10 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bingkai Realitas 2.1.1. Pengertian
Bingkai atau Konstruksi melalui buku Peter L. Berger dan Thomas Luckman yang berjudul The Social Construction of Reality : A Treatise in the Sosiological of Knowledge dalam Bungin (2011:13) menyatakan bahwa hal
tersebut merupakan sebuah penggambaran proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu membuat terus menerus realitas disekelilingnya berdasarkan dari hal yang dialaminya secara subjektif. Baran dan Davis (2010:391) mengasumsikan “bahwa proses itu dikonstruksikan secara sosial yaitu seperti:
1. Pengharapan yang berdasarkan pada pengalaman yang kita miliki sebelumnya, baik dari pesan media ataupun yang kita alami secara langsung.
2. Cukup kuat terhadap perubahan, bahkan ketika berkontradiksi dengan informan faktual yang tersedia.
3. Sering dikaitkan dengan sesuai yang dapat merangsang emosi seperi ketakutan, kebahagiaan, cinta bahkan sebuah kebencian.
4. Individu tidak menyadari ketika emosi menjadi sangat kuat sehingga dapat mengganggu kemampuan sendiri untuk menafsirkan suatu informasi yang didapatkan”.
11
Suparno dalam Bungin (2011:14) menjelaskan “terdapat tiga macam konstruktivisme: pertama, konstruktivisme radikal; kedua, realisme hipotesis dan ketiga, konstruktivisme biasa”. Konstruktivisme radikal adalah suatu realitas yang terbentuk berdasarkan pengalaman individu, seseorang yang memahami jenis ini tidak memperhatikan adanya hubungan antara kenyataan dan pengetahuan sebagai sebuah fakta namun justru hanya menjustifikasi apa yang timbul di dalam pikirannya. Sementara itu berkebalikan dengan pandangan sebelumnya, pandangan realisme hipotesis menganggap pengetahuan merupakan hipotesa dari bangunan realitas yang bahkan sangat dekat dengan realitas itu sendiri sehingga mengarah kepada suatu pengetahuan yang benar.
Konstruktivitas biasa memahami bahwa terdapat konsekuensi dari konstrutivisme dan adanya sebuah pengetahuan adalah sebuah citra dari realitas. Serta pengetahuan dari individu dilihat sebagai citra yang terbentuk dari objek realitas yang berasal dari diri individu itu sendiri.
Bungin menyebutkan (2011:202) bahwa “pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi”. Disebutkan juga proses tersebut
terbentuk karena adanya interaksi individu antar individu di dalam masyarakat yang menyebabkan terbentuknya realitas objektif, subyektif, dan simbolis.
Realitas Objektif, adalah bentuk kerumitan definisi dari realitas (termasuk ideologi dan pemahaman) dan kebiasaan akan tindakan dengan tingkah laku yang ideal (termasuk di bentuk institusi sosial), yang keseluruhannya didalami oleh suatu individu sebagai sebuah fakta. Realitas
12
simbolis adalah ungkapan simbolik yang dimaknai seperti objectiver reality,
didalamnya termasuk teks industri media, kapitalisme, gambaran pasar dan lainnya yang melingkupi suatu media. Sementara itu, realitas subjektif, merupakan bingkai pengertian akan realitas (meliputi media, pasar dan lainnya) yang dimiliki oleh individu dan dibingkai menggunakan proses internalisasi.
Terdapat tiga tahapan pembingkaian menurut pandangan dari Peter L. Berger dalam Eriyanto (2002:16-18) yaitu;
1. Eskternalisasi, yaitu bentuk usaha pencurahan atau juga ekspresi dari diri manusia ke dalam dunia, baik berkaitan dengan aspek mental dan aspek fisik. Hal ini merupakan sifat dasar seorang manusia yang akan selalu menurahkan diri sendiri dimanapun berada.
2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah tercapai, baik secara mentalitas maupun fisik dari kegiatan usaha eksternalisasi manusia. Hasil ini menghasilkan realitas objektif yang dihasilkan oleh suatu individu sebagai faktisitas yang berlainan dari manusia lain yang menghasilkannya.
