INTISARI
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah diketahui efek isoflavon dalam ekstrak tempe dalam mencegah terjadinya penuaan dini pada kulit, khususnya isoflavon genistein. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat peppermint oil sebagai enhancer dalam formulasi terhadap karakteristik dan sifat fisik sediaan gel. Berbagai konsentrasi minyak peppermint (0,5%; 1%; 2%) diformulasikan ke dalam sediaan gel. Formulasi gel ekstrak tempe yang telah dibuat kemudian diuji karakteristiknya seperti pH, viskositas, dan daya sebarnya. Uji iritasi dilakukan dengan metode HET-CAM yang menggunakan membran chorioallantoic pada telur ayam. Data kemudian dianalisis dengan ANOVA untuk data parametrik dan Kruskal-Wallis untuk data non-parametrik menggunakan program R 2.1.3.2. Analisis stastistik dilakukan pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan peppermint oil dalam formulasi memberikan pengaruh terhadap viskositas dan daya sebar sediaan berdasarkan uji Kruskal-Wallis. Tidak ada efek iritasi ditemukan pada hasil HET-CAM setiap formula. Semua formula memenuhi kriteria sifat fisik yang disyaratkan.
ABSTRACT
Recent studies have shown the effect of soy isoflavones in tempeh extract in preventing skin photoaging, especially for genistein. The objective of this study was to observe the effect of peppermint oil as penetration enhancer in gel formulation on its characteristic and physical properties. Various concentrations of peppermint oil (0,5%; 1%; 2%) were incorporated into gels. The tempeh crude extracts were made into suitable gel formulation and is evaluated for their gel characteristics such as: pH, viscosity, and spreadability. The irritation test was examined with HET-CAM methods using chorioallantoic membrane on Hen’s
egg. Data were analyzed using R 2.13.2 program with ANOVA test for parametric data and Kruskal-wallis test for nonparametric data. Statistical analysis was performed at 95% confidence interval.
The result of this study showed that incorporation of peppermint oil in formulation was significantly affecting the viscosity and spreadability based on Kruskal Wallis test.There were no irritation effect in all formulas’ result on HET -CAM to be found.All of the formulas met the physical properties in accordance with criteria.
Keywords : tempeh extract, gel, peppermint oil, irritation test, physical
EKSTRAK TEMPE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh: Cindy Tiara Sari NIM : 108114142
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
i
PENGARUH PENAMBAHAN MINYAK PEPPERMINT SEBAGAI
PENETRATION ENHANCER TERHADAP KARAKTERISTIK DAN
SIFAT FISIK SEDIAAN GEL EKSTRAK TEMPE
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Cindy Tiara Sari
NIM : 108114142
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
“All that is gold does not glitter; not all those who wander are lost; the old that is strong does not wither; deep roots are not reached by the frost.”
–J. R. R. Tolkien
"You are not entitled to your opinion. You are entitled to your informed opinion. No one is entitled to be ignorant."
–Harlan Ellison
“Whether the chicken crossed the road or the road crossed the chicken depends on your frame of reference.”
–Albert Einstein
“Life is either a daring adventure or nothing at all.” – Helen Keller
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus, Eyang Putri, Mama, Pakde, Bude, dan semua saudara dan adik-adikku , sahabat-sahabatku, semua yang telah mendukungku, almamaterku, dan semua yang membutuhkan
vii PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan yang telah
diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“Pengaruh Penambahan Minyak Peppermint Sebagai Penetration Enhancer
Terhadap Karakteristik Dan Sifat Fisik Sediaan Gel Ekstrak Tempe” ini
dengan baik.
Penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan dalam proses
penyusunan skripsi ini. Namun, dengan adanya bantuan dan dukungan dari perbagai
pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Eyang Putri, Mama, Pakde Tomi, Bude Reni, Prima, Putri, dan dek Rara yang
telah memberikan kasih sayang, semangat, dukungan, dan doa selama penulis
menempuh perkuliahan dan tugas akhir.
2. Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing atas bimbingan,
arahan, perhatian, semangat, dukungan dan kesabaran yang diberikan selama
penyusunan skripsi ini.
4. C. M. Ratna Rini Nastiti, M.Pharm., Apt. selaku dosen pembimbing akademik
dan dosen penguji atas bimbingan, saran dan pengarahannya selama
penyusunan skripsi.
5. Melania Perwitasari, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji atas bimbingan, saran
viii
6. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., Phebe Hendra, Ph.D., Apt. Dewi Setyaningsih,
M.Sc., Apt., dan Maria Dwi Budi Jumpowati, S.Si., atas kesediaan untuk
berkonsultasi dan membantu penulis dalam menyelesaikan masalah-masalah
dalam penyelesaian tugas akhir.
7. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Farmasi Sanata Dharma atas kesabarannya
dalam mengajar dan membimbing penulis selama perkuliahan.
8. Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Bimo, Pak Heru, Pak Parjiman, Pak Wagiran, Pak
Iswandi, dan laboran-laboran lain serta Pak Darto atas bantuan yang diberikan
selama penelitian dan menempuh perkuliahan.
9. Sahabat-sahabat penulis Mega, Lia, Ivan, Jessi, Tere dan Tari yang selalu
menemani, menghibur dan mendoakan selama ini serta kesediaan untuk selalu
direpotkan.
10. Segenap umat Lingkungan St. Antonius Gendeng Selatan atas doa, dukungan,
perhatian, dan pengertiannya selama ini.
11.Dion, Nana, Detha, Acong (Reza), Koko Kiki, Satya, mbak Dynna, dan
teman-teman Gereja Kristus Raja Paroki Kristus Raja Baciro untuk semangat, doa, dan
perhatian yang diberikan selama ini.
12.Vivian, Lilin, Sisca, Sita, Nessya, Sefi, Bakti, Kelvin, Rosa, Marcel, dan
teman-teman satu kelompok praktikum dan kelompok presentasi, FST B 2010
dan seluruh angkatan 2010 atas kebersamaan dan keceriaannya selama ini.
