• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Sebagai Upaya Pengembangan Kopetensi Santri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Sebagai Upaya Pengembangan Kopetensi Santri"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Pembelajaran Kitab Kuning Di Pondok Pesantren Sebagai Upaya Pengembangan Kopetensi Santri

Fathor Rosi1, Azisi2

1,2Sekolah Tinggi Agama Islam Nurul Huda Kapongan Situbondo fathorrosy1991stainh@gmail.com

Abstract

Various research and scientific works related to the concept, method, and process of implementing religious education in Islamic boarding schools are indeed quite a lot, but there are still not many that discuss about learning the yellow book through the tradition of the learning process in Islamic boarding schools, so it is important and interesting to discuss and understand. more comprehensive. As for scientific writings about Islamic boarding schools have been widely distributed, both in the form of books, papers, newsletters and magazines. However, the reality is that there are still many things left that have not been revealed by some observers of education about Islamic boarding schools, which are not found outside of pesantren or other education, which they clearly agree and conclude, that in pesantren there are values that are very interesting and specific to study, one of which is the other is about the yellow book learning model. The yellow book learning is one of the traditional characteristics that are still preserved in Islamic boarding schools, so the authors have found many scientific works that examine the yellow book learning system in various Islamic boarding schools. This conceptual journal is classified into two things, namely as follows; First, how is the implementation of the yellow book learning as an effort to develop the ability of students and the impact and urgency of learning the yellow book in developing students' competencies.

Keywords: Learning, Yellow Book, Santri Competence Abstrak

Berbagai penelitian dan karya ilmiah yang berhubungan dengan konsep, metode, dan proses pelaksanaan pendidikan keagamaan di pesantren memang cukup banyak namun yang ansih membahas tentang pembelajaran kitab kuning melalui tradisi proses pembelajaran di pondok pesantren masih belum banyak, sehingga menjadi penting dan menarik untuk dibahas dan dipahami lebih konprehensif. Adapun karya tulis ilmiah tentang pesantren telah tersebar luas, baik dalam bentuk buku–buku, makalah, buletien dan majalah. Namun realitasnya masih banyak yang tersisa yang belum terungkap oleh sebagian pemerhati pendidikan tentang pondok pesantren, yang tidak ditemukan di luar pesantren atau pendidikan lain, yang jelas mereka sepakat dan berkesimpulan, bahwa di pesantren terdapat nilai-nilai yang sangat menarik dan spesifik untuk dikaji, salah satunya tentang model pembelajaran kitab kuning. Pembelajaran kitab kuning merupakan salah satu ciri khas tradisional yang masih dilestarikan di lembaga pondok pesantren, maka penulis banyak menemukan karya ilmiah yang mengkaji terhadap system pembelajaran kitab kuning di berbagai pondok pesantren. Jurnal konseptual ini diklasifikasikan menjadi dua hal yaitu sebagai berikut; pertama bagaimana implementasi pembelajaran kitab kuning sebagai upaya pengembangan kemampuan santri serta dampak dan urgensi pembelajaran kitab kuning dalam mengembangkan kompetensi santri

Kata Kunci: Pembelajaran, Kitab Kuning, Kompetensi Santri

(2)

Pendahuluan

Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam pengertian yang agak luas, pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan.

(Syah, 2007: 10)

Melalui definisi pendidikan diatas, dapat diketahui bahwa objek pendidikan adalah manusia yang didesain untuk memiliki nilai sifat kemanusiaan. Kata lain yang dikatakan oleh Ahmad Tafsir, pendidikan adalah pertolongan kepada manusia agar ia menjadi manusia (Tafsir, 2006: 32)

Sementara upaya pendidikan di dalam memanusiakan manusia tentunya tidak terlepas dari tahapan kegiatan yang bersifat kelembagaan yang dipergunakan untuk menyempurnakan perkembangan individu dalam menguasai pengetahan, kebiasaan, sikap dan sebagainya. Pendidikan dapat berlangsung secara informal, non formal, di samping secara formal seperti sekolah, madrasah, dan institusi-institusi lainnya (Syah, 2007: 11).

Membahas institusi pendidikan, dalam catatan sejarah, pondok pesantren (Poerbakawatja,1976: 233) adalah lembaga tertua yang secara signifikan ikut andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertafaqquh fi al-din (Departemen Agama, 2009: 10), akhlakul karimah, dan faqih fi maslahih al- ummah. Sehinnga alumni pesantren menjadi agen of change di tengah masyarakat yang produktif, egalitas, serta terbuka terhadap realitas perubahan sosial, tanpa kehilangan nilai transendentalnya.

Saat ini definisi yang populer dari pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fi al-din) dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Orientasi dan tujuan didirikannya pesantren adalah memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan.

Pengajaran-pengajaran yang diberikan di pesantren itu mengenai ilmu-ilmu agama dalam segala macam bidangnya, seperti tauhid, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadits, akhlak, tasawuf, bahasa Arab, dan sebagainya. Diharapkan seorang santri yang keluar dari

(3)

pesantren telah memahami beraneka ragam mata pelajaran agama dengan kemampuan merujuk kepada kitab-kitab Islam klasik (Daulay, 2001: 30) Hal itu juga sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Pendidikkan Nasional, sebagai berikut:

Pendidikan sebagai salah satu unsur yang paling penting dalam pembangunan nasional, seperti yang diamanahkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijadikan landasan pokok yang berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Sebagaimana peranan di atas, pesantren menghasilkan produktifitas santri yang diharapkan menjadi kader-kader ulama yang ikut andil untuk mencerdaskan bangsa dengan menggunakan manhaj (kurikulum) yang diajarkan dan ditanam pada jiwa santri yang digali langsung dari sumber asalnya yaitu kitab-kitab kuning.