3. Internalisasi, dapat dimengerti sebagai proses penyerapan kembali objektivitas individu kedalam suatu kesadaran, sehingga subjektivitas individu dapat trpengaruh oleh struktur sosial dari dunia yang terlah terobjektifkan oleh individu tersebut dan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus
13
sebagai gejala internal bagi kesadaran tersebut. Melalui proses in suatu individu menjadi hasil dari masyarakat.
2.1.2. Tahapan Pembingkaian
Bungin didalam Tamburaka (2012:77) menyebutkan bahwa “posisi konstruksi media adalah memperbaiki dan melengkapi suatu kelemahan dari konstruksi media atas konstruksi realitas”. Tetapi, proses satu waktu itu tidak bisa langsung bekerja sebelum terpenuhinya pembingkaian oleh media, yang menurut Bungin (2011:195-200) akan melewati empat tahapan penting seperti berikut;
1. Tahap Persiapan Materi Konstruksi.
Dimana tim redaksi media akan mempersiapkan materi konstruksi dan akan dilimpahkan kepada editor di setiap media. Adapun tiga hal penting dalam mempersiapkan materi konstruksi sosial yaitu : (1) keberpihakan dari media massa. Yang berarti perlu melihat bagaimana media sebagai nilai ekonomi dan untuk melipat gandakan modal. (2) keberpihakan yang semu kepada masyarakat.
Format keberpihakan yang dimaksud adalah simpati, empati dan segala jenis dukungan kepada publik, tetapi berujung pada tujuan utama yaitu menjual berita dan menaikkan rating untuk keutamaan bisnis semata. (3) keberpihakan pada kepentingan umum. Yang berarti sebuah visi dari setiap media massa. Dimana selalu menjadi slogan yang terdengar di khalayak umum.
14 2. Tahap Sebaran Konstruksi
Konstruksi media ini dilaksanakan melalui strategi media itu sendiri. Rata-rata sebaran konstruksi media ini menggunakan model komunikasi satu arah, yang berarti media memberikan informasi kepada publik sekadar untuk menerima informasi saja.
Namun di era teknologi sekarang sebaran ini hanya terjadi pada media cetak saja, dikarenakan kemajuan teknologi sebaran baru yang digunakan adalah secara real time. Prinsip ini berdasar dari pemahaman bahwa semua informasi harus sampai kepada khalayak atau pembaca secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya berdasarkan agenda media, sesuatu yang dianggap penting oleh media jadi dianggap penting oleh publik pada akhirnya
3. Tahap Pembentukan Konstruksi
Ketika berita telah sampai di publik akan terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat dengan tiga tahapan. Pertama, konstruksi realitas pembenaran. Kedua, terkesediaan publik untuk dikonstruksi oleh media dan ketiga, dianggap sebagai salah satu pilihan yang mahal.
4. Tahapan Konfirmasi
Tahapan ini adalah dimana media dan masyarakat yang telah menerima informasi akan memberikan opini dan argumen- argumen, akuntabilitas dan opini-opini terhadap apa yang telah diyakini dan bahkan ikut terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Tahapan ini penting bagi media karena sebagai bentuk
15
justifikasi terhadap alasan mengkonstruksi. Berikut adalah gambaran dari tahapan konfirmasi;
Gambar 2.1 Proses Tahapan Konfirmasii Sumber gambar (Bungin, 2011:195-200)
2.1.3. Bingkai Realitas Sosial
Sesuai dengan pandangan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun disisi lain kebernaran adalah suatu realitas sosial yang bersifat relatif, yang tentunya berlaku sesuai dengan konteks yang dinilai sesuai dengan pelaku sosial di masyarakat. Realitas sosial itu dapat dilihat dari subyektivitas itu sendiri dan dunia objektivitas di seputar lingkungan suatu individu. Seorang manusia tidak dilihat pribadinya saja namun juga dilihat dimana pribadi itu
16
berada, bagaimana ia hadir sebagai pribadi dan bagaimana pula lingkungan menerimanya.
