• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wahyu Widodo S111008019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Wahyu Widodo S111008019"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

MANTRA KIDUNG JAWA

(KAJIAN REPETISI DAN FUNGSI)

TESIS

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan

Untuk Mencapai Derajat Magister

Oleh:

Wahyu Widodo

S111008019

MINAT UTAMA LINGUISTIK DESKRIPTIF

PROGRAM STUDI LINGUISTIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

MANTRA KIDUNG JAWA

(KAJIAN REPETISI DAN FUNGSI)

TESIS

Oleh Wahyu Widodo

S111008019

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S. ... 12/11/2012 NIP 196203091987031 001

Pembimbing II Dr. Sudaryanto ... 9/11/2012 NIK 691 2002 258

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 20 November 2012

Ketua Program Studi S2 Linguistik Program Pascasarjana UNS

(3)

commit to user

KUTIPAN YANG MENGINSPIRASI

Ma ngertosipun sa lebeting na mpi weja ngan ing da lem buku punika

keda h: ka nti pa ngga lih ingkang tentrem, suci, teliti, wening. Boten

kenging grusa -grusu, sra ka h, reged ing pikir. Sada ya punika na mung

murih ka sa mba da ning sedya ingkang uta mi, a wit boten klentu

a nggenipun na mpi sura osing buku punika .

(Pengantar dalam KPAA).

A linguist dea f to the poetic function of la nguage a nd a litera ry

schola r indifferent to linguistic problems a nd unconversa nt with

linguistic methods a re equa lly fla gra nt anochronisms

(Roman Jakobson, 1960: 377).

Buku itu lahir di kesepian, dari renungan, diciptakan dari STUDI dan

SEMADI bertahun-tahun. Ia hasil dari kesinambungan sejarah: dari

mata rantai pembaca yang menjadi penulis dan penulis yang menjadi

pembaca. Maka, Kebudayaan buku adalah kebudayaan mata dan

huruf, kebudayaan sunyi sepi. Itulah literacy, keberaksaraan yang

sungguh-sungguh.

(Disarikan dari “Dua Dunia” A. Teeuw, 1994: 288-298).

Hendaknya tidak terikat, berani ambil risiko, jangan tergoda jalan

yang mulus, hindari karirisme, tempuh jalan sendiri, dan kalau sudah

begitu, senantiasa awas, optimistis, dan setia pada kebenaran.

(4)

Persenggamaan ilmiah ini akan berbuah janin naskah akademik

sebagai anak akademismu yang engkau beri nama TESIS. Asyik

masyuklah dalam erotisme membaca, menelaah, mengalisis.

Kesyahduan posemu untuk meniti larik dalam jalin makna akan

menentukan kualitas orgasme ilmiahmu. Timang-timanglah anak

akademikmu karena mencerminkan kualitas terdalam dari hidupmu.

(Kampus Kenthingan, Solo

UNS)

(5)

commit to user

viii

ABSTRAK

Wahyu Widodo. S111008019 2012. Mantra Kidung Jawa (Kajian Repetisi dan Fungsi). TESIS. Pembimbing 1: Prof. Dr. H. Sumarlam, M.S., II: Dr. Sudaryanto. Program Studi Linguistik. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui kekhasan aspek kebahasaan mantra kidung Jawa, (2) memaparkan bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa, (3) menjelaskan fungsi repetisi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa. Mantra kidung Jawa dalam penelitian ini bersumber dari Kitab Primbon Atasshadur Adammakna (KPAA) yang terdapat 12 mantra yang berbentuk kidung (tembang). Penyedian data yang bersumber dari dokumen (KPAA) dilakukan dengan menggunakan metode simak dan teknik catat. Penyedian data yang bersumber dari narasumber (informan) dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (in-depth interview). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan analisis isi (content analysis) melalui penahapan analisis domain, taksonomi, analisis komponen dan penemuan tema budaya.Analisis repetisi menggunakan ancangan puitika linguistik Jakobson, sedangkan analisis fungsi menggunakan enam fungsi kebahasaan Jakobson.

Temuan penelitian ini adalah (1) Kekhasan bahasa yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu adanya kata takbermakna, kata tabu, dan penjajaran bahasa Arab dan Jawa. (2) Bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu repetisi yang terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik. Selain itu, ada repetisi unik yaitu repetisi yang terjadi dalam multi-lapis secara serentak (3) Fungsi yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi referensial, konatif, dan puitik. Fungsi referensial yaitu ada dua (a) memperkuat daya yakin bagi pembaca mantra. Keyakinan itu dapat tumbuh dengan penahapan identifikasi, internalisasi, dan implementasi, (b) Sebagai media dakwah Islam. Fungsi konatif yaitu dengan menggunakan verba imperatif yaitu sebagai bentuk pengusiran pada kekuatan-kekuatan jahat dan sebagai bentuk doa (panyuwunan) untuk menghadirkan keselamatan. Fungsi puitik yaitu adanya kata saroja dan aliterasi.

(6)
(7)

commit to user

x

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR 2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Mantra dalam Masyarakat Jawa ... 12

2.1.2 Pengertian Mantra ... 13

2.1.9 Fungsi Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa ... 34

(8)

commit to user

3.7 Metode dan Teknik Analisis Data... 51

3.8 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 52

(9)

commit to user

xii

4.1.3.3.1 Kata Saroja ... 108

4.1.3.3.2 Aliterasi ... 109

4.2 Pembahasan ... 111

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 114

5.2 Saran ... 116

DAFTAR PUSTAKA... 118

(10)

commit to user

Tabel 1. Struktur Matriks Tembang Pangkur ... 23

Tabel 2. Struktur Matriks Tembang Dhandhanggula ... 24

Tabel 3. Nama Mantra dan Metrumnya... ... 24

Tabel 4. Makna Kata Kidung dan Kidungan di Jawa ... 27

Tabel 5. Repetisi pada Mantra Kidung Jawa ... 34

Tabel 6. Kata Tabu dalam Mantra Kidung Jawa ... 59

Tabel 7. Konstruksi Frasa Pronomina Posesif ... 76

Tabel 8. Pola Repetisi Unik ... 93

Tabel 9. Repetisi Semantik yang Bersinonim... 95

(11)

commit to user

xiv

Lampiran 1. Data Asli Mantra Kidung Jawa ... 127

Lampiran 2. Data Inti Mantra Kidung Jawa ... 165

Lampiran 4. Repetisi Gramatikal... 192

Lampiran 5. Rekapitulasi Repetisi Gramatikal ... 204

Lampiran 6. Repetisi Unik Multi-Lapis ... 206

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Inti Mantra Kidung Jawa ... 213

(12)

commit to user SINGKATAN

F. Adj : kategori frasa adjektifal F. Adv : kategori frasa adverbial F. Prep : kategori frasa preposisional

FN : kategori frasa nominal

KPAA : Kitab Primbon Athasshadhur Adammakna

Konj. : konjungsi

N : kategori nomina

Num : kategori numeralia

P : fungsi predikat

Pron. Pers : kategori pronomina persona Pron. Demns : kategori pronomina demonstratif Pron. Intro : kategori pronomina interogatif Pron. Pos : kategori pronomina posesif Pron. Reltf : kategori pronomina relatif

Pel. : fungsi pelengkap

S : fungsi subjek

O : fungsi objek

V : kategori verba

(13)

commit to user

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sebagian dari masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mempercayai

adanya kekuatan adikodrati (supranatural) yang hadir dan mewujud dalam

kehidupan sehari-hari. Kemalangan hidup, segala malapetaka, segala penyakit dan

serangkaian keburukan hidup lainya dapat ditolak eksistensinya melalui

pembacaan mantra. Mantra tersusun dari konstruksi kata dan kalimat yang

dipercaya memiliki daya magis bagi pembaca (perapal) atau pengamal mantra.

Mantra, secara leksikal, berarti pembacaan bunyi atau kata sebagai sarana

ritual yang memiliki daya magis. Magis yaitu kekuatan supranatural yang hadir

melalui praktik ritual tertentu. Mantra kidung Jawa berarti rangkaian kata dalam

bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan atau

disenandungkan dengan titi nada tertentu (verse form). Hal ini oleh Arps

(1996a:47) disebut dengan ‘incantatory poems’ atau disebut juga dengan ‘mantra

kekidungan’ atau ‘tetembangan’. Arps mengadopsi istilah ini dari Behrend

(1987). Temba ng juga ditulis dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis, salah

satunya yaitu mantra magis-religi (ma gico-religious inca ntations) (Arps,

2000:117).

Kidung sebagai mantra magis-religi didalamnya terdapat perpaduan antara

sastra dan doa sebagai sarana ritual. Sastra berkaitan dengan bentuk tembang yang

(15)

commit to user

Kidung (temba ng) dalam hal ini mengacu pada puisi Jawa tradisional yang

mempunyai jumlah konvensi suku kata, jumlah baris dan irama. Dengan kata lain

temba ng terdiri atas unsur fonologis (konvensi suku kata) dan intonasi (jumlah

baris dan irama). Arps (1990:3) menggunakan istilah verse form untuk merujuk

fenomena ini, karena secara bersamaan bentuk temba ng menentukan aspek

fonologis, sintaksis, dan melodis secara serentak ketika temba ng dilantunkan

(these verse form govern a spects of the phonologica l and synta ctic shape of texts

a nd at the sa me time comprise melodies with which the texts a re recited). Untuk

itu, temba ng memiliki aturan (konvensi), yaitu guru wila nga n dan guru la gu.