13.Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak dapat disebutkan
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iiv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xivv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvii
ABSTRACT ... xviii
BAB I ... 1
A.Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 4
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 5
B.Tujuan Penelitian ... 6
BAB II ... 7
A. Skin Aging ... 7
B.Kulit ... 9
C.Kedelai ... 12
xi
E. Bahan Formulasi ... 18
1. Gelling Agent ... 18
2. Penetration enhancer ... 19
3. Propilen Glikol ... 22
4. Trietanolamin ... 22
5. Benzalkonium Klorida ... 23
6. Tween 80 ... 24
F. Uji Iritasi HET-CAM ... 25
G.Uji Sifat Fisik ... 26
1. Viskositas... 26
2. Daya sebar ... 27
H.Metode Penetapan Kadar dengan menggunakan HPLC ... 28
I. Landasan Teori ... 31
J. Hipotesis ... 32
BAB III ... 33
A.Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33
B.Variabel Penelitian ... 33
C.Definisi Operasional... 34
D.Bahan Penelitian... 35
E. Alat Penelitian ... 35
F. Tata Cara Penelitian ... 36
1. Pembuatan crude extract tempe ... 36
2. Penetapan kadar isoflavon genistein dari crude extract tempe ... 36
3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai ... 38
xii
5. Uji Iritasi HET-CAM... 41
BAB IV ... 43
A.Ekstraksi isoflavon genistein dari tempe... 43
B.Standarisasi isoflavon genistein dari tempe ... 46
C.Pembuatan Gel Anti-Aging ... 51
1. Uji Organoleptis dan pH ... 54
2. Uji Viskositas ... 55
3. Uji Daya Sebar... 57
D.Uji Iritasi HET-CAM ... 59
BAB V ... 62
A.Kesimpulan ... 62
B.Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
LAMPIRAN ... 69
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skor Uji Iritasi HET-CAM ... 26
Tabel 2. Kategori Iritasi Berdasarkan Skor Iritasi Pada HET-CAM ... 26
Tabel 3. Batas Bawah Transparensi Macam-Macam Pelarut Organik ... 30
Tabel 4. Perhitungan regresi linier kurva baku standar genistein ... 48
Tabel 5. Perhitungan Jumlah Genistein dalam Ekstrak Tempe dengan Kurva Loading Mass ... 50
Tabel 6. Hasil Uji Saphiro-Wilk Viskositas ... 57
Tabel 7. Hasil Uji Saphiro-Wilk ... 58
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema perbedaan kulit pada usia muda usia dan tua ... 7
Gambar 2. Bagian-bagian dari epidermis... 10
Gambar 3. Mekanisme absorpsi dan rute obat dalam sistem penghantaran obat topikal dan transdermal ... 11
Gambar 4. Struktur umum isoflavon kedelai dan singkatannya ... 14
Gambar 5. Struktur Carbopol® ... 19
Gambar 6. Struktur Propilen Glikol ... 22
Gambar 7. Stuktur Trietanolamin ... 23
Gambar 8.Struktur Benzalkonium klorida ... 24
Gambar 9. Macam-macam modifikasi gel silica... 29
Gambar 10. Reaksi Hidrolisis Glukosida Isoflavon Genistin menjadi Aglikon Isoflavon Genistein ... 43
Gambar 11. Kurva Baku Standar Genistein AUC vs Konsentrasi (ppm) ... 49
Gambar 12. Kromatogram ekstrak tempe ... 50
Gambar 13. Carbomer dalam bentuk coil akan mengalami pembasahan dan mengembang ketika didispersikan dalam air ... 52
Gambar 14. Molekul Carbopol® terurai (uncoil) ketika molekul asamnya ternetralisir menjadi bentuk garam dan mencapai kekentalan maksimum ... 53
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pembuatan crude extract tempe ... 70
Lampiran 2. Standarisasi kandungan isoflavon genistein dari crude extract tempe… ... 70
Lampiran 3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai ... 76
Lampiran 4. Uji Sifat Fisik ... 77
Lampiran 5. Uji Statistik ... 78
xvi INTISARI
Dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah diketahui efek isoflavon dalam ekstrak tempe dalam mencegah terjadinya penuaan dini pada kulit, khususnya isoflavon genistein. Tujuan dari penelitian ini untuk melihat
peppermint oil sebagai enhancer dalam formulasi terhadap karakteristik dan sifat
fisik sediaan gel. Berbagai konsentrasi minyak peppermint (0,5%; 1%; 2%) diformulasikan ke dalam sediaan gel. Formulasi gel ekstrak tempe yang telah dibuat kemudian diuji karakteristiknya seperti pH, viskositas, dan daya sebarnya. Uji iritasi dilakukan dengan metode HET-CAM yang menggunakan membran
chorioallantoic pada telur ayam. Data kemudian dianalisis dengan ANOVA untuk
data parametrik dan Kruskal-Wallis untuk data non-parametrik menggunakan program R 2.1.3.2. Analisis stastistik dilakukan pada tingkat kepercayaan 95%.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan peppermint oil
dalam formulasi memberikan pengaruh terhadap viskositas dan daya sebar sediaan berdasarkan uji Kruskal-Wallis. Tidak ada efek iritasi ditemukan pada hasil HET-CAM setiap formula. Semua formula memenuhi kriteria sifat fisik yang disyaratkan.
xvii
ABSTRACT
Recent studies have shown the effect of soy isoflavones in tempeh extract in preventing skin photoaging, especially for genistein. The objective of this study was to observe the effect of peppermint oil as penetration enhancer in gel formulation on its characteristic and physical properties. Various concentrations of peppermint oil (0,5%; 1%; 2%) were incorporated into gels. The tempeh crude extracts were made into suitable gel formulation and is evaluated for their gel characteristics such as: pH, viscosity, and spreadability. The irritation test was examined with HET-CAM methods using chorioallantoic membrane on Hen’s egg. Data were analyzed using R 2.13.2 program with ANOVA test for parametric data and Kruskal-wallis test for nonparametric data. Statistical analysis was performed at 95% confidence interval.
The result of this study showed that incorporation of peppermint oil in formulation was significantly affecting the viscosity and spreadability based on Kruskal Wallis test. There were no irritation effect in all formulas’ result on HET -CAM to be found. All of the formulas met the physical properties in accordance with criteria.
Keywords : tempeh extract, gel, peppermint oil, irritation test, physical
1 BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Penuaan merupakan sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam siklus
hidup manusia. Namun laju penuaan dapat diatasi sehingga membuat penampilan
seseorang tetap awet muda. Gejala penuaan pada kulit (skin aging) yang dapat
diamati dengan kasat mata antara lain: kulit menipis dan menjadi longgar serta
elastisitasnya berkurang (Brincat, Kabalan, Studd, Moniz, de Trafford, dan
Montgomery, 1987). Elastisitas kulit berkurang karena adanya penurunan jumlah
hormon estrogen yang menyebabkannya menurunnya jumlah kolagen dan serat
elastin. Kolagen dan serat elastin merupakan komponen penting dalam
mempertahankan konsistensi dan kekenyalan kulit (Brincat et al., 1987).
Ada berbagai macam cara untuk mengatasi aging, salah satunya dengan
terapi estrogen. Namun terapi ini dapat menyebabkan efek samping dalam jangka
panjang (U.S. Department Of Health and Human Services, 2005). Salah satu
alternatif dari terapi estrogen adalah menggunakan senyawa fitoestrogen dalam
sediaan. Senyawa fitoestrogen mempunyai struktur yang mirip dengan steroid
estrogen. Aglikon isoflavon pada tanaman kedelai (Glycine max) merupakan salah
satu contoh fitoestrogen. Salah satu isoflavon kedelai, genistein, menunjukkan
aktivitas penghambatan enzim tirosin kinase dan MAP kinase. Genistein yang
jalurde novo (Yoon, Chen, Baylink, dan Lau, 1998), menghambat terbentuknya
proteinase yang secara spesifik dapat mendegradasi kolagen atau elastin (Shao,
Shen, dan Barsky, 1998). Penelitian Indranupakorn (2010) menyatakan genistein
terbukti efektif dalam melindungi kulit dari oxidative stress yang disebabkan oleh
paparan sinar UV B sebagai antioksidan. Hal ini menunjukkan bahwa genistein
yang berada pada ekstrak kedelai berpotensi untuk diformulasikan ke dalam
sediaan anti-ageing.
Isoflavon genistein yang diaplikasikan topikal dapat menimbulkan efek
lokal pada terapi kemopreventif dari sinar UV yang dapat memicu kerusakan kulit
maupun efek sistemik dalam mencegah pertumbuhan beberapa jenis kanker.
Sediaan topikal juga membantu memperbaiki bioavalabilitas genistein yang
masuk ke dalam tubuh dibandingkan ketika diberikan secara oral, di mana terjadi
pengurangan yang cukup berarti karena adanya first pass hepatic system (Setchell,
1998). Sediaan anti-ageing dibuat ke dalam gel. Gel merupakan sediaan semisolid
yang menimbulkan cooling effect sehingga nyaman digunakan dan mudah
diaplikasikan. Basis gel single phase sering digunakan pada formulasi sediaan
topikal dan kosmetik karena mempunyai berbagai keuntungan, seperti: warna
lebih menarik, mudah diaplikasikan dan mudah juga untuk dicuci. Gel berpotensi
untuk memberikan pelepasan yang lebih baik, karena dalam menghantarkan
senyawa tidak tergantung pada kelarutan senyawa tersebut dalam air
dibandingkan dengan dalam bentuk krim dan losion. Selain itu gel dapat
meningkatkan waktu retensi obat pada kulit sehingga meningkatkan efek lokal
Efek yang optimal dari terapi anti-ageing dapat ditingkatkan dengan
menggunakan penetration enhancer dalam formulasi. Dalam formulasi sediaan
biasanya digunakan chemical enhancer yang mempunyai kelebihan yaitu dapat
diaplikasikan ke area yang lebih luas (>10 cm2). Chemical enhancer ditambahkan
untuk meningkatkan kekuatan partisi senyawa aktif sehingga dapat menembus
stratum corneum dan mempengaruhi properti dari diffusional barrier-nya. Terpen
diketahui mempunyai aktivitas sebagai penetration enhancer dengan
memodifikasi kelarutan pelarut pada stratum corneum sehingga dapat
meningkatkan partisi obat ke dalam kulit (Vikas, Seema, Gurpreet, Rana, dan
Baibhav, 2011). Dalam peppermint oil mengandung banyak terpen: pinene,
phellandrene, sineol (3,5 – 14%), limonene (1 – 5%), menthone (14 – 32%),
menthol (30 – 55%), menthofuran (1 – 9%), isomenthone (1,5 – 10%), menthyl
acetate (2,8 – 10%), pulegone (<4%), dan carvone (≤1%) (Sayre, 1917; Alankar,
2009). Namun, minyak peppermint mempunyai sifat mengiritasi ringan sehingga
perlu dilakukan uji iritasi untuk menghasilkan sediaan yang aman dan acceptable.
