perpindahan kalor, lingkungan, dan adaptasi
pada standar isi mata pelajaran IPA SMP.
6. Perumusan indikator literasi sains dan tujuan pembelajaran aspek
kognitif melalui telaah konteks, kompetensi sains, dan konten sains.
7. Produksi wacana yang diawali dengan penghalusan dan pendasaran
materi, hingga menghasilkan teks luaran.
8. Penyusunan lesson sequence map, yang disesuaikan dengan urutan
pengajaran materi pada strukur isi pembelajaran.
9. Rekonstruksi proposisi makro.
10. Produksi handout bahan ajar dilakukan dengan menyusun ulang teks
luaran dan menambahkan berbagai informasi dalam bentuk gambar,
verbal, dan kegiatan pembelajaran.
11. Menyusun soal evaluasi berdasarkan indikator literasi sains siswa.
12. Penyusunan dan penyebaran tabel validasi bahan ajar kepada dosen ahli
dan guru IPA untuk mengetahui validitas bahan ajar yang telah
dikembangkan.
13. Pengolahan data validasi bahan ajar.
14. Pretes.
15. Ujicoba bahan ajar/implementasi.
16. Postes.
17. Mengumpulkan informasi tanggapan siswa tentang bahan ajar.
18. Pengolahan data.
C. Instrumen Penelitian
1. Instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa
Instrumen digunakan untuk mendapatkan data tanggapan siswa
tentang bahan ajar IPA yang konvensional dan data tentang bagaimana
biasanya konten IPA diajarkan. Instrumen ini dimaksudkan sebagai studi
pendahuluan dan untuk mengetahui masalah pembelajaran IPA yang
terjadi di lapangan. Instrumen dapat dilihat pada Lampiran A.5.
Instrumen tanggapan juga digunakan untuk mengetahui tanggapan
siswa tentang bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin yang
telah mereka gunakan. Instrumen ini dapat dilihat pada Lampiran A.8.
2. Tabel validasi bahan ajar yang diadaptasi dari Pedoman Penilaian Buku
Kimia Sekolah Menengah Atas, yang diterbitkan Pusat Perbukuan
Depdiknas tahun 2008. Instrumen ini digunakan untuk mengetahui
karakteristik bahan ajar yang direkonstruksi dengan menggunakan model
MER, pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains. Instrumen
untuk mengembangkan bahan ajar terdiri dari aspek materi, aspek
penyajian, serta aspek bahasa dan keterbacaan (Ismunandar dan
Permanasari, 2004). Ketiga aspek tersebut diuraikan menjadi sub-sub
aspek sebagai berikut:
a. Materi, yang memuat sub aspek kesesuaian materi dengan
kompetensi, keakuratan materi, kegiatan yang mendukung materi,
kemutahiran materi, dan keterkaitan antar konsep.
b. Penyajian, yang terdiri dari sub aspek penyajian materi, uraian
materi mendudukan siswa sebagai pusat pembelajaran, perhatian
terhadap imtaq dan lingkungan, dan penyajian ilustrasi/gambar.
c. Bahasa dan keterbacaan, yang memuat sub aspek penyajian
menggunakan bahasa indonesia yang baik dan benar, peristilahan,
44
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Setiap sub aspek diuraikan lagi menjadi beberapa indikator
penilaian buku ajar. Tabel penilaian terhadap bahan ajar IPA terpadu
diperlihatkan pada Lampiran A.7. Validator menilai apakah bahan ajar
telah sesuai dengan indikator yang ditetapkan dalam tabel validasi,
dengan memberi tanda check pada kolom yang disediakan. Untuk
perbaikan bahan ajar, pada instrumen dilengkapi dengan komentar dan
saran.
3. Seperangkat tes berbentuk pilihan ganda sebanyak 37 butir soal. Ke-37
soal ini disesuaikan dengan jumlah indikator pembelajaran yang telah
disusun. Instrumen penelitian ini digunakan untuk mengetahui hasil
belajar siswa sebelum dan setelah pembelajaran menggunakan bahan ajar
IPA terpadu pada tema lemari pendingin. Tes disusun berdasarkan
indikator literasi sains, pada aspek konten sains, kompetensi sains, dan
konteks sains. Sebelum digunakan, validitas isi tes diuji melalui penilaian
ahli untuk mengetahui kesesuaian tes dengan indikator-indikator literasi
sains. Setiap butir soal yang dijawab dengan benar diberi skor satu, dan
skor nol untuk butir soal yang dijawab tidak benar. Butir soal instrumen
dapat dilihat pada Lampiran A.6.
