• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA JUS COGENS DAN HUKUM PER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA JUS COGENS DAN HUKUM PER"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

JUS COGENS

DAN

HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL

BERDASARKAN

VIENNA CONVENTION ON

THE LAW OF TREATIES 1969

DISUSUN OLEH:

1. Latifa Martini (13410712)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hubungan antar negara saat ini sangat lah diperlukan karena adanya hubungan ketergantungan antar negara. Mulai dari kebutuhan terkait masalah kebutuhan pokok, ekonomi, hingga kebutuhan untuk melindungi kepentingan masing-masing negara. Selain itu, kepentingan untuk menciptakan perdamaian dan perlindungan hak-hak manusia menjadi sangat penting untuk diperhitungkan. Agar hubungan saling ketergantungan tersebut dapat dijalankan dan dapat mengikat para pihaknya, di buatlah suatu perjanjian.

Praktek perjanjian bukanlah suatu yang baru. Sejak zaman dulu, sudah dikenal adanya perjanjian seperti perjanjian antar kerajaan. Salah satu contoh praktik perjanjian yang pernah di buat adalah Perjanjian Hudaibiyah yang dibuat oleh Nabi Muhammad dan Kaum Qurays pada tahun ke-6 Hijriah.1

Karena banyaknya perjanjian yang dibuat dan keperluan untuk menyeragamkan aturan tentang pembuatan perjanjian, akhirnya negara-negara di dunia pada tahun 1969 menyepakati suatu konvensi yang dibuat di Wina dan berhasil disahkan dengan nama International Convention on International Law of Treaty 1969. Konvensi inilah yang akhirnya dijadikan rujukan utama pembuatan perjanjian internasional yang subyek perjanjiannya adalah antara negara dengan negara.

Suatu perjanjian pada prinsipnya memiliki konwekuensi mengikat para pihak, baik pihak yang membuat perjanjian maupun pihak lain yang menyatakan mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Namun ada yang unik dalam konvensi ini. Untuk pertama kalinya, konsep jus cogen masuk dalam suatu konvensi.

Jus cogen hanya dikenal sebagai norma hukum tanpa pernah di atur dalam hukum internasional sejak pertama kali di usulkan oleh aliran hukum alam pada abad ke 17-18. Jus cogen mulai terlihat eksistensinya sejak pertama kali diakui dalam pengadilan Nurenberg yang menetapkan kembali heirarki norma hukum untuk mengatur konflik antara hukum internasional dan hukum nasional.2

Sebuah perkembangan yang sangat mutakhir ketika konvensi ini mengatur adanya jus cogen sehingga esistensi jus cogen tidak hanya terletak dalam tataran

1 Saad Saefullah, https://www.islampos.com/perjanjian-hudaibiyah-bukti-kejeniusan-politik-nabi-99285/

terakhir di akses pada tanggal 6 Mei 2016 pukul 7.57 WIB

(3)

teori, melainkan praktik secara internasional. Lalu, apakah sebenarnya yang disebut jus cogen dan apa hubungannya jus cogen dengan perjanjian internasional?

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang didapat adalah :

a. Bagaimanakan konsep jus cogen berdasarkan hukum internasional? b. Bagaimana hubungan antara perjajian internasional dan jus cogen

(4)

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Jus Cogen

Jus cogen banyak dikenal sebagi non derogable, peremptory law.3 Konvensi Wina tahun 1969 dalam pasal 53 menyebutkan bahwa :

...a norm accepted and recognized by international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having he same character.

Jus cogen yang dimaksuda oleh Konvensi Wina 1969 adalah norma hukum internasional secara umum yang sudah diterima dan di akui oleh masyarakat internasional negara-negara secara keseluruhan, sebagai suatu norma yang diperbolehkan untuk dilanggar dan sebaliknya hanya bisa dirubah oleh norma hukum internasional secara umum yang sudah baku sesudahnya dan yang mempunyai sifat yang sama. 4

Berdasarkan pengertian dalam pasal 53 tersebut, di temukan beberapa kriteria tentang konsep jus cogen itu sendiri. Kamrul Hossain menyebutkannya dalam karyanya Jus Cogens And Obligations Under The U.N. Charter yaitu :