Dalam formulasi, pencampuran bahan-bahan sediaan eksipien dalam
sediaan dapat mempengaruhi sifat fisika kimia dari sediaan yang dihasilkan. Atas
pertimbangan tersebut maka peneliti melihat pengaruh dari peppermint oil sebagai
penetration enhancer terhadap sifat fisika kimia dari gel ekstrak tempe dan
potensi iritannya dengan menggunakan uji HET-CAM dalam formulasi sediaan
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat penulis
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah peningkatan penambahan peppermint oil sebagai penetration
enhancer mempengaruhi sifat fisika kimia dari sediaan gel ekstrak tempe
secara signifikan?
b. Apakah penambahan peppermint oil dalam formulasi sediaan gel ekstrak
tempe menimbulkan reaksi iritasi melalui uji iritasi HET-CAM?
2. Keaslian Penelitian
Zukhdiyanah (2012) pada tesisnya memformulasikan minyak atsiri daun
jeruk purut ke dalam emulgel berbasis Carbopol® kemudian dilihat pengaruh
peningkatan konsentrasinya terhadap sifat fisika kimia dan uji aktivitas terhadap
bakteri P. acne. Hubungan peningkatan konsentrasi minyak atsiri daun jeruk purut
dengan sifat fisika kimia dan aktivitas diuji menggunakan analisis regresi. Hasil
penelitian ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasi minyak atsiri daun jeruk
purut dalam emulgel maka pH, viskositas, daya sebar semakin rendah.
Rajan dan Vasudevan (2012) meneliti kemampuan peppermint oil dalam
meningkatkan penetrasi ketoconazole yang diformulasikan dalam basis hidrogel
dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, seperti eucalyptus oil, dan turpentine
oil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eucalyptus oil, turpentine oil, dan
peppermint oil mempunyai aktivitas peningkatan permeasi ketoconazole secara
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan
terletak pada ekstrak yang digunakan, dan minyak atsiri yang digunakan. Sejauh
penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang pengaruh
pemberian minyak peppermint sebagai penetration enhancer terhadap sifat fisika
kimia gel ekstrak tempe dan potensi iritannya belum pernah dilakukan.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoretis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang pengaruh peningkatan pemberian minyak peppermint
sebagai penetration enhancer terhadap kemampuan sifat fisika kimia gel
ekstrak tempe dalam formulasi sediaan.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan bentuk sediaan
kosmetik berupa gel anti-aging ekstrak kedelai yang memenuhi persyaratan
kriteria sifat fisik, efektif, dan aman untuk digunakan oleh pasien.
c. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi dalam bidang
kefarmasian mengenai penerapan uji statistika dalam mengamati pengaruh
peningkatan pemberian minyak peppermint sebagai penetration enhancer
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengamati sifat fisik
dan kemanan sediaan gel ekstrak tempe yang dibuat sesuai dengan formula
yang telah ditentukan.
2. Tujuan khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi
pengaruh peningkatan penambahan minyak peppermint sebagai penetration
enhancer terhadap sifat fisika kimia gel ekstrak tempe dalam formulasi
sediaan. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah
pemberian peppermint oil dalam formulasi sediaan gel ekstrak tempe
7 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Skin Aging
Menua (aging) secara umum adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti
diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
memperbaiki kerusakan yang diderita. Gejala penuaan pada kulit (skin aging)
yang dapat diamati dengan kasat mata antara lain: kulit menipis dan menjadi
longgar serta elastisitasnya berkurang. Pada pria proses ini terjadi secara bertahap
dan konstan setiap tahunnya. Pada wanita, ketika memasuki tahap menopause
kulit dapat mengalami perubahan biologis yang cukup drastis, karena adanya
penurunan produksi hormon estrogen dan progesterone (Brincat et al., 1987).Pada
kulit yang mengalami aging perubahan lebih banyak terjadi pada dermis daripada
pada lapisan epidermis (Schmid, 2001).
Gambar 1. Skema perbedaan kulit pada usia muda usia dan tua (Schmid, 2001).
kulit pada usia muda kulit pada usia tua
keratinosit
Lapisan dermis tersusun dari serat kolagen dan serat elastin yang
tergabung dalam kompleks dengan proteoglikan dan penyusun matriks
ekstraseluler lainnya. Sel fibroblast juga terikat pada matrik ekstraseluler. Protein
kolagen dan elastin mempunyai peranan penting untuk menjaga kekuatan dan
kekenyalan kulit. Pada kulit yang mengalami aging, jika dilihat dari histologinya
mengalami kelainan pada jaringan konektif dermal (Campisi, 1998).
Reseptor estrogen mempunyai peranan penting terhadap keadaan
fisiologis kulit. Estrogen menstimulasi terbentuknya kolagen dan elastin dan
menghambat pemecahan kolagen yang sudah terbentuk (Brincat et al., 1987).
Kolagen dan serat elastin mempunyai peranan penting terhadap mempertahankan
konsistensi kekenyalan kulit. Jumlah estrogen yang menurun dalam darah
berakibat kulit menjadi rapuh, penggelapan warna kulit yang berujung pada kulit
mengendur dan terbentuknya keriput (Krutman, 2006).
Penuaan dapat mengalami percepatan, yang disebut juga dengan istilah
premature aging. Terdapat dua faktor yang dapat mempercepat terjadinya
penuaan pada kulit; faktor internal dan faktor eksternal. Contoh dari faktor
internal penuaan dini adalah pemendekan telomer secara progresif, sehingga
terjadi penuaan sel kulit lebih cepat dari yang seharusnya. Contoh dari faktor
eksternal (di luar tubuh) antara lain: asap rokok, minuman keras, nutrisi yang
kurang, dan paparan sinar matahari langsung dalam waktu yang cukup lama
(Binic, Lazarevic, Ljubenovic, Mojsa, dan Sokolovic, 2013). Radiasi sinar UV
dari paparan sinar matahari menyebabkan terbentuknya ROS (Reactive Oxygen
penuaan pada kulit.ROS (Reactive Oxygen Species) dapat merusak membran sel
kulit (Zanchetta, Kirk, Lyng, Walsh, dan Murphy, 2010) sehingga mengakibatkan
terjadinya aging. Terbentuknya ROS secara berkelanjutan berakibat timbulnya
kerusakan di dalam sel secara kumulatif (oxidative stress) sehingga muncul
gejala-gejala aging pada kulit: menipisnya lapisan antara dermis-epidermis,
kerusakan matriks ekstraselular karena adanya penurunan jumlah fibroblast,
kolagen dan elastin (Campisi, Velarde, Flynn, Day, dan Melov, 2012,).
