• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI ATURAN ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI TANAH ADAT SIHUTING DESA ARITONANG, KECAMATAN MUARA, KABUPATEN TAPANULI UTARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "IDENTIFIKASI ATURAN ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI TANAH ADAT SIHUTING DESA ARITONANG, KECAMATAN MUARA, KABUPATEN TAPANULI UTARA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

41

IDENTIFIKASI ATURAN ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN

RAKYAT DI TANAH ADAT SIHUTING DESA ARITONANG, KECAMATAN MUARA, KABUPATEN TAPANULI UTARA

IDENTIFICATION OF CUSTOMARY RULES IN PRIVATE FOREST MANAGEMENT ON SIHUTINGCUSTOMARY LAND,

ARITONANG VILLAGE,MUARA DISTRICT, NORTH TAPANULI REGENCY

Andrian Sianturi1*, M. Mardhiansyah2, Yossi Oktorini2

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Alamat: Bina Widya, Pekanbaru, Riau

*Email: andriansianturi22@gmail.com ABSTRACT

Private forest of Aritonang village is on customary land which is the inheritance of the ancestors in the form of gift/wages by Raja Aritonang to Ompu Guru Sukkunon (a descendant of the Ompusunggu clan) and Ompu Guru Solupa (a descendant of the Rajagukguk clan) are managed based on customary rules. The purpose of this research was to identify the customary rules that apply and to find out the benefits of customary rules in the management of private forests in the customary land of the village of Aritonang. This research was conducted in Aritonang village, Muara Distric, North Tapanuli Regency in April - May 2019. This research used purposive sampling technique to selection of informants. Namely the male lineage and the female lineage of Guru Sukkunon and Guru Solupa who live in hamlet 1 of Aritonang village as much as 36 families, Non- descendant communities Ompu Guru Sukkunon and Ompu Guru Solupa (relatives) who are domiciled in hamlet 1 of Aritonang village as many as 6 families and Batu Binumbun village community who border directly with customary land of Sihuting in Aritonang village as much as 1 family. And this research used qualitative descriptive analysis to analyze the data.

Customary rules that apply in the management of Aritonang’s Sihuting private forest cover the process of granting and inheriting management rights of the land land, the time span of use and omission of land, types of plants that are allowed to be planted and/or cared for, yields, establish houses, and determination of sanctions for violators of customary law. The benefits of customary rules in the management of Aritonang’s Sihuting customary forests are the maintenance of order and justice in the process of granting and managing the management rights of customary land.

Keywords: Identification, customary rules, private forest, customary land Sihuting.

PENDAHULUAN

Hutan rakyat begitu penting peranannya bagi masyarakat pedesaan di Indonesia terutama masyarakat adat. Salah satunya adalah masyarakat adat yang berada di Desa Aritonang.

Selain untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga merupakan penghormatan terhadap nenek moyang serta menjalankan aturan adat yang telah ada. Humaedi (2014) menyatakan bahwa keyakinan masyarakat adat tentang hutan dan pelestariannya sangat berbeda dengan mereka yang hanya melihat bahwa isu mengenai hutan dan pelestarian keanekaragaman hayati selalu dihadapkan pada soal pembangunan ekonomi semata. Harus diakui, selain nilai ekonomi yang terkandung dalam keragaman hayati, ada nilai lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu manfaat lingkungan dan nilai budaya, sebagai bagian tidak terpisahkan dari pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Hutan rakyat Desa Aritonang berada di atas tanah adat yang merupakan warisan nenek moyang berupa pemberian/upah oleh Raja Aritonang kepada Guru Sukkunon (seorang keturunan marga Ompusunggu) dan Guru Solupa (seorang keturunan marga Rajagukguk) dikelola berdasarkan aturan adat. Tanah adat tersebut berupa lahan untuk pemukiman dan lahan untuk bertani yang kemudian lahan tersebut ditanami dengan tanaman palawija dan tanaman keras tahunan seperti kopi, mangga, kemiri dan tanaman untuk perkayuan serta tanaman berkayu lainnya yang dapat dikatakan sebagai hutan rakyat. Ada 3 golongan yang mengelola tanah adat ini yakni Anak (keturunan laki-laki), Boru (keturunan perempuan) dan Kerabat (masyarakat bukan keturunan marga) yang juga diperbolehkan mengelola tanah adat.

Pengelolaan hutan rakyat ini juga pernah dilakukan tidak sehat akibat dari eksploitasi lahan berupa tambang tanah dan batu yang dilakukan oleh pihak Anak sejak 2017 hingga

(2)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

42 2018 dan juga terdapat konflik antara golongan

Anak dan Raja Sibuntuon dengan Boru dan belum ada penyelesaian dalam konflik ini.. Hal ini menciderai budaya dan penghormatan kepada nenek moyang yang ditujukan untuk dikelola oleh generasi ke generasi keturunan Guru Solupa dan Guru Sukkunon. Hal tersebut telah memperlihatkan bahwa adanya ketidaksepahaman pengelola mengenai hukum adat yang berlaku. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi hukum adat dalam pengelolaan hutan rakyat tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Identifikasi Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Di Tanah Adat Sihuting Desa Aritonang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Aritonang, Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Penelitian ini telah dilaksanakan pada April - Mei 2019. Alat- alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat tulis, kamera, alat perekam suara (recorder) dan komputer. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan wawancara mengenai data-data yang dibutuhkan dalam penelitian. Teknik pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling.

Dalam penelitian ini yang menjadi informan yaitu masyarakat Desa Aritonang dan Desa Batu Binumbun yang memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut yaitu (1) Seluruh garis keturunan laki-laki (Anak) dan garis keturunan perempuan (Boru) dari Guru Sukkunon dan Guru Solupa yang berdomisili di Dusun I Desa Aritonang yaitu sebanyak 36 KK, (2) Masyarakat bukan keturunan Guru Sukkunon dan Guru Solupa (Kerabat) yang berdomisili di Dusun I Desa Aritonang yaitu sebanyak 6 KK dan memiliki satu maupun semua kriteria pernah/sedang mengelola tanah adat di Desa Aritonang, mengetahui sejarah dan aturan adat tanah adat di Desa Aritonang, orang tua yang dihormati di Desa Aritonang, (3) masyarakat Desa Batu Binumbun yang berbatasan langsung dengan tanah adat Sihuting di Desa Aritonang sebanyak 1 KK yang memiliki semua kriteria

berperan dalam lembaga adat di desanya dan mengetahui sejarah tanah adat di Desa Aritonang.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara yakni wawancara terbuka dan terstruktur dan juga observasi yakni mengamati langsung dan mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang diteliti dan objek penelitian. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yakni data yang diperoleh dalam penelitian dilaporkan apa adanya kemudian diinterpretasikan secara kualitatif untuk mengambil kesimpulan. Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, menarik kesimpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum

a) Lokasi Penelitian

Desa Aritonang secara geografis berada di Lintang Utara 02o15’-02o22’ dan Bujur Timur 98o49’-98o58’. Desa Aritonang berbatasan dengan Desa Batu Binumbun, Desa Sitanggor, Desa Dolok Martumbur, Desa Paranginan, Desa Simatupang dan Desa Batu Binumbun.

Pembagian wilayah Desa Aritonang dibagi menjadi 2 dusun dan memiliki luas 436 ha bertopografi berbukit-bukit. Kedua Raja Sibuntuon menyatakan bahwa saat ini tanah adat Sihuting milik Ompu Guru Sukkunon dan Ompu Guru Solupa Desa Aritonang memiliki luas lebih dari 100 ha.

b) Sejarah Singkat Tanah Adat

Kecamatan Muara merupakan bona pasogit atau tanah asal muasal sekaligus tanah adat marga Simatupang, marga Aritonang (Ompusunggu, Rajagukguk, Simaremare), dan marga Siregar meskipun saat ini ada beberapa marga lain yang berdomisili di kecamatan ini.

Menurut kedua Raja Sibuntuon, tanah adat Sihuting merupakan pemberian atas berhasilnya mereka berdua menghalau musuh yang hendak menyerang kampung. Raja Aritonang dan seluruh masyarakat bersepakat untuk memberikan sebidang tanah yang saat ini dikenal menjadi 2 bagian yakni tanah perkampungan (saat ini dikenal sebagai Huta Aek Langge 1, Huta Aek

(3)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

43 Langge 2, Huta Sibuntuon 1, dan Huta Sibuntuon

2) dan tanah perladangan (saat ini dikenal sebagai tanah Sihuting, Simokmok, Pasir, Aek Parbue, Sijuramo) kepada Guru Sukkunon dan Guru Solupa yang merupakan tempat mereka berjaga.

Menurut J. Viator Siburian (80), tokoh masyarakat di Desa Batu Binumbun sekaligus keturunan Anak dari Op. Timotang Siburian menyatakan bahwa pada kehidupan keturunan ke- 9 dari tuan Rajagukguk, terdapat perbatasan tanah milik keluarganya dengan tanah perladangan Sihuting yang merupakan tanah milik Guru Sukkunon Ompusunggu dan Ompu Guru Solupa Rajagukguk. Saat ini, seluruh tanah perkampungan kecuali tanah sawah merupakan tanah adat yang sudah diberikan kepada keturunan-keturunan oleh para pendahulu. Dan sampai sekarang, tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan. Sejak dahulu telah dibedakan lokasi perkampungan dengan lokasi perladangan sekaligus peternakan (harangan) meskipun saat ini telah berubah dimana di dalam perkampungan sudah terdapat kandang ternak dan pertanian.

c) Kelembagaan

Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut (Mukhtaromi et al., 2013). Raja Sibuntuon merupakan pemimpin lembaga adat yang mengatur pengelolaan tanah adat untuk dikelola keturunan Ompu Guru Sukkunon Ompusunggu dan Ompu Guru Solupa Rajagukguk dan kerabat. Ada 2 orang yang memimpin masyarakat adat yakni Sopan Ompusunggu yang merupakan Raja Sibuntuon Ompusunggu dan Marido Rajagukguk yang merupakan Raja Sibuntuon Rajagukguk.

Berdasarkan data Profil Desa Aritonang (2019) masyarakat adat Desa Aritonang tergolong kedalam bentuk masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana. Mata pencaharian mayoritas masyarakat Desa Aritonang adalah bertani.

2. Hukum Adat yang Berlaku

Hukum adat mengatur tentang hukum adat pribadi, hukum perkawinan adat, hukum tanah, hukum waris adat, dan delik adat (Yulia, 2016).

Ragawino (2009) menambahkan bahwa hukum adat mengatur tentang hukum perorangan, hukum kekeluargaan, hukum harta perkawinan, hukum perkawinan, hukum adat waris, hukum hutang piutang, hukum tanah, hukum perjanjian, dan delik adat. Penulis hanya berfokus pada beberapa poin hukum adat diatas untuk mengetahui hukum adat dalam pengelolaan hutan rakyat di tanah adat Sihuting.

Hukum adat waris merupakan hukum yang meliputi aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan proses yang sangat panjang dari abad ke abad yang menarik perhatian ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan materil dan immaterial dari generasi ke generasi berikutnya (Ter Haar, 1960). Masyarakat pengelola hutan rakyat di tanah adat Sihuting merupakan suku Batak Toba. Batak Toba merupakan suku yang menerapkan prinsip patrilineal yang dapat dilihat dari kehidupan masyarakat suku Batak yang meneruskan marga melalui keturunan laki-laki.

Subari et al. (2004) juga menambahkan bahwa penarikan garis hukum dalam hubungan diri dengan orang lain pada struktur masyarakat patrilineal adalah melalui garis laki-laki dan akibat dari cara menarik garis hukum tersebut dalam bidang hukum kekerabatan dan waris, hak dan kewajiban hanyalah timbul diantara orang- orang yang mempunyai hubungan darah melalui garis laki-laki dan anak yang lahir dari suatu perkawinan dimasukkan dalam klan (marga) orang tua laki-laki. Dengan demikian, hukum adat waris pada masyarakat pengelola hutan rakyat di tanah adat Sihuting harus dilihat dari kedudukan setiap golongan di dalamnya yakni Raja Sibuntuon, Anak, Boru, dan Kerabat.

Raja Sibuntuon merupakan pemimpin adat yang mengatur bukan hanya pengelolaan tanah adat namun juga acara-acara adat. Ada 2 orang Raja Sibuntuon yakni Raja Sibuntuon Ompusunggu dan Raja Sibuntuon Rajagukguk.

Posisi Raja Sibuntuon hanya diwariskan kepada keturunan laki-laki raja tersebut, pada umumnya anak laki-laki tertua dan melihat silsilah keturunan yang memprioritaskan keturunan laki- laki pertama dari Guru Sukkunon Ompusunggu dan Guru Solupa Rajagukguk. Sementara itu, tanah sepenuhnya diawasi keberlanjutannya oleh Anak keturunan Guru Sukkunon dan Guru

(4)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

44 Solupa. Masyarakat Batak menggunakan sistem

patrilineal sehingga keberlanjutan tanah dikuasai oleh Anak. Anak perempuan/Boru memiliki posisi yang tidak jelas dalam kekerabatan Batak Toba karena meskipun berhubungan dengan kedua klan marga ayah dan suaminya tetapi ia tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua klan marga tersebut (Baiduri, 2015) dan Kerabat menurut KBBI, kerabat memiliki arti yang dekat (pertalian keluarga); sedarah sedaging, keluarga;

sanak saudara, dan keturunan dari induk yang sama yang dihasilkan dari gamet yang berbeda.

Golongan Kerabat di Desa Aritonang dikenal sebagai dongan tubu (memiliki marga yang segolongan namun bukan keturunan langsung Ompu Guru Sukkunon dan Ompu Guru Solupa) dan hombar jabu (tetangga) termasuk ke dalam golongan ini karena juga diberikan kesempatan turut mengelola tanah adat tersebut.

Berikut merupakan hak-hak setiap golongan pengelola tanah adat Sihuting berdasarkan hasil wawancara dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hak-Hak Golongan Pengelola Tanah Adat

Kedua Raja Sibuntuon menyatakan bahwa tanaman yang hanya diperbolehkan untuk dibudidayakan di tanah adat Sihuting adalah tanaman muda atau tanaman berumur pendek.

Namun, dalam seperjalanan pengelolaan tanah adat tersebut ada pengecualian yang membuat aturan ini menjadi terdistorsi yakni tanaman keras dalam hal ini khususnya tanaman buah seperti mangga dan tanaman kehutanan jika tumbuh sendiri atau tidak sengaja menanam tanaman keras tersebut maka diperbolehkan untuk dirawat/dipelihara. Dengan adanya pengecualian dalam aturan ini akan memperbesar peluang terjadinya konflik dimana setiap golongan akan

mempertahankan pohon-pohon yang ada di lahannya masing-masing. Semua golongan pengelola tersebut boleh memanen dan menjual hasil pohon yang telah dirawat tanpa perlu izin dari Raja Sibuntuon ataupun golongan Anak.

Kedua Raja Sibuntuon adalah orang yang berhak memberikan hak kelola tanah adat tersebut tanpa persetujuan dari Anak, Boru, maupun Kerabat. Kedua Raja Sibuntuon memiliki hak untuk mewariskan posisi Raja Sibuntuon kepada keturunannya. Mereka memberikan hak kelola kepada siapa saja yang memintanya dengan atau tanpa pertimbangan maupun persetujuan Anak dengan syarat yakni harus

No. Jenis Hak Golongan

Raja Sibuntuon

Anak Boru Kerabat (bukan keturunan)

1. Tanam dan tanam lagi    

2. Menanam tanaman muda (berumur pendek)

   

3. Menanam tanaman keras/pohon - - - -

4. Merawat tanaman keras/pohon yang tumbuh liar

   

5. Memanen hasil pohon yang dirawat

   

6. Memanen hasil pohon yang ditinggalkan

  - -

7. Memberikan hak kelola tanah  + - -

8. Mewariskan hak kelola tanah  - - -

9. Menyewakan - - - -

10. Menggadaikan - - - -

11. Menjual - - - -

Keterangan:  = memiliki hak - = tidak memiliki hak

+ = tidak memiliki hak namun pendapatnya dibutuhkan

(5)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

45 berdomisili di Dusun I Desa Aritonang dan dalam

proses pembukaan lahan tersebut dengan tenaga keluarga sendiri tanpa menggaji pekerja.

Pengelola yang tidak lagi mengelola hak kelola tanah yang dimiliki baik si pengelola dari golongan Anak, Boru, maupun Kerabat dikarenakan tidak mampu secara fisik ataupun pengelolaannya ingin dilanjutkan oleh keturunannya maka harus memberikan informasi kepada kedua Raja Sibuntuon agar tanah yang mereka kelola diberikan izin oleh raja dengan memenuhi syarat yang telah ditetapkan. Dan jika pengelola meninggalkan lahannya/tidak mengelolanya selama 5 tahun berturut maka hak kelola yang dimiliki akan ditarik kembali dan tidak diizinkan untuk mengambil hasil panen dari lahan tersebut.

3. Manfaat Hukum Adat

Hukum adat di dalam persekutuan adat dalam pengelolaan tanah adat Sihuting pada dasarnya hukum adat menjamin keamanan dan keberlanjutan pengelolaan tanah adat dan hutan rakyat yang ada diatasnya dengan catatan bukan ditanam dengan sengaja.. Hal ini dikarenakan tujuan tanah adat yang berasal dari tona ataupun pesan/perintah Ompu Guru Sukkunon dan Ompu Guru Solupa untuk membantu kehidupan perekonomian keturunan mereka baik Anak maupun Boru dan juga dongan tubu (semarga namun bukan keturunan langsung Ompu Guru Sukkunon dan Ompu Guru Solupa) serta hombar jabu (tetangga) yang berdomisili di Dusun I Desa Aritonang saat ini meskipun di dalam perjalanan pengeloaan tanah adat terjadi konflik antara golongan Anak termasuk kedua Raja Sibuntuon dengan golongan Boru dan Kerabat. Keberadaan tanah adat tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap warga komunitas adatnya. Saat ini fungsi lahan tersebut tidak lagi hanya terfokus untuk pemenuhan pangan tetapi sudah kearah untuk pemenuhan perekonomian.

Namun telah terjadi penyimpangan dalam aturan adat ini seiring bertambahnya waktu.

Meskipun komuntitas adat memiliki hak untuk mengubah setiap kebijakan dengan membuat aturan baru yang sesuai dengan peraturan terdahulu maupun menentangnya, penyimpangan aturan yang ditemui bukanlah aturan adat yang sepenuhnya diperbaharui. Sebagian besar aturan terdahulu masih tetap dijalankan. Seperti pendapat Ragawino (2009) adat selalu

menyesuaikan diri dengan keadaan dan kemajuan zaman, sehingga adat itu tetap kekal, karena adat selalu menyesuaikan diri dengan kemajuan masyarakat dan kehendak zaman. Dengan demikian, kebijakan untuk memperjelas aturan dengan sangat diperlukan untuk mencegah maupun menyelesaikan delik yang ada.

KESIMPULAN DAN SARAN

Secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat aturan adat yang bermanfaat dalam mengelola tanah adat Sihuting namun menjadi ancaman bagi keberadaan hutan rakyat yang berada di tanah adat tersebut. Secara lebih khusus penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Hukum adat yang berlaku dalam pengelolaan hutan rakyat di tanah adat Sihuting Desa Aritonang meliputi proses pemberian dan pewarisan hak kelola tanah, rentang waktu penggunaan maupun pembiaran lahan, jenis tanaman yang diperbolehkan untuk ditanam dan/atau dirawat, hasil panen, dan penetapan sanksi bagi pelanggar hukum adat.

2. Manfaat hukum adat dalam pengelolaan hutan rakyat di tanah adat Sihuting Desa Aritonang adalah terjaganya ketertiban dan keadilan dalam proses pemberian dan pengelolaan hak kelola tanah serta menjamin keamanan dan keberlanjutan hutan rakyat yang ada diatasnya dengan catatan bukan ditanam dengan sengaja.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, disarankan bagi pengembangan pada penelitian berikutnya, yakni:

1. Peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber maupun referensi yang terkait dengan kebijakan pemerintah daerah setempat dalam pengelolaan tanah adat agar hasil penelitian yang diperoleh lebih lengkap lagi.

2.iPeneliti selanjutnya diharapkan untuk lebih mempersiapkan diri dalam proses pengambilan dan pengumpulan data pada aspek penyebab konflik di dalam lembaga adat tersebut agar mempermudah penarikan kesimpulan.

3. Pemerintah daerah Kabupaten Tapanuli Utara dan jajarannya terutama pemerintah Desa Aritonang diharapkan memberi pengarahan dan pendampingan kepada keturunan Ompu Guru Sukkunon dan Ompu Guru Solupa dan pengelola lainnya dari tanah adat tersebut yakni

(6)

1Mahasiswa Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau

2Dosen Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Riau Jurnal Ilmu-ilmu Kehutanan Vol 5 No 1 Februari 2021

46 keberlanjutan pengelolaan tanah adat

berlandaskan pengelolaan yang lestari dan memperjelas batas tanah nya dari tanah Desa Aritonang.

DAFTAR PUSTAKA

Baiduri. 2015. Paradoks perempuan Batak Toba: suatu penafsiran Hermeneutik terhadap karya sastra ende siboru tombaga. Jurnal Mimbar. 31(1): 51-60.

Humaedi, M.A. 2014. Tradisi pelestarian hutan masyarakat adat Tau Taa Vana di Tojo Una-Una Sulawesi.

Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 11(1): 91-111.

Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Mukhtaromi, A., M. S. Soeady, dan A.

Hayat. 2013. Sinergi pemerintah daerah dan lembaga adat dalam melaksanakan pelestarian kebudayaan.

Jurnal Administrasi Publik. 1(2):155-

163.

Ragawino, B. 2009. Pengantar dan Asas- Asas Hukum Adat Indonesia.

Universitas Padjadjaran. Bandung.

Subari, S., H. Albariansyah, dan S.

Flambonita. 2004. Pokok-Pokok Hukum Adat. Penerbit Universitas Sriwijaya. Palembang.

Ter Haar, B. 1960. Asas-asas dan susunan hukum adat diterjemahkan Soebakti Poesponoto. Penerbit Pradnja Paramita.

Jakarta.

Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Adat.

Universitas Malikussaleh. Unimal

press. Banda Aceh.

Referensi

Dokumen terkait

Variabel assurance pada penelitian ini digambarkan dengan jam pelayanan yang sesuai, barang tepat waktu sampai, barang tidak rusak serta keamanan barang pelanggan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: 1) pengaruh pola belajar terhadap keaktifan mahasiswa dalam proses belajar pada mahasiswa Pendidikan Akuntansi FKIP UMS angkatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi kemudahan penggunaan memiliki pengaruh positif dansignifikan terhadap niat penggunaan,persepsi kegunaan memiliki pengaruh positif dan

Minyak mentah yang diperoleh dari hasil pengilangan dapat langsung dipisahkan terhadap fraksi-fraksinya untuk menentukan berapa jumlah persen volum dari setiap fraksi

Sedangkan unit analisis yang merupakan tingkat agresi (fokus) data dalam penelitian ini adalah data primer dengan instrumen berupa kuesioner yang disebarkan pada empat

23 PEMANFAATAN PROGRAM GEOGEBRA DALAM UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN PADA POKOK BAHASAN SEGITIGA DITINJAU DARI HASIL BELAJAR SISWA KELAS VII. Adi

Untuk bcnda uji 2 pcncatatan lcndutan yang tcrjadi disajikan pada lampiran 2 Tabel L2.7 dan grafik hubungan beban - lendutan ditampilkan pada Gambar 5.12.. 13 Grafik

Dengan meningkatnya berat jenis pada batuan yang makin dalam letaknya, maka kadar besi  juga akan semakin meningkat, sehingga pada selubung bumi mempunyai kemungkinan