Dari sisi yang lain, peranan pesantren berupaya meningkatkan pengembangan masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Sebagai manifestasi atau perwujudan dari nilai-nilai dan pengalaman tafaqquh fi al-din baik secara tekstual maupun kontekstual.

Kehadiran pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, kini semakin diminati oleh banyak kalangan, termasuk masyarakat kelas menengah atas. Hal ini membuktikan lembaga ini mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan pendidikan anak-anak mereka.

Sekitar Pada tahun 70-an, Abdurrahman Wahid telah mempopulerkan pesantren sebagai sub-kultur dari bangsa Indonesia. Sekarang ini, umat Islam sendiri tampaknya telah menganggap pesantren sebagai model institusi pendidikan yang memiliki keunggulan, baik dari sisi transmisi dan internalisasi moralitas umat Islam (Fadjar, 1998: 125) maupun dari aspek tardisi keilmuan, yang oleh Martin Van Bruinessen dinilainya sebagai salah satu tradisi agung (great tradition) (Bruinessen, 1999: 17)

Di sisi yang lain juga, tantangan yang dihadapi oleh pondok pesantren semakin hari semakin keras lebih komleks dan mendesak, sebagai akibat semakin

(4)

meningkatnya kebutuhan pengembangan, kemajuan zaman, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya rekonstruksi paradigma dalam rangka transformasi dan strategi pendidikan di pondok pesantren, baik yang menyangkut peningkatan suber daya manusia, pembelajaran, maupun pengelolaan pendidikan pondok pesantren secara khusus, atau penyelenggaraan pondok pesantren itu sendiri.

Ditengah derap kemajuan ilmu dan teknologi yang menjadi motor bergeraknya modernisasi, dewasa ini banyak fihak merasa ragu terhadap eksistensi lembaga pendidikan pesantren. Keraguan itu dilatar belakangi oleh kecenderungan dari pesantren untuk bersikap menutup diri terhadap perubahan di sekelilingnya dan sikap kolot dalam merespon upaya modernisasi. Menurut Azyumardi Azra, kekolotan pesantren dalam mentransfer hal-hal yang berbau modern itu merupakan sisa-sisa dari respon pesantren terhadap kolonial Belanda. Lingkungan pesantren merasa bahwa sesuatu yang bersifat modern, yang selalu mereka anggap datang dari barat, berkaitan dengan penyimpangan terhadap agama (Azra, 1997 :151). Oleh sebab itu, mereka melakukan isolasi diri terhadap sentuhan perkembangan modern sehingga membuat pesantren dinilai sebagai penganut Islam tradisional.

Dalam perkembangan selanjutnya, sejalan dengan perjalanan zaman, pesantren dituntut untuk melakukan proses adaptasi dengan menyelenggarakan pendidikan jalur formal serta kegiatan lain yang bertujuan untuk pemberdayaan potensi masyarakat diberbagai sektor kehidupan. Berawal dari tuntutan moderenisasi tersebut kepada peasantren yang semakin kompleks, maka mau tidak mau pesantren senantiasa berbenah diri melakukan pembaharuan untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakatnya.

Pada satu sisi, ide-ide pembaharuan tersebut berdampak positif bagi pesantren, karena dapat menciptakan produktifitas potensi sumber daya manusia (SDM) para santri yang memiliki kecerdasan spiritual, intelektual serta kecerdasan sosial. Namun dari sisi yang lain aplikasi pembaharuan tersebut berdampak negatif bagi pesantren itu sendiri, karena dapat merubah bahkan menghilangkan karakter asli atau watak dasariah pesantren itu sendiri yang acap kali bersentral pada kitab-kitab kuning.

Membahas kitab kuning, dikalangan pesantren pembelajaran kitab kuning menjadi salah satu unsur mutlak kurikulum di pesantren, dalam membentuk kecerdasan intelektualitas, dan membangun manusia berbudi, berakhlakul karimah

(5)

pada diri santri. Pendidikan yang bertumpu pada kitab kuning, ternyata telah berhasil membentuk masyarakat santri dan masyarakat pendukungnya yang arif, bermural dan beradap, meskipun dengan tingkatan kecerdasan dan kesalihan yang berbeda-beda.

Mengingat fakta tersebut, maka wajar jika kitab kuning menjadi sentral perhatian dalam kajian atas pesantren (Mukhtar, 1999: 221-222).

Di pondok pesantren umumnya kemampuan membaca dan memahami kitab kuning merupakan kebanggaan tersendiri. Sebab, keadaannya yang gundul itu telah membuatnya eksklusif, dalam arti dia bisa didekati oleh orang-orang tertentu saja yang memiliki perangkat keilmuan khusus untuk itu, yaitu ilmu-ilmu bahasa Arab seperti nahwiah, ilmu shorfiah dan lainnya. Hal ini karma kitab kuning menggunakan bahasa Arob. Itupun bukan sembarang bahasa Arab. Akan tetapi sesuai dengan latar belakang sejarahnya yang kembali pada abad pertengahan, uslub (stiyle) bahasa kitab kuning sangat di pengaruhi oleh styile zamannya.

Yang dimaksud kitab kuning dikalangan pondok pesantren yaitu kitab-kitab mu’tabaroh yang dikarang oleh para ulama terdahulu disebut kitab kuning, karena kitab ini lahir jauh sebelum keberadaan pesantren Nusantara. Di samping kitab kuning dikalangan pondok pesantren juga beredar istilah “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah) untuk menyebut kitab yang sama. Selain itu juga dikenal dengan “kitab gundul”, karena tidak dilengkapi dengan syakal dan harokat. Dan karena rentang waktu sejarah yang sangat jauh dari kemunculannya sekarang, tidak sedikit yang menjuluki sebagai

“kitab klasik” (Departemen Agama, 2009: 33).