B. Kulit
Kulit merupakan bagian paling luar dari tubuh, dan merupakan organ
yang paling besar. Terdapat bermacam-macam aplikasi penghantaran obat topikal
dan transdermal dalam terapi, namun untuk mencapai sistem penghantaran yang
diinginkan obat terlebih dahulu harus melalui barrier pertama yang cukup kuat,
yaitu kulit. Kulit terdiri dari tiga komponen utama: epidermis, dermis, dan lapisan
subkutan atau hipodermis. Dari tiga lapisan tersebut, epidermis merupakan lapisan
yang paling susah ditembus. Epidermis sendiri merupakan membran multi-layer,
dengan ketebalan berbeda-beda di tiap-tiap bagian kulit dari 60 μm pada kelopak
mata sampai kurang lebih 800 μm pada telapak tangan dan kaki. Pada epidermis
tidak terdapat pembuluh darah maka untuk menjaga integritasnya nutrisi dan
metabolit harus berdifusi melalui lapisan dermo-epidermal. Epidermis terdiri dari
lima lapisan yang mempunyai histologi berbeda-beda, dari dalam ke luar: stratum
germinativum, stratum spinosum, stratum granulosum, sratum lucidum dan
Gambar 2. Bagian-bagian dari epidermis (Kelly et al., 2009)
Stratum korneum terdiri dari susunan sel kulit mati datar yang berbentuk
seperti amplop, pipih, polihedral, lebar, dan berisi keratin yang bermigrasi dari
stratum granulosum. Meskipun tebal stratum korneum kurang lebih 20 dan 25
µm, sudah efektif dalam membatasi penetrasi obat dan senyawa kimia lainnya.
Sifat kulit yang impermeabel menjadi masalah yang perlu diatasi untuk
mendapatkan penghantaran obat yang diinginkan (Hadgraft, 2001; Trommer dan
Neubert, 2006). Stratum lucidum terletak di bawah stratum korneum. Lapisan ini
hanya ditemukan pada epidermis bagian kulit yang lebih tebal di telapak tangan
dan kaki. Lapisan ini terdiri dari 5 lapis sel keratinosit yang sudah mati dan
memipih. Di bawahnya lagi terdapat stratum granulosum dan stratum spinosum,
sedangkan lapisan terbawah epidermis adalah stratum germinativum atau lapisan
basal (stratum basale). Sel basal pada lapisan ini disebut sebagai sel akar dari
epidermis yang belum berdiferensiasi dan bertugas untuk proliferasi dan
menciptakan sel anak yang akan bermigrasi ke atas dan mengalami proses
Sifat barrier pada kulit telah diteliti sejak bertahun-tahun lamanya untuk
permeasi obat dan beberapa penemuan dengan menggunakan teknik biofisika
telah menyediakan informasi mengenai mekanisme absorpsi obat pada level
molekular (Guy dan Hadgraft, 1989; Roberts dan Walters, 1998; Hadgraft 2001).
Terdapat beberapa macam cara agar obat dapat menembus stratum korneum,
yaitu: interselular, transelular, dan rute melalui pori-pori kulit. Rute transeluler
dan interseluler dikenal sebagai rute transepidermal. Rute transeluler bersifat lebih
langsung, di mana obat menembus langsung melalui lapisan lemak pada stratum
korneum dan sitoplasma sel keratinosit yang telah mati. Meskipun rute ini
merupakan rute yang paling pendek dalam permeasi, namun molekul obat
mempunyai sifat yang terbatas karena struktur lipofilik dan hidrofilik yang
dimilikinya (Hadgraft, 2001). Rute interseluler lebih banyak dipakai dalam
permeasi obat karena obat dapat menembus stratum korneum melewati sela-sela
[image:31.595.103.514.307.705.2]korneosit (Trommer dan Neubert, 2006).
C. Kedelai
Kedelai mempunyai nama ilmiah Glycine max (L.) Merill. Menurut
Adisarwanto (2005) klasifikasi tanaman kedelai yaitu sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Glycine
Spesies : Glycine max (L.) Merr.
Pada tanaman golongan Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai
mengandung senyawa isoflavon yang cukup tinggi. Bagian tanaman kedelai yang
mengandung senyawa isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada biji kedelai
(Anderson, 1999). Kandungan isoflavon pada kedelai berkisar 2-4 mg/g
kedelai.Senyawa isoflavon tersebut pada umumnya berupa senyawa kompleks
atau konjugasi dengan senyawa ikatan glukosida (Synder dan Kwon, 1987).
Selama proses pengolahan, baik melalui proses fermentasi maupun proses
non-fermentasi, senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi, terutama melalui
proses hidrolisa, sehingga dapat diperoleh senyawa isoflavon bebas yang disebut
(Pawiroharsono,1998). Selain pada tanaman kedelai, senyawa isoflavon dapat
ditemukan terutama produk-produk olahannya, seperti tahu, tempe, tauco, dan
kecap (Achdiat, 2003).
Kandungan isoflavon yang terdapat dalam kedelai telah banyak diteliti
untuk diformulasikan ke dalam kosmetik untuk terapi anti-aging karena aktivitas
antioksidan yang dimiliki dan peranannya sebagai fitoestrogen (Wang dan
Murphy, 1994). Aglikon isoflavon mempunyai struktur yang sangat mirip dengan
steroid estrogen. Kemiripan struktur ini memungkinkan aglikon isoflavon dapat
mengikat pada reseptor yang sama dengan hormon estrogen. Terapi estrogen telah
diketahui dapat mengembalikan jumlah serat kolagen, ketebalan dan elastisitas
kulit wanita setelah mengalami menopause (Callens et al. 1996; Schmidt et al.
1996). Dibandingkan dengan hormon estrogen, aglikon isoflavon mempunyai
afinitas lebih lemah terhadap ERα, sedangkan terhadap ERß afinitasnya sama kuat
(Kuiper, Lemmen, Carlsson, Corton, Safe, Van Der Saag, Van Der Burg, dan
Gustafsson, 1998). Digunakannya fitoestrogen sebagai senyawa aktif dalam
formulasi sediaan kosmetik anti-aging untuk menggantikan terapi hormon
estrogen yang penggunaannya dilarang dalam kosmetik karena berpotensi
menimbulkan efek samping yaitu meningkatkan resiko terbentuknya kanker rahim
atau payudara akibat pengonsumsian jangka panjang (National Health Institute,
2010). Kandungan isoflavon utama yang terdapat dalam adalah genistein
(4,5,7-trihidroxyisoflavone), daidzein (4,7-dihidroxyisoflavone), glycitein (4,7
asetil, malonil, dan aglikon (Bingham, Atkinson, Liggins, Bluck, dan Coward,
[image:34.595.101.495.176.590.2]1998).
Gambar 4. Struktur umum isoflavon kedelai dan singkatannya (Rostagno et al., 2008)
Salah satu isoflavon kedelai, genistein, menunjukkan aktivitas
penghambatan enzim tirosin kinase dan MAP kinase. Enzim-enzim ini terlibat
dalam transmisi sinyal intraseluler yang memodulasi pertumbuhan dan
merangsang produksi kolagen melalui jalur de novo (Yoon et al. 1998),
menghambat terbentuknya proteinase yang secara spesifik dapat mendegradasi
kolagen atau elastin (Shao et al., 1998). Uji pada kultur sel menunjukkan bahwa
genistein mengatur metabolisme komponen matriks kulit kolagen dan elastin.
Studi yang lain menunjukkan bahwa isoflavon kedelai mempunyai aktivitas
antioksidan dengan DPPH radical scavenging assay. Pada studi tersebut
dinyatakan genistein mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat
dibandingkan daripada isoflavon lainnya, yaitu daidzein berdasarkan nilai
TEAC-nya (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity) (Indranupakorn, 2010).
Metode ekstraksi isoflavon biasanya menggunakan pelarut organik
seperti: methanol (MeOH) murni atau methanol campuran dengan air, ethanol
(EtOH), asetonitril (ACN) atau acetone (ACE) dengan atau tanpa menggunakan
penambahan asam kemudian dapat direndam, digojog, dicampur atu diekstraksi
dengan soxlethasi (Luthria dan Natarajan 2007).
D. Gel
Gel adalah suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi
yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Konsistensi gel berasal dari
gelling agent (zat pengental), biasanya berbentuk polimer, membentuk struktur
tiga dimensi. Gaya intermolekul kemudian mengikat pelarut di sekitar struktur
polimer, menstabilkan gerakan molekulnya sehingga kekentalan pelarut
apabila semua bahan terlarut atau terdispersi secara koloidal, misalnya sampai
dalam ukuran partikel submikron (Lachmann, 1989). Sifat dan karakteristik gel
adalah sebagai berikut:
a. Swelling
Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat mengabsorbsi
larutan sehingga terjadi pertambahan volume.Pelarut akan berpenetrasi
diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan gel.
(Lachmann, 1989).
b. Sineresis.