Bungin mengatakan (2011:12-13) “pada nyatanya realitas sosial memerlukan individu agar mampu untuk berdiri sendiri. Baik di dalam dan diluar realitas yang ada. Realitas sosial itu punya suatu makna, dimana realitas sosial dibingkai dan dimaknakan dengan subyektif oleh suatu individu lainnya maka hal tersebut memperkuat realitas itu secara objektif. Seorang manusia mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksinya kembali kedalam dunia realitas, menguatkan bentuk dari realitas tersebut sesuai dengan subjektivitas individu lainnya didalam lingkungan sosialnya.
2.1.4. Paradigma Hierarchy of Influences
Shoemaker dan Reese (1996) membuat teori hirarki atau sebuah tingkatan. Menurut Krisdinanto (2014:8) “Teori ini menggambarkan bahwa isi media yang disampaikan kepada khalayak tidak datang dari ‘ruang hampa’
yang netral, bebas kepentingan, dan disalurkan oleh medium yang bebas distorsi, namun merupakan hasil pengaruh kebijakan internal organisasi media dan pengaruh eksternal media itu sendiri”. Pengaruh secara internal dapat dikaitkan dengan kepentingan dari pemilik media, individu wartawan yang mencari berita, serta bagaimana rutinitas organisasi media. Sementara itu, faktor eksternalnya dapat dihubungkan dengan pemerintah, pengiklan swasta dan lain-lain. Dengan kata lain teori ini beranggapan bahwa isi media sebenarnya merupakan hasil dari tekanan dari dalam dan luar perusahaan media itu sendiri. Adapun hirarkinya adalah sebagai berikut :
17 1. Individual Level
Tingkatan ini merujuk pada aspek personal pengelola media yang mempengaruhi berita yang disajikan kepada khalayak. Yang dalam hal ini menunjuk pada latar belakangnya seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, dan kecenderungan sikap dan posisi pada partai politik cukup mempengaruhi apa yang akan disajikan dan ditampilkan oleh media.
2. Media Routine Level
Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media pada dasarnya memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang mereka sebut sebagai berita, apa cirti- ciri berita yang baik atau apa kriteria kelayakan berita.
3. Organization Level
Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia hanya bagian kecil dari oeganisasi media itu sendiri
4. Ekstra Media Level
Tingkatan ini bersinggungan dengan aspek lingkungan di eksternal media. Walaupun berasal dari luar suatu organisasi media, tingkatan ini dianggap mampu mempengaruhi isi berita.
18 5. Ideology Level
Merupakan sebagai kerangka berfikir yang digunakan oleh seorang individu untuk menanggapi suatu realitas dan bagaimana menghadapinya. Jauh berbeda dengan tingkatan sebelumnya yang nyata justru level ini bersifat abstrak. Karena pada tingkatan ini memiliki berhubungan dengan sikap seseorang dalam menafsirkan suatu realitas.
2.2. Berita
1.2.1. Definisi dan Karakteristik
Terdapat berbagai macam unsur kelayakan pada berita dan tentunya perlu diperhatikan oleh media agar diharapkan dapat dipatuhi dengan seksama.
Ketentuan-ketentuan tersebut tercantum di dalam Kode Etik Jurnalistik bahwa berita yang dibuat seharusnya :
1. Cermat dan Akurat
2. Adil, lengkap dan seimbang
3. Tidak mencampurkan adukkan fakta temuan dan opini sendiri secara objektif
4. Jelas, hangat dan ringkas.
Kusumaningrat (2006:47) mengatakan “sifat-sifat istimewa berita ini telah terbentuk sedemikian kuatnya sehingga tidak hanya menentukan bentuk khas praktik pemberitaan namun juga berlaku sebagai pedoman dalam menyuguhkan dan menilai layak tidaknya suatu berita yang dimuat”.
19
Hal yang perlu digaris bawahi dalam mengemas suatu berita atau framing adalah terletak pada teknik pengemasan berita, menurut Tamburaka
(2012:140) “bagaimanapun sebuah isu yang akan ditonjolkan jika mengemasnya kurang baik maka isu yang baik itu akan kurang menarik, bahkan pesan yang ingin disampaikan akan kurang mengena atau bias. Oleh karena itu berita itu harus dikonstruksi sedemikian rupa agar konstruksi pesan itu bisa dimaknai dan dipahami oleh audiens”.