Kitab kuning merupakan sumber ilmu pengetahuan yang berharga bagi umat manusia, karena banyak tokoh muslim yang menulis karya-karyanya kedalam bentuk kitab kuning, misalnya:Ibnu-Rusyd, Ibnu al-Haitham, al-Mawardi, Ibnu Sina, al- Ghazali, dan lain semacamnya.

Pembelajaran kitab kuning sebagai wahana untuk menyalurkan dan mengkaji karya para ulama’ dan cendikia muslim yang dilakukan oleh pesantren amatlah baik bagi perkembangan pemikiran dan moral para penerus Islam dikemudian hari, misalnya: mengenai masalah kedokteran, para penerus Islam dapat mempelajari kitab karya dari Ibnu Sina, mengenai masalah akhlak, para penerus islam dapat mempelajari kitab karya Imam al-Ghazali dan mengenai masalah fiqih, para penerus islam dapat mempelajari kitab karya imam Syafi’i.

(6)

Persoalan lain, sebagai implikasi dari aplikasi penerapan ide baru di tengah- tengah pesantren lambat laun dapat merubah tradisi pesantren itu sendiri. Tradisi pengajian dan pengkajian kitab kuning yang dikembangkan di pondok pesantren mengalami perubahan yang acap kali hanya pada taraf pengajian tanpa adanya upaya pengkajian. Hal ini dapat dilihat dari tamatan atau alumi pesantren dari era sebelum tahun 90-an yang identik dengan penguaasaan kitab kuningnya. Namun pada periode selanjutnya lulusan atau alumni pesantren penguasaan kitab kuning semakin berkurang. Bahkan para pengamat pesantren menyatakan, lembaga pesantren pada era sekarang mulai bergeser dan tidak berlebihan jika alumni pesantren banyak yang tidak bisa membaca kitab kuning, karena sudah meninggalkan tradisi lamanya yang bertumpu pada peningkatan kemampuan santri melalui pembelajaran kitab kuning.

Dari latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang” Pembelajaran Kitab Kuning dalam mengembangkan Kompetensi Santri”.

Sedangkan peneliti memilih objek penelitian adalah di Pondok Pesantren Sumber Bunga Kapongan Situbondo melalui pendidikan keagamaan yang ada pada lembaga kajian kitab salaf berdasarkan alasan sebagai berikut; (1) Pondok Pesantren Sumber Bunga adalah salah satu pesantren yang masih tetap eksis dengan pembelajaran kitab kuningnya, hal ini dapat dibulktikan dengan kontinuitas kegiatan santri yang lebih memfokuskan pada pengajian dan pemahaman kitab-kitab kuning. (2) kompetensi santri dalam pembacaan dan pemahaman kitab kuningnya masih menjadi perhatian yang serius di Pondok Pesantren Sumber Bunga, hal ini dapat dibuktikan dengan manhaj berupa target-target penguasaan kitab-kitab tertentu sesuai dengan tingkatan santrinya.

PEMBAHASAN

Konsepsi Pondok Pesantren.

kajian perspektif deskriptif para ahli dalam memberikan definisi pondok pesantren sangat berbeda, tergantung dari mana ia memandang sebuah pondok pesantren dengan segala aplikasinya. Secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mempunyai makna sebagai berikut, pondok adalah madrasah dan asrama tempat mengaji, belajar agama Islam sedangkan kata pesantren adalah asrama tempat santri atau murid-murid belajar mengaji dan sebagainya.

(7)

Istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Zamakhasyari Dhofier mengatkan, istilah pondok berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu atau barangkali berasal dari kata Arab fundug yang berarti hotel atau asrama.

Adapun secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya para ahli antara lain: M.Arifin menyatakan pendapatnya bahwa:

“Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam tradisional yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama dimana santri- santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajaran atau madrasah yang sepenuhnya berada dibawah kedaulatan dari leadership seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal” (Arifin, 1999 :240).

Sedangkan definisi pesantren menurut Mastuhu :

“Pesantren adalah suatu lembaga pendidikan Islam tradisional yang mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan memberi penekanan pada pentingnya moralitas keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari” (Mastuhu, 1994, :55).

Menurut Zamakhsyari Dhofier,

“Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, dimana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam komplek yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan keagamaan lainnya. Komplek ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku” (Dhofier, 1994 :18).

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, bahwa pondok pesantren tidak dapat diberikan dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian pondok pesantren.

Setidaknya ada lima ciri yang terdapat pada suatu lembaga pondok pesantren diantaranya, kyiai, santri, pengajian,asrama, dan masjid dengan aktivitasnya.

(8)

Dari beberapa definisi diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di dalamnya terdapat aktivitas pembelajaran, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam yang pembelajarannya didasarkan pada kitab-kitab klasik dalam bentuk bahasa Arab yang ditulis oleh cendikia muslim terdahulu, dan para santri tinggal bersama dalam sebuah kelompok yang dilengakapi dengan asrama, masjid/mushola dengan adanya kyai sebagai tokoh sentralnya.

Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Pondok Pesantren

Pondok pesantren sebagai bagian dari system pendidikan nasional, memiliki sejarah panjang sesuai dengan dinamika tuntutan zaman. Pada awal perkembangannya di Indonesia, misalnya, kira-kira 7-8 abad lalu, pondok pesantren fokus pada upaya penyebaran Islam di Nusantara.Pada perkembangan berikutnya pada masa penjajahan, pondok pesantren memposisikan dirinya sebagai sentra perlawanan terhadap Imperialis Belanda atau pusat penyebaran Islam. Pada masa awal kemerdekaan, antara tahun 1945-1968 M, pendidikan pondok pesantren kembali mewujudkan misi penyebaran agama di samping tetap melakukan penguatan semangat dan patriotisme dan kebangsaan agar tetap mampu melanjutkan perjuangan bangsa mencapai cita- citanya.