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa gel. Cairan
yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel. Pada waktu
pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga terbentuk massa gel
yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi berhubungan dengan fase
relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat terbentuknya gel. Adanya
perubahan pada ketegaran gel akan mengakibatkan jarak antar matriks
berubah, sehingga memungkinkan cairan bergerak menuju permukaan.
Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun organogel (Lachmann, 1989).
c. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk melalui penurunan
temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga
suhu tertentu. Polimer separti MC, HPMC, terlarut hanya pada air yang dingin
membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang
disebabkan oleh pemanasan disebut thermogelation (Lachmann, 1989).
d. Efek elektrolit.
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada gel hidrofilik
dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid terhadap pelarut yang
ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak terlalu hidrofilik dengan
konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi
waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat
akan segera mengeras dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang
disebabkan karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium
alginat yang tidak larut (Lachmann, 1989).
e. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin agar dan nitroselulosa,
selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel terjadi peningkatan elastisitas
dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk struktur gel resisten
terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai aliran viskoelastik.
Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari komponen pembentuk
gel. (Lachmann, 1989).
f. Rheologi
Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan yang terflokulasi
memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas, dan menunjukkan jalan
aliran non – Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan viskositas dan
Hidrogel merupkan polimer hidrofilik, mengandung 85 – 95% air atau
campuran air dengan alkohol. Contoh dari hidrogel adalah: asam poliakrilat
(Carbopol®), sodium karboksimetilselulosa, atau selulose ester nonionik.
Formulasi dengan hidrogel harus menggunakan pengawet untuk mencegah
pertumbuhan mikroba. Setelah pemakaian, hidrogel membarikan sensasi dingin
pada kulit karena adanya pelarut yang menguap. Gel mudah diaplikasikan dan
mudah melembabkan kulit, namun penambahan pada humektan tetap disarankan
dalam formulasinya (Aulton, 2013).
Salah satu alasan mengapa hidrogel lebih disukai sebagai komponen dari
sistem penghantaran dan pelepasan obat adalah kompatibilitasnya yang relatif
baik dengan jaringan biologis (Zatz dan Kushla, 1996). Setelah pemakaian,
hidrogel akan meninggalkan lapisan tipis yang transparan dan memiliki daya lekat
yang tinggi, serta mudah dicuci dengan air (Voigt, 1994).
E. Bahan Formulasi
1. Gelling Agent
Gelling Agent yang digunakan dalam percobaan ini adalah Carbopol®.
Carbopol® merupakan polimer asam akrilat yang mempunyai rantai cross-link
dengan polialkenil eter, alil sukrosa, atau divinil alkohol. Polimer Carbopol®
mempunyai kemampuan untuk menyerap air dalam jumlah banyak. Polimer ini
mengembang sampai 1000 kali dari volume asal dan diameternya ikut
mengembang sampai 10 kali dalam bentuk gel ketika dilarutkan dalam air dengan
pH di atas pKa 6. Dalam proses pengembangan ini terjadi ionisasi gugus
menolak menyebabkan gel mengembang (Carnali dan Naser 1992; Rowe et al.,
2006). Formulasi sediaan semisolid menggunakan Carbopol® terbukti aman dan
efektif karena mempunyai potensi iritan yang sangat rendah dan tidak memicu
kulit sensitive untuk pemakaian yang berulang. Karena mempunyai bobot molekul
yang cukup tinggi, Carbopol® tidak terpenetrasi ke dalam kulit maupun
[image:39.595.96.499.263.524.2]mempengaruhi senyawa obat yang didispersikan (Chadha, 2009).
Gambar 5. Struktur Carbopol® (Rowe et al., 2006).
2. Penetration enhancer
Penetration enhancer digunakan untuk meningkatkan transport obat
melalui sawar kulit. Terdapat bermacam-macam mekanisme dalam meningkatkan
penetrasi, salah satunya interaksi antara enhancer dengan gugus kepala polar dari
struktur fosfolipid pada kulit sehingga dapat meningkatkan penetrasi obat.
Mekanisme lain melalui interaksi antar lemak pada gugus kepala dan struktur
lemak yang berubah karena adanya fasilitator terhadap difusi senyawa hidrofilik
(Vikas, 2011).
Penetration enhancer yang ideal harus dapat mengurangi pertahanan
Menunrun Finnin et al. (cit. Rachakonda, 2008), penetration enhancer yang ideal
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Inert secara farmakologis.
2. non-toksik, tidak mengiritasi, dan non-alergenik.
3. Mempercepat onset dengan waktu dan durasi yang tepat sesuai dengan tujuan
terapi.
4. Efeknya bersifat reversible pada stratum corneum.
5. Kompatibel secara disik dan kimia dengan sediaan.
6. Tidak mahal dan acceptable ketika digunakan untuk kosmetik.
Berdasarkan konsep partisi obat terhadap struktur lemak-protein, terdapat
tiga peran utama penetration enhancer (Vikas, 2011):
1. Perusakan struktur lemak – enhancer mengubah struktur lemak stratum
corneum dan membuatnya menjadi permeabel terhadap obat.
2. Modifikasi protein – surfaktan ionik, desilmetilsulfoksida dan DMSO
berinteraksi dengan keratin pada korneosit dan membuka struktur protein yang
semula rapat sehingga lebih permeabel.
3. Peningkatan partisi – penggunaan pelarut yang mengubah kelarutan obat pada
lapisan tanduk dan meningkatkan kekuatan partisi dari obat, sebagai
co-enhancer maupun kosolven.
Bermacam-macam jenis penetration enhancer di antaranya (Trommer
dan Neubert, 2006): alkohol dan glikol, alkyl-N,N-disubstitusi aminoasetat, azon
surfaktan, terpen dan terpenoid, urea dan turunannya. Oleum menthae piperita
atau peppermint oil merupakan minyak hasil distilasi dari bagian tanaman
Menthae piperita yang berupa cairan tidak berwarna atau kekuningan atau kuning
kehijauan; berubah gelap dan kental karena penyimpanan atau terkena udara;
memiliki aroma khas yang kuat, rasa pedas diikuti sensasi dingin ketika
diaplikasikan. Dalam peppermint oil mengandung banyak terpen: pinene,
phellandrene, sineol (3,5 – 14%), limonene (1 – 5%), menthone (14 – 32%),
menthol (30 – 55%), menthofuran (1 – 9%), isomenthone (1,5 – 10%), menthyl
acetate (2,8 – 10%), pulegone (<4%), dan carvone (≤1%) (Sayre, 1917; Alankar,
2009). Struktur terpen berbentuk rantai isoprena berulang yang dikelompokkan
sesuai dengan jumlah unit isoprenanya. Klasifikasi terpen meliputi monoterpen
yang mempunyai dua unit isoprena (C10), seskuiterpen yang mempunyai tiga unit
(C15), dan diterpen yang mempunyai empat unit isopren (C20) units (Sinha dan
Kaur 2000). Terpen merupakan komponen yang sangat lipofilik karena
mempunyai koefisien partisi oktanol/air yang tinggi (Williams dan Barry 2004).
Terpen diketahui mempunyai aktivitas sebagai penetration enhancer
dengan memodifikasi kelarutan pelarut pada stratum corneum sehingga dapat
meningkatkan partisi obat ke dalam kulit (Vikas, 2011). Aktivitas terpen
dipengaruhi oleh kecocokan struktur kimia terpen tersebut dan sifat fisika kimia
dari senyawa yang akan ditranspor. Senyawa yang bersifat lipofilik lebih baik
dipermeasikan dengan terpen yang bersifat lipofilik (Okabe, Takayama, Ogura,
Pada penggunaan peppermint oil sebagai penetration enhancer dalam
sediaan perlu dilakukan uji iritasi karena kandungan menthol di dalamnya
dilaporkan menimbulkan iritasi sedang pada kulit dan sedikit mengiritasi mata
meskipun tidak menyebabkan edema yang berkelanjutan (Asbill et al., 2000).
Menurut Orafidiya dan Oladimeji (2002), rHLB minyak peppermint adalah
sebesar 12,3.
[image:42.595.95.515.208.684.2]3. Propilen Glikol
Gambar 6. Struktur Propilen Glikol (Rowe, et al., 2006).