1.2.2. Konsep Framing Media Terhadap Berita
Dijelaskan oleh McQuail (2011:110-111) bahwa “Konstruksi sosial kemudian merujuk pada proses dimana peristiwa, orang, nilai dan ide ditafsirkan dengan cara tertentu kemudian dilihat prioritasnya. Disinilah ide framing memainkan peranannya”. Framing pada dasarnya merupakan metode
untuk melihat bagaimana cara media menyampaikan dan menceritakan peristiwa atau kejadian. Menurut Eriyanto (2002:9) “dalam analisis framing, yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus/peristiwa yang diberitakan. Metode semacam ini tentu saja berusaha mengerti (verstehen), dan menafsirkan makna dari suatu teks dengan jalan menguraikan bagaimana media membingkai isu”. Proses menafsirkan dan mengerti terhadap bagaimana cara media menyampaikan dan menceritakan suatu kejadian dapat tergambar pada cara pandang jurnalis terhadap realitas ataupun kejadian terkait yang dijadikan berita. Tentunya, cara pandang ini akan mempengaruhi hasil akhir dari konstruksi realitas yang dibentuk.
20
Pan dan Kosicki mendefinisikan framing adalah sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol dan menempatkan informasi terkait lebih daripada yang lain sehingga khalayak umum lebih teralih pada pesan tersebut.
Dalam kajiannya Pan dan Kosicki dalam Eriyanto (2002:252) bahwa “ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologi yang dimana dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Kedua, dalam konsepsi sosiologis yang dimana lebih meilhat pada proses internal seseorang, dari bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu kejadian dalam cara pandang tertentu sehingga pandangan ini lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas”. Dengan kata lain, di konsepsi ini memiliki perbedaan mengenai framing. Yaitu di satu sisi framing di mengerti sebagai struktur internal yang berasal dari dalam alam pikiran seseorang dan di sisi lainnya framing di mengerti sebagai sesuatu yang melekat di dalam wacana sosial politik masyarakat.
Pan dan Kosicki dalam Eriyanto (2002:254) meyakini dalam proses pengkonstruksian suatu peristiwa wartawan tidak hanya mengandalkan konsepsi yang ada di pikirannya semata. Terdapat tiga aspek yang menjadi perhatian penting bagi wartawan yakni, Pertama, proses konstruksi itu juga melibatkan nilai sosial yang melekat dalam diri wartawan. Dimana hal ini yang merupakan kebenaran yang diterima secara taken for granted sangat mempengaruhi bagaimana suatu realitas dipahami oleh seorang wartawan.
Karena merupakan bagian dari lingkungan masyarkat, wartawan tentu menerima nilai-nilai dan kepercayaan yang berlaku di lingkungan masyarakat
21
tersebut. Kedua, dalam proses kepenulisan dan pengkonstruksian pemberitaan, wartawan perlu untuk mempertimbangkan khalayak bahkan ketika proses awal pembuatan berita. Karena seorang wartawan menulis untuk dipahami dan dinikmati khalayak umum. Terakhir, proses konstruksi ditentukan oleh proses produksi yang melibatkan standar kerja, profesi jurnalistik dan standar professional dari profesi wartawan.
Salah satu jurnal mengenai framing media kepada pemberitaan mengenai pidato bapak Presiden Joko Widodo memberikan contoh kepada kita bagaimana media membingkai suatu peristiwa pada khalayak. Erwin (2018:320) dalam jurnalnya menyebutkan “ketiga media (yang dalam hal ini mediaindonesia.com, tribunnews.com dan okezone.com) tidak memberikan perbedaan yang signifikan di antara masing-masing media, dikarenakan ketiga media ini cenderung mendukung ke pemerintahan Jokowi. Dimana ketiga media tersebut membingkai ucapan pidato Jokowi tersebut dengan bentuk dukungan dan menyalahkan pihak lain yang provokatif”. Dalam penelitian tersebut dimana membahas viral nya pidato Jokowi karena mengucap “berani diajak berantem” pada rapat umum relawan Jokowi pada persiapan pemilu 2018 lalu y dianggap kontroversi di masa pemilu waktu itu. Disitu kita melihat bagaimana peran media sebenarnya dalam membingkai isu tersebut. Bentuk dukungan yang telah di teliti oleh penelitian terdahulu tersebut merupakan upaya untuk meredam kontroversi yang timbul, dimana tentunya akan membahayakan citra Jokowi sebagai calon presiden saat itu. Selain itu aspek dukungan pemilik media juga disinggung karena sedikit tidaknya memiliki pengaruh dalam pemberitaan mengenai isu Jokowi tersebut.
22 2.3. Industri Media
Perkembangan teknologi membawa banyak hal menuju pembaharuan termasuk jurnalistik di dalamnya. Seperti lahirnya jenis media baru mengikuti masifnya perkembangan dan penggunaan internet di Indonesia. Menurut McQuail (2011:148) “Media baru adalah berbagai perangkat teknologi komunikasi yang memungkinkan adanya digitalisasi dan cakupan yang luas untuk penggunaan pribadi sebagai alat komunikasi”. Dimana media konvensional yang dikenal oleh masyarakat seperti koran, majalah, radio dan bahkan televisi perlahan-lahan akan digantikan peran dan fungsinya oleh media baru. Transformasi ini disebut sebagai
“second media age”.
Perbedaan mendasar yang cukup menjadi signifikansi antara media konvensional dan media baru ini adalah sifat dari komunikasi yang terjalin oleh audiens. Media baru yang telah terkoneksi dengan internet memberikan suatu pengalaman baru dengan memberikan sifat komunikasi dua arah sehingga cenderung dapat memberikan timbal balik dengan audiens. Hal tersebutlah yang melahirkan jurnalisme baru yang memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan peranan media konvensional yaitu dengan memberikan peluang pada penyampaian berita yang jauh lebih besar, lebih cepat, lebih mudah dan lebih aktual. Menurut Santana (2005:137) “Terdapat perbedaan utama antara jurnalistik online dengan media massa konvensional, yaitu kemampuan internet untuk mengkombinasikan sejumlah media, tidak seorang pun dapat mengendalikan perhatian khalayak, internet dapat membuat proses komunikasi berkelanjutan”.
Menurut Margianto dan Syaefullah anggota Aliansi Jurnalis Independen seperti yang dikutip buku terbitan (AJI) Aliansi Jurnalis Independen (2013: 15)
23
“Perkembangan media online di Indonesia di awali dengan adanya jasa layanan internet komersil yang berdiri 1994 dan media pertama yang hadir di internet pada tanggal 17 Agustus 1994 adalah republikaonline.com yang kemudian pada tanggal 11 Juli – 22 Agustus 1997 muncul waspadaonline.com dan kompas.com kemudian setelah era reformasi hadir detik.com pada tanggal 9 Juli 1998 sebagai pelopor media online yang berdiri sendiri”.
Menurut Prasetyo dalam Nashrillah yang mengutip ke dalam artikel idntimes.com “… Media online atau siber diperkirakan mencapai angka 43.300, namun sebagai media professional dan lolos syarat pendataan pada 2014 hanya 211 media online saja, Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online saja pada 2015”. Selain itu, karena memberikan prospek berjangka industri media baru ini diwarnai oleh kepentingan modal yang menuju pada oligopoli (penguasaan satu jenis industri) dan bermuara pada konvergensi media oleh para pemilik kepentingan modal. Sehingga industri-industri media yang tak hanya media online mengalami pemusatan kepemilikan.
Menurut Ross Tapsell yang dikutip pada artikel di tirto.id (2018) menyatakan bahwa “Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh”. Tercatat terdapat kurang lebih delapan perusahaan besar serta nama elit dibelakangnya yang mendominasi media di Indonesia yang dimana keseluruhannya adalah pemilik dari perusahaan besar Nasional. Tapsell juga menyebutkan bahwa “perusahaan- perusahaan nasional yang porfotolio bisnisnya mencakup investasi di infrakstruktur komunikasi, sebagaimana investasi mereka pada televisi, radio, media cetak dan
24
media online. Mereka inilah yang mendominasi lanskap media Indonesia mutakhir, yang semakin menjadi alam oligopoli”. Adapun delapan perusahaan ini sebagai contoh yaitu CT Corp milik Chairul Tanjung yang membawahi Trans 7, Trans TV dan detik.com yang dibeli pada 2011 silam. Selain itu pada 2013 ia membentuk CNN Indonesia yang merupakan platform berita online dan juga stasiun televisi.
Pada 2018 lalu, CNBC diresmikan dan menjadi salah satu bagian dari konglomerasi media CT Corp.
Kedua, MNC Group milik Hary Tanoesoedibjo pemilik dari tiga televisi swasta nasional yaitu MNCTV, RCTI dan GlobalTV. Memiliki 34 radio lokal sejak 2005 hingga kepemilikan sindonews.com dan portal berita online okezone.com.
selain itu pada tahun 2015 MNC Group juga mengakuisisi I-News sebagai stasiun berita 24 jam.
Berbicara mengenai banyaknya konglomerasi media yang eksis di Indonesia terdapat pengaruh yang cukup penting mengenai fokus ini. Bahwa kepemilikan media memberikan privilege pada pemilik untuk memiliki kecenderungan mempengaruhi isi editorial. Para pemilik media ini punya pengaruh serta kekuatan seperti dengan kaum elit lain. Seperti politikus, elit militer, konglomerat dan lain- lain. Vandijk dalam Syah (2014:257-258) menyatakan bahwa “Melalui media, penguasa mempraktikkan, dan melegitimasi pengaruh serta kekuasaannya, karena itulah para pemilik media ini merupakan golongan elit yang istimewa. CIPG (Centre for Innovation Policy and Governance) melakukan riset yang menjunjukkan bahwa pemilik media menjadikan medianya sebagai komoditas, masyarakat yang menjadi audiens dan terus mengkonsumsi informasi layaknya konsumen, tidak sebagai warga negara yang memiliki hak untuk mendapatkan
25
informasi yang layak. Konsentrasi industri media dapat dilihat dari delapan konglomerat besar yang telah dijabarkan dan tentunya memiliki andil terhadap pemusatan kepemilikan yang telah mencederai “keanekaragaman informasi” yang seharusnya ada di media.
1.3.1. Realitas Media
Pekerjaan media berdasarkan fungsi dan sifatnya yang telah dijabarkan diatas adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, oleh karena itu seluruh isi media tidak lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan. Walter Lippmann dalam Suryadi (2011:638) mengemukakan bahwa “world outside and pictures in our heads, Fungsi media, adalah pembentuk makna (the meaning construction of the press); bahwasannya interpretasi media massa terhadap berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu realitas dan pola tindakan mereka”. Karena pada dasarnya realitas yang ada adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu dan disentuh. Oleh karena itu realitas yang dimunculkan di media massa adalah realitas simbolik bentukan dari media itu sendiri. Hamad dalam Suryadi (2011:638) mengatakan bahwa “kemampuan yang dimiliki media massa untuk menentukan realitas di benak khalayak, kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan menciptakan opini publik (propaganda politik, promosi, public relations)”.
Proses pembuatan berita pada hakikatnya adalah penyusunan dan rangkuman realitas-realitas yang ada sehingga membentuk satu kesatuan cerita atau informasi berupa wacana yang bermakna. Oleh karena itu menurut Suryadi (2011:638) “para pekerja media merupakan constructor of reality atau
26
bisa dikatakan seorang pengkonstruk realitas”. Namun dengan pekerjaan sebagai pengkonstruk realitas tidak serta merta seorang jurnalis bebas dalam mengkonstruk realita tertentu untuk menjadi berita. Karena dengan peran yang cukup besar tersebut, para jurnalis dapat memiliki kesempatan yang luas untuk berbuat sesuatu secara bebas dengan realitas yang ada. Dennis McQuail dalam Suryadi (2011:638) menunjukkan 6 kemungkinan yang dapat dilakukan oleh media terhadap pengkonstruksian realitas yaitu:
1. Sebagai jendela (a window), yang membukakan cakrawala kita mengenai berbagai hal di luar diri kita tanpa campur tangan dari pihak lain. Realitas disampaikan apa adanya kepada publik.