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Data untuk studi pendahuluan
Data penelitian diperoleh berupa tanggapan siswa tentang
pembelajaran IPA yang biasa dilakukan dan bagaimana konten IPA
diajarkan. Informasi-informasi tentang masalah pembelajaran IPA yang
terkumpul, dijadikan media oleh peneliti untuk dapat menentukan arah
pengembangan bahan ajar. Hal ini dimaksudkan agar bahan ajar yang
dikembangkan dapat memperbaiki hasil belajar siswa. Studi pendahuluan
tidak diberikan terhadap satu kelas tertentu untuk mendapatkan data dari
berkaitan dengan bagaimana konten IPA biasanya diajarkan. Studi
pendahuluan diberikan kepada 14 orang siswa kelas VII, 11 orang siswa
kelas VII, dan 8 orang siswa kelas IX.
Semua pernyataan-pernyataan dalam instrumen tanggapan dibuat
dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Penskoran
instrumen untuk mengetahui tanggapan siswa tentang bahan ajar IPA
konvensional dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel. 3.1
Penskoran Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar IPA
Tanggapan Skor
Sangat setuju 4
Setuju 3
Tidak setuju 2
Sangat tidak setuju 1
Menurut Sugiyono (2008), untuk menghitung persentase hasil
tanggapan siswa digunakan persamaan :
Dari Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa skor maksimum untuk setiap
item bernilai 4, maka jumlah skor maksimum tanggapan siswa untuk
setiap item adalah banyaknya siswa dikali dengan 4. Panuju (2000)
mengemukakan langkah-langkah untuk menginterpretasi persentase
tanggapan, sebagai berikut:
a. Menentukan rentang persentase tanggapan (R), dengan persamaan:
R = persentase maksimum – persentase minimum
R = 100 % - 25% = 75%.
b. Menentukan banyaknya kategori tanggapan (K). K= 4. Terdapat
empat pilihan tanggapan, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak
setuju (TS) , dan sangat tidak setuju (STS).
46
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
d. Menentukan kategori persentase tanggapan, yang dituangkan pada
Tabel 3.2 dibawah ini:
Tabel 3.2
Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bahan Ajar IPA
Persentase Kategori
25,00%≤% tanggapan siswa<43,75% Sangat tidak setuju 43,75%≤% tanggapan siswa<62,50% Tidak setuju 62,50%≤% tanggapan siswa<81,25% Setuju
tanggapan siswa ≥ 81,25% Sangat setuju
Penskoran instrumen untuk tanggapan siswa tentang bagaimana
konten IPA biasanya diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.3.
Tabel. 3.3
Penskoran Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Biasanya Diajarkan
Perhitungan untuk menentukan kategori persentase tanggapan
siswa tentang bagaimana konten IPA diajarkan dilakukan seperti
perhitungan kategori seperti pada Tabel 3.2. Kategori tanggapan
bagaimana IPA diajarkan dapat dilihat pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4
Kategori Persentase Tanggapan Siswa Tentang Bagaimana Konten IPA Diajarkan
33,33%<% tanggapan siswa<55,56 % Tidak pernah 55,56%<% tanggapan siswa<77,78% Jarang
tanggapan siswa ≥ 77,78 % Sering
2. Data Tentang Validasi Bahan Ajar
Validasi bahan ajar dilakukan untuk menilai kelayakan bahan ajar
jika digunakan di kelas. Sebelum divalidasi oleh sepuluh orang guru IPA,
draf bahan ajar yang telah tersusun diserahkan kepada satu orang dosen
ahli lemari pendingin dan satu orang dosen ahli IPA. Tujuan utama dari
langkah ini adalah untuk memastikan tidak ada kesalahan konsep dalam
aspek materi. Akan tetapi hal ini menjadi kesempatan yang baik untuk
meminta penilaian kedua ahli tentang aspek penyajian serta aspek bahasa
dan keterbacaan. Semua koreksi, tanggapan, dan masukan dari dosen ahli
digunakan untuk memperbaiki bahan ajar.