Pengertian secara umum Guru wila ngan ialah ketentuan jumlah suku kata dalam

satu baris suatu temba ng. Arps (1990:68) mendefinisikan guru wila nga n yaitu

ketentuan jumlah suku kata pada setiap baris tembang (the count in question is the

number of sylla bles in verse lines). Guru la gu ialah ketentuan tentang vokal pada

akhir temba ng. Guru la gu dapat diiterpretasikan dua hal, perta ma, sebagai suara

vokal pada akhir baris (a s voca lic sound the fina l vowel of that verse line). Kedua,

sebagai suara fonem vokal dan alofon (the term of guru la gu ca n be chara cterized

in terms of vowel phonemes and a llophones) (Arps, 1990:69).

Mantra kidung Jawa tidak hanya dapat dilantunkan dengan melodi

tertentu, tetapi ia juga dapat dianalisis melalui perangkat kebahasaan yang

membangun mantra tersebut. Hal tersebut disebut ‘poetic rea ding’, yakni usaha

untuk mengeksplorasi kenikmatan temba ng (lela ngena n), sedangkan yang kedua

berfokus pada a na lytica l rea ding. Ana lytica l reading, yakni usaha untuk

(16)

kandungan unsur yang membangun. Hal tersebut bertumpu pada sebagaimana

yang disimpulkan oleh Arps (1990:413) berikut kutipan lengkapnya temba ng

verse is not a lwa ys sung. It can be spoken a s well. but voicing it a s song a nd

voicing it a s speech serve different ends. The first can be ca lled poetic a nd the

second a na lytica l.

Selain poetica l dan a na lytica l tidak menutup kemungkinan adanya

ma gica l reading, hal ini dilakukan untuk menyingkap dan menguak kandungan

magis yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Penelitian ini menggunakan

a na lytica l rea ding untuk menganalisis perangkat kebahasaan yang membangun

mantra kidung Jawa. Hal ini dipilih karena penelitian ini berfokus pada analisis

tekstual mantra kidung Jawa khususnya penggunaan repetisi dan fungsi yang

terkandung dalam mantra kidung Jawa.

Mantra kidung Jawa sebagai data dalam penelitian ini diambil dari Kita b

Primbon Atasadhur Ada mma kna (Sa mbetanipun Beta ljemur) (selanjutnya disebut

dengan KPAA). Dalam KPAA terdapat 12 macam mantra yang secara umum

berisi tiga hal: perta ma, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala

penyakit (sla met atau raha yu), kedua mendatangkan kekuatan adikodrati

(ka sekten), dan ketiga menghadirkan ketentraman dalam hidup (katentreman).

Secara khusus isi mantra dipraktikkan dalam kondisi dan situasi tertentu yang

dihadapi oleh pembaca mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu

perjalanan jauh, mendirikan rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai

(17)

commit to user

Mantra tergolong sebagai bahasa ritual, maka ia banyak memiliki

bentuk-bentuk repetisi. Repetisi merupakan karakteristik dari bahasa ritual sebagaimana

dipaparkan oleh Gill (1981) menyatakan bahwa repetisi dan elaborasi dari elemen

bahasa lain menjadi karakteristik yang dominan dalam bahasa ritual (dalam

Keane, 1997:52). Menurutnya repetisi yaitu bentuk pengulangan dan elaborasi

(penjajaran bahasa dari dua bahasa) menjadi ciri khas bahasa ritual.

Becker (1998:84) dalam The linguistics of Pa rticula rity: Interpreting

Superordination in a Ja vanese Text menerangkan bahwa repetisi dan reduplikasi

-melalui pengulangan sebagian atau keseluruhan- yang ia istilahkan strategi

repetisi telah menjadi karakter estetika Jawa dan Asia Tenggara pada umumnya.

Apa yang dipaparkan oleh Becker (1998) menandaskan bahwa repetisi menjadi

ciri khas yang melekat pada estetika Jawa. ‘Strategi pengulangan’ sebagaimana

Becker istilahkan mengemban penanda penting bahwa dibalik strategi

pengulangan terdapat makna tertentu baik itu penegasan, penguatan dan

penjelasan atau mungkin keindahan. Tannen (2007:46), seorang murid dari

Becker yang menekuni repetisi dalam percakapan, mengatakan senada dengan

gurunya bahwa repetisi sebagai sebuah strategi pengulangan mempunyai makna

menghubungkan jalinan setiap unsur yang terdapat dalam kohesi teks melalui

pengulangan leksikal.

Gonda (1988:190) pada saat mengulas mantra Sata patha -Brahma na

mengatakan bahwa gaya yang mencolok dari mantra Sa ta patha -Brahmana yaitu

mengulang-ulang penjelasan dengan maksud yang sama pada posisi akhir dan

(18)

Sata patha -Bra hma na menjadi stylistic peculia rities, yaitu mengulang makna dan

pikiran yang sama melalui gaya repetisi yang khas (Gonda, 1988:264).

Senada dengan Gonda (1988), Yelle (2003:11) juga memberi pernyataan

yang sama pada saat mengulas mantra Tantra Hindu ia mengatakan bahwa mantra

tidak hanya mengulang, tetapi berulang-ulang(ma ntra s a re not only repeated, but

repetitive). Hal ini mempunyai maksud bahwa pengulangan menjadi ciri khas

mantra. Widodo (2011a) sewaktu menganalisis aspek tekstual dan gramatikal

pada mantra Kidung Rumeksa Ing Wengi atau Kidung Mantra wedha menunjukkan

bahwa aspek gramatikal yang dominan yang ditemukan dalam Kidung Rumeksa

Ing Wengi yaitu aspek pengacuan (referensi), sedangkan aspek leksikal yang

dominan yaitu aspek repetisi. Repetisi dalam kajian tersebut mengacu pada

pengertian pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian

kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks

tuturan (Sumarlam, 2010:35).

Repetisi sebagai kekhasan dalam mantra patut untuk dikaji dan ditelisik

lebih dalam, karena repetisi mempunyai andil dalam menggerakkan daya

keyakinan (cogency) bagi pengamal mantra. Bentuk-bentuk pengulangan dengan

menggunakan varian satuan lingual yang dibaca secara berulang-ulang akan

menimbulkan keampuhan atau kemanjuran (effica cy; ma ndhi; manjur) (periksa

Widodo, 2012a). Repetisi bukan salah satu unsur dalam mantra yang

menghadirkan kemanjuran, tetapi ia bagian yang utama dalam mewujudkanya.

(19)

commit to user

penggerak dalam membangun keutuhan struktur dalam artian memenuhi

persyaratan kidung sekaligus juga membangkitkan sugesti bagi pengamal mantra.

Pengkajian ini bertolak dari repetisi sebagai kekhasan kebahasaan yang terdapat

dalam mantra kidung Jawa yang pada akhirnya dapat menjelaskan fungsi

kelingualan dalam mantra kidung Jawa.

Repetisi dalam isu linguistik di Indonesia seringkali terkait dengan ‘gaya

bahasa’ yang berfungsi penegasan (periksa Keraf, 1994: 127-128 ; Ratna, 2009 :

206), bukan sebagai ‘gejala bahasa’. Sehingga repetisi lebih cenderung bersifat

sastrawi, ia dalam artian lebih pada pengkajian sastra. Berkaitan dengan hal

mantra, pengkajianya banyak dilakukan sebagai kajian sastra lisan. Sebagaimana

dilakukan oleh Soedjijono (1985), Saputra (2007), Vidiyanti (2009) pendekatan

kajian mereka bertumpu pada kajian ‘formula’ dan ‘ungkapan formulaik’.

Formula adalah ” a group of words which is regula rly employed under the sa me

metrica l conditions to express a given essentia l idea” (kelompok kata yang secara

teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu

ide yang hakiki), sedangkan ungkapan formulaik adalah “a line or ha lf line

constructed on the pattern of the formula s” (larik atau separuh larik yang disusun

atas dasar pola formula) (Lord, 1971:30).

Tujuan kajian tersebut pada akhirnya membuktikan jejak-jejak kelisanan

(residu kelisanan) dalam mantra (lihat Ong, 1982:11). Kelisanan dalam mantra

merupakan sebuah keniscayaan karena ia bagian dari tradisi lisan yang

berkembang dengan ‘mulut bersambut’ atau ‘tutur tinular’ (lihat Sutarto, 2011a:6

(20)

pekat, maka sebuah keniscayaan pula dalam bentuk formalnya unsur kelisanan itu

masih tampak.

Penelitiaan ini mengkaji bentuk bentuk repetisi dan fungsi yang

terkandung dalam mantra kidung Jawa pada KPAA. Analisis repetisi pada mantra

kidung Jawa bertumpu pada apa yang dipaparkan Jakobson (1960:358)

mengatakan bahwa projecting the principle of equiva lence from the a xis of

selection into the a xis of combination. Proyeksi dari prinsip keseimbangan dari

poros sintagmatik dan poros paradigmatik. Secara struktural mempunyai implikasi

bahwa hasil proyeksi tersebut muncul sebagai pengulangan lingual yang variatif

yang terdapat dalam tataran gramatikal, leksikal, dan semantik. Tataran

gramatikal yaitu terjadinya pengulangan bentuk dengan pola sintaksis yang sama,

sedangkan pada tataran leksikal terjadi pengulangan bentuk leksikal (kata maupun

frasa) dengan kategori yang sama. Pada tataran semantik mempunyai maksud

bahwa pengulangan makna tersebut dengan menggunakan satuan lingual yang

berbeda dan pengulangan makna tersebut masih dalam jangkauan medan leksikal

yang sama dan relasi makna yang sama (sinonim).