2. Sebagai cermin (a mirror) dari kejadian-kejadian di sekitar kita.
Isi media massa adalah pantulan dari peristiwa-peristiwa itu sendiri. Disini realitas media kurang lebih sebagnun dengan realitas sebenarnya.
3. Sebagai filter atau penjaga gawang (a filter or gatekeeper) yang berfungsi menseleksi realitas apa yang akan menjadi pusat perhatian publik mengenai berbagai masalah atau aspek-aspek perhatian publik mengenai berbagai masalah atau aspek-aspek tertentu saja dalam sebuah masalah. Realitas media tak utuh lagi.
4. Sebagai penunjuk arah, pembimbing atau penerjemah ( a signpost, guide or interpreter) yang membuat audiens mengetahui dengan tepat apa yang terjadi dari laporan yang diberikannya.
Realitas sudah dibentuk sesuai keperluan.
27
5. Sebagai forum atau kesepakatan bersama (a forim or platform) yang menjadikan media sebagai wahana diskusi dan melayani perbedaan pendapat (feedback). Realitas yang diangkat merupakan bahan perdebatan untuk sampai menjadi realitas intersubyektif.
6. Sebagai tabir atau penghalang (a screen or barrier) yang memisahkan publik dari realitas yang sebenarnya. Realitas yang ada di media bisa saja menyimpang jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Tidak banyak media yang dapat mengangkat dan menyampaikan realitas apa adanya melihat besarnya godaan dan gangguan yang datang baik itu dari internal maupun eksternal media. Hal ini terjadi dikarenakan media kenyataannya hidup dalam lingkungan sosial yang sangat dinamis. Oleh karena itu media harus selalu mengikuti perkembangan sosial budaya masyarakat agar tidak tertinggal, murni sebagai aktualisasi informasi. Namun, didalam kehidupan masyarakat banyak mengandung kepentingan-kepentingan di dalamnya sehingga lahir begitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhi isi media. Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam Suryadi (2011:640) menyebutkan bahwa “ isi media itu ternyata sarat dengan pengaruh internal organisasi media, kondisi eksternal media, bahkan unsur pribadi jurnalis seperti tingkat pendidikan, kesukuan, agama, keyakinan dan gender”. Seperti sebuah media sebagai bentuk industri mengatur dan menetapkan patokan dalam mengkonstruksi realitas. Patokan atau aturan yang digunakan adalah bagaimana kebijaksanaan redaksi masing-masing media.
28
Kebijakan redaksi ini meliputi bagaimana kepentingan idealis, paham ideologi tertentu, unsur politis dan ekonomis dapat mempengaruhi kebijakan didalam ruang redaksi. Oleh karena itu apapun hal yang dapat mempengaruhi kebijakan dari redaksi, realitas akan sengaja diblow up, dibiaskan hingga tidak di dalam proses pengkonstruksian atau pembingkaian oleh tim redaksi. Seperti contohnya media yang lebih ideologis cenderung akan lebih intens memberikan informasi yang berbentuk pembelaan pada kelompok yang sama.
Sementara di sisi lain dengan agresif akan menyerang suatu kelompok yang bersebrangan aliran.
Oleh karena itu lahirlah fenomena media partisipan dan media non- partisipan. Sementara itu bila terdapat media yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi akan memunculkan fenomena konglomerasi media yang pada fakta telah dijabarkan diatas sehingga proses konstruksi realitas pun akan mempertimbangkan keinginan pemodal. Menurut Hamad (2004:26) mengatakan bahwa “Konstruksi model ini lazim terjadi jika menyangkut kasus yang akan merugikan usaha atau relasi mereka”.