Bahan ajar yang telah diperbaiki disebarkan kepada sepuluh orang
guru IPA untuk divalidasi dengan menggunakan instrumen tabel validasi
bahan ajar. Data tanggapan validator yang diperoleh berupa ceklist, untuk
mengetahui apakah bahan ajar yang disusun telah sesuai atau tidak.
Penskoran tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5
Penskoran Tanggapan Validator
Kriteria Skor
Ya 1
Tidak 0
Tanggapan guru-guru IPA terhadap bahan ajar, dianalisis dengan
menggunakan Content Validation Ratio (CVR). Lawshe (1975)
merumuskan persamaan untuk menentukan nilai CVR setiap butir
indikator pada aspek penilaian seperti pada persamaan (3.1).
48
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
ne : jumlah validator yang menyatakan Ya.
N : total validator.
Ketentuan:
1) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya kurang dari setengah total
validator maka CVR bernilai negatif.
2) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya setengah dari total
validator, maka nilai CVR = 0
3) Jika seluruh validator menyatakan Ya maka nilai CVR = 1
4) Jika jumlah validator yang menyatakan Ya lebih dari setengah total
validator maka CVR bernilai antara 0 sampai 1. Hal ini menjadi
masalah, apakah bahan ajar telah sesuai dan dapat diterima atau tidak.
Nilai CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima
tergantung pada jumlah validator. Data pada Tabel 3.6 menunjukan nilai
CVR minimum yang menyatakan bahwa sesuatu dapat diterima.
Tabel 3.6
Nilai Minimum CVR (Test satu ekor. p = 0,05)
Jumlah validator Nilai minimum
5 0,99
Perhitungan CVR dilakukan untuk menentukan apakah sebuah item
diterima atau ditolak. Untuk menentukan validitas tiap aspek, dilakukan
perhitungan Content Validation Index (CVI). Secara sederhana CVI
merupakan rata-rata dari nilai CVR untuk sub pertanyaan (Lawshe, 1975).
(3.2)
Setelah divalidasi, bahan ajar langsung diujicobakan kepada siswa.
Ujicoba pembelajaran dilakukan sebanyak lima pertemuan.
3. Analisis Soal Literasi Sains
Status dari implementasi pembelajaran ini adalah untuk
mengujicobakan bahan ajar yang telah disusun, bukan implementasi
penelitian sebenarnya. Pretes dan postes dilakukan dengan menggunakan
instrumen yang telah diuji validitas isinya saja. Analisis soal ini dilakukan
untuk melengkapi informasi tentang kualitas tes, jika ada peneiti lain yang
bertujuan menggunakan instrumen ini pada penelitian sebenarnya.
a. Validitas
Bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin ini
ditujukan untuk meningkatkan literasi sains siswa. Oleh sebab itu,
soal-soal evaluasi yang digunakan harus disesuaikan dengan
indikator-indikator literasi sains. Soal-soal evaluasi yang digunakan
diuji validitas isinya. Tes yang memiliki validitas isi yang baik ialah
tes yang benar-benar mengukur penguasaan materi yang seharusnya
dikuasai (Djaali dan Pudji, 2008). Validitas isi suatu tes tidak
memiliki besaran, sehingga tidak memerlukan cara perhitungan
tertentu untuk menentukannya. Instrumen yang digunakan untuk
menilai adalah lembar penilaian kesesuaian butir soal dengan
50
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
dosen mengenai soal-soal literasi sains selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran B.3.a. Semua butir soal telah dinyatakan sesuai dengan
indikatornya. Adapun koreksi yang harus dilakukan berkenaan dengan
tata tulis butir soal, diantaranya: penggunaan huruf kapital dan jumlah
titik pada tipe soal melengkapi kalimat.