(1) status as a norm of general international law;

(2) acceptance by the international community of states as a whole; (3) immunity from derogation; and

(4) modifiable only by a new norm having the same status.5

Namun pengertian jus cogen dalam Konvensi Wina 1969 tersebut dianggap

unclear oleh Anthony Aust, ia menyebutkan bahwa there is no agreement on the criteria for identifying which principles of general law have a peremptory character : everything depends on the particular nature of the subject matter.6

Jawahir Thontowi dalam bukunya memberikan pengertian bahwa prinsip jus cogen adalah suatu anggapan akan adanya sebuah norma yang memiliki keutamaan dibandingkan dengan norma lainnya dan tidak dimungkinkan untuk mengalami pembatalan atau modifikasi oleh tindakan apapun. Dengan kata lain

3Ibid hal. 66

4 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta : PT Tatanusa, 2008, hal. 122 5 Kamrul Hossain, The Concept of Jus Cogen and the Obligation Under the UN Charter, - : Santa Clara

Journal Of International Law, 2005, (tersedia di

http://digitalcommons.law.scu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=scujil terakhir di akses pada tanggal 6 Mei 2016 pukul 21.09 WIB) hal. 76

6 Anthony Aust, Handbook of International Law (second edition), New York : Cammbridge University

(5)

jus cogen tidak dapat dibatalkan oleh suatu kekuatan politik apapun.7 Namun pengertian yang diberikan oleh Jawahir Thontowi tersebut memiliki perbedaan terkait modifikasi. Berdasarkan pasal 53 Konvensi Wina 1969, jus cogen dapat dimodifikasi dengan suatu norma yang memiliki karakter atau sifat yang sama dan posisi yang sama.

Seorang hakim bernama Rozakis menyatakan bahwa the concenpt of jus cogen as theoretical inference whose function is actually discernible through the legal norms bearing its particular traits.8

Selain itu, Kamrul Hossain juga menyatakn bahwa jus cogens are rules, which correspond to the fundamental norm of international public policy and in which cannot be altered unless a subsequent norm of the same standard is established. This means that the position of the rules of jus cogens is hierarchically superior compared to other ordinary rules of international law9.

Perlu perhatikan bahwa jus cogen merupakan norma tertinggi dalam hukum internasional.10 Bahkan pasca dilaksanakannya peradilan Nurenberg, hukum

internasional mengakui tegas adanya konsep jus cogen sebagai sumber utama (primary source) dari norma-norma hukum yang mengatur hubungan internasional.11

Konsep jus cogen sebenarnya telah ada sejak zaman Romawi yang diceritakan oleh Adam C. Belsky, Mark Merva dan Naomi Roht-Arriaza dalam sebuah tulisan dengan judul Implied Waiver Under THE FSIA : A Proposal Exception to immunity for Violations of Peremptory Norms of International Law.12

Mahkamah Konstitusi Jerman pada tahun 1965 pernah memberikan suatu kriteria tentang peremptory norm dengan menyebutkan bahwa :

….the quality of such peremptory norms may be attributed only to such legal rules as are firmly rooted in the legal conviction of the community of nation and are indispensable to the existence of the law of nation as an international legal order, and tge observance of which can be required by all members of the international community.13

Meskipun Konvensi Wina 1969 telah mengatur tentang Jus cogen, namun konvensi tersebut tidak menyebutkan ruang lingkut ataupun daftar tindakan-tindakan yang masuk

7 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung : PT Refika

Aditama, 2006, Hal. 74

8 Sefriani, Hukum Internasional ...Loc.Cit. hal. 66

9 Kamrul Hossain, The Concept of Jus Cogen and the Obligation Under the UN Charter, - : Santa Clara

Journal Of International Law, 2005, (tersedia di

http://digitalcommons.law.scu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=scujil terakhir di akses pada tanggal 6 Mei 2016 pukul 21.09 WIB) hal. 73