Propilen glikol berbentuk cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak
berbau.Propilen glikol dapat berfungsi sebagai pengawet, disinfektan, humektan,
plasticizer, pelarut, stabilizing agent dan kosolven water-miscible. Pada formulasi
sediaan topikal propilen glikol digunakan sebagai humektan dengan konsentrasi
≈15%.Propilen glikol larut dalam aseton, kloroform, etanol, gliserin, dan
air.Propilen glikol bersifat higroskopis (Rowe, et al., 2009).
4. Trietanolamin
Trietanolamin (TEA) berbentuk cairan kental, tidak berwarna sampai
kuning pucat dan berbau amoniak.TEA berperan sebagai alkalizing agent. TEA
bersifat sangat higroskopis dan larut dalam air (Rowe, et al., 2009).
Trietanolamin yang bersifat basa dapat digunakan untuk netralisasi
Carbopol®. Penambahan trietanolamin pada Carbopol® akan menetralisasi gugus
asam karboksilat, membentuk garam yang larut. Sebelum netralisasi, Carbopol® di
dalam air akan ada dalam bentuk tak terion pada pH sekitar 3. Pada pH ini,
polimer sangat fleksibel dan strukturnya random coil. Penambahan trietanolamin
akan menggeser kesetimbangan ionik membentuk garam yang larut. Hasilnya
adalah ion yang saling tolak menolak dari gugus karboksilat dan polimer menjadi
kaku dan rigid, sehingga meningkatkan viskositas.
Viskositas dan kejernihan gel yang dapat diterima yaitu pada pH 4,5-5,0
dan mencapai titik optimum pada pH 7 (Osborne and Amann, 1990).
Overnetralisasi dapat menyebabkan penurunan viskositas karena kation basa yang
berlebih akan melingkupi gugus karboksilat sehingga mengurangi tolakan
elektrostatik (Walters, 2007).
[image:43.595.95.515.297.708.2]5. Benzalkonium Klorida
Benzalkonium klorida merupakan senyawa ammonium kuartener yang
digunakan dalam sebagai pengawet dalam formulasi produk
farmasetika.Benzalkonium klorida juga biasanya ditambahkan ke dalam formulasi
kosmetik.Benzalkonium klorida berbentuk bubuk amorf berwarna putih atau putih
kekuningan, dapat juga dalam bentuk yang menyerupai gel. Benzalkonium klorida
bersifat higroskopis, melihat bau khas yang lemah, dan rasa yang pahit. Berat
jenis benzalkonium klorida pada suhu 20o C adalah 0,98 g/cm3. Dalam
pengadukan, larutan benzalkonium klorida dapat membentuk foam sehingga dapat
menurukan tegangan antar muka (Rowe, et al., 2009).
6. Tween 80
Tween 80 mempunyai kelarutan yang baik dalam air, larut dalam etanol
95% dan etilasetat, dan tidak larut dalam parafin cair (Depkes RI, 1993).Tween 80
memiliki nilai HLB sebesar 15 (Zhong, Xu, Fu, dan Li, 2012). Penggunaan tween
80 dalam farmasi yakni sebagai emulsifying agent, wetting agent, penetrating
agent, dan diffusan (Som, Bhatia, danYasir, 2012). Tween 80 dapat menurunkan
tegangan antarmuka antara obat dan medium sekaligus membentuk misel
sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam medium (Martin,
1993). Tween 80 termasuk golongan polisorbat, oleh sebab itu mempunyai
inkompatibilitas dengan pengawet paraben, karena dapat membentuk misel dan
F. Uji Iritasi HET-CAM
Hen's Egg Test-Chorioallantoic Membrane (HET-CAM) merupakan
salah satu metode uji iritasi menggunakan hewan uji yaitu telur ayam. Sebelum
dilakukan uji, telur ditempatkan dalam inkubator dan disimpan pada suhu 38,3°C
± 0,2°C dan kelembaban relatif 58,5% ± 2%. Uji dilakukan saat embrio berusia
9-10 hari (Interagency Coordinating Committee on the Validation of Alternative
Methods, 2006). Metode HET-CAM menggunakan membran chorioallantoic
(CAM), membran pernapasan vaskuler yang mengelilingi embrio burung yang
sedang berkembang. Pembuluh darah yang ada pada CAM adalah cabang dari
arteri dan vena dari allantois embrio yang berisi eritrosit dan leukosit yang terlibat
dalam respon inflamasi jika terkena rangsangan eksternal. Contohnya adalah efek
iritasi yang disebabkan oleh zat uji pada pembuluh darah dan protein pada
jaringan lunak membran ini (ICCVAM, 2006).
Tujuan uji HET-CAM ini adalah memberi data tentang potensi iritan
sejumlah sampel sediaan dari kemampuannya menginduksi toksisitas pada
membran chorioallantoic ayam. Metode ini meliputi uji terhadap kontrol negatif,
kontrol pelarut (jika diperlukan), kontrol positif, dan kontrol pembanding (jika
diperlukan).Efek toksisitas diamati dari waktu onset (1) hemorrhagia; (2)
koagulasi; dan (3) pecahnya pembuluh darah. Hasil data ini kemudian
dikombinasikan dan diderivatisasi menjadi skor untuk mengklasifikasi level iritasi
yang ditimbulkan oleh sediaan. Nilai skor maksimal untuk potensi iritan yang
Tabel 1. Skor Uji Iritasi HET-CAM (Luepke, 1985)
Efek Skor
0,5 menit 2 menit 5 menit
Lisis 5 3 1
Hemorraghia 7 5 3
Koagulasi 9 7 5
Tingkat iritasi kemudian ditentukan dari nilai rata-rata skor ketiga telur
dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori Iritasi Berdasarkan Skor Iritasi Pada HET-CAM (Luepke, 1985)
Skor HET-CAM Kategori Iritasi 0 – 0,9 Tidak mengiritasi 1 – 4,9 Iritasi lemah 5 – 8,9 atau 5 – 9,9 Iritasi sedang 9 – 21 atau 10 – 21 Iritasi kuat
G. Uji Sifat Fisik
1. Viskositas
Pada pembuatan kosmetik, reologi berpengaruh pada penerimaan pasien,
stabilitas fisika dan ketersediaan hayati, salah satunya adalah viskositas.
Viskositas merupakan pernyataan tahanan untuk mengalir dari suatu sistem di
bawah stress yang digunakan. Makin kental suatu cairan, makin besar kekuatan
yang diperlukan untuk digunakan supaya cairan tersebut dapat mengalir dengan
laju tertentu (Martin, et al., 1993). Peningkatan viskositas akan meningkatkan
waktu retensi pada tempat aplikasi, tetapi menurunkan daya sebar (Garg,
[image:46.595.93.515.202.562.2]Ketika menggunakan Carbopol® sebagai basis gel, sifat viskoelastis dari
dispersi Carbopol® memungkinkan basis ini sangat cocok digunakan dalam
sediaan topikal sebagai mukoadesif. Pada konsentrasi 0,2% pH 7,5 viskositas
Carbopol® dapat mencapai 200 – 300 mPas. Viskositas gel Carbopol® stabil
dalam perubahan suhu karena adanya struktur cross-linked dari mikrogel.
Penambahan bahan humektan seperti propilen glikol dapat memodifikasi ikatan
hidrogen antara air, pelarut, dan polimer sehingga dapat mempengaruhi sifat
viskoelastis dari Carbopol® (Islam, 2004).
2. Daya sebar
Daya sebar adalah kemampuan dari suatu sediaan untuk menyebar di
tempat aplikasi. Hal ini berhubungan dengan sudut kontak dari sediaan dengan
tempat aplikasinya. Daya sebar merupakan salah satu karakteristik yang
bertanggung jawab dalam keefektifan dalam pelepasan zat aktif dan penerimaan
konsumen dalam menggunakan sediaan semisolid. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya sebar yaitu viskositas sediaan, lama tekanan, temperatur
tempat aksi (Garg, et al., 2002).