Soal-soal literasi sains juga digunakan untuk mengukur
kemampuan akademis. Instrumen ini bisa dikatakan valid jika siswa
yang memiliki prestasi akademis yang baik akan mendapatkan skor
tinggi pada kegiatan postes. Metode pembeda merupakan validitas
yang digunakan untuk membedakan antara orang yang memiliki sifat
tertentu dengan orang yang tidak memiliki sifat tersebut (Sukardi,
2011). Diperlukan nilai pembanding sebagai kriteria eksternal, untuk
menguji validitas kriteria (validitas banding) dari instrumen. Untuk
menentukan tingkat validitas kriteria suatu tes dilakukan dengan
menghitung koefisien korelasi antara nilai-nilai hasil tes yang akan
diuji validitasnya dengan nilai-nilai hasil tes terstandar yang telah
mencerminkan kemampun siswa (Priatna, 2008). Nilai yang dipilih
sebagai kriteria eksternal adalah nilai ujian tengah semester (UTS).
Kedua kumpulan nilai akan dicari koefisien korelasinya dengan
menggunakan persamaan korelasi produk momen Pearson.
dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi pearson dari tabel, pada
valid, jika nilai rhit > r(dk, 0,05). Guilford (1956) dalam Priatna (2008)
mengemukakan kategori validitas instrumen sebagai berikut: 0,8< r ≤ 1,0 validitas sangat tinggi
0,6< r ≤ 0,8 validitas tinggi 0,4< r ≤ 0,6 validitas sedang 0,2< r ≤ 0,4 validitas rendah
0,0< r ≤ 0,2 validitas sangat rendah r ≤ 0,0 tidak valid.
Setelah tata tulis butir soalnya dikoreksi, tes digunakan dalam
kegiatan pretes dan postes. Data dari postes digunakan untuk menguji
validitas kriteria tes, memanfaatkan nilai UTS siswa sebagai
pembandingnya. Perhitungan Lampiran B.3.b menghasilkan nilai
koefisien validitas sebesar 0,59. Nilai ini lebih besar daripada nilai rtabel
(pada taraf signifikansi 0,05 dan dk = n-2), sebesar 0,2826. Hal ini
menunjukan bahwa tes valid dan dapat digunakan untuk mengukur
kemampuan akademis siswa, dengan kriteria sedang.
b. Reliabilitas
Syarat kedua untuk menentukan layak tidaknya suatu instrumen
adalah nilai reliabilitas. Reliabilaitas adalah tingkat ketetapan suatu
instrumen dalam mengukur apa yang harus diukur (Priatna, 2008).
Perhitungan koefisien reliabilitas pada penelitian ini menggunakan
persamaan Kuder-Richardson (KR-21), seperti pada persamaan 3.4.
r11 : koefisien korelasi
M : rata-rata skor total.
n : jumlah butir soal
52
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Guilford (1956) dalam Priatna (2008) mengemukakan kategori
derajat reliabilitas instrumen yang diiperoleh, yang dapat dilihat dalam
Tabel 3.7.
Perhitungan pada Lampiran B.3.b menghasilkan nilai r11
sebesar 0,75. Berdasarkan informasi dalam Tabel 3.7, dapat
disimpulkan bahwa tes termasuk kriteria reliabilitas tinggi.
c. Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran
Daya pembeda adalah kemampuan suatu soal untuk
membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa
yang berkemampuan rendah (Arikunto, 2009). Karno To (1996)
mengemukakan langkah-langkah menentukan daya pembeda tiap butir
soal sebagai berikut:
1) Mengurutkan siswa berdasarkan skor total yang diperoleh dari
skor terbesar.
2) Mengambil kelompok atas, yaitu 27% siswa yang mendapat skor
tertinggi dan kelompok bawah, yaitu 27% siswa yang
mendapatkan skor terendah.
3) Menghitung daya pembeda tiap butir soal dengan persamaan:
DP : daya pembeda.
BB : jumlah jawaban benar pada kelompok bawah.
NA : jumlah siswa pada kelompok atas.
Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka hasil
perhitungan daya pembeda, yang dapat dilihat pada Tabel 3.8
Tabel 3.8 Kriteria Daya Pembeda Koefisien Korelasi Kriteria
0,70 – 1,00 baik sekali (exelent)
0,40 – 0,70 Baik (good)
0,20 – 0,40 Cukup (satisfactory)
0,00 – 0,20 Jelek (poor)
Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil daya
pembeda butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan seperti pada
Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Perbandingan persentase kriteria daya pembeda butir soal
Tingkat kesukaran diperoleh dengan menghitung jumlah siswa
dari kelompok atas dan bawah yang dapat menjawab soal dengan
benar. Untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal digunakan
54
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
TK : tingkat kesukaran.
NB : jumlah siswa pada kelompok bawah.
Arikunto (2009) mengemukakan interpretasi angka tingkat
kesukaran, yang dapat dilihat pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9
Kriteria Tingkat Kesukaran Nilai Tingkat Kesukaran Kriteria
0,00 – 0,30 sukar
0,30 – 0,70 sedang
0,70 – 1,00 mudah
Dari hasil perhitungan pada Lampiran B.3.c diperoleh hasil
tingkat kesukaran butir soal dengan persentase kriteria ditunjukan
seperti pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Perbandingan persentase kriteria tingkat kesukaran butir soal
Untuk mengetahui peningkatan kemampuan literasi sains siswa,
dilakukan pretes dan postes dengan menggunakan tes yang terdiri dari 37
butir soal. Pretes ditujukan untuk mengetahui kemampuan awal siswa
menjawab soal-soal literasi sains pada konteks teknologi lemari pendingin.
Kegiatan pembelajaran dilakukan setelah pretes. Setiap siswa diberi
masing-masing satu set handout. Pada proses pembelajaran, siswa
difasilitasi untuk melakukan semua percobaan dengan petujuk LKS,
berdiskusi, mendapatkan pemaparan materi, dan mengerjakan latihan soal
sesuai dengan yang tertuang dalam handout. Setelah semua materi
tersampaikan, dilanjutkan dengan pengambilan data postes.
Postes diselenggarakan untuk mengetahui kemampuan siswa setelah
pembelajaran menggunakan handout diterapkan. Postes dilaksanakan
dengan menggunakan soal-soal yang sama dengan yang digunakan saat
pretes. Data yang diperoleh dari ujicoba digunakan sebagai dasar untuk
menentukan keefektifan, efisiensi, dan daya tarik produk yang dihasilkan
(Puslitjaknov, 2008).
Selisih rata-rata persentase penguasaan soal pretes dan postes,
dihitung kemudian ditentukan kategori kenaikannya dengan menggunakan
gain ternormalisasi (N-Gain). N-Gain didefinisikan sebagai perbandingan
rata-rata gain terhadap gain rata-rata maksimum yang mungkin (Hake,
1999). Hake merumuskan cara untuk menentukan nilai N-gain, seperti
pada persamaan 3.7.
%Sf : persentase rata-rata skor postes.
%Si : persentase rata-rata skor pretes.
Kriteria N-gain menurut Hake terdapat pada Tabel 3.10.
56
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
>70% Tinggi
30%<G-gain <70% Sedang
<30% Rendah
5. Data Tanggapan Siswa Terhadap Bahan Ajar Yang Dikembangkan
Data terakhir yang diambil adalah tanggapan siswa tentang bahan
ajar. Data diambil setelah pembelajaran dilakukan melalui instrumen yang
terdiri dari 14 butir pernyataan. Semua pernyataan dalam instrumen dibuat
dengan kalimat positif untuk mempermudah analisis data. Pemberian skor
setiap butir pernyataan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan kategori persentase
tanggapan dapat dilihat pada Tabel 3.2. Instrumen tanggapan siswa
terhadap bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin dapat dilihat
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu dengan model MER menghasilkan
bahan ajar dengan karakteristik yang memuat konsep yang utuh dan kaya
materi yang mendukung peningkatan literasi sains siswa. Karakteristik bahan
ajar seperti ini dihasilkan dengan menggunakan analogi, menambahkan
pengetahuan yang relevan dengan konsep yang dibahas, dan menyisipkan
gambar. Ketiga hal tersebut memberikan pengalaman pembelajaran yang
lebih kongkret kepada siswa. Diperlukan beberapa disiplin ilmu untuk
menjaga keutuhan konsep yang membangun tema. Oleh sebab itu, tema-tema
kontekstual merupakan cara yang tepat untuk menerapkan IPA terpadu. Pada
tema lemari pendingin, konsep tentang kalor (fisika) paling banyak muncul
pada bahan ajar, diantaranya tentang bagaimana proses yang terjadi pada
siklus pendinginan. Konsep adaptasi (biologi) muncul saat menjelaskan
bagaimana suhu dingin menyebabkan makanan lebih awet. Konsep-konsep
dalam IPBA muncul saat membahas bagaimana kerusakan atmosfer yang
disebabkan oleh lemari pendingin. Di dalam bahan ajar, siswa juga telah
dikenalkan pada penggunaan rumus kimia beberapa zat.