Secara ringkas pengulangan tersebut terjadi pada semua lapis kebahasaan

sebagaimana dipaparkan Jakobson (1966:399) on every level of la ngua ge the

essence of poetic a rtifice consists in recurrent returns. Dari pemaparan repetisi

tersebut yang menarik dan menjadi kekhasan dalam mantra kidung Jawa yaitu

adanya pengulangan yang terjadi pada ketiga dimensi atau ketiga cakupan yaitu

(21)

commit to user

tersebut muncul bukan karena fenomena ke-gaya-an bahasa, tetapi lebih dampak

dari upaya pengungkapan prinsip keseimbangan.

Seruntut dengan kajian repetisi di atas, fungsi dalam hal ini merujuk pula

pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson (1960) tentang enam fungsi

kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2) konatif (a ppella tive) (3)

metalingual (meta linguistic,'glossing') (4) puitik (a esthetic) (5) referensial

(cognitive, denotative, ideationa l) (6) phatis (Jakobson, 1960:357). Dari keenam

fungsi bahasa tersebut digunakan untuk menganalisis fungsi-fungsi kebahasaan

yang terdapat dalam mantra kidung Jawa yang berfokus pada penggunaan repetisi.

Ada tiga fungsi yang dominan dalam mantra kidung Jawa yaitu fungsi

referensial, puitis, dan konatif. Ketiga fungsi tersebut bekerja pada jalur

penyampai pesan (referensial). Fungsi referensial disini terdapat dua pemilahan

fungsi, yaitu fungsi repetisi dan fungsi mantra kidung Jawa itu sendiri dalam

dimensi sosialnya. Fungsi puitis berfokus pada perangkat keindahan mantra

kidung Jawa (puitis), dan fungsi konatif berfokus pada mitra tutur atau interlokusi

melalui bentuk verba imperatif (konatif) yang terdapat dalam mantra kidung Jawa.

Ketiga fungsi tersebut membangun keutuhan mantra kidung Jawa secara

memadai.

Penelitian mantra Jawa baik yang dilakukan sarjana Barat maupun sarjana

Timur telah banyak memberi kontribusi bagi pengkajian bahasa Jawa, sastra lisan

dan antropologi budaya Jawa. Bermula dari Soedjijono dkk, (1985) yang meneliti

mantra yang terdapat di empat wilayah di Jawa Timur yaitu Magetan, Malang,

(22)

isi mantra Jawa di Jawa Timur. Hefner (1985) yang meneliti bahasa ritual di

komunitas Hindu Jawa di Bromo. Keeler (1987) yang memaparkan mantra Jawa

sebagai bagian studi etnografinya tentang masyarakat Jawa. Baik Hefner (1985)

dan Keeler (1987) tidak menjadikan mantra sebagai kajian sentral, tetapi mantra

hanya bagian dalam lanskap kebudayaan Jawa. Selain itu, Saputra (2007)

mengkaji mantra Sa buk Ma ngir dan Ja ra n Goya ng sebagai sastra lisan yang

mencerminkan budaya masyarakat Using di Banyuwangi. Hartarta (2008)

mengkaji mantra pengasihan Jawa dengan pendekatan sosiologi sastra.

Perbedaan mendasar penelitian ini dengan penelitian yang terdahulu

terletak pada tiga hal: perta ma, fokus kajian penelitian ini memaparkan aspek

kebahasaan dari mantra kidung Jawa khususnya repetisi dan kekhasan aspek

kebahasaan pada umumnya yang terdapat dalam mantra kidung Jawa. Dari kajian

repetisi tersebut akan terkuak fungsi yang terkandung dalam mantra kidung Jawa,

baik fungsi praktis kebahasaan maupun fungsi ideologis yang diembannya.

Kedua, penelitian terdahulu menggunakan mantra yang tidak bisa dilantunkan

(ditembangkan) hanya bisa dirapal (dibaca). Hal ini menunjukkan bahwa mantra

kidung mengindikasikan bahwa mantra tersebut mempunyai hubungan dekat

dengan masyarakat. Hal ini mempunyai maksud bahwa mantra kidung

diperuntukkan untuk masyarakat biasa atau masyarakat pada umumnya, sehingga

ia tidak hanya mengantarkan keampuhan mantra bagi penggunanya, tetapi

mempunyai fungsi sosial ideologis yang diembanya. Ketiga, mantra kidung ini

(23)

commit to user

kuno sebelumnya (periksa Arps, 1996a:104-108). Atas dasar latar belakang

tersebut, penelitiaan ini memaparkan dan menjelaskan “Mantra Kidung Jawa”

yang terdapat dalam KPAA dengan fokus kajian pada penggunaan aspek repetisi

dan fungsi yang terkandung.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas rumusan masalah sebagai fokus

penelitian sebagai berikut

1.2.1 Bagaimanakah kekhasan aspek bahasa pada mantra kidung Jawa ?

1.2.2 Bentuk-bentuk repetisi apa sajakah yang terdapat dalam mantra

kidung Jawa ?

1.2.3 Bagaimanakah fungsi repetisi dalam mantra kidung Jawa ?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat ditarik tujuan penelitian sebagai

berikut.

1.3.1 Mengetahui kekhasan aspek kebahasaan mantra kidung Jawa.

1.3.2 Memaparkan bentuk-bentuk repetisi yang terdapat dalam mantra

kidung Jawa.

1.3.3 Menjelaskan fungsi repetisi yang terkandung dalam mantra kidung

(24)

1.4Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terutama adalah usaha untuk mendeskripsikan

penggunaan repetisi pada mantra kidung Jawa dalam KPAA yang dapat

dibedakan secara teoretis dan praktis. Secara teoretis penelitian ini memberi

manfaat sebagai berikut:

1.4.1 Memberikan kontribusi ilmiah di bidang analisis wacana dari aspek

leksikal: khususnya penggunaan repetisi dalam mantra kidung Jawa dan

memberikian kontribusi bagi pengkajian register bahasa ritual Jawa pada

umumnya.

1.4.2 Memberikan referensi yang mendalam mengenai fungsi repetisi pada

mantra kidung Jawa khususnya fungsi repetisi. Memberikan kontribusi

fungsi kebahasaan Jakobson yang digunakan dalam mantra kidung Jawa.

1.4.3 Memberikan perspektif akademik terhadap primbon Jawa khususnya mantra

kidung melalui perspektif linguistik deskriptif, tidak sekadar melihat

primbonmelalui pendekatan mitis dan irasional.

Secara praktis penelitiaan ini memberi manfaat sebagai rujukan tentang

pengkajian penggunan repetisi mantra kidung Jawa dan memberi manfaat bagi

praktisi mantra Jawa, budayawan, dan pengamal mantra sebagai salah satu daftar

acuan tentang pemanfaatan repetisi mantra Jawa khususnya dalam KPAA dan

(25)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR

2. 1 Landasan Teori

2.1.1 Mantra dalam Masyarakat Jawa

Saidi (2003:3) mengatakan pandangan hidup orang Jawa, dikuasai oleh

tiga ide yang paling mendasar, yaitu (1) ide sa kti dan mana bahwa ada suatu

kekuatan gaib yang dipunyai oleh seorang manusia istimewa, seperti raja dan

pandai besi (empu). Sakti ini dapat diperkuat dengan tapa, dan juga dengan

kata-kata mantra, buku-buku atau lontar yang dikarang oleh pujangga keraton (istana).

(2) Ide percaya kepada taa l ma gies, bahwa isi kata-kata dapat memengaruhi

keadaan dunia melalui mantra, maka seorang pendeta bahasa (taa l priester) dapat

memengaruhi jalan dunia. Sebab ’kata’ itu identik dengan benda yang ditandai

dengan kata tersebut. Siapa yang menguasai ’ kata’, maka akan menguasai

benda-benda atau anasir-anasir lain yang dinyatakan dengan kata-kata itu. (3) semua

anasir, kenyataan, benda, bayangan-bayangan rohani itu dibagi dalam klasifikasi

kosmos. Misalnya, gelap terang, baik-jahat, pa ngiwa -panengen dan sebagainya.

Mantra berkaitan erat dengan kepercayaan taa l ma gies karena mantra tidak

hanya konstruksi kata dalam larik saja, tetapi mengandung daya magis tertentu.

Daya magis tersebut dapat diaktivasi oleh pengamal mantra. Hal ini terkait erat

dengan penghayat mistik atau kebatinan yang telah dihayati oleh sebagian

(26)

2.1.2 Pengertian Mantra

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mantra didefinisikan sebagai

perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (Alwi, dkk, 2002:713).

Poerwadarminta (1955:142) mengatakan bahwa mantra dikenal dengan istilah

kalimat magis (ma gic sentence) kontruksi kalimat yang membawa daya magis

bagi pengamal mantra atau pembaca mantra.

Istilah mantra sangat akrab dikenal dalam lingkungan Hindu dan Budha.

Dua agama tersebut menjadikan mantra sebagai sarana peribadatan, mantra

dianggap sebagai teks suci (sa cred text) (Yelle, 2003:3). Lebih lanjut Yelle

(2003:9) mengatakan dalam tradisi tantra mantra berarti hasil dari kontemplasi

(mananā ) lalu seseorang memeliharanya (trāyate). Mantra diturunkan dari akar

verba ma n yang berarti berpikir atau merenung, dan mendapat sufiks (akhiran) tra

yang berarti ‘sebagai sarana berpikir atau merenung’ (an instrument of thought).

Mantra sering dieja ma n-te-ra adalah kata-kata atau ayat yang apabila

diucapkan dapat menimbulkan kuasa gaib atau jampi (Soedjijono, 1985:24).

Koentjaraningrat (1981:177) menyebutkan bahwa mantra merupakan unsur

penting di dalam teknik ilmu gaib (ma gic). Mantra berupa kata-kata dan

suara-suara yang sering tidak berarti, tetapi yang dianggap berisi kesaktian atau

kekuatan mengutuk. Mantra kidung Jawa dalam penelitian ini, artinya rangkaian

kata dalam bahasa Jawa yang mengandung kekuatan magis yang dapat dilagukan

atau disenandungkan dengan titi nada tertentu (verse form).

(27)

commit to user

ma ntra wedha yang didalamnya tersebut nama-nama nabi dan rasul agama Islam

(periksa Widodo, 2011a). Di mantra kidung setya wedha di dalamnya berisi rukun

iman yang dikemas dalam metrum dhanda nggula (periksa Widodo, 2012a). Dari

pemaparan pengertian mantra di atas, mantra kidung Jawa dalam penelitian ini

mempunyai batasan yaitu konstruksi kalimat (kata, frasa, dan klausa) yang

mempunyai daya magis bagi pengamalnya dan mantra tersebut dapat dilagukan

dengan titi laras tertentu (metrum atau verse form).

2.1.3 Jenis- Jenis Mantra

Hien (2009:163) membagi mantra dalam tiga jenis, yaitu

1. Pa nula ha n atau paneluhan yaitu mantra untuk menolak kehadiran dan

pengaruh setan, hantu dan roh jahat, atau untuk memanggil dan memohon roh-roh

yang baik, (2) Ja mpe yaitu mantra untuk manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan

dan rerumputan, hujan, angin dan sebagainya, (3) Ra ja h atau doa dalam bentuk

riwayat raja dan pangeran. Di tanah Sunda, riwayat raja diceritakan dalam bentuk

pantun diyakini memiliki kekuatan penolak bala.

Hartarta (2010: 43-47) membagi mantra berdasarkan fungsi atau gunanya

sebagai berikut: (1) Ma ntra penga sihan yaitu mantra yang memiliki kekuatan

untuk memikat lawan jenis atau objek sasaran tertentu yang menjadi sasarannya.

Objek sasaran akan terpesona dengan sang pengamal mantra. (2) Ma ntra

ka nuragan juga disebut dengan mantra aji-aji untuk mencapai kekebalan tubuh

(a tosing ba lung, uleting kulit). (3)Ma ntra ka suksma n yaitu mantra yang terdapat

dalam olah batin atau pendakian ke alam batin yang esoteris. (4)Ma ntra pertanian

(28)

menanam, memetik panen untuk mencapai keselarasan dengan alam. (5) Ma ntra

pengla risan yaitu mantra yang digunakan untuk menarik datangnya rejeki melalui

jalur perniagaan. (6) Ma ntra panyuwuna n yaitu mantra yang digunakan pada saat

kegiatan-kegiatan tertentu untuk memperoleh keselamatan, misalnya, mendirikan

rumah, menggali sumur, menebang pohon, dan sebagainya. (7) Ma ntra pa nula ka n

yaitu mantra yang digunakan untuk melindungi diri dari gangguan-gangguan

orang-orang jahat dan makluk halus untuk memperoleh keselamatan. (8) Ma ntra

pengobatan yaitu mantra yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit

tertentu atau yang lebih dikenal dengan metode rukyah dan juga sewaktu

pemasangan susuk. (9) Ma ntra tra wa ngan/sorog yaitu mantra yang digunakan

untuk menembus dimensi alam lain (alam astral). (10) Ma ntra pa nga la rutan yaitu

mantra yang digunakan untuk meredam amarah atau emosi seseorang. (11)

Ma ntra sirep atau pa nglerepa n yaitu mantra yang digunakan untuk menidurkan

seseorang dalam jangka waktu tertentu (hipnotis).(12) Mantra pa ngra cuta n yaitu

mantra yang digunakan untuk melarutkan ilmu seseorang ketika menjelang ajal.

Mantra (13) dha nya ngan yaitu mantra yang digunakan untuk berkomunikasi

dengan roh-roh tertentu.

Mantra kidung Jawa dalam penelitian secara umum berisi tiga hal:

perta ma, perlindungan diri dari segala malapetaka dan segala penyakit (sla met

atau raha yu), kedua mendatangkan kekuatan adikodrati (ka sekten), dan ketiga

menghadirkan ketentraman dalam hidup (katentrema n). Secara khusus isi mantra

(29)

commit to user

mantra atau pengguna mantra, misalnya pada waktu perjalanan jauh, mendirikan

rumah, menjaga bayi dari makhluk gaib, dan berbagai kondisi khusus lainya.

2.1.4 Mantra dalam Kitab Primbon Jawa

Banyak sekali jenis-jenis mantra yang beredar di wilayah nusantara

khususnya Jawa, baik tertulis maupun tidak tertulis. Mantra yang tidak tertulis

artinya mantra tersebut terdapat dalam ingatan kognitif para dukun di Jawa. yang

hanya diwariskan secara terbatas melalui murid-muridnya dan tamu pilihanya,

sedangkan mantra yang tertulis secara masal dan dipublisikan yaitu mantra yang

terdapat dalam kitab primbon.

Dukun adalah orang yang dianggap memiliki ilmu gaib atau science

occult dan dianggap sebagai ‘orang tua’, yaitu orang yang bisa memberi

pertolongan kepada orang lain. Woodward (2011:71) mengatakan bahwa dukun

juga merujuk pada pitulung (helper), ahli kebatinan (mystic), ahli ngilmu Ja wa

(expert in Ja vanese science), wong tuo (elders), wong pinter/ngerti (sma rt

person). Kondisi kekinian mereka juga sering disebut “paranormal”

(pa ranorma ls) atau praktisi penyembuhan alternatif (pengobatan a lternative).

Dukun merupakan pekerjaan profesi seperti dukun bayi, dukun pijat, dukun sunat,

dukun khitan, artinya sesorang yang memiliki keahlian mengurus bayi, memijat

orang lain dan mengkhitan anak. Pedukunan disini adalah masalah yang ada

hubunganya dengan masalah kebatinan, yaitu menyangkut mempunyai kelebihan

atau kekuatan dibanding manusia normal (Hanif, 1992:16-20). Selain itu, dukun

bukan gelar yang diperoleh dari sekolah atau akademi, ia merupakan pemberian

(30)

kehadiran dukun. Dalam praktik kesehariannya dukun biasanya menggunakan

kitab primbon sebagai pedoman atau pegangan (guide books), dalam menjalankan

tugasnya, yaitu membantu sesama : menentukan hari baik untuk hajatan

pernikahan sampai dengan menentukan waktu hubungan badan suami istri agar

mendapat benih yang unggul (Woodward, 2007:75), mendirikan rumah,

menambah kekuatan dan keperkasaan, bahkan preman (ba ndit) mendatangi dukun

untuk menambah kekuatan. Hal ini sebagaimana dinarasikan oleh Till (2011:96) :

A report dating from 1888 (which refers to centra l Ja va rather tha n Ba ta via ), describes at visit to the dukun. At his first visit, the client ha nded over a 5o-cent coin from which a n a mulet would be forged. During this and subsequent visits to the dukun, incense would be burned and incantations recited from a primbon, a Ja va nese book of mysticism rather like a n a lma na c. Although the concultation wa s free of cha rge, the dukun would urge the a spiring miscreant: ‘remember the old dukun’. The a ccount states that dukuns tended to be quite prosperous a s result, a nd could pa y the 60-guilder fine imposed for these disreputa ble pra ctises without blinking.

Sebuah laporan yang berasal dari tahun 1888 (yang lebih mengacu Jawa Tengah daripada Batavia), menjelaskan pada sebuah kunjungan ke dukun. Pada kunjungan pertamanya, klien menyerahkan koin 50 sen yang akan ditempa menjadi jimat. Dan dalam kunjungan berikutnya, dukun akan membakar dupa lalu dukun membacakan mantra yang diambil dari primbon, sebuah buku mistik Jawa yang mirip seperti almanak. Meskipun konsultasi itu gratis, dukun akan mendesak kepada calon bandit : ‘ingat sang dukun tua’. Hal itu menyatakan bahwa dukun ikut menentukan dalam kesuksesanya dan pada akhirnya membayar 60 gulden yang dikenakan untuk praktek-praktek jelek tanpa berkedip.