Pada saat ini, posisi pondok pesantren mulai terakomodir dengan disahkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang- Undang ini menjadikan keimanan dan ketaqwaan sebagai tujuan Pendidikan nasional.

Dan sama difahami, istilah yang identik dan sangat akrab dengan pendidikan keagamaan.

Secara yuridis posisi pendidikan keagamaan dalam system pendidikan nasional semakin jelas setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidika Agama dan Pendidikan Keagamaan sebagai tindak lanjut dari amanat yang terdapat pada pasal 30 ayat (5) UU nomor 20 tahun 2003 menempatkan pondok pesantren sebagai bagian integral dari system pendidikan nasional.

Posisi pondok pesantren dalam system pendidikan nasional setidaknya memberikan empat peranan penting dalam pelaksanaan system pendidikan nasional,

(9)

diantaranya adalah, peranan instrumental, peranan keagamaan, peranan mobilisasi masyarakat dan peranan pembinaan mental dan keterampilan.

Berikut beberapa definisi tentang pembelajaran: Pertama, upaya untuk membelajarkan siswa. Kedua, pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan ini mengakibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara lebih efektif dan efisien. Ketiga, pembelajaran adalah suatu usaha mengorganisasi lingkungan sehingga menciptakan kondisi belajar bagi siswa. (Hamali, 2001 :48). Jadi yang dimaksud dengan pembelajaran adalah sebuah proses untuk menciptakan kondisi belajar yang mengikut sertakan siswa didalamnya untuk mencapai suatu tujuan.

Tipologi Pondok Pesantren

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan zaman, terutama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk masyarakat. Sementara Wardi Bahtiar dan kawan-kawannya didalam membagi pesantren menjadi dua macam, dilihat dari macam pengetahuan yang diajarkan, menurtutnya prsantren dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:

a. Pesantren salafiyah

Yaitu pesantren yang menajarkan kitab-kitab Islam klasik, sistem madrasah ditetapkan untuk mempermudah tehnik pengajaran sebagai metode sorogan.

b. Pesantren Khalafiyah

Selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sistem sekolah umum dilingkungan dan dibawah tanggung jawab pesantren. (Tafsir, 1991 :193-194).

Dewasa ini, secara faktual ada tiga tipe pesantren yang berkembang dalam masyarakat, yaitu pesantren tradisional yang masih tetap mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan (kitab kuning), kedua pesantren modern orientasi yang belajarnya cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara klasikal dan meninggalkan sistem belajar tradisional, dan ketiga pesantren komprehensif. (Ghazali, 2001 :14). sistem pendidikan dan pengajaran gabungan antara pesantren tradisional dan pesantren modern.

(10)

Pesantren Dan Kitab Kuning.

Di kalangan pesantren sendiri, di samping istilah “kitab kuning”, terdapat juga istilah “kitab klasik” (al-kutub al-qadimah), karena kitab yang ditulis merujuk pada karya-karya tradisional ulama berbahasa Arab yang gaya dan bentuknya berbeda dengan buku modern. (Turmudi, 2004 :36). Dan karena rentang kemunculannya sangat panjang maka kitab ini juga disebut dengan “kitab kuno.” Bahkan kitab ini, di kalangan pesantren juga kerap disebut dengan “kitab gundul”. Disebut demikian karena teks di dalamnya tidak memakai syakl (harakat), bahkan juga tidak disertai dengan tanda baca, seperti koma, titik, tanda seru, tanda tanya, dan lain sebagainya.

Untuk memahami kitab tanpa harakat (kitab gundul), maka dari itu di pesantren telah ada ilmu yang dipelajari santri yaitu ilmu alat atau Nahwu dan Sharf serta bahasa Arab.

Pembelajaran kitab kuning yang merupakan manhaj (kurikulum) pesantren merupakan hasil dari pengkajian dan penafsiran para cendikia serta ulama muslim terdahulu, warisan pemikiran itu banyak menyimpan segudang jawaban atas banyak permasalahan, yang kemudian banyak diabadikan ke dalam tulisan berbentuk buku atau kitab, sehingga karya-karya mereka tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh para generasi berikutnya. Oleh sebab itulah, keberadaan kitab kuning sebagai khazanah keilmuan Islam penting untuk dikaji. Sedangkan alasan yang lain mengenai perlunya pengkajian atau pembelajaran kitab kuning diantaranya adalah:

1) Sebagai pengantar bagi langkah ijtihad dan pembinaan hukum Islam kontemporer.

2) Sebagai materi pokok dalam memahami, menafsirkan dan menerapkan bagian hukum positif yang masih menempatkan hukum Islam atau mazhab fikih tertentu sebagai sumber hukum, baik secara historis maupun secara resmi.

3) Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan umat manusia secara universal dengan memberikan sumbangan bagi kemajuan ilmu hukum sendiri melalui studi perbandingan hukum (dirasah al-qanun al-muqaran), (Musdah Mulia, IV :133). dan 4) Sesuai dengan tujuan utama pengajian kitab-kitab kuning adalah untuk mendidik

calon-calon ulama.

Dalam tradisi intelektual Islam, untuk menyebutan istilah kitab karya ilmiyah para ulama itu dibedakan berdasarkan kurun waktu atau format penulisannya.

Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qadimah), sedangkan

(11)

katagori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-asriyah). Apa yang disebut kitab kuning adalah pada dasarnya mengacu pada ketagori pertama, yakni kitab klasik, yaitu kitab yang dikarang oleh para cendekiawan Islam masa lalu. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning. Warna kuning pada kitab itu dimungkinkan karena warna asalnya yang memang kuning atau akibat lamanya kitab itu disimpan sehingga berwana kuning, namun belakangan ini kitab kuning karya para cendikia Muslim tersebut sudah banyak dicetak oleh para penerbit dengan menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akademisi lebih populer dengan sebutan turats.

Adapun pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati tentang kitab kuning adalah kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan yang berbahasa Arab, atau berhuruf Arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17- an M. Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi dari kitab kuning adalah:

a) ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi seacara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia,

b) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab

karya ulama “asing”. (Siradj, 2004 :222).

Berdasarkan paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kitab kuning adalah kitab yang senantiasa berpedoman pada al-Qur’an dan Hadits, dan ditulis oleh para ulama-ulama terdahulu dalam lembaran-lembaran ataupun dalam bentuk jilidan baik yang dicetak diatas kertas kuning maupun kertas putih dan juga merupakan ajaran Islam yang merupakan hasil interpretasi para ulama dari kitab pedoman yang ada serta hal-hal baru yang datang kepada Islam sebagai hasil dari perkembangan peradaban Islam dalam sejarah.

Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren

Sebagai bagian dari pendidikan, pesanten mempunyai karakter tersendiri yang tidak dimiliki oleh lembaga lain selain pesantren. Ciri khas tersebut adalah adanya pengajaran kitab-kitab klasik yang menempati posisi ter istimewa di dalam kurikulum pesantren. Karena keberadaannya menjadi unsur utama dalam diri pesantren,

(12)

sekaligus menjadikan pembeda antara pesantren dengan lembaga selainnya. (Raharjo, 2004 :8-9).

Secara umum implementasi pembelajaran yang dijadikan refernsi sebagai kurikulum pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama, kelompok ajaran dasar sebagaimana terdapat pada al-Qur’an dan al-Hadits, sedang ajaran yang timbul sebagai hasil penafsiran para ulama-ulama Islam terhadap ajaran-ajaran dasar yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits tersebut. Kedua, kelompok kitab kuning yang tidak termasuk dalam kelompok ajaran agama Islam, tetapi kajian yang masuk ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam sejarah, seperti kitab membahas lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, dan metode keilmuan. (Raharjo, 2004 :7-8).

Sebagai system ajaran yang komprehensip," cakupan kitab kuning secara keseluruhan meliputi berbagai aspek yang sangat luas baik mencakup keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik maupun yang berupa tata nilai kehidupan keluarga dan masyarakat yang kesemuanya itu bwrmuara pada satu titik tujuan terciptanya insan kamil baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama dan lingkungan. (Masudi, 1985 :95).

Dilihat dari jenis pengelompokannya, kitab kuning yang diajarkan dipesantren terdapat dua kelompok diantaranya adalah kelompok ilmu syari’at dan non syari’at.

Dari kelompok ilmu-ilmu syari’at, yang sangat dikenal ialah kitab-kitab ilmu fikih, tasawuf, tafsir, hadits, tauhid (‘aqaid), dan tarikh (terutama sirah nabawiyah, sejarah hidup Nabi Muhammad saw.). Dari kelompok ilmu non-syari’at, yang banyak dikenal ialah kitab-kitab nahw, al- sarf, yang mutlak diperlukan sebagai alat bantu untuk memperoleh kemampuan membaca kitab tanpa harakat (kitab gundul). Dapat dikatakan bahwa kitab kuning yang banyak beredar di kalangan pesantren adalah kitab yang berisi ilmu-ilmu syari’at, khususnya ilmu fikih.

Secara keseluruhan kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren secara umum dikelompokkan dalam delapan bidang kajian, yaitu Nahw, dan al-sarf (gramatika fan marfologi ), Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf dan etika, Tafsir, Hadits, Tauhid (ideologi) dan cabang-abang ilmu lainnya seperti Tarih (sejarah) dan Balaghah (sastra).

(13)

Lebih lanjut Martin Van Bruinessen menjelaskan, bahwa kitab kuning yang yang banyak dimiliki oleh para kyai yang diajarkan di pesantren adalah kitab-kitab yang umumnya karya ulama amdzhab Syafi’i. Beliau juaga menegaskan bahwa dikalangan pesantren pada akhir abad ke-20 ini judul kitab kuning yang beredar di pesantren di Jawa dan Madura jumlahnya mencapai 900 judul. Padahal L.W.C. Van den Berg dalam penelitian sebelumnya, pada akhir abad 19, hanya menemukan 54 judul saja.

Metode Pembelajaran Kitab Kuning di Pondok Pesantren.

Metode-metode pembelajaran di pndok pesantren yang telah dirumuskan oleh para ahli pendidikan ada yang bersifat tradisional dan kontemporer (modern). Metode yang bersifat tradisional adalah metode yang diselenggarakan menurut kebiasaan- kebiasaan pendidikan dan pembelajaran non formal yang berlaku di masyarakat umum, dan metode ini berangkat dari pola pelajaran yang sangat sederhana.

Sementara metode yang bersifat kontemporer atau modern adalah metode-metode pembelajaran hasil pemikiran para pendidikan kontemporer dan menjadi bahan rujukan dalam penyelenggaraan pendidikan formal dan modern.

Secara implisit, Fadjar mensinyalir bahwa penggunaan metode pembelajaran yang dikategorikan kontemporer adalah banyak digunakan oleh institusi pendidikan yang mengelola pembelajarannya dengan sistem madrasi atau klasikal, yang mengorganisasi kegiatan pendidikannya dengan sitem kelas-kelas berjenjang dengan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pelajaran yang sudah dipolakan.