Produk bahan ajar yang dihasilkan dari rekonstruksi tidak cukup dengan
hanya memuat konsep-konsep yang akurat. Bahan ajar harus divalidasi,
setidaknya dari tiga aspek utama, yaitu aspek materi, penyajian, dan bahasa
serta keterbacaan. Nilai CVI bahan ajar pada setiap aspek menunjukan bahwa
setiap aspek valid, dan dapat diterima.
Persentase kemampuan literasi sains siswa berdasarkan hasil pretes
menunjukan bahwa siswa memiliki kemampuan literasi sains yang rendah.
77
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
kehidupan sehari-hari. Melalui bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari
pendingin yang dikembangkan dengan model MER, kemampuan literasi sains
siswa dapat meningkat. Hal ini dibuktikan dengan nilai N-gain yang termasuk
kategori sedang. Rata-rata kemampuan kognitif sebesar 63% merupakan nilai
yang cukup tinggi bagi siswa di tempat penelitian dilaksanakan.
Bahan ajar IPA terpadu tidak hanya meningkatkan kemampuan
akademis siswa, tetapi juga mendapatkan tanggapan positif dari siswa.
Kegiatan praktikum merupakan komponen pembelajaran yang mendapat nilai
tanggapan terbesar. Hal ini mengindikasikan bahwa memperbanyak kegiatan
praktikum merupakan upaya terbaik untuk meningkatkan ketertarikan siswa
dalam pembelajaran.
B. Saran
Bertolak dari adanya peningkatan kemampuan akademis siswa setelah
pembelajaran, peneliti menyarankan kepada penyelenggara pendidikan untuk
membantu mewujudkan pembelajaran IPA secara terpadu. Mengembangkan
bahan ajar sendiri merupakan suatu cara untuk meningkatkan pengetahuan
guru, baik dari segi konten IPA maupun dari segi pedagogik. Guru harus
selalu mengembangkan kemampuannya. Merancang praktikum, menjelaskan
fenomena-fenomena sekitar, dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan bagian dari aktivitas guru sebagai bekal
mengembangkan bahan ajar sekaligus mengajarkan konsep–konsep IPA.
Penelitian seperti ini akan lebih baik jika dilakukan dengan menyertakan
aspek sikap dalam evaluasi. Aspek sikap sains merupakan salah satu aspek
dari literasi sains yang penting, yang hanya disentuh dalam diskusi kelas
dalam penelitian ini. Penelitian selanjutnya harus mengembangkan instrumen
yang mengukur aspek sikap sains.
Dari aktivitas siswa saat pembelajaran, guru menyadari adanya
praktikum. Hal ini diperkuat dengan hasil tanggapan siswa tentang bahan ajar,
yang menunjukan sikap positif dengan persentase tertinggi pada kegiatan
praktikum. Sangat baik jika penelitian selanjutnya menjadikan kegiatan
praktikum sebagai variabel penelitian yang diukur.
Berdasarkan hasil ujicoba, pembelajaran dengan menggunakan bahan
ajar IPA terpadu yang mengangkat tema kontekstual dapat meningkatkan
literasi sains siswa. Akan tetapi dalam penelitian ini, hasil tersebut tidak
menguji signifikansi hipotesis. Sangat baik jika penggunaan bahan ajar
diterapkan pada penelitian sebenarnya, dimulai dengan langkah pemilihan
subjek penelitian yang benar. Dengan demikian, penelitian dapat dilakukan
hingga menguji hipotesis, sehingga taraf signifikansi peningkatan prestasi
dapat diuji secara statistik.
Berdasarkan hasil validasi bahan ajar, terdapat dua hal yang menjadi
perhatian peneliti untuk pengembangan bahan ajar berikutnya. Kedua hal
tersebut diantaranya :
1. Peneliti merasakan sulitnya merangkaikan kata yang sesuai dengan
perkembangan siswa SMP. Oleh sebab itu, penjelasan konsep dalam bahan
ajar yang akan dikembangkan harus memperbanyak gambar yang menarik
dan memperjelas konsep.
2. Walaupun terdapat penjelasan untuk setiap istilah baru, akan tetapi masih
ada siswa yang kesulitan dalam mencarinya. Untuk itu, penambahan daftar
79
Efik Firmansah, 2014
Rekonstruksi bahan ajar IPA terpadu pada tema lemari pendingin berbasis literasi sains Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
Daftar Pustaka
Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara.
Bahriah, E.S. (2012). Pengembangan Multimedia Interaktif Keseimbangan
Kimia Untuk Meningkatkan Literasi Sains Siswa. Tesis pada SPS UPI
Bandung : tidak diterbitkan.
Bell, T., Urhahne, D., Schanze, S., Ploentzer, R. (2010). “Collaborative
Inquiry Learning: Models, Tools, and Challenges”. International
Journal of Science Education. 32 (3), 349-377.
Bybee, R., Mc Crae, B., Laurie, R. (2009). “PISA 2006 : An Assessment of
Science Literacy”. Journal Research in Science Teaching. 46 (8),
865-883.
Dahar, R.W. (2006). Teori Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Depdiknas. (2006). Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta:
Depdiknas.
Dikti. ( ). Bahan Ajar, [Online]. Tersedia: www.dikti.go.id/files/atur/KTSP-SMK/11.ppt [16 Februari 2013]
Djaali., Muljono, P. (2008). Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Grasindo.
Duit, R. (2007). “Science Education Research Internationally: Conceptions,
Research Methods, Domains of Research”. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology Education. 3(1), 3–15.
Duit, R., Gropengiesser, H., Kattmann, U., Komorek, M., Parchmann, I. (2012). The Model Of Educational Reconstruction – A Framework For Improving Teaching And Learning Sciences. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology Education. 5, 13-38.
Holbrook, J., Rannikmae, M. (2008). The Meaning of Scientific Literacy.
International Journal of Enviroment & Science Education. 5(3),
275-288.
Ismunandar, Permanasari, A. (2004). Pedoman Penilaian Buku Pelajaran
Kimia Sekolah Mengah Atas. Jakarta: Depdiknas.
Karno To. (1996). Mengenal Analisis Tes. Bandung: FIP IKIP Bandung.
Lawshe, C. H. (1975). “A Quantitative Approach to Content Validity”.
Personnel Psychology. 28, 563-575.
Niebert, K., Gropengiesser, H. (2013). “The Model of Educational
Reconstruction: A framework for the Design of Theory Based Content
Specific Interventions. The Example of Climate Change”. Netherlands
Institute for Curriculum Depelopement. __(__), 511-531.
Oh, P. S. (2009). “How Can Teacher Help Student Formulate Scientific
Hypotheses? Some Strategy Found in Abductive Inquiry Activities of
Earth Science”. International Journal of Science Education. 32 (4),
541-560.
Panuju, R. (2000). [Online]. Tersedia: http://elib.unikom.ac.id/
files/disk1/587/jbptunikompp-gdl-titaadisuk-29345-9-unikom_t-i.pdf.
Puslitjaknov. (2008). Metode Penelitian Pengembangan, Jakarta: Depdiknas.
Ramdani, Y. (2012). “Pengembangan Instrumen Dan Bahan Ajar Untuk
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi, Penalaran, Dan Koneksi Matematis dalam Konsep Integral” Jurnal Penelitian Pendidikan.
13(1), 44-52.
Slavin, R. E. (2005). Cooperative Learning Teori Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media.