Metode plat sejajar adalah metode yang paling banyak digunakan untuk
menentukan dan mengukur daya sebar sediaan semi padat. Keuntungan dari
metode ini adalah sederhana dan relatif murah. Selain itu, peralatan dapat didesain
dan dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap individu berdasarkan tipe data yang
dibutuhkan, rute administrasi, luas permukaan yang ditutupi, dan pertimbangan
H. Metode Penetapan Kadar dengan menggunakan HPLC
Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur
yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fase, satu dari fase-fase ini
membentuk suatu lapisan stasioner dengan luas permukaan yang besar dan yang
lainnya merupakan cairan yang merembes lewat atau melalui lapisan yang
stasioner (Day dan Underwood, 2002). HPLC (High Performance Liquid
Chromatography) atau Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan
teknik kromatografi yang banyak dilakukan untuk analisis baik kualitatif maupun
kuantitatif suatu senyawa organik yang terdapat di dalam suatu bahan
multikomponen, seperti ekstrak tanaman. Sistem HPLC terdiri dari kolom, botol
fase gerak (eluen), pompa fase gerak, injektor, dan detektor. Sistem HPLC diatur
oleh suatu program komputer yang menyertakan profil kromatografi dan data-data
peak seperti: waktu retensi (time retention; Tr), tinggi peak, lebar peak, luas area
peak, efisiensi sistem, peak symmetry factor, dan sebagainya. Kolom di mana
tempat pemisahan senyawa analit terjadi tersambung dengan detektor, sehingga
HPLC dapat mendeteksi dan mengindentifikasi secara langsung berbagai macam
senyawa organik maupun anorganik (Kazekevich, 2007).
Elemen utama yang terdapat pada HPLC adalah kolom yang digunakan
dalam proses separasi analit. Dalam analisis dibutuhkan kolom yang digunakan
dalam waktu yang lama, dan berperforma prima (Rohman, 2009).
Kebanyakan fase diam pada HPLC berupa silica yang dimodifikasi
divinil benzene.Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya
[image:49.595.97.513.177.575.2]residu gugus silanol (Si-OH) (Rohman, 2009).
Gambar 9. Macam-macam modifikasi gel silica (Corradini, 1998)
HPLC dengan metode fase terbalik (reversed-phase) merupakan teknik
kromatografi yang paling sering digunakan.Sebagian besar proses pemisahan
analit menggunakan fase diam yang dimodifikasi dengan rantai oktadesil silika
(C18). Kromatografi fase terbalik (Reversed-phase chromatography) adalah
metode kebalikan dari kromatografi fase normal dimana fase diam lebih bersifat
non-polar daripada fase gerak (Sarker, Latif, danGray, 2006).Oktadesil silika
(ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena
mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang,
maupun tinggi. Selain itu metode analisis dengan fase diam ini relatif lebih murah
dan mudah (Rohman, 2009).
Fase gerak yang sering digunakan pada KCKT fase terbalik
(reverse-phase) merupakan campuran pelarut organik dan air. Modifikasi yang paling
sering digunakan adalah methanol atau asetonitril. Konsentrasi pelarut organik
menentukan retensi analit pada metode fase terbalik. Kemurnian pelarut yang
digunakan juga merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan untuk
meminimalkan kontaminasi pada fase diam dan mereduksi absorbansi komponen
pengotor yang bisa dideteksi dengan panjang gelombang > 190 nm. Disarankan
untuk menggunakan pelarut HPLC grade (Kazekevich, 2007).
Faktor-faktor yang bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih fase
gerak yaitu: kompatibilitas antar pelarut, kelarutan sampel analit dalam eluen,
polaritas, transmisi cahaya, viskositas, stabilitas, dan pH. Pelarut fase gerak harus
dapat bercampur dan tidak menimbulkan pengendapan ketika dicampurkan.
Sampel juga harus larut pada fase gerak untuk mencegah terjadinya pengendapan
pada kolom. Transmisi cahaya menjadi salah satu faktor penting apabila detektor
[image:50.595.98.511.224.605.2]yang digunakan adalah detektor UV (Kazekevich, 2007).
Tabel 3. Batas Bawah Transparensi Macam-Macam Pelarut Organik
Pelarut UV Cutoff
Asetonitril 190 Isopropil alkohol 205
Methanol 205
Ethanol 205
THF 215
Etil asetat 256
DMSO 268
Pelarut yang mempunyai UV cutoff yang tinggi seperti aseton (UV cutoff
330 nm dan etil asetat (UV cutoff 256 nm) tidak dapat digunakan pada panjang
gelombang rendah, misalnya pada 210 nm. Methanol, ethanol, dan isopropanol
tinggi mentrasmisikan lebih sedikit cahaya sehingga cocok untuk dipakai dalam
analisis yang menggunakan panjang gelombang > 210 nm (Kazekevich, 2007).
I. Landasan Teori
Aging pada kulit membuat tampak menipis dan menjadi longgar serta
elastisitasnya berkurang sehingga dapat mengurangi estetika penampilan tubuh.
Aging pada kulit disebabkan karena kurangnya hormon estrogen yang
menstimulasi pembentukan serat kolagen dan elastin, dua komponen penting yang
berperan dalam menjaga konsistensi dan kekenyalan kulit. Fitoestrogen
merupakan senyawa dari tumbuhan yang mempunyai struktur yang mirip dengan
steroid estrogen. Aglikon isoflavon dari tanaman kedelai merupakan salah satu
senyawa yang mempunyai struktur yang mirip dengan steroid estrogen. Salah satu
isoflavon dari tanaman kedelai, genistein, merangsang produksi kolagen dengan
menghambat enzim pemecah kolagen. Selain itu, genistein juga memilki aktivitas
antioksidan yang dapat mencegah terbentuknya radikal bebas yang dapat
mempercepat terjadinya penuaan dini.
Gel merupakan suatu sediaan dispersi semisolid yang mengandung
gelling agent yang mengembang dalam pelarut menjadi struktur tiga dimensi. Gel
termasuk ke dalam bentuk sediaan yang paling banyak diminati sebagai sediaan
topikal karena propertinya yang menarik, warnanya yang transparan, dan
menimbulkan sensasi dingin ketika diaplikasikan pada kulit. Dalam formulasi
sediaan gel untuk meningkatkan efektifitas terapi diperlukan penetration enhancer
Sifat fisika kimia sediaan sangat penting karena berpengaruh terhadap
acceptability pasien dan efektifitas terapetik suatu sediaan. Pencampuran
bahan-bahan dalam formulasi sediaan semisolid dapat mempengaruhi karakteristik dari
sediaan yang dihasilkan.
J. Hipotesis
Peningkatan penambahan peppermint oil dalam formulasi sediaan
anti-aging memberikan pengaruh pada sifat fisika gel ekstrak tempe. Pemberian
33 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang pengaruh penambahan peppermint oil ke dalam
sediaan gel anti-aging ekstrak tempe terhadap sifat fisika kimia dari sediaan
termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak
lengkap pola searah.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Utama
a. Variabel bebas pada penelitian ini adalah konsentrasi penetration
enhancer yaitu peppermint oil.
b. Variabel tergantung pada penelitian ini adalah sifat fisik gel yang dilihat
dari viskositas dan daya sebar dari gel.
2. Variabel Pengacau
a. Variabel pengacau terkendali pada penelitian ini adalah urutan
pencampuran bahan ketika pembuatan sediaan.
b. Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah suhu dan
C. Definisi Operasional
1. Gel adalah suatu sediaan dispersi semisolid yang mengandung gelling agent
yang mengembang dalam pelarut menjadi struktur tiga dimensi. Gel ekstrak
tempe adalah sediaan semisolid dengan basis gel yang mengandung ekstrak
tempe sebanyak 1% dari total formula.
2. Penetration enhancer adalah bahan yang digunakan untuk meningkatkan
transport obat melalui sawar kulit. Dalam percobaan ini digunakan peppermint
oil sebagai penetration enhancer.
3. Sifat fisik gel adalah parameter untuk mengetahui kualitas fisik gel yang
meliputi viskositas dan daya sebar.
4. Viskositas sadalah suatu pertahanan dari gel untuk mengalir setelah adanya
pemberian gaya. Semakin besar viskositas, maka gel akan makin tidak mudah
untuk mengalir. Kriteria viskositas optimum adalah 200-300 dPas.