Sementara metode yang bersifat tradisional adalah yang dibakukan pada institusi pendidikan individual dan non formal. (Fadjar, 1998 :22).

Sebagaimana disebutkan di atas metode pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan pada institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli (original) pesantren. Ada pula metode pembelajaran yang berifat baru ( tajdid).

Sedangkan metode-metode yang bersifat tradisional biasa digunakan oleh lembaga pendidikan pesantren. Departemen Agama mendefinisikan metode ini sebagai metode pembelajaran yang diselenggarakan menurut kebiasaan-kebiasaan yang telah lama dipergunakan pada institusi pesantren atau merupakan metode pembelajaran asli (original) pondok pesantren.

(14)

Menurut Zamakhsyari Dhofier dan Nurcholish Madjid, metode pembelajaran kitab Tanpa Harakat di pesantren meliputi, metode sorogan, dan bandongan.

Sedangkan Husein Muhammad menambahkan bahwa, selain metode yang diterapkan dalam pembelajaran kitab tanpa harakat adalah metode wetonan atau bandongan, dan metode sorogan, diterapkan juga metode diskusi (munazharah), metode evaluasi, dan metode hafalan.

Di bawah ini disebutkan metode-metode pembelajaran yang bersifat tradisional menjadi kebiasaan pesantren.

1) Metode sorogan

Metode sorogan adalah kegiatan pembelajaran bagi santri yang lebih menitik beratkan kepada pengembangan kemampuan perseorangan (individu),di bawah bimbingan ustad atau kiai.

Tekhnik pembelajaran dalam metode sorogan ini adalah, santri satu per satu secara bergiliran menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan beberapa baris dari kitab itu dan maknanya, kemudian santri mengulangi bacaan kiainya. Husein Muhammad menambahkan bahwa, murid yang membaca sedangkan guru mendengarkan sambil memberi catatan, komentar, atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini, dialog murid dan guru belum atau tidak terjadi. Adapun pelaksanaannya dapat digambarkan sebagai berikut;

a) Santri berkumpul ditempat pengajian sesuai dengan waktu yang ditentukan dengan masing-masing membawa kitab yang hendak diaji.

b) Seorang santri yang mendapat giliran secara langsung bertatap muka dengan gurnya.

c) Guru membaca teks kitab kemudian memberikan artinya dengan menggunakan bahasa melayu atau bahasa daerahnya.

d) Santri dengan tekun mendengarkan apa yang dibacakan kiai atau ustadz dengan mencocokan nya dengan kitab yang dibawanya. Selain itu juga melakukan pencatatan atas; 1) bunyi teks arob dengan pemberia syakal (pendhobitan) pemastian harokat, 2) penulisan arti setiap kata (memberikan makna).

e) Santri kemudian menirukan kembali apa yang dibacakan gurunya.

(15)

f) Kiai atau ustadz juga mendengarkan dengan tekun pula apa yang dibacakan satrinya sambil melakukan koreksi-koreksi seperlunya dan juga tidak jarang memberikan tambahan penjelasan agar apa yang dibaca dapat lebih dimengerti.

2) Metode wetonan atau bandongan

Metode wetonan atau bandongan adalah “cara penyampaian kitab dimana seorang guru, kiai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab, sementara santri, murid, atau siswa mendengarkan, memberikan makna, dan menerima.”

Senada dengan yang diungkapkan oleh Endang Turmudi bahwa, dalam metode ini kiai hanya membaca salah satu bagian dari sebuah bab dalam sebuah kitab, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia dan memberikan penjelasan-penjelasan yang diperlukan. (Turmudi, 2004 :36). Berbeda sedikit dengan Hasil Musyawarah/Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren, bahwa metode wetonan ialah “pembacaan satu atau beberapa kitab oleh kiai atau pengasuh dengan memberikan kesempatan kepada para santri untuk menyampaikan pertanyaan penjelasan lebih lanjut.” (Saleh, 1982 :79).

Dari ketiga pengertian diatas, dapat dipahami bahwasanya dari metode ini, para santri memperoleh kesempatan untuk bertanya atau meminta penjelasan lebih lanjut atas keterangan kiai. Sementara catatan-catatan yang dibuat santri di atas kitabnya membantu untuk melakukan telaah atau mempelajari lebih lanjut isi kitab tersebut setelah pelajaran selesai. (Dhofier, 1994 :176).

Konon metode ini merupakan warisan dari Timur Tengah (Makah dan Mesir). Karena kedua negara ini dianggap sebagai poros, pusat dari ajaran agama Islam di dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujamil Qamar, bahwa “metode yang disebut bandongan ini ternyata merupakan hasil adaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah terutama di makah dan Mesir. Kedua tempat ini menjadi “kiblat” pelaksanaan metode wetonan lantaran dianggap sebagai poros keilmuan bagi kalangan pesantren sejak awal pertumbuhan hingga perkembangan yang sekarang ini.” (Qamar, 2007 :143). Dan metode inilah yang paling banyak digunakan di pesantren- pesantren di Indonesia.

(16)

3) Metode pengajian pasaran

Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kyai/ustad. yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. Sistem pengajaran ini ditandai dengan ciri-ciri yang khas, antara lain, tidak adanya daftar santri pengajian dan tidak adanya evaluasi hasil belajar secara formal bagi santri. (Departemen Agama RI, 2003 :2).

Pada umumnya dilakukan pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji. Metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah “selesai”nya kitab yang dipelajari. Jadi, dalam metode ini yang menjadi titik beratnya terletak pada pembacaan bukan pada pemahaman sebagaimana pada metode bandongan.