Cerita di atas secara implisit menegaskan bahwa pembacaan mantra yang

dilakukan oleh dukun bersumber dari kitab primbon.

Soedjijono, dkk (1985:15) mengatakan bahwa mantra ada yang tertulis

(31)

commit to user

hanya dimiliki oleh pemilik-pemilik mantra tertentu. Mantra kidung dalam

penelitian ini yaitu mantra yang terdapat dalam kitab primbon.

2.1.5 Pengertian Primbon

Primbon adalah kitab yang berisikan (perhitungan hari baik, hari naas);

buku yang menghimpun berbagai pengetahuan kejawaan, berisi rumus ilmu gaib

(rajah, mantra, doa, tafsir mimpi) sistem bilangan yang pelik untuk menghitung

hari mujur untuk mengadakan selametan, mendirikan rumah, memulai perjalanan

dan mengurus segala macam kegaitan yang penting, baik bagi perorangan maupun

masyarakat.

Subalidinata (dalam Sarworo 2008:7) menduga bahwa kata ‘primbon’

berasal dari kata dasar ‘imbu’ yang diberi awalan pa ri- atau per- dan akhiran –a n,

jadi, “pari/per-imbu-an”. Imbu berarti simpan atau peram. Sehingga, parimbon

‘perimbon’ atau primbon berarti sesuatu yang disimpan. Dapat juga diartikan

sebagai tempat simpan-menyimpan. Tempat itu berupa kitab atau buku. Materi

yang disimpan di dalam kitab tentu saja informasi-informasi dan

pengetahuan-pengetahuan penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Arps

(1999:437) menduga primbon sebagai kumpulan dari ca theta n ‘tulisan tangan’

atau compendium. Jadi, primbon mempunyai maksud pengetahuan mistik yang

terus diperbarui, karena Arps menduga bahwa akar kata dari primbon yaitu

imbuh ‘tambah’. Artinya catatan yang terus menerus diperbarui manakala ada

(32)

2.1.6 Kitab Primbon Jawa

Dari ragam pengertian primbon di atas pengertian dari Subalidinata (2008)

lebih mewakili dari makna primbon yang sesungguhnya. Primbon bermakna

sesuatu yang disimpan. Primbon pertama kali adalah tradisi lisan yang

diwejangkan oleh sesepuh pinisepuh Jawa yang mumpuni atau ja lma limpat

seprapat ta mat, yaitu orang yang menguasai ilmu waskita yang mampu membaca

semiotika alam (tanda-tanda alam) yang diajarkan turun-temurun melalui proses

esoteris dan laku batin tertentu (melalui beragam tirakat).

Kitab primbon pada awal mulanya adalah teks yang bersifat privat dan

rahasia. Ia hanya dapat diberikan kepada seseorang melalui transmisi keguruan

(jalur berguru) melalui sesepuh atau dukun. Selain itu, kitab primbon adalah

kumpulan dari catatan lepas (kompendium) yang dihimpun oleh seorang

pinisepuh dari berbagai sumber. Isi kitab primbon secara umum berisi ka weruh

esoteris magis, yaitu ilmu magis yang diperoleh melalui beragam praktik asketik

(la ku), seperti, mantra, ra ja h, perhitungan hari baik dan buruk, serta pengetahuan

magis lainya. Upaya penulisan kitab primbon adalah untuk memberikan warisan

kepada generasi yang akan datang. Tujuan penulisan tersebut secara implisit

tertulis di sampul depan (cover) KPAA sebagai berikut.

ngewrat ilmu-ilmu ingka ng ta ksih ginaib ingkang dereng ka sumereba n dening nga katha h pepethikan sa king rupi-rupi primbon Ja wi serata n kina , ngengingi ka wruh ula h ka batosa n wa jib kita pepetri, sinten mangertos bilih ing tembe wingking kathah piguna nipun.

(33)

commit to user

Karena kitab primbon hasil dari upaya mengumpulkan catatan lepas dari

pinisepuh, maka memunculkan variasi teks yang beragam dalam kitab primbon,

khususnya dalam penulisan mantra kidung.

Variasi teks muncul karena dua hal perta ma karena proses penulisan

(litera cy) yang didalamya terdapat dua proses, yaitu penulisan mantra pertama

kali oleh murid dari guru dan produksi publikasi mantra melalui percetakan.

Kedua disebabkan oleh mantra yang telah diperformasikan melalui bentuk kidung

menghadirkan variasi teks untuk menyesuaikan irama dan titi nada yang sesuai.

Teks mantra yang tertulis dan teks yang diperformasikan atau ditembangkan akan

menimbulkan variasi dalam praktiknya.

Maka penelitian ini fokus pada mantra (teks) yang tertulis dalam kitab

primbon. Karena teks hadir terlebih dahulu sebelum performansi. Hal ini mengacu

pada apa yang dilakukan oleh Arps sewaktu meneliti ‘temba ng dalam dua tradisi’

(1990) dan Kidung Rumeksa Ing Wengi (1996a) dengan tegas Arps mengatakan

without text there is no pra yer (1996a:65) artinya mantra kidung yang digunakan

sebagai sarana ritual bersumber dan bermuasal dari teks mantra (tertulis).

Berkaitan dengan hal ini, Kadarisman (2009:104) mempertegas:

Teks sastra tidak harus hadir dan lahir melalui pentas. Dalam hal temba ng performa nce, atau yang dalam istilah lokalnya dikenal sebagai ma ca pata n, hampir dipastikan bahwa “teks” selalu mendahului pentas. Perlu dicatat bahwa istilah “teks”di sini diartikan secara longgar, sebagai a strech of verba l discourse. Jadi, “teks” bisa meliputi wacana lisan maupun tertulis. Jika yang ditekankan adalah pengertian teks tertulis, maka definisi formalnya menjadi a n orthogra phic (or phonetic) record of the stretch of verba l discourse.

Macam-macam kitab primbon sebagai berikut: Suyami (2008:1-2)

(34)

sedikitnya dijumpai dalam 25 macam, meliputi: primbon (6 buku) terdiri atas (1)

Primbon tuwin Wirid (1 buku), (2) Primbon Ca riyos jimat (1 buku), (3) Primbon

Ciptasa smita (1 buku), (4) Primbon Ja mpi (1 buku), (5) Primbon Ja mpi Ja wi I (1

buku), (6) Primbon Ja wi (1 buku), (7) Primbon Ma ngkupra ja n (1 buku), (8)

Primbon Peta ngan (1 buku), (9) Primbon Puja mantra (1 buku), (10) Primbon

Ra cika n Ja mpi II (1 buku), (11) Primbon Sa bda Pa ndita (1 buku), (12) Primbon’s

Geneesmiddelen E recepten (1 buku), (13) Serat Primbon (3 buku), (14) Serat

Primbon Ja mpi Ja wi (1 buku), (15) Sera t primbon sa king kaisla ma n (1 buku),

(16) Serat primbon suluk wa rna -wa rni (1 buku), (17) Sera t Primbon wa la ndi (1

buku), (18) sera t primbon wa rni-wa rni (1 buku). Suyami (2008:2) menambahkan

informasi di perpustakaan BPSNT Yogyakarta terdapat dua kitab primbon yaitu,

‘Serat Primbon Pa wukon Ba yi Lahir’ dan ‘Serat Primbon Pra nata mangsa’.

Kitab Primbon yang dihimpun oleh Kanjeng Pangeran Harya

Tjakraningrat yang dikeluarkan oleh Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya dan

diterbitkan oleh Soemodijoyo Maha Dewa, Yogyakarta atau CV Buana Raya Solo

sebagai berikut: (1) Kita b Primbon Beta ljemur Ada mma kna , (2) Kita b Primbon

Lukma na kim Ada mma kna , (3) Kita b Primbon Ata ssa dhur Ada mma kna , (4) Kita b

Primbon Bektija mma l Ada mma kna ,(5) Kita b Primbon Sha hdhatsa hthir

Ada mma kna , (6) Kita b Primbon Qoma rrulsya msi Ada mma kna ,(7) Kita b Primbon

Na kla ssanjir Ada mma kna , (8) Kita b Primbon Qura ysin Ada mma kna , (9) Kita b

Primbon Ajimantra wa ra , Yoga brata , Yoga ma ntra , dan (10) Kita b Primbon Kunci

(35)

commit to user 2.1.7 Mantra Kidung Jawa dalam KPAA

Mengingat banyaknya teks primbon yang beredar di masyarakat Jawa

penelitian ini fokus pada mantra Jawa yang berbentuk kidung (temba ng) yang

terdapat dalam Kita b Primbon Atassadhur Ada mma kna (Sa mbeta nipun

Beta ljemur), yang diterbitkan oleh Soemodidjojo Maha Dewa, Ngayagyakarta

Hadiningrat dan CV Buana Raya (cetakan kelima tahun 1994).

Pertimbangan yang mendasari dipilihnya KPAA adalah (1) mantra kidung

artinya, mantra yang dapat disenandungkan, ditemukan di dalam KPAA. Dalam

kitab primbon yang lain juga terdapat mantra, misalnya Kita b Primbon

Beta ljemur Ada mma kna , tetapi mantra tersebut tidak berupa kidung yang hanya

bisa dibaca atau dirapal saja. (2) yaitu di dalam KPAA terdapat salah satu mantra

yang sudah banyak dihapal oleh sebagian besar masyarakat Jawa, yaitu kidung

ma ntra wedha (KM) atau lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa ing Wengi. Hal

ini mencerminkan bahwa mantra sebagai sarana ritual dapat diterima dengan

mudah oleh masyarakat Jawa melalui temba ng. Selain itu, mantra yang berbentuk

kidung mengindikasikan bahwa mantra-mantra tersebut pernah dekat dalam

kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Jawa. Mantra kidung di masyarakat Jawa

saat ini masih banyak diprakktikkan khususnya Kidung Rumeksa Ing Wengi dan

kidung sesinggahan. Dua kidung tersebut masih banyak dilantunkan oleh

masyarakat dengan berbagai tujuan salah satu diantaranya, yaitu ketika

berlangsungnya hajatan dan menanam padi. (3) di dalam KPAA terdapat

penjelasan secara memadai tentang interpretasi setiap stanza yang terdapat dalam

(36)

mantra. Mantra kidung dalam KPAA mempunyai verse form (metrum) dan ini

mempunyai dua fungsi: sebagai pedoman penulisan atau penciptaan dan sebagai

petunjuk untuk melagukan tembang. Berikut nama mantra dalam KPAA beserta

verse form yang digunakan.

Temba ng sebagai verse form memiliki karakteristik yang khas yaitu pola

irama-pembeda (distinctive metrica l pa ttern) dan kekhasan langgam

(idiosyncratic tunes) (Arps, 1990:57). Ada sebelas bentuk verse form yang paling

terkenal dan berlaku dalam masyarakat Jawa, yaitu ma skuma mbang, pucung,

ga mbuh, megatruh, mijil, kinanthi, a sma ra da na, durma, pa ngkur, sinom, dan

dhandhanggula. Ihwal ini sering disebut dengan tembang cilik atau temba ng

ma ca pat. Berikut contoh struktur matriks temba ng pa ngkur dan dhanda nggula.

Karena dua tembang tersebut paling banyak dikenal dalam pelantunan mantra

kidung Jawa yaitu mantra kidung ma ntra wedha (KM) atau kidung rumeksa ing

wengi (dha ndha nggula) dan kidung wa ra wedha atau kidung sesinggahan

(pa ngkur)

Tabel 1. Struktur Matriks Tembang Pangkur

Baris a b c d e f g

Jumlah suku kata 8 11 8 7 12 8 8

Vokal akhir /a/ /i/ /u/ /a/ /u/ /a/ /i/

Baris pertama (a) terdiri dari 8 jumlah suku kata dan vokal akhir /a/, baris kedua

(b) terdiri dari 11 jumlah suku kata dan vokal akhir /i/, baris ketiga (c) terdiri dari

8 jumlah suku kata dan vokal akhir /u/, dan terus pada baris selanjutnya. Hal

(37)

commit to user

Tabel 2. Struktur Matriks TembangDhandhanggula Baris a b c d e f g h i j Jumlah suku kata 10 10 8 7 9 7 6 8 12 7 Vokal akhir /i/ /a/ /e/ /u/ /i/ /a/ /u/ /a/ /i/ /a/

Berikut nama mantra kidung Jawa pada KPAA beserta metrum (verse form) yang

digunakan

Tabel 3. Nama Mantra dan Metrumnya

No Nama Metrum Singkatan

1 kidung suksma wedha dhandhanggula KS 2 kidung da rma wedha dhandhanggula KD 3 kidung mantra wedha dhandhanggula KM 4 kidung japa wedha dhandhanggula KJ 5 kidung jiwa wedha dhandhanggula KJi 6 kidung reksa wedha sinom KR 7 kidung yoga wedha kinanthi KY 8 kidung wa ra wedha pangkur KW 9 kidung setya wedha dhandanggula KSe 10 kidung a jiwedha durma KA 11 kidung sa ktiwedha durma KSa 12 kidung ba gya wedha mijil KB

Kidung Sukma wedha (KS) terdiri dari 7 stanza (pa da ) dan 70 verse line

(gatra atau pada lingsa). Berisi tentang pentingnya suksma (ruh) dalam kehidupan

manusia. Mantra ini memfokuskan pada pengetahuan suksma yang berada dalam

diri manusia dan pemahahaman suksma akan membawa keselamatan dalam diri

manusia. Kidung Darma wedha (KD) terdiri dari 10 stanza (pa da) dan 110 baris.

Mantra ini menerangkan bahwa seluruh alam dan kandungan isinya berputar dan

digerakkan oleh sang penguasa tunggal (Allah) semua tunduk dan takluk dibawah

kekuasaannya. Orang yang mengamalkan mantra ini akan bebas dari malapetaka

(38)

Kidung Ma ntra wedha (KM) terdiri dari 9 stanza (pa da) dan 90 baris.

Mantra ini juga dikenal dengan kidung rumeksa ing wengi yang paling banyak

dihapal oleh masyarakat Jawa, terutama stanza 1. Mantra ini berisi tentang

perlindungan di waktu malam dari macam bahaya dan malapetaka. Kidung

Ja pa wedha (KJ) terdiri dari 14 stanza (pa da) dan 140 baris. Mantra ini berisi

perlindungan diri dari malapetaka. Kegunaan khususnya yaitu untuk pengasihan

dalam artian positif, misalnya, supaya dicintai dan dikasihi oleh majikan atau

atasan. Kidung Jiwa wa wedha (KJi) terdiri dari 6 stanza (pa da) dan 60 baris.

Mantra ini berisi perlindungan anak kecil dari gangguan gaib.

Kidung Reksa wedha (KR) terdiri dari 26 stanza (pa da) dan 232 baris.

Mantra ini juga disebut dengan suluk plencung. Mantra ini berisi tentang

nama-nama lelembut di tanah Jawa dan daearah kekuasaanya. Kegunaan dari mantra ini

yaitu mengusir dan menghilangkan pagebluk (penyakit menular). Kidung

Yoga wedha (KY) terdiri dari 32 stanza (pa da ) dan 194 baris. Mantra ini

menceritakan pengetahuan tentang bagaimana menangani bayi lahir dan ketika ia

menangis karena tidak diketahui pasti penyebabnya. Mantra ini berguna untuk

perlindungan anak kecil (bayi) dari gangguan gaib. Kidung Wa ra wedha (KW)

terdiri dari 12 stanza (pa da) dan 84 baris. Mantra ini berisi penolakan dari

gangguan jin, setan dan makhluk lainya yang mengancam manusia. Mantra ini

terkenanl dengan kidung sesinggahan atau singga ha n. Mantra ini berguna untuk

membetengi diri dan khususnya digunakan untuk hajatan (sewaktu

(39)

commit to user

Kidung Setya wedha (KSe) terdiri dari 6 stanza (pa da) dan 60 baris. Mantra

ini berisi rukun iman dalam agama Islam. Kegunaan mantra ini untuk

mempertebal keyakinan keagamaan seseorang, khususnya keyakinan Islam.

Selain itu, mantra ini juga berfungsi untuk meningkatkan keteguhan hati dalam

menghadapi pelbagai cobaan hidup. Kidung Ajiwedha (KA) terdiri dari 10 stanza

(pada) dan 70 baris. Mantra ini mendeskripsikan macam-macam besi dalam

khzanah Jawa yang difungsikan untuk kekuatan tubuh. Mantra ini berguna untuk

ka nuragan (kesaktian), kekebalan tubuh, dan mengobati berbagai macam jenis

penyakit. Kidung Sa ktiwedha (KSa) terdiri 13 stanza (pa da) dan 81 baris. Mantra

ini berfungsi untuk melindungi rumah baru atau waktu mendirikan rumah. Kidung

Ba gya wedha (KB) terdiri dari 7 stanza (pa da) dan 41 baris. Mantra ini

menjelaskan tatacara merawat plasenta bayi setelah bayi di lahirkan. Mantra ini

dibacakan pada saat mengebumikan a ri-ari (plasenta) ke dalam tanah.

Munculnya kata “wedha” dalam KPAA sebagai penamaan kidung

merupakan interpretasi baru karena penamaan tersebut belum muncul dalam serat

atau kitab sebelumnya dan juga tidak ada dalam sumber-sumber lama lainya (lihat

Arps, 1996a: 107-108). Salah satunya dalam Serat Kidunga n yang terbit pada

tahun 1919, penamaan kidung masih berdasarkan baris pertama dalam setiap bait

pada kidung.

Kata kidung dan kidungan dalam budaya Jawa merujuk pada berbagai

makna untuk itu berikut digambarkan penggunaan kata kidung dan kidungan di

(40)

Tabel 4. Makna Kata Kidung dan Kidungan di Jawa

Kidung Kidungan Penggunaan Istilah

1. Puisi yang dilantunkan - Jarang

2. Teks dalam Tembang - Jarang

3. Temba ng (verse form) - Jarang

4. Puisi Jawa Pertengahan - Jarang

5. Hymne Gereja - Jarang

6. Mantra yang Oktosilabik a. genre

7. Mantra-puisi tembang b. bait yang dilantunkan

8. - dalam pertunjukan ludruk Jawa Timur

(Diadaptasi dari Arps, 1996a : 51)

Dari penggambaran di atas, kata kidung dalam penelitian ini merujuk pada

no (7) yaitu mantra yang berbentuk puisi (syair) yang dapat dilagukan atau

ditembangkan atau dikidungkan.

2.1.8 Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa

Bentuk repetisi menjadi ciri unik dari mantra kidung Jawa dalam KPAA.

Secara umum ada dua bentuk repetisi dalam mantra yaitu repetisi internal dan

eksternal. Repetisi internal artinya bentuk-bentuk yang diulang dalam teks mantra

untuk memberi penekanan pada bagian tertentu dengan menggunakan satuan

lingual melalui pengulangan bentuk dan makna. Kedua, yaitu pengulangan

eksternal, artinya pengulangan yang dilakukan oleh pengamal mantra atau perapal

mantra dengan mengulang bagian teks tertentu untuk memfokuskan tujuan yang

diinginkan, misalnya, dalam Kidung Ma ntra wedha atau Kidung Rumeksa Ing

Wengi terdapat satu baris ‘sa keh a ma pan sa mi miruda ’ yang diulang beberapa

kali (misalnya 7 kali) untuk membasmi hama di sawah maupun pekarangan

(41)

commit to user

Repetisi dapat diidentifikasi melalui beberapa kriteria. Pengkajian repetisi

yang dominan di Indonesia yaitu sebagaimana dipaparkan oleh Keraf (1994:

127-128), apa yang dipaparkan oleh Keraf tersebut repetisi yang berdasarkan letak

posisi satuan lingual yang mengalami pengulangan sehingga menimbulkan

pelbagai penamaan, misalnya yang berpola di awal baris biasa disebut dengan

anafora. Yang berada diakhir disebut dengan epistrofa.

Wang (2005:510) membagi repetisi dalam tiga kategori yaitu repetisi

leksikal, repetisi sintaksis, dan repetisi semantik. Ketiga kategori tersebut

dikelompokkan atas dasar terjadinya pengulangan pada aspek tertentu.

Pengelompokan tersebut merupakan ikhtiarnya untuk menabulasi dan

menginventarisasi secara kuantitatif kata yang berdekatan dalam bentuk

reduplikasi dan repetisi. Wang menambahkan bahwa perbedaan mendasar repetisi

dengan reduplikasi yaitu bahwa repetisi terjadi pada aspek sintaksis, sedangkan

reduplikasi pada aspek leksikal (morfologis)

Tannen (2007:63) mengatakan bahwa bentuk dan variasi repetisi dapat

dikelompokkan berbagai kriteria. Fokus kajian repetisi yang dibedah oleh Tannen

bertumpu pada repetisi yang terjadi di percakapan (conversation). Bertalian

dengan itu, ia membagi repetisi atas self-repetition dan a llo-repetition (repetition

of others). Hal ini mempunyai maksud bahwa self-repetition dan a llo-repetition

terjadi dan dialami oleh penutur dan mitra tutur dalam percakapan. Ia

menambahkan bahwa fokus utama kajiannya yaitu repetisi sintaksis (synta ctic

(42)

Hasan (1992:87) sewaktu memaparkan struktur teks di dalam struktur

tersebut terdapat unsur-unsur yang wajib dan pilihan. Di dalam unsur pilihan

terdapat unsur pengulangan, yaitu apabila (seperangkat) unsur tertentu muncul

lebih dari satu kali, fenomena itu disebut pengulangan (iteration) atau

muncul-balik (recursion).

Jakobson (1960: 358) mengatakan bahwa projecting the principle of

equiva lence from the a xis of selection into the a xis of combination ‘proyeksi

prinsip keseimbangan dari poros sintagmatik dan poros paradigmatik’. The a xis

of selection (poros paradigmatik) dapat dibayangkan sebagai daftar atau lajur

menurun dari kosakata dalam menta l lexicon, sedangkan the a xis of combination

(poros sintagmatik) atau lajur mendatar, di mana sejumlah kata dapat disusun

menjadi frasa atau kalimat puitis menurut kaidah-kaidah sintaksis dan/atau

semantik. Jadi, the principle of equiva lence atau prinsip keseimbangan itulah yang

menentukan pemilihan (kata, rima, makna, dan lain-lain) pada poros paradigmatik

untuk kemudian diproyeksikan pada poros sintagmatik, sehingga menghasilkan

bahasa puitis atau poetic la nguage (Kadarisman, 2009:118).

Berkaitan dengan poros paradigmatik dan poros sintagmatik, Sudaryanto

(1993a:155;1995:48) menyebutnya dengan keselarasan horisontal dan keselarasan

vertikal yang menunjukkan keajegan. Werth (1976:24) menafsirkan selection dan

combination sebagai berikut:

(43)

commit to user

‘Selection (misalnya pilihan kata) di dalam bahasa pada umumnya merupakan pilihan-pilihan (kata) di antara ekspresi keseimbangan, sedangkan combination (relasi gramatika atau fonotaktik dan distribusi) dalam bahasa pada umumnya yaitu masalah penempatan dari kategori yang berbeda secara berurutan yang sesuai dengan sifat kegramatikalan bahasa’.

Lebih lanjut Werth menerangkan tentang ‘the principle of equiva lence’, Ia

mengatakan bahwa prinsip keseimbangan tampak jelas dengan adanya

paralelisme yaitu pengulangan kegramatikalan sebuah bahasa dan hal tersebut

sebagai prinsip yang mendasar dari sebuah fenomena ‘the constitutive principle of

verse’ (Werth, 1976:24).

Jakobson (1966) menjabarkan lebih terperinci melalui tulisan

Gra mmatica l Pa ra llelism And Its Russian Fa cet. Dalam tulisan tersebut ia

mematangkan konsep mentahnya (1960) dengan lebih konkret dan detail pada

tulisan tersebut (1966), bahkan Tannen (2007:57) menginformasikam bahwa

Jakobson pada tahun 1960an hingga 1970an mencurahkan energi intelektualnya

untuk meneliti relasi keparalelan dalam poetry.

Berkaitan dengan apa yang dipaparkan Jakobson (1960) dan (1966) secara

struktural mempunyai implikasi bahwa hasil proyeksi tersebut muncul sebagai

pengulangan lingual yang variatif. Pada tataran fonologis, muncul aliterasi dan

asonansi atau rima ; pada tataran sintaksis muncul paralelisme struktur dan pada

tataran semantis muncul paralelisme makna (Kadarisman, 2009: 62).

Jelasnya, "prinsip keseimbangan" inilah yang memilih "satuan lingual"

(bisa berupa fonem, morfem, kata, frasa, dan bahkan kalimat) dari "poros

(44)

menurut Jakobson,"poetic text" itu merupakan aktualisasi dari "poetic function".

Terkait dengan "makna", pada umumnya "paralelisme" bekerja sama dengan

"kontras". Secara umum, paralelisme sintaktis berjalan seiring dengan

paralelisme semantis; namun kadang-kadang demi variasi (dan menghindari

kebosanan) atau demi memberi "kejutan", bisa saja paralelisme sintaktis memiliki

makna kontras (Kadarisman, 2012).

Fox (1971) menulis tentang “Sema ntic Pa ra lellism in Rotinese Ritua l

La ngua ge”. Fox membuktikan gejala bahasa pada bahasa ritual di pulau roti yang

menunjukkan kesejajaran makna yang diadik. Fenomena tersebut juga

mencerminkan kegandaan kosmologi (dua l cosmologies) dalam bahasa ritual di

pulau Roti (Fox, 1971: 246-247).

Usaha Fox tersebut menguatkan bahwa fenomena bahasa ritual

menunjukkan kesesuaian apabila fenomena bahasa ritual dibedah dengan

menggunakan keparelelan Jakobson. Mantra kidung Jawa merupakan bagian

bahasa ritual yang berbentuk temba ng yang didalamnya terdapat gejala

pengulangan yang terjadi dalam beberapa lapis, yaitu lapis gramatikal, leksikal

dan semantik.

Jakobson (1966:400) menyebut dengan istilah kesebangunan gramatikal

(gra mmatica l congruences), yang mempunyai maksud bahwa keparalelan itu

terjadi pada susunan kemiripan atau kesesuaian konstruksi ('Synthetic or

Constructive' and 'where the pa ra llelism consists only in the simila r form of

(45)

commit to user

ungkapan Jakobson dengan the constructive parts ‘bagian dari konstruksi’ yang

berisi leksikal berkategori atau kelas kata seperti: nomina, verba, numeralia, dan

lain sebagainya. Repetisi semantik muncul dalam rangka memenuhi tuntutan

prinsip keseimbangan yang berwujud kata yang bersinonim atau kata dalam

medan leksikal yang seranah.

Secara singkat dan ringkas, apa yang dipaparkan dalam penelitian ini akan

memaparkan kegramatikalan mantra kidung Jawa sebagaimana yang ditandaskan

oleh Jakobson (1980:84) bahwa setiap karya yang berbentuk sajak (dalam hal ini

mantra) selalu terkandung aspek ‘gramatika dalam sajak’ (Gra mma r of Poetry)

yang menjadi ciri khasnya. Selain itu, pemikiran Jakobson bergerak dalam

lingkup struktural fungsional, dikatakan struktural karena analisis struktural

Jakobson mampu membedah teks puisi (dalam hal ini mantra kidung) dan

menjelaskan struktur tekstualnya dengan sangat memuaskan, maka pendekatan

Jakobson tersebut dinamakan puitika linguistik (Kadarisman, 2009:92-93).

Secara tinjauan praktis-struktural pengkajian repetisi dalam penelitian ini

dapat dipaparkan sebagai berikut. Repetisi gramatikal menggunakan pengulangan

sintaksis yang sama dengan menggunakan kajian fungsi sintaktis. Fungsi sintaktik

adalah tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak, yakni seperti

subjek, predikat, objek, dan lain sebagainya. Fungsi sintaktik bersifat relasional

artinya fungsi tersebut mempunyai relasi dengan fungsi yang lain (Sudaryanto,

1993a:13). Berkaitan dengan fungsi sintaktik Sudaryanto (1992:66)

menambahkan bahwa fungsi dapat dikatakan sebagai aspek “ruang” sintaktis

(46)

sebagai “kerangka”. Implikasinya fungsi yang satu dapat ditentukan kejatiannya

hanya dalam hubungannya dengan fungsi yang lain yang sama-sama membentuk

kerangka formal kalimat yang bersangkutan.

Repetisi leksikal menggunakan pijakan kategori kata yang menempati

fungsi sintaktik. Kategori adalah tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan

yang lebih rendah daripada fungsi, yakni seperti nomen (nomina) atau kata benda,

verba atau kata kerja, preposisi, konjungtif, numeralia atau kata bilangan, dan lain

sebagainya. Kategori bukanlah konsep relasional; hubungan antar-kategori

bersifat sistemik (Sudaryanto, 1993a:13). Berkaitan dengan kategori, Sudaryanto

(1992:65) menambahkan bahwa dua sifat pokok yaitu formal dan sistemik.

Kategori dikatakan formal karena karena dia semata-mata merupakan aspek

bentuk atau aspek tubuh sintaktis sesuatu kalimat tunggal. Kategori dikatakan

sistemik karena kategori dikenal tidak dalam hubungannya dengan kategori

tertentu, melainkan dalam hubungan asosiatif.

Repetisi semantik menggunakan pijakan bahwa kata yang muncul dalam

relasi makna yang sama (sinonim) dan kata dalam medan leksikal yang sama.

Berkaitan dengan medan leksikal, Subroto (2011:102) mengatakan medan leksikal

(lexica l field) adalah sejumlah leksem atau wilayah yang di dalamnya ditempati

oleh sejumlah leksem yang secara bersama memiliki atau mengandungi

komponen arti bersama, namun sejumlah leksem tersebut juga memiliki sejumlah

komponen arti yang berbeda. Untuk menuntaskan pendeskripsian pijakan teori

(47)

commit to user

Tabel 5. Repetisi pada Mantra Kidung Jawa Repetisi Gramatikal (Sintagmatik) Fungsi Sintaktik S P O K Repetisi Leksikal

(Paradigmatik)

Nomina Verba Numeralia Adverbia Kategori Kata

Repetisi Semantik

Singkatnya, pengulangan pada mantra kidung Jawa terjadi pada lapis gramatikal,

lapis leksikal, lapis semantik, dan pengulangan secara serentak atau multi-lapis.

Repetisi gramatikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung

Jawa dengan menggunakan pola kalimat yang sama (pola sintaksis), sedangkan

repetisi leksikal yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan

menggunakan kategori kata atau frasa yang sama. Repetisi Unik yaitu

pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa yang pengulangan tersebut

terjadi pada tataran gramatikal, leksikal, dan semantik secara serentak. Repetisi

semantik yaitu pengulangan yang terjadi pada mantra kidung Jawa dengan

menghadirkan makna yang sama dan makna tersebut masih dalam jangkauan

medan leksikal yang sama.

2.1.9 Fungsi Repetisi dalam Mantra Kidung Jawa

Fungsi dalam hal ini merujuk pada apa yang diungkapkan oleh Jakobson

tentang enam fungsi kebahasaan yaitu (1) emotif atau emotive (expressive) (2)

konatif (a ppella tive) (3) metalingual (meta linguistic,'glossing') (4) puitik

(a esthetic) (5) referensial (cognitive, denotative, ideationa l) (6) phatis (Jakobson,

(48)

Kadarisman (2009:60) menjelaskan keenam fungsi tersebut sebagai

berikut (1) Fungsi referensial (misalnya, Ha rga BBM naik terus) berfokus pada isi

tuturan atau makna denotatif. (2) Fungsi emotif/ekspresif (misalnya, Wa h, heba t!)

berfokus pada sikap atau perasaan penutur terhadap isi tuturannya. (3) Fungsi

konatif (misalnya, Ma sukla h, Ya n) berfokus pada mitra tutur dan lazimnya

muncul sebagai kalimat perintah. (4) Fungsi fatis (misalnya, Ya , ya) berfokus pada

upaya memelihara keberlangsungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

(5) Fungsi metalingual (misalnya, Terba ntun itu a pa a rtinya?) berfokus pada

penggunaan bahasa untuk membicarakan bahasa. Yang terakhir, (6) fungsi puitis,

berfokus pada bahasa itu sendiri, atau menonjolkan bentuk bahasa demi dampak

estetis.

Sudaryanto (1990:12) menjelaskan keenam fungsi tersebut, yaitu (1)

fungsi referensial, pengacu pesan, (2) fungsi emotif, pengungkap keadaan

pembicara : (3) fungsi konatif, pengungkap keinginan pembicara yang langsung

atau segera dilakukan atau dipikirkan oleh sang penyimak; (4) fungsi metalingual,

penerang terhadap sandi atau kode yang digunakan; (5) fungsi fatis, pembuka,

pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak

; dan (6) fungsi puitis, penyandi pesan.

Kesejajaran fungsi ditunjang oleh faktor fundamental tertentu dijelaskan

sebagai berikut. Fungsi referensial (1) sejajar dengan faktor konteks atau referen;

fungsi emotif (2) sejajar dengan faktor pembicara; fungsi konatif (3) sejajar

(49)

commit to user

komunikasi); dan fungsi puitis (6) sejajar dengan faktor amanat atau pesan

(Sudaryanto, 1990: 12; Waugh, 1980: 58-59).

Dari keenam fungsi tersebut yang digunakan dalam analisis ini yaitu

fungsi referensial, fungsi puitik, dan fungsi konatif. Sebagaimana diungkapkan

oleh Waugh (1980: 59) bahwa Ja kobson’s six functions are mea nt to be universa l

in scope – they a pply to a ll cultures at a ll times – but they a pply only a s set of six

rela tiona l (not a bsolute) categories. Fungsi tertentu yang enam jumlahnya itu

mengungkapkan, menyatakan, menjelaskan, menafsirkan faktor tertentu yang juga

enam jumlahnya itu; dan dalam setiap penggunaan bahasa cenderung tertonjol

salah satu fungsi tanpa menghilangkan fungsi yang lain (Sudaryanto, 1990:12).

Fungsi referensial berfokus pada message (pesan) bahasa karena bahasa

adalah sarana verbal penyampai pesan. Karena fungsi referensial yang dominan

yang di antara keenam fungsi tersebut. Informasi yang sama datang dari (Waugh,

1980:58) bahwa ia menyatakan fungsi referensial berpangkal pada message ‘In

the referentia l function (its most clea rly delimited opposite), there is a domina nce

of focus upon the message’, Jadi dalam fungsi referensial disini terdapat dua :

perta ma menguak fungsi repetisi, kedua fungsi mantra kidung Jawa sendiri dalam

dimensi sosialnya. Fungsi puitik mempunyai fokus pada bentuk bahasa yang

menonjolkan aspek keindahan. Mantra kidung berbentuk tembang, maka fungsi

puitis sangat dominan. Fungsi konatif berfokus pada mitra tutur dan biasanya

menggunakan bentuk imperatif, karena mantra mempunyai maksud pengusiran

Gambar

Tabel  1. Struktur Matriks Tembang Pangkur ...................................................
Tabel 1. Struktur Matriks Tembang Pangkur
Tabel 2. Struktur Matriks Tembang Dhandhanggula
Tabel 4. Makna Kata Kidung dan Kidungan di Jawa
+6

Referensi

Dokumen terkait

2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan wujud-wujud linguistik dan pragmatik, (2) mendeskripsikan penanda linguistik dan pragmatik berbahasa, serta (3)

Sumber : Data Primer 2011 Fase acceptance pasti dilalui oleh pasien yang menjadi responden karena pada pasien ini telah dilakukan terapi oleh dokter, baik

Hasil uji t untuk variabel DAU didapat nilai signifikansinya 0,132 lebih besar dari tingkat kekeliruan 5% (α = 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa Dana Alokasi Umum (DAU)

Maka dari itu, perlu adanya sosialisasi tentang metode pembelajaran IPE ini secara menyeluruh di instansi pendidikan kesehatan di Indonesia, mengingat

Menjadi contributor penulisan buku, anatara lain ; Hemat air Irigasi; Jaminan Air Bagi petani, Meningkatkan Posisi tawar Petani (PDP Unpad); Water Right (IFAD);

Kawasan di dalam dan di sekitar Kebun Raya Bukit Sari, Jambi ditumbuhi sebanyak 26 jenis anggrek yang termasuk dalam 20 marga, terdiri dari 15 jenis anggrek. epifit dan 11