5. Daya sebar adalah diameter penyebaran tiap 1 gram gel pada alat uji daya
sebar yang diberi beban kaca dan pemberat hingga 125 gram dan didiamkan.
Kriteria daya sebar optimum adalah 3 – 5 cm.
6. Iritasi adalah terjadinya hemoragi dan lisis pada bagian Chorioallantoic
Membrane (CAM) telur ayam yang mungkin timbul setelah pengaplikasian
sediaan gel. Hemoragi merupakan perdarahan pembuluh darah, sedangkan
D. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Carbopol® 940,
Tween 80, Oleum Menthae Piperita, Propilenglikol, tempe kedelai putih,
aquadest, etanol teknis, etil asetat p.a, etanol p.a, metanol p.a, aquabidest,
petroleum eter, standar Genistein, NaOH 1N, telur ayam berumur 9-10 hari.
E. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas (PYREX
GERMANY), corong pisah, cawan porselen, neraca digital, waterbath, magnetic
stirrer, tabung effendorf, pipet volume, HPLC (High Perfomance Liquid
Chromatography) Shimadzu model LC-2010C HT, Serial No. C21254706757 LP,
Cat. No. 228-46703-38, membrane filter, sendok, pH meter (pH meter 744
Methrom), kertas pH, mikropipet Socorex, pompa vakum, corong buchner, kertas
saring, kertas saring metanol, kertas saring, aquadest, penyaring milipore, spuit,
Viskometer seri VT 04 (RION-JAPAN), scalpel, pH stick, kolom oktadesilsilan
Shim-Pack XR-ODS dengan dimensi 150 x 4,6 mm, syringe filter 0,22 μm ,
syringe filter 0,45 μm, degassing, botol fase gerak, Spektrofotometri UV-Vis
F. Tata Cara Penelitian
1. Pembuatan crude extract tempe
Tempe seberat 1 kg dihaluskan dengan blender kemudian direndam
dengan perbandingan 1:1 dengan petroleum eter, setelah itu cairan filtrat
dibuang dengan cara menyaring tempe dengan corong Buchner. Tempe yang
sudah disaring kemudian dimaserasi dengan etanol teknis 70% dengan
perbandingan 1:2 selama 24 jam dengan kecepatan 150 rpm. Hasil maserasi
disaring dengan corong Buchner sehingga didapatkan residu padat dan ekstrak
cair kuning kecoklatan. Residu filtrat kemudian diremaserasi dengan etanol
teknis 70% dengan perbandingan 1:1. Hasil remaserasi disaring kembali
kemudian ekstrak cair yang didapatkan dari hasil maserasi pertama dan kedua
dipekatkan menggunakan rotary evaporator selama 45-60 menit dengan suhu
50o C hingga didapatkan volume sebanyak 10% volume awal. Ekstrak tempe
kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 40 ºC hingga bobot tetap.
2. Penetapan kadar isoflavon genistein dari crude extract tempe
a. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum
Standar genistein konsentrasi 186 ppm diukur pada panjang gelombang
200 – 361 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV sebanyak tiga
kali repetisi. Hasil rata-rata pengukuran yang memberikan serapan yang
paling besar digunakan sebagai panjang gelombang maksimum
b. Pembuatan Fase Gerak
Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol:air pada
perbandingan (70:30). Fase gerak yakni 500 mL metanol p.a dan
aquabidest difilter terlebih dahulu dengan menggunakan membrane filter
yang diintegrasikan dengan corong buchner. Sebelum dipompakan pada
system HPLC perlu dilakukan degassing pada metanol p.a dan aquabidest
untuk mengusir gelembung dan gas yang terlarut dalam solvent.
c. Pembuatan larutan stok genistein
Larutan stok dibuat dengan menimbang standar genistein sebanyak 2 mg
kemudian melarutkannya dalam tabung effendorf dengan pelarut ethanol
p.a sebanyak 1 mL.
d. Pembuatan kurva baku standar genistein
Larutan stok genistein kemudian disaring dengan menggunakan membrane
filter dengan diameter pori 0,45 µm dan di-degassing untuk mengeluarkan
gelembung udara di dalamnya. Standar genistein kemudian diinjeksikan ke
dalam sistem dengan volume injeksi yang berbeda-beda, yaitu 1 µL, 2 µL,
3 µL, 4 µL, dan 5 µL. Metode HPLC yang digunakan adalah isokratik
dengan kolom C18, flow rate 0,7 mL / menit dan volume injeksi sebanyak
10 μl untuk sampel dan pembuatan kurva baku. Data respon yang muncul
dilihat regresi linearnya dari 3 repetisi untuk menentukan persamaan kurva
e. Penetapan kadar genistein pada crude extract tempe
Crude extract tempe ditimbang sebanyak 0,5 g dan dilarutkan dalam labu
ukur 25 mL dengan pelarut ethanol p.a. Kemudian sebanyak sebanyak 500
µl diambil dari larutan stok crude extract dan dilarutkan dalam labu ukur
10 mL dengan pelarut ethanol p.a. Larutan sampel crude extract dibuat
replikasi sebanyak tiga kali dan disaring dengan menggunakan membrane
filter. Data respon yang didapat pada analisis sampel ekstrak dimasukkan
ke dalam persamaan kurva baku untuk diketahui kadar dalam satuan ppm.
3. Pembuatan gel anti-aging ekstrak kedelai
a. Formulasi gel anti-aging
Pada pengamatan pengaruh penambahan peppermint oil terhadap permeasi
genistein dari sediaan gel anti-aging digunakan variasi konsentrasi
peppermint oil dalam formulasi gel anti-aging sebagai berikut:
Bahan Formula I Formula II Formula III Formula IV Crude extract
tempe
0,5 g 0,5 g 0,5 g 0,5 g
Carbopol® 940 0,5 g 0,5 g 0,5 g 0,5 g Aquadest 28,35 g 28,10 g 27,85 g 27,35 g
Tween 80 15 g 15 g 15 g 15 g
Propilenglikol 5 g 5 g 5 g 5 g
Benzalkonium klorida
0,05 g 0,05 g 0,05 g 0,05 g
Trietanolamin 0,6 g 0,6 g 0,6 g 0,6 g
Peppermint oil - 0,25 g 0,5 g 1 g
Total berat 50 g 50 g 50 g 50 g
b. Pembuatan gel anti-aging
Carbopol® 940 dikembangkan dengan menggunakan sebagian
dengan sempurna, trietanolamin dan benzalkonium klorida ditambahkan
ke dalam kembangan Carbopol® kemudian dihomogenkan sampai merata
menggunakan mixer. Crude extract kedelai yang dilarutkan dalam
propilenglikol, dan tween 80 ditambahkan ke dalam gel kemudian
dihomogenkan dengan mixer selama 5 menit dengan kecepatan 40 rpm.
Peppermint oil ditambahkan kemudian dihomogenkan kembali dengan
mixer dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya selama 1 menit.
4. Uji Sifat Fisik
a. Uji Organoleptis dan pH
Uji Organoleptis dilakukan dengan mengamati warna, bentuk, dan
bau dari sediaan gel anti-aging. Pengukuran pH dilakukan dengan
menggunakan indikator pH universal, yaitu dengan memasukkan indikator
pH universal (pH strips) ke dalam gel anti-aging ekstrak kedelai yang
telah dibuat. Kemudian warna yang muncul pada kertas pH strips
dibandingkan dengan nilai pH pada kotak kemasan pH strips.
b. Uji Viskositas
Uji viskositas dilakukan satu kali setelah 48 jam pembuatan
sediaan gel dengan menggunakan alat Viscotester Rion seri VT 04. Ukuran
rotor yang digunakan adalah 2. Data yang didapat kemudian dikonversi ke
dalam cP (centipoise).
c. Uji Daya Sebar
Pengujian daya sebar dilakukan dengan modifikasi metode dari
di tengah kaca bulat berskala. Di atas gel diletakkan kaca bulat lain dan
pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, didiamkan
selama 1 menit, kemudian dicatat penyebarannya. Pengujian daya sebar
dilakukan 48 j