Sedangkan tekhnik pembelajarannya umumnya sebelum memasuki bulan Romadhon, beberapa pesantren biasanya mengeluarkan jadwal, jenis kitab dan kyai yang akan melakukan balagh pasaran dibulab itu. Informasi itu dengan mudah beredar di pesantren-pesantren lainnya juga. Berdasarkan itu santri, ustadz atau yang berminat barang pasti merencanakan sendiri kemana ia akan menuju dan kitab apa yang ia pilih.

Kegiatan pengjian itu sendiri biasanya dilakukan sepanjang hari. Kitab yang telah ditentukan dibaca kyai secara cepat, sedang santri menyimak untuk memberikan catatan pada bagian-bagian tertentu saja atau mencatat penjelasan-penjelasan singkat yang biasanya memang diberikan.

4) Metode Diskusi (Munadarah)/ Bahtsul Masa’il.

Metode Diskusi (munadarah) adalah sekelompok santri tertentu membahas permasalahan, baik yang diberikan kiai maupun masalah yang benar-benar terjadi dalam masyarakat. Diskusi ini dipimpin oleh seorang santri dengan pengamatan dari pengasuh/kiai yang mengoreksi hasil diskusi itu. Sedangkan pembahasan dalam forum tersebut adalah mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanannya santri dengan bebas mengjukan pertanyaan-pertanyaan ataupun pendapatnya. Dqengan demikian, metode ini lebih menitik beratkan pada kemampuan perseorangan di dalam menganalisis

(17)

dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu.

Metode diskusi bertujuan untuk merangsang pemikiran serta berbagai jenis pandangan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analitis, dan logis, dan akan lebih memicu para santri untuk menelaah atas kitab-kitab yang lain.

Keberhasilan yang dicapai akan ditentukan oleh tiga unsur yaitu pemahaman, kepercayaan diri sendiri dan rasa saling menghormati.

(Muhaimin, 1996 :89).

5) Metode Hafalan.

Metode hafalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dengan bimbingan dan pengawasan seorang ustadz/kyai. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan dihadapan ustadz/kyainya secara periodik atau insindental tergantung kepada petunjuk gurunya tersebut.

Metode ini merupakan metode unggulan dan sekaligus menjadi ciri khas yang melekat pada sebuah pesantren sejak dahulu hingga sekarang. Metode hafalan masih tetap dipertahankan sepanjang masih berkaitan dan diperlukan bagi argumen-argumen naqly dan kaidah-kaidah. Dan metode ini biasanya diberikan kepada anak-anak yang berada pada usia sekolah tingkat dasar atau tingkat menengah. Sebaliknya, pada usia-usia di atas itu sebaiknya metode ini dikurangi sedikit demi sedikit dan digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah- kaidah.

Materi pembelajaran di pondok pesantren yang disajikan dengan menggunakan metode hafalan pada umumnya berkenaan dengan al-Qur’an, nadzom-nadzom untuk disiplin nahwu, ssharaf, balaghah, tajwid ataupun teks- teks nahwu sharf dan juga fiqh.

Titik tekan pada pembelajaran ini adalah santri mampu mengucap atau melafalkan kalimat-kalimat tertentu secara lancar dengan tanpa melihat atau membaca teks. Hal itu dapat di;lakukan secara perorangan menghadap (bertatap muka langsung) kepada gurunya ataupun dilakukan secara

(18)

berkelompok diucapkan bersamaan pada waktu-waktu tertentu, baik secara khusus ataupun tidak. Metode hafalan biasanya keberhasilannya ditentukan dengan target atau batas-batas tertentu.

6) Metode Evaluasi.

Evaluasi adalah penilaian atas tugas, kewajiban, dan pekerjaan. Cara ini dilakukan setelah kajian kitab selesai dibacakan atau disampaikan. Di masa lalu cara ini disebut imtihan, yakni suatu pengujian santri melalui munaqasyah oleh para guru atau kiai-ulama di hadapan forum terbuka. Selesai munaqasyah, ditentukanlah kelulusan.

Metode-metode yang telah disebutkan diatas, merupakan metode yang (sebagian) sudah biasa diterapkan di pesantren-pesantren, misalnya, metode wetonan, hafalan, dan bandongan. Dan sebagian (metode) yang lain tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan di berbagai pesantren.

Untuk pengajian dalam bentuk sorogan, wetonan dan bandongan biasanya disebut sebagai kurikulum system ma’hady artinya jenis kitab, alokasi waktu pembelajaran dan kalender akademiknya sepenuhnya terserah sang Kiyai.

Adapun pengajian yang dikemas dalam bentuk klasikal atau system madrasy secara umum sama dengan model-model klasikal lainnya. Kitab-kitab yang dikaji biasanya sudah ringkasan/ikhtishar dari kitab-kitab kuning yang ada.

Pembelajarannya sudah terjadwal dengan rapi layaknya sekolah formal lainnya.

Kesimpulan

Sebagaimana analisis penulis terhadap implementasi pembelajaran kitab kuning sebagai upaya pengembangan kemampuan santri, maka penulis menyimpulkan pada tingkat dasar, santri diarahkan pada penguasaan nahw dan shorf dengan pembelajaran materi-materi nahw dan shorf secara komprehensif melalui pengkajian tuntas terhadap kitab pegangan.

Penggunaan metode atau tekhnik pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren menggunakan bermacam metode, diantaranya adalah yaitu : diantaranya adalah, ceramah yang meliputi metode bandongan (wetonan) atau yang biasa juga disebut dengan metode pengajian pasaran, sorogan, metode musyawarah/diskusi dan hafalan. Metode-metode tersebut bukan suatu ketetapan yang wajib diaplikasikan, tapi

(19)

diwaktu yang lain disaat pembelajaran berlangsung di dalam kelas dengan meninjau kebutuhannya menggunakan metode campuran, yaitu dengan teknik ceramah dan pada kesempatan menggunakan teknik diskusi, tanya jawab atau seminar.

Evaluasi yang biasanya dilaksanakan untuk mengukur tingkat keberhasilan santri melalui tes. Tes tersebut berupa tes formal yang berupa (tes sumatif) yaitu Tes Qiro’atul Kutub yang dilaksanakan setiap menjelang Ujian Akhir Semester (UAS).

Efektifitas pembelajaran nahw dan shorf pada pondok pesantren diarahkan pada penguasaan esensi dari nahw dan shorf sebagai ilmu karena pondok pesantren ini menjadikan nahw dan shorf sebagai tujuan atau target pembelajaran dalam mengetahui pembacaan kitab kuning. Untuk menunjang tujuan tersebut, maka pondok pesantren pembelajaran materi-materi nahw dan shorf secara komprehensif melalui pengkajian tuntas terhadap kitab-kitab nahw dan shorf yang digunakan sebagai pegangan. Sedangkan pada santri senior santri lebih ditekankan pada pemahaman teks kitab sehingga santri lebih analisa terhadap teks kitab kuning ataupun teks Arab lainnya dengan kemampuan menginterpretasikan kalimat yang dianggap gharib (asing) dan kalimat mutarodif (banyak persamaannya).

Dilihat efektifitas penggunaan metode pembelajaran kitab kuning di pondok pesantren dengan menggunakan berbagai metode yang disesuaikan dengan kebutuhan pembelajaran. Efektifitas penggunaan metode bandongan diaplikasikan pada waktu yang relatif sedikit dengan jumlah santri yang cukup banyak. Disamping itu kmpetensi dapat diukur dari aspek pengetahuan (kognitif) terhadap penguasaan materi kitab baik kemampuan santri di dalam membaca, menerjemah dan menjelaskan ulang terhadap materi yang di ajarkan. Sedangkan pada metode sorogan adalah santri akan merasakan hubungan husus ketika berlangsung pembacaan kitab dan jika terdapat kesalahan ustad langsung memberikan komentar dan bimbingan terhadap kesalahan santri.

Sedangkan metode diskusi efektifitas dapat dilihat dari rumusan jawaban yang dibuat kesimpulan di dalam setiap pertanyaan. Dalam teknik hal al-musykilât atau biasa disebut problem solving juga diawali dengan mengemukakan beberapa permasalahan-permasalahan baru kemudian dianalisis secara bersama-sama oleh para santri. Sedangkan metode hafalan efektivitas dalam pencapaian kompetensi adalah santri mampu mengucapkan/melafalkan kalimat-kalimat atau teori-teori gramatika arab dan juga nadzam-nadzam tertentu secara lancar dengan tanpa melihat teks.

(20)

Dari aspek evaluasi, pesantren menggunakan tes formal sebagai alat untuk mengukur tingkat ketercapaian tujuan pembelajaran kitab kuning.

Daftar Pustaka

Affandi, M. (1999). Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Dalam Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka Hidayah.

Ahmad, T. (2006). Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Azumardi, A. (1997). Pesantren : Kontinuitas dan Perubahan", Pengantar dalam Nucholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta : Paramadina.

Bahri, G. (2001). Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.

Bruinessen, V. M. (1999). Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.

Choirul, F. Y. (2009). Bagian III : Pedoman Penyelenggaraan Pondok Pesantren Muadalah. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren

Dhofier, Z. (1994). Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta, LP3S.

Dimyati & Mudjiono. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Faliyandra, F. (2019). KONSEP KECERDASAN SOSIAL GOLEMAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM (Sebuah Kajian Analisis Psikologi Islam). Faisal Faliyandra.

Haidar, P. D. (2001). Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah.

Yogyakarta : Tiara Wacana.

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.

Masudi. (1985). Mengenal Pemikiran Kitab Kuning: Dalam Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah. Jakart:P3M

Moloeng, L. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Muslich, M. (2007). KTSP, Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

Jakarta: Bumi Aksara 2007.

Mujamil, Q. (1998). Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi,. Jakarta:Erlangga.

(21)

Nurcholish, M. (2002). Modernisasi Pesantren. Jakarta:Ciputat Press.

Oemar, H. (2001). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara Sahal, M. (1999). Pesantren Mancari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur.

Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif; Dilengkapi Dengan Contoh Proposal dan Laporan Penelitian, cet, ke-4. Bandung: CV. Alfa Beta.

Yusuf, T., & Anwar, S. (1997). Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab.

Jakarta, RajaGrafindo.

Referensi

Dokumen terkait

自己紹介書 Personal statement: Describe about yourself (i.e. Experience, Why you choose to study in Japan, Your future goals) free

Dalam rangka pengembangan Unit Usaha Syariah Bank BPD Kalsel, dengan memperhatikan minat, semangat serta harapan masyarakat dan Pemerintah Daerah

Sign system Taman Wisata yang dipunyai saat ini masih kurang mendukung navigasi pengunjung, sign system di Mekarsari juga mempunyai desain kurang terpadu

Berjiwa besar terhadap lingkungan yang membuat diri seseorang besar merupakan perwujudan diri yang siap memimpin orang lain tentunya setelah berhasil memimpin

Informasi keuangan konsolidasian di atas disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasian PT Bank Central Asia Tbk dan Entitas Anak pada tanggal dan untuk periode sembilan bulan

Verba makan untuk semua jenis makanan dalam hal ini lauk pauk akan disajikan pada bagian ini tidak terlepas dari Pronomina persona pertama tunggal tuo diilustrasikan pada data

Adapun Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum pendidikan multikultural pendidikan agama Islam mendasarkan pada: keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat,

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan teknik thought stopping untuk meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri