• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Respon Kekebalan pada Sapi Bali dengan Warna Bulu Berbeda terhadap Virus Penyakit Jembrana.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Respon Kekebalan pada Sapi Bali dengan Warna Bulu Berbeda terhadap Virus Penyakit Jembrana."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

PERBEDAAN RESPON KEKEBALAN PADA

SAPI BALI DENGAN WARNA BULU BERBEDA

TERHADAP VIRUS PENYAKIT JEMBRANA

(Immune Response Difference Against Jembrana Diseases

Virus in Different Hair Color of Bali Cattle)

Oleh

I Ketut Berata, I Made Kardena, Ida Bagus Oka Winaya Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana

Jl.PB. Sudirman Denpasar Bali (80232) E-mail: iketutberata@yahoo.com

Abstract

Aimed of the study was to determine the difference of immune response in bali cattle with different hair colors against Jembrana disease virus. This research used two females bali cattle aged 2 years with different hair color, such as: brownish red (C) and yellowish red (K). Each cattle was adapted in 2 weeks, before the cattle were given anti worm drug. Feeding was given 3 times a day, while drinking was givenad libitum. Inoculation of antigen was done by using JD.Vacc.sp.15 (produced by BBVet Denpasar) as much as 3 ml intramuscularly for each cattle. Two weeks after inoculation, blood of the cattle was taken from the jugular vein in order to isolate lymphocytes using picoll-paque gradient technique. Lymphocytes were then cultured in DMEM medium without serum. Further, immune response cell evaluation was performed by using Methylthiazol Tetrazoleum (MTT) test. Result showed that the difference in cellular immune response brownish red cattle was significantly higher than the yellowish red (p <0.05). Its concluded that yellowish bali cattle seems to have more susceptible to jembrana disease than the brownish red.

Keywords: hair color, MTT assay, immune response

Abstrak

(5)

perbedaan respon kekebalan seluler yang bermakna (p<0,05), dimana respon kekebalan sapi berwarna merah bata kecoklatan lebih tinggi dari pada sapi berwarna merah bata kekuningan. Kesimpulan penelitian ini adalah sapi bali dengan warna bulu merah bata kekuningan lebih rentan terhadap penyakit Jembrana dari pada yang berwarna merah bata kecoklatan.

Kata kunci: Warna bulu, Uji MTT, Respon kekebalan

PENDAHULUAN

Sapi bali memiliki warna bulu yang bervariasi baik dilihat dari aspek jenis kelamin maupun umurnya. Diantara sapi betinapun terdapat variasi warna bulu antara merah bata kecoklatan sampai kekuningan (kepucatan). Umumnya orang menganggap hal tersebut biasa saja. Tetapi untuk peternak tradisional, perbedaan warna bulu sapi

sangat diperhatikan. Para peternak sapi di Bali umumnya sangat selektif dalam memilih sapi yang akan dipeliharanya, baik yang akan digunakan untyuk bibit induk maupun untuk penggemukan. Salah satu aspek yang diamati saat memilih anak sapi yang akan dibeli adalah warna bulunya. Peternak yang jeli umumnya lebih memilih sapi yang berwarna merah bata kecoklatan (C) dari pada merah bata kekuningan (K). Hasil wawancara langsung pada beberapa peternak menyatakan bahwa sapi bali yang berwarna kepucatan umumnya disebutkan lebih lambat pertumbuhannya dan mudah

terserang penyakit, walaupun secara ilmiah belum pernah dibuktikan. Keyakinan para peternak secara turun temurun dan adanya fakta kurang disenanginya sapi bali berwarna kepucatan, merupakan masalah yang sangat penting ditelusuri dalam penelitian ilmiah.

Warna kepucatan sapi bali sering pula dikaitkan dengan status kesehatannya misalnya karena anemia akibat infestasi cacing. Pemberian obat cacing, ternyata tidak menyebabkan perubahan warna bulu. Sehingga variasi warna bulu sapi dalam umur yang sama, mungkin berkaitan dengan faktor genetik. Kepekaan terhadap penyakit yang dilaporkan beberapa peternak, merupakan faktor yang menarik untuk diteliti.

Sapi bali paling peka terhadap penyakit Jembrana. Penyakit Jembrana

(6)

mortalitasnya dapat mencapai 17% (Dharma, 1996). Penyakit Jembrana pada sapi bali bersifat akut dengan masa inkubasi 7-12 hari (Kertayadnya,et al., 1993).

Kesembuhan sapi bali yang terinfeksi virus Jembrana dilaporkan didominasi akibat respon kekebalan seluler (Dharma, et al., 1996). Oleh karena itu penelitian uji

respon kekebalan seluler terhadap kepekaan sapi bali sangat relevan dilakukan terhadap penyakit Jembrana. Respon kekebalan seluler adalah mengukur daya proliferasi limfosit sapi yang sebelumnya diinokulasikan vaksin Jembrana. Penentuan daya proliferasi limfosit ini dapat dilakukan dengan uji MTT (methylthyazole tetrazoleum). Uji MTT ini dapat digunakan sebagai uji kepekaan suatu hewan terhadap agen

infeksius (Wareing (1996). Prinsip dari uji MTT adalah mengukur tingkat optical density (OD) akibat perubahan sodium MTT menjadi formazan dari aktivitas enzim mitokondria limfosit yang hidup. Semakin banyak sel yang hidup, semakin tinggi pula nilai OD sebagai manifestasi dari tingginya respon kekebalan hewan.

MATERI DAN METODE

Materi dan Alat-alat Penelitian

Penelitian ini menggunakan 2 ekor sapi bali, jenis kelamin betina, umur 2 tahun. Sapi bali yang digunakan berwarna berbeda yaitu yang satu berwarna merah bata kecoklatan dan yang lain merah bata kekuningan. Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah EDTA 5%, media DMEM (Dulbeco’s modified eagle medium), dimethyl

sulfoxide (DMSO), kit MTT : (3- Dimethylthiazole –2,y] ) 2,5 diphenyl Tetrazolium

bromide) (Sigma, USA), alkohol, Phosphat buffer saline (PBS), tabung 40 ml, pipet Pasteur, pipet transfer, mikropipet 50 ul, mikropipet 100 ul , venoject, sentrifuse, tabung reaksi, inkubator, mikroplate, ELISAreader.

Inokulasi Antigen pada Sapi

Sapi diperiksa kesehatannya dan diadaptasikan 2 minggu sebelum dilakukan

inokulasi antigen. Antigen yang digunakan berupa vaksin Jembrana : JD Vacc.sp.15 (Produksi BBVet). Masing-masing sapi disuntikkan 3 ml vaksinJD.Vacc.sp.15 secara intramuskuler.

(7)

Dua minggu pasca inokulasi antigen, darah perifernya diambil dari vena Jugularis dengan tabung steril yang telah diberikan EDTA 5%, selanjutnya disentrifus 2500 rpm selama 10 menit. Lapisan buffy coat diambil dan disuspensikan dengan media DMEM tanpa serum. Limfosit dipisahkan dari buffy coat dengan cara

Ficoll-paque gradient yaitu disentrifus 3.000 rpm selama 30 menit. Lapisan limfosit diambil dan dicuci 3 kali dengan media DMEM tanpa serum. Limfosit yang diperoleh, selanjutnya dikultur sesuai metode Liddell and Cryer (1991) dengan modifikasi (Astawa,et al., 2005) untuk uji MTT.

Pengukuran Respon Kekebalan Seluler dengan Uji MTT

Limfosit yang diisolasi dari darah perifer masing-masing sapi dikultur untuk pemeriksaan respon kekebalan seluler dengan uji MTT (Methylthiazole tetrazolium). Mitogen yang digunakan pada uji MTT adalah protein virus Jembrana. Protein virus Jembrana disiapkan dari limfosit asal limpa sapi Bali yang terinfeksi virus penyakit Jembrana. Limpa seberat 0,2 gram ditampung dalam cawan petri yang berisi 1,5 ml

PBS. Limpa kemudian dikorek-korek untuk menguraikan limfositnya dengan jarum suntik 23 G yang ujungnya telah dibengkokkan. Limfosit yang keluar dari limpa ditampung dalam tabung dan dicuci satu kali dalam PBS dengan cara sentrifus 3.000 rpm selama 5 menit. Cairan supernatan dibuang dan diganti dengan larutan NH4Cl 0,8% (Sigma, USA) sampai semua sel darah merah mengalami lisis. Setelah sentrifus

900 rpm selama 5 menit, limfosit dilisiskan dengan penambahan 0,5 ml triton X-100 1% dalam PBS, dan inkubasi selama 1 jam pada suhu -20OC. Campuran kemudian disentrifus 3.000 rpm selama 10 menit. Supernatan ditampung ke dalam tabung sentrifus 10 ml. Protein dalam cairan supernatan dipresipitasi dengan penambahan alkohol absolut (perbandingan 1 bagian supernatan : 5 bagian alkohol absolut). Presipitasi protein dalam supernatan kemudian disentrifus dengan kecepatan 14.000

rpm selama 1 menit. Supernatan dibuang dan endapan kemudian dikeringkan sampai semua bagian alkoholnya menguap. Endapan protein kemudian dilarutkan kembali dalam PBS, dan disterilkan dengan cara filtrasi dengan milipore filter 0,22 µm.

(8)

DMEM. Limfositnya dihomogenkan dalam media dengan cara penyedotan dan pengeluaran secara berulang menggunakan pipet Pasteur steril. Limfosit dalam cawan petri kemudian dipindahkan ke dalam tabung steril dan dicuci 1 kali dengan 10 ml media DMEM steril. Setelah dihitung dengan hemositometer, maka limfosit

disuspensikan dalam media DMEM yang mengandung 15% FCS. Limfosit kemudian ditumbuhkan dalam mikroplate 96 sumuran, yang telah diisi mitogen dengan tingkat kepadatan 2x106sel/ml media.

Limfosit dari setiap sapi, diinkubasikan dalam mikroplate yang berisi mitogen berupa protein virus Jembrana dengan konsentrasi 2 µg/ml media. Sedangkan sebagai

kontrol negatif digunakan media tanpa mitogen. Masing-masing limfosit sapi dilakukan pada 10 sumuran sebagai ulangan. Campuran limfosit dan mitogen diinkubasikan bersama selama 3 hari pada suhu 37OC dalam lingkungan lembab yang mengandung 5% CO2. Setelah inkubasi selama 3 hari, ke dalam setiap sumuran ditambahkan 25 µl kit MTT 5% (Sigma). Sel kembali diinkubasi selama 18 jam pada suhu 37OC. Sebagian media kemudian dibuang dan sel kemudian dilisiskan dengan lysis buffer dimethyl

sulfoxide atau DMSO 5% (Analar)

Tingkat kepekatan warna biru dalam setiap sumuran dibaca dengan ELISA reader, dengan λ = 595 nm. Tingkat warna biru merupakan hasil perubahan sodium MTT menjadi formazan akibat aktivitas oleh enzim mitokondria limfosit yang hidup. Semakin banyak sel yang hidup, maka semakin pekat pula warna biru sebagai tingginya

respon kekebalan seluler atau kepakaan hewan. Analisis Data

Data berupa nilai absorban ditabulasi dan dianalisis dengan uji t-Student tidak berpasangan (Steel dan Torrie, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

(9)

Hasil pemeriksaan respon kekebalan seluler berdasarkan daya proliferasi limfosit dengan uji MTT yang dilakukan dengan ulangan 10 kali dapat dilihat Tabel 1. Tampak bahwa nilai optical density (OD) sapi yang berwarna kekuningan (K) lebih rendah dari pada yang berwarna kecoklatan (C).

Tabel 1. Hasil Uji MTT pada Sapi Percobaan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Sapi C 0,691 0,764 0,685 0,986 0,741 0,887 0,694 0,638 0,769 0,879

Sapi K 0,128 0,564 0,543 0,671 0,453 0,668 0,342 0,051 0,089 0,541

Keterangan: C=Coklat K= Kuning

Hasil analisis dengan uji t diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) antara kedua sapi (lihat Tabel 2). Sapi warna kecoklatan (C) secara bermakna lebih tinggi respon kekebalan selulernya dari pada sapi warna kekuningan (K).

Tabel 2. Hasil Analisis Uji t

Test Value = 0

t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

13.077 19 .000 1.50000 1.2599 1.7401

10.077 19 .000 .58920 .4668 .7116

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa sapi bali yang berwarna kecoklatan memiliki respon kekebalan yang lebih tinggi terhadap penyakit Jembrana dari pada sapi berwarna kekuningan. Hal ini sesuai dengan pendapat para peternak bahwa sapi berwarna kepucatan cenderung mudah terserang penyakit dari pada berwarna merah

bata kecoklatan. Kemungkinan faktor yang berperan besar dalam kerentanan ini adalah faktor genetik, seperti dijelaskan oleh Eaten dan Gray (1995) yang menyatakan bahwa dalam satu spesies hewanpun terdapat variasi genetik kepekaan terhadap penyakit virus. Dalam penjelasan tersebut tidak secara detail menyebutkan kaitan dengan warna bulu hewan.

(10)

direaksikan dengan lektin Con A, merupakan tanda abnormalitas dari respon seluler. Hal ini dilaporkan pada kasus limfoma dan acquered immunodeficiency syndrome (AIDS) pada manusia dan orang hutan (Hunt, et al., 1983). Con A merupakan lektin yang banyak digunakan, sehingga merupakan standar untuk lektin yang lainnya

(Damjanov, 1987). Penurunan ini menunjukkan bahwa yang bersangkutan sangat rentan terhadap infeksi oleh agen infeksius. Pengukuran daya proliferasi limfosit sering dilakukan untuk mengetahui perbandingan kerentanan hewan terhadap suatu patogen. Hal ini pernah dilakukan untuk mengetahui kerentanan sapi terhadap 4 strainBrucella sp. (Wareing, 1996). Selain itu, daya proliferasi limfosit diukur untuk memantau respon

kekebalan seluler setelah vaksinasi dengan vaksin hidup dan mati. Penelitian dengan vaksinSalmonella typhimuriumyang hidup, ternyata reaktivitas berupa daya proliferasi limfositnya lebih tinggi dari pada vaksin inaktif ( Lindberg and Robertson, 1983).

Hasil-hasil penelitian inokulasi agen infeksius pada hewan yang memang tahan terhadap infeksi agen tertentu, di dalam tubuhnya tidak terdapat respon seluler maupun humoral. Sehingga adanya aktivasi sel limfoid sering menjadi faktor yang memiliki dua makna, di satu pihak sebagai tanda kerentanan hewan dan kadang-kadang bermakna sebagai tanda kekebalan hewan terhadap agen yang menyerang (Richardson, 2002). Respon kekebalan seluler oleh antigen infeksius sering pula dapat bersifat silang antara

hospes utama dengan hospes lainnya, sehingga atas dasar ini suatu hewan dapat digunakan sebagai hewan model. Hal ini terbukti dari penelitian penyakit Jembrana yang hospes utamanya sapi bali, ternyata hewan mencit dapat digunakan sebagai model (Berata dan Astawa,2007; Berata, 2009).

SIMPULAN

Sapi bali yang berwarna merah bata kekuningan lebih rentan terhadap terhadap penyakit Jembrana dari pada sapi berwarna kecoklatan, dilihat dari respon selulernya

UCAPAN TERIMA KASIH

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, NM., Hartaningsih, N., Dharma, DMN., Tenaya, WM., Budiantono, dan Ekaana,W. 2005. Replikasi Virus Jembrana pada Kultur Limfosit Darah Tepi asal Sapi Bali. J.Vet.6(4).p.135-142.

Berata, IK dan Astawa, NM. 2007.Protein kapsid virus penyakit Jembrana menginduksi kekebalan seluler pada mencit. J. Vet.8(3):147-154

Berata, IK.2009.Mencit BALB/c Dapat Digunakan sebagai Hewan Model Penelitian Virus Penyakit Jembrana. Buletin Vet.Udayana.1(1):7-11 ISSN:2085-2495 Damjanov, I. 1987. Biology of Disease : Lectin Cytochemistry and Histochemistry.

Laboratory Investigation. No.57.p.5-19

Dharma, DMN. 1996. The Pathology of Jembrana Disease. In : Wilcox, GE., Soeharsono, S., Dharma, DMN., Copland, JW., Editors. Jembrana Disease and The Bovine Lentiviruses. ACIAR Proceedings No. 75. p. 26-28

Eaton, B.T. and Gray, G.D. 1995. Genetic Variation in Resistance to Viruses. In: Breeding for Resistance to Infectious Diseases in Small Ruminants. ACIAR. p.1-13

Hartaningsih, N., Dharma, DM.N., Soeharsono, S., and Wilcox, GE.. 2001. The Induction of Protective Immunity Against Jembrana Disease in Cattle by Vaccination With Inactivated Tissue-Derived Virus Antigens. Vet. Immunol. And Immunopathol. 78.p.163-176.

Hunt, R.D., Blake, B.J., Chalifoux, L.V., Sehgal, P.K., King, N.W., and Letvin, A.L. 1983. Transmission of Naturally Occurring Lymphoma in Macaque Monkeys. Proc.Natl.Acad.Sci. 80. p.5085-5089

Kertayadnya, G., Wilcox, GE., Soeharsono, S., Hartaningsih, N., Coelen, RJ., Cook, RD., Collins, ME., and Brownlie, J. 1993. Characteristics of A Retrovirus Associated With Jembrana Disease in Bali Cattle. J.of.Gen.Virol. 74:1765-1773 Liddell, JE., and Cryer, A. 1991. A Practical Guide to Monoclonal Antibodies.

England. John Wiley & Sons. p.1-154.

Lindberg, A.A., and Robertson, J.A. 1983. Salmonella Typhimurium Infection in Calves; Cell-Mediated and Humoral Immune Reactions Before and After Chalange with Live Virulent Bacteria in Calves Given Live or Inactivated Vaccine. Infection and Immunity. No.41. p.751-757.

Richardson, J., Broche, S., Baud, S., Leste-Lasserre, Femenia, F., Levy, D., Moraillon, A., Pancino, G., and Sonigo, P. 2002. Lymphoid Activation : A Confounding Factor in AIDS Vaccine Development. J.of Gen.Virol. 83.p.2515-2521.

Steel, RGD. and Torrie, JH. 1989. Principles and Procedures of Statistics. Mc.Graw Hill Inc.

(12)
(13)
(14)

Gambar

Tabel 1. Hasil Uji MTT pada Sapi Percobaan

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini disebabkan perbandingan penggunaan konsentrasi hormon tumbuh yang sudah sesuai, sehingga perlakuan hormon BAP dan giberelin yang diperlakukan bisa mempengaruhi

Putusan tersebut menyatakan Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan Perpustakaan Universitas Andalas dalam pembuatan katalog sudah menggunakan sistem automasi tetapi penggunaannya

Tujuan penelitian ini ada lima: 1) mendiskripsikan penguasaan pribadi kepemimpinan program studi bahasa inggris di STKIP PGRI Ngawi, 2) mendiskripsikan pola

Urutan alternatif strategi produksi bersih dari prioritas yang paling penting yaitu sosialisasi serta pelatihan penerapan produksi bersih dan peningkatan kualitas kayu

Usaha-usaha tersebut tidak terlepas dari budaya perusahaan yang dijalankan dalam menghadapi kemajuan teknologi yang ada dewasa ini, diharapkan akan dapat

Hal ini dilakukan karena apabila EMD dilakukan pada level yang lebih tinggi maka sinyal EKG yang dihasilkan menjadi datar, sehingga tidak terlihat perbedaan

Dari definisi ḥalaqah yang penulis telah jelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa itu sesuai dengan teori Sukardi yang menjelaskan bahwa bimbingan kelompok adalah layanan yang