• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman utamanya terdiri dari kekayaan spesies atau richness (S),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keanekaragaman utamanya terdiri dari kekayaan spesies atau richness (S),"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman

2.1.1 Definisi Keanekaragaman

Istilah “Biodiversity” atau umumnya disebut dengan keanekaragaman hayati ialah jumlah atau frekuensi variasi pada mahkluk hidup yang meliputi variasi gen, spesies, dan ekosistem di suatu lingkungan tertentu.

Keanekaragaman utamanya terdiri dari kekayaan spesies atau richness (S), kemerataan atau evenness (E), dan indeks keragaman atau index of diversity (H) (Karmana, 2010). Keanekaragaman dari makhluk hidup dapat terjadi karena akibat adanya perbedaan bentuk, ukuran, warna, jumlah, penampilan, tekstur, dan sifat- sifat lain (Ridhwan, 2012). Keanekaragaman ini dikelompokkan menjadi keanekaragaman tingkat gen, keanekaragaman tingkat spesies (jenis), dan keanekaragaman tingkat ekosistem dilihat dari segi keanekaragaman flora dan faunanya (Albasri et al., 2016). Menurut Rustiasih et. al, (2018) keanekaragaman makroinvetebrata berdasarkan pada toleransi serta tingkat sensivitasnya terhadap kondisi lingkungan habitat.

2.1.1.1 Keanekaragaman Tingkat Gen

Gen merupakan materi genetik yang bertanggung jawab terhadap semua sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup (Sutarno, 2016). Keanekaragaman gen ialah mencakup dari segala perbedaan yang dapat ditemui pada makhluk hidup dalam satu spesies. Hal ini dapat menyebabab adanya jenis makhluk hidup yang

(2)

beranekaragam ini bisa beradaptasi dengan kondisi berbeda akibat adanya perubahan lingkungan (Sutoyo, 2010).

2.1.1.2 Keanekragaman Tingkat Spesies

Menurut Ahlunnisa et al. (2016) kemerataan spesies adalah pengukuran derajat kemerataan dan kelimpahan suatu individu dalam suatu komunitas yang dapat menunjukkan keseimbangan antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Oleh karena itu apabila satu spesies memiliki distribusi kepadatan yang sama maka keanekaragamanya juga akan tinggi (Sutoyo, 2010). Keanekaragaman spesies atau jenis merupakan berbagai spesies hewan, tumbuhan maupun mikroorganisme yang berada pada suatu ekosistem (Sutoyo, 2010). Nilai indeks keanekaragaman spesies tergantung dari kekayaan spesies dan kemerataan spesies nilai minimum indeks kenakeragaman (H’) ialah 0, yaitu nilai indeks keanekaragaman untuk komunitas dengan 1 spesies tunggal kemudian akan bertambah sesuai peningkatan kekayaan spesies dan kemerataan spesies (Molles, 2009). Oleh karena itu kemerataan spesies juga termasuk dalam komponen utama dari keanekaragaman tingkat spesies.

2.1.1.3 Keanekaragaman Tingkat Ekosistem

Keanekaragaman ekosistem berkaitan dengan habitat, komunitas biotik dan proses ekologis dalam biosfer. Ekosistem merupakan suatu kesatuan yang dibentuk oleh suatu hubungan timbal balik antara makhluk hidup (komponen biotik) dengan lingkungannya (komponen abiotik) (Afdal, 2016). Interaksi antara keanekaragaman hayati dengan lingkungan (interaksi yang terjadi antara keanekaragaman hayati

(3)

dengan lingkungan (interaksi yang terjadi antara komponen abiotik dan biotik) membentuk keanekaragaman ekosistem (Sutoyo, 2010). Salah satu keanekaragaman tingkat ekosistem berada di perairan tawar yaitu sungai.

Ekosistem perairan dibedakan menjadi ekositem air laut dan air tawar. Ekosistem air tawar termasuk dalam ekosistem yang relatif kecil di muka bumi jika dibandingkan dengan ekositem daratan dan lautan. Ekosistem ini umumnya terdiri dari jenis ekosistem perairan tenang (lentik) termasuk rawa, waduk, dan danau serta ekosistem perairan mengalir (lotik) termasuk sungai (Rafl’i & Maulana, 2018).

Sungai merupakan ekosistem lotik yang terdapat air mengalir didalamnya baik bergerak secara lambat ataupun cepat dan punya banyak manfaat bagi kehidupan makhluk hidup (manusia, hewan, maupun tumbuhan). Ekositem ini termasuk kualitas air yang bersifat dinamis atau selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu dikarenakan memiliki ciri khas yaitu ada arus yang merupakan faktor pengendali dan faktor pembatas di sungai (Suryanti et al., 2013). Menurut Mihov & Hristov (2013) Sungai dibagi menjadi 3 zona:

1. Zona sumber (Hulu) yaitu zona air mengalir dari gunung dengan aliran yang miring, cepat, dan menurun, lembah sungai berbentuk V, dapat membentuk air terjun, membawa sedimen ukuran besar ke hilir.

2. Zona transfer yaitu zona yang mempunyai ketinggian lebih rendah, dasar sungai lebih luas, berkelok-kelok, dan kecepatan air lebih lambat. Sebagian sedimen mengendap diantara zona sumber dan zona transfer baru kemudian sebagian lagi di teruskan menuju hilir.

(4)

3. Zona pengendapan yaitu zona dengan kemiringan rendah, sungai lebih lebar, dan memiliki kecepatan arus lambat. Pada zona ini sebagian besar sedimen mengendap, serta umumnya terdapat delta yang terbentuk dari kumpulan sedimen.

Sepanjang aliran sungai yang berliku-liku dari hulu hingga hilir akan membentuk hubungan antara organisme akuatik dengan lahan daratan yang ada disekitarnya (Closs et al., 2004). Menurut Doretto et al. (2020) menyatakan secara khusus bahwa variasi parameter lingkungan dan input energi sepanjang gradien longitudinal dengan struktur trofik makroinvertebrata bentik dihubungkan oleh satu konsep yaitu RRC (River Continuum Concept). Hubungan ini menerangkan mengenai gradien dari kondisi fisik hulu sampai ke hilir serta keberadaan biota air salah satunya makroinvertebrata yang berbeda-beda sebagai berikut ini:

1. Hulu dengan lebar sempit, subsrat kasar, dan banyak vegetasi riparian komunitas makroinvertebrata bergantung pada rantai makanan detritus dan berdominansi dengan invetebrata (Shredders) yang memiliki rahang kuat pemakan CPOM (Coarse Particulate Organic Matter), dengan cara menghancurkan jadi ukuran lebih kecil menjadi FPOM (Fine Particulate Organic Matter) yang nanti menjadi makanan hewan jenis pengumpul dan penyaring air (collector).

4. Aliran di tengah sungai memiliki vegetasi tepi sungai yang kurang, hal ini memungkinkan adanya penetrasi cahaya lebih besar ke dalam sungai sehingga kontribusi produsen utama lebih penting dianggap sebagai sistem autotrofik.

(5)

2. Komunitas makroinvertebrata bentik daerah ini terdiri dari kosumen jenis scrapers (grazers/pengikis), konsumen pemakan perifiton, dan hewan collector–gatherers (kolektor/penyaring air-pengumpul).

3. Bagian Hilir paling jauh pengaruh vegetasi tepi sungai berkaitan dengan lebar basah dimana produksi primer benthos dibatasi oleh kedalaman air dan kekeruhan sehingga menghambat penetrasi cahaya yang masuk. Komunitas makroinvertebrata daerah ini terdiri dari hewan collector–gatherers dan filterer, sementara untuk golongan shedders (penghancur) dan scrapers (pengikis) sudah berkurang.

2.2 Makroinvertebrata

Makroinvertebrata ialah hewan yang hidup di dasar perairan (Mustika et al., 2019). Kelompok makroinvertebrata dengan keanekaragaman luas terdiri dari ukuran makroskopis, normalnya berukuran lebih dari 1 mm, dan hidup permanen atau memiliki siklus hidup hanya beberapa periode tertentu (Benetti et al., 2012).

Biasanya berhabitat pada substrat dasar lumpur, pasir, batu-batuan, dan sampah organik baik di dasar laut, sungai, danau, atau kolam serta termasuk organisme menempel, memendam, melata, dan meliang di dasar perairan (Khusna, 2017).

Keberadaan dan keanekaragaman makroinvertebrata ditentukan oleh beberapa faktor seperti suhu air, substrat, gangguan habitat, interaksi biotik, aliran air, dan debit air (Ab Hamid & Md Rawi, 2014). Menurut Oscoz (2011) makroinvertebrata mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :

(6)

1. Tubuh dapat mengakumulasi racun sehingga dimanfaatkan sebagai petunjuk gambaran adanya pencemaran.

2. Ditemukan hampir di semua perairan.

3. Sangat sensitive dengan perubahan kualitas air pada habitanya sehingga akan memengaruhi komposisi dan kelimpahan.

4. Bergerak terbatas sehingga dapat digunakan sebagai indikator lingkungan setempat.

5. Jenisnya berjumlah cukup banyak dan memberikan respon bervariasi terhadap gangguan yang berbeda.

6. Siklus hidup panjang memungkinkan diuraikannya perubahan yang bersifat sementara akibat gangguan yang terjadi.

7. Mudah diidentifikasi dan dikumpulkan paling tidak sampai tingkat familia.

8. Pengambilan contoh sampel makroinvertebrata mudah dilakukan karena menggunakan peralatan sederhana, murah, dan tidak berpengaruh terhadap makhluk hidup lainnya.

2.2.1 Klasifikasi Makroinvertebrata

Menurut Merritt & Cummins 1996; Gooderham & Tsyrlin (2002) Klasifikasi makroinvertebrata dikategorikan menjadi 3 kelompok dengan melihat cara makannya, yaitu :

(7)

1. Hewan makroinvertebrata kelompok herbivora yaitu kelompok makroinvertebrata yang memakan produsen. Dikategorikan menjadi 2 jenis herbivora yaitu jenis pertama Scrapers (grazer/pengikis) jenis menghancurkan dedaunan menjadi lebih kecil dan mengorek lapisan ganggang dari batu dan permukaan keras lain. Contohnya: Celeoptera (Psephenidae dan Elmidae), Tricoptera (Glossosomatidae dan Phrygareidae), Ephemeroptera (Heptageniidae), dan Mollusca (Ancylidae, Sphaeridae, Pleuraceridae, Planorbiidae, Physidae, Unionidae) atau berbagai invetebrata lain yang memiliki kuas atau pisau pada mulutnya untuk menghilangkan lapisan alga pada susbtrat. Jenis kedua adalah Shredders. Kelompok ini memakan makrofita dengan mengunyah daun atau menggigit batang tanaman tetapi kebanyakan mengkonsumsi tanaman tua, mati, membusuk, atau detritus. Hal ini yang membuat kelompok shredders disebut detritivore juga herbivora. Contohnya:

Tricoptera (Limnephilidae), Diptera (Tipulidae), dan Plecoptera (Nemouridae, Pteronarcidae, dan Peltoperlidae).

2. Hewan makroinvertebrata kelompok predator (karnivora) yaitu kelompok invetebrata yang lebih besar contohnya larva Odonata (Corduligasteridae, Petalaridae, Gomphidae, dan agrionidae) dan larva Megaloptera (Corydalidae dan Sialidae), dan Plecoptera (Perlidae).

3. Hewan makroinvertebrata kelompok detritivore yaitu kelompok yang memakan campuran serasah daun, serpihan kayu, dan tubuh organisme yang mati.

Contohnya jenis pertama detritivore yang menangani serasah kasar dari

(8)

Shredders. Mereka memecahnya menjadi potongan-potongan kecil sambil mengambil nutrisi yang mereka dapat dari seresah. Jenis kedua detritivore yang menggunakan seresah organik disebut kolektor (penyaring). Beberapa contoh dari kolektor (penyaring) yaitu Oligochaeta, Diptera (Simuliidae dan Chironomidae), Tricoptera (Hydrophsychidae), dan Ephemeroptera (Heptageniidae, Baetidae, Siphlonuridae, dan Caenidae).

2.3 Makroinvertebrata sebagai Bioindikator Biologis Kualitas Perairan Sungai

Makroinvertebrata perairan sungai termasuk dalam organisme yang sebagian atau seluruh siklus hidup berada di perairan baik yang menetap (sesil), merayap (sedenter), maupun yang menggali lubang (Moningