KORAN
TElVIPO
o
Senin123
17 18 19
OJan OPeb
o
Se/asa
.
Rabu
0
Kamis
0
Jumat
4
5
6
7
8
9
10
11
20
21
22
23
24
25
26
o
Mar OApr
OMei
OJun
OJul
0
Ags
o
Sabtu
0
Minggu
12
13
14
15
27
28
29
OSep
OOId
ONov
CATATAN
AKHIRTAHUN
Menyoal Berita Televisi
-
.--Jannus
IN.
Siahaan,
MAHASISWAPROGRAM8-3 BIDANGSOSIOLOGIASIP UNPADW
acana mengenai pe-larangan siaran langsung persidang-an mengaktualkpersidang-an kembali debat lama ihwal klasifikasi informasi yang dapat diakses publik (pemirsa). Sebagian menilai pelarangan tersebut melanggar hak konsti-tusi warga negara untuk menda-patkan informasi. Tapi sebagian lagi berpendapat pelarangan tersebut justru dimaksudkan untuk melindungi hak konstitusi warga negara dari kemungkinan mendapatkan informasi yang distortif dan sUI:9IT.Sejatinya, wacana ini menandai belum berakhirnya karut-marut berita televisi di negeri ini. Bahkan akan ditemukan puncaknya ke-tika sistem siaran berjaringan mulai diterapkan pada awal 2010.
Pada prakteknya ada dua suat siaran langsung (live)yang harus dipahami. Pertama, suat menca-ri untung (business behaviour) sebagai konsekuensi besarnya cost production siaran langsung. Akibatnya, pencapaian rating/ shareuntuk mendongkrak pen-dapatan iklan menjadi sebuah keiriscayaan. Di sini siaran lang-sung persidangan sangat mung-kin berubah menjadi panggung drama. Prinsip dasarnya adalah sampaikan sebanyak-banyaknya apa yang ingin didengar oleh
se-banyak-banyaknya pemirsa. Se-bab, everybody loves drama.
Siaran l;mgsung persidangan O.J. Simpson, misalnya, adalah contoh bagaimana televisi tidak hanya mengubah ruang sidang menjadi arena sirkus, tapi juga mendramatisasi sedemikian rupa fakta-fakta hukum. Alih-alih menguji-silang fakta-fakta hu-kum saja, siaran langsung itu hanya menjadi arena debat li-nguistik belaka, yang pada gifu-annya memunculkan kegaduhan, kesimpang-siuran informasi, dan terutama keberpihakan. Siaran langsung sidang pengadilan ter-sebut akhirnya dihentikan ber-dasarkan keputusan pengadilan.
Kedua, suat siaran langsung ditujukan dari dan untuk kom-petisi (competitiveness behavio-ur).Suat ini mendorong jurnalis televisi mengemas siaran lang-sung persidangan secara berbeda dan lebih dibanding stasiun tele-visi lain. Kebutuhan untuk tam-pil beda dan lebih ini potensial merangsang televisi menyajikan hal-hal yang populis, yang kenes, yang jauh dari usaha menjadi-kan pemirsa melek hukum, na-mun dramatik.
Demikian pula siaran lang-sung persidangan di Mahkamah Konstitusi yang memperdengar-kan rekaman pembicaraan Ang-godo Widjojo dengan pihak lain. Dalam catatan saya, stasiun
tele-Kliping
Humas
Unpad
2009
visiTV Onedan Metro TVmeng-undang ke studio mereka para pakar dan pengamat hukum un-tuk mengomentari jalannya per-sidangan. Laiknya komentator dalam sebuah pertandingan se-pak bola, demikian riuhnya ko., mentar atas jalannya persidang-an tersebut. Akibatnya, Anggodo dipersepsikan sebagai tokoh an-tagonis. Karena itu, harus tidak disukai, bahkan sebelum persi-dangan rekaman pembicaraan tersebut berakhir.
Situasi ini jauh-jauh hari su-dah diingatkan olehmedia theo-ristNeil Postman (Amusing Our-selves to Death, NYU, 1985) se-' bagai siasat televisi memelihara sentimen pemirsa. Berhubung SES (socio-economic strata)D dan E adalah pemirsa terbesar dalam konstruksi piramida ke-pemirsaan, mereka jugalah yang paling rentan tumbuh dalam du-nia rekaan yang stereotipikal. Televisi, demikian Postman, tak pernah memberikan ruang kepa-da diskursus publik.
Hamsdilarang
konstitusi warga negara untuk mendapatkan informasi dan hak konstitusi warga negara untuk dilindungi dari informasi yang distortif dan figural.
Siaran langsung persidangan mantan Ketua KPK Antasari Azhar adalah salah satu contoh siaran langsung yang seharusnya dilarang, karena sarat dengan muatan mesum. Tidak adanya supercaption parenting guide mengindikasikan siaran lang-sung tersebut tidak dimaksud-kan untuk memenuhi hak kon-stitusi pemirsa mendapatkan in-formasi yang bepnanfaat.
Tanpa bermaksud mengebiri hak konstitusi warga negara un-tuk mendapatkan informasi, pe-nayangan kericuhan rapat de-ngar pendapat antara Kompak dan Komisi ill DPR RI dipahami secara berbeda oleh pemirsa ka-rena perbedaan strata pendidik-an. Siaran langsung tersebut mengekspresikan kebencian dan kekerasan.. Padahal informasi mengenai rapat dengar pendapat tersebut dapat juga diakses me-lalui media cetak dan portal
be-rita. .
Di atas semua itu, dibutuhkan tanggung jawab semua pihak untuk menyadari bahwa siaran lan~ungpersIDanganb~abe~ dampak luas me1ebihi persi-dangan itu sendiri. Pihak-pihak yang beperkara (jaksa, hakim,
terdakwa, saksi,pengacara) wa-jib menyadari bahwa mereka memiliki tanggung jawab men-jaga sikap, ucapan, dan tingkah lakunya agar tidak menyesatkan pemirsa.
Untuk memulai pelaksanaan tanggung jawab itu, pertama-ta-ma te1evisi harus berhenti meng-giring masyarakat ~enjadi ko-munitas yang visual dan figural. Siaran langsung persidangan, meminjam istilah Thomas Elsa-esser dalam tes~nya, Cinema Fu-tures: Cain, Abel or Cable: the Screen Arts in the Digital Age, 1998, tidak boleh ditujukan un-tuk menghadirkan dunia tiruan baik secara literal, metaforik, maupun superfisial.
Kesimpulannya, te1evisi harus mampu me1epaskan diri dari dua sifat siaran langsung. Dan, men-jadikan siaran langsung persi-dangan sebagai arena pemapar-an fakta-fakta hukum saja, de-ngan debat yang cerdas dan ber-martabat. Bukan menjadikan si-aran langsung sebagai sidang pengadilan barn. Namun, jika te1evisi masih gemar mereduksi tumpukan informasi yang instan dalam waktu bersamaan, masih gandrung populis, kenes, dan dramatik, siaran langsung persi-dangan b~ menjadi born waktu. Terutama jika s~tem siaran ber-jaringan diterapkan. 8