10 Sefriani, Hukum Internasional ...Loc.Cit.hal.60 11 Ibid, hal 67

(6)

dalam kategori jus cogen sehingga sangat sulit untuk melihat, mana yang melanggar atau tidak melanggar jus cogen. Namun Alfred Verdross menyebutkan bahwa “ rules of

general international law created for a humanitarian purpose constitute jus cogen.14

Ada beberapa tindakan yang oleh beberapa ahli telah diterima menjadi peremptory norms. Menurut Sefriani, tindakan-tindakan yang telah masuk kategori jus cogen adalah

genocide, crimes agains humanity, was crimes, torture, aggression, piracy dan slavery.15

Jawahir Thontowi menyebutkan 5 jenis yait genosida, diskriminasi rasial, agresi, penyiksaan dan perbudakan.16

2. Hubungan antara Jus Cogen dan perjanjian internasional

Konvensi Wina tahun 1969 merupakan konvensi pertama yang mengatur tentang keberadaan jus cogen sebagai norma yang tidak boleh dilanggar setelah yang mengatur tentang jus cogen yaitu pasal 53 dan pasal 64. Meskipun dalam perumusannya, sempat terjadi kontroversi tentang perlu tidaknya jus cogen masuk dalam Konvensi Wina 1969, namun akhirnya terjadi kesepakatan untuk tetap memasukkan jus cogen karena suara mayoritas.17

Jus cogen dalam pasal 53 yang pada intinya menyebutkan bahwa jus cogen

adalah norma yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat dunia yang tidak dapat dikurangi / non derogable. Secara utuh, pasal 53 Konvensi Wina 1969 menyebutkan bahwa :

A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a peremptory norm of general international law. For the purposes of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general in ternational law having the same character.

Berdasarkan rumusan pasal tersebut, memiliki arti yang cukup unik. Karena suatu perjanjia dianggap batal jika perjanjian tersebut melanggar peremptory norm of general international law yang dalam hal ini disebut sebagai jus cogen. Pasal tersebut seolah-olah ingin menyatakan bahwa jus cogen memiliki kesakralan sehingga tidak ada perjanjian yang boleh bertentangan dengan jus cogen.

Seorang hakim bernama Hirsch Lauterpact pada tahun 1953 dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Internasional juga pernah memperkenalkan konsep jus cogen dengan menyatakan bahwa perjanjian yang dilahirkan dari penggunaan kekerasan melanggar international public policy.18

14Ibid, hal. 73

15 Sefriani, Hukum Internasional ...Loc.Cit. hal. 75

16 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, hukum internasional...Op.Cit Hal. 74 17 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian ... Op. Cit. Hal. 122

(7)

Meskipun dalam hukum perjanjian internasional menyatakan bahwa perjanjian yang melanggar jus cogen dianggap null and void, tetapi dalam praktiknya pelanggaran tersebut sering muncul akibat dari tindakan sepihak yang dilakukan oleh negara. Karena itu, para ahli hukum bersepakat bahwa norma jus cogen tidak hanya diterapkandalam kerangka perjanjian internasional saja, tetapi dalam setiap tindakan atau aksi-aksi negara-negara.19 Opini para ahli tersebut menyebutkan bahwa :

if an internasional jus cogen exists it must, indeed, make necessarily null and void any of those legal acts and actions of States whose object is unlawful. If an agreement which does not conform with th rules of the jus cogens is considered null and void the reason is that its effect are contraty to international public policy. In that case it is inconceivable that this effect should not extend to any act or action having in the hierarchy of legal norms a lower rank than trities. Any legal act of whatever nature and, hance, any international agreement is unlawful in so far as infringes as rule of the jus cogen.20

I Wayan Parthiana dalam bukunya menyebutkan bahwa negara-negara dalam proses pembuatan suatu perjanjian internasional meskipun mendasarkan atas dasar kesepakatan bersama antara para pemnuatnya, tetapi tidak bebas begitu saja, harus diperhatikan tentang keberadaan norma jus cogen itu sendiri. Lebih-lebih jika isi atau obyeknya yang diatur dalam perjanjian tersebut bertentangan dengan jus cogen maka harus segera dihentikan pembuatannya atau membatalkan perumusannya apabila saat pembuatan sudah diketahui bahwa isi perjanjian tersebut bertentangan dengan jus cogen. Apabila tetap diteruskan dan diberlakukan sebagai hukum positif, dan pada kemudian hari dipersoalkan keabsahannya, maka perjanjian tersebut harus dianggap void atau dinyatakan batal.21 Sejalan dengan hal tersebut, Turpel & Sands juga meyatakan bahwa prinsip jus cogen pada akhirnya membatasi kedaulatan negara. Keduanya

menyatakan bahwa “... The very exixtence of jus cogens limits ‘state sovereignty

in te sense that the ‘general will’ of the international community of states to order their relation.’ ...”22

Rumusan jus cogen lainnya adalah dalam pasal 64 yang menyatakan bahwa

if a new peremptory norm of general international emerges, any existing treaty which is in conflict whith that norm becomes void and terminates. Pada rumusan tersebut, jika ada suatu norma baru yang di akui sebagai jus cogen, jika ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan norma tersebut, meskipun perjanjian tersebut ada sebelum norma baru tersebut, harus di anggap batal dan tidak berlaku.

19Ibid, hal. 69

20Ibid, hal. 69

(8)

Pada tahun 1970, dalam kasus Barcelona Traction, Light and Power Co.,

Mahkamah Internasional membedakan kawajiban antar negara diantara mereka sendiri dan kewajiban negara dalam ruang lingkup masyarakat internasional dengan menyatakan bahwa :23

“Kewajiban-kewajiban semacam itu misalnya dalam hukum internasional

sekarang, berasal dari tidak sahnya tindakan-tindakan agresi dan genosida, dab juga prinsip-prinsip dan aturan tentang hak-hak perorangan yang mendasar termasuk perlindungan dari perbudakandan pembedaan warna kulit”

Kasus tersebut yang kemudian diambil sebagai suatu pernyataan dari isi konsep jus cogen saat ini. Sumaryo juga menyatakan bahwa jika norma hukum internasional secara umum yang baru sudah baku itu muncul, maka suatu perjanjian yang ada, yang bertentangan dengan norma tersebut menjadi batal dan berakhir. Ketentuan tersebut sangat penting untuk masuk dalam rumusan dalam Konvensi Wina 1969 karena dalam kenyataannya akan ada akibat hukum yang berbeda ketika ada perjanjian yang bertentangan dengan jus cogen.24

Malcolm juga menyatakan bahwa ada perbedaan hakiki antara kewajiban negara terhadap masayarakat internasional secara keseluruhan dan kewajiban negara yang muncul vis-a-vis negara lain. Karena sesuai dengan sifatnya, yang pertama menyangkut semua negara dan ‘semua negara bisa dipandang memiliki kepentingan hukum untuk melindunginya, itu merupakan kewajiban erga omnes.25

Sebagai contohnya, apabila ada perjanjian bilateral antara negara X dan Y, dimana isi perjanjian tersebut menyebutkan kedua negara bersepakat untuk melaksanakan genosida di negara X yang dibantu oleh negara Y. Maka secara otomatis perjanjian tersebut batal atau void berdasarkan pasal 53.

Contoh kedua yaitu apabila negara X dan Y membuat perjanjian bilateral pada tahun 2010, yang isinya mengenai penyediaan dana untuk penyerangan suatu negara. Namun pada tahun 2016, penyediaan dana untuk penyerangan suatu negara masuk menjadi salah satu norma jus cogen. Maka berdasarkan pasal 64 Konvensi Wina 1969, perjanjian tersebut dinyatakan batal.

Karena pada dasarnya suatu norma yang dianggap peremptory norm sendiri bersifat non derogable, maka suatu perjanjian yang melanggar jus cogens harus dibatalkan. Namun untuk menentukan apakah ketentuan-ketentuan yang ada dalam jus cogens merefleksikan norma jus cogens tidaklah mudah. Karena perjanjian sendiri merupakan contract of private law daripada suatu genuine

23 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian...Op Cit. Hal. 123 24Ibid.

25 Malcolm N. Shaw,QC, Hukum Internasional Edisi Keenam, (terjemahan dari International Law terbitan

(9)

normative instrument. Untuk itu menjadi suatu keharusan dan kebutuhan untuk menetapkan apasaja norma jus cogen itu. 26

Selain karena sulitnya menentukan apakah suatu perjanjian telah merefleksikan jus cogen adalah agas pembuatan suatu pejanjian mendapatkan kepastian hukum, sehingga tidak mudah dibatalkan karena alasan jus cogens yang kategorinya sendiri belum terlalu jelas.

(10)

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Jus cogen merupakan salah satu norma dan sumber hukum dalam hukum internasional. Jus cogen sendiri pertama kali masuk dalam rumusan hukum internasional secara resmi dalam Konvensi Wina 1969. Jus cogen dikenal sebagai norma hukum tertinggi atau peremptory norm yang tidak telah di terima oleh mayoritas masyarakat dunia dan tidak dapat dikurangi. Unsur dari jus cogen yaitu berstatus sebagai aturan prinsip umum hukum internasional, diterima oleh komunitas internasional secara keseluruhan, tidak dapat dikurangi dan hanya dapat di modifikasi oleh suatu norma baru yang memiliki status yang sama.

Jus cogen dan hukum perjanjian internasional memiliki hubungan yang sangat erat. Ada 2 sebab yang membuat keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat, pertama, jus cogen untuk pertama kalinya masuk dalam rumusan suatu konvensi yang menjadi hukum internasional pada Vienna Convention on The Law of Treaties between states 1969 sehingga mengukuhkan keberadaan jus cogen itu sendiri. Kedua, bahwa menurut konvensi tersebut, apabila ada suatu perjanjian yang bertentangan dengan norma jus cogen dianggap batal. Untuk itu jus cogen

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku

Aust, Anthony. 2010. Handbook of International Law (second edition). New York : Cammbridge University Press

Malcolm N. Shaw,QC. 2013. Hukum Internasional Edisi Keenam. (terjemahan dari

International Law terbitan Cambridge University Press tahun 2008). Bandung : Penerbit Nusa Media

Parthiana, I Wayan. 2005. Perjanjian Internasional Bagian 2. Bandung : Mandar Maju

Sefriani. 2012. Hukum Internasional sebuah Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers

Suryokusumo, Sumaryo. 2008. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta : PT Tatanusa

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. 2006. Hukum Internasional Kontemporer.

Bandung : PT Refika Aditama

Sumber Jurnal

Hossain, Kamrul. The Concept of Jus Cogen and the Obligation Under the UN Charter.

- : Santa Clara Journal Of International Law, 2005, (tersedia di

http://digitalcommons.law.scu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1011&context=scujil

Sumber Media Online

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah keluarga miskin di Pasaman cukup tinggi, salah satunya Nagari Taruang-Taruang yang mencapai 30 % dari jumlah kepala keluarga (hasil penelitian Puslitbang Kesos

yang sering dihadapi oleh guru adalah jika dalam proses pembelajaran siswa sering ramai, mengantuk dan tidak memperhatikan pelajaran yang disampaikan. Dengan adanya

Perusahaan pemanufakturan di bursa efek indonesia Variabel struktur kepemilikan, profitabilitas, ukuran perusahaan (X) Kebijakan Hutang (Y) Metode multiple regression

Prima Dinamika Sentosa selama dua tahun terakhir diperoleh dari pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan dengan melakukan peramalan produksi pada mesin-mesin

Berdasarkan Vrettos et al (2012) EQ-5D dapat digunakan untuk menilai kualitas hidup terkait kesehatan pasien kanker, meskipun EQ-5D merupakan instrumen general

Alat pemindahan bahan ( material handling equipment ) adalah peralatan yang digunakan untuk memindahkan muatan yang berat dari satu tempat ke tempat lain dalam jarak yang tidak

Kemudian diselidiki titik kesetimbangan (ekuilibrium) pada model, menganalisis kestabilan pada model, serta menyelidiki eksistensi dari solusi periodik pada model,

Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Harmendo et al  pada tahun 2009 di Bangka Belitung yaitu terdapat hubungan yang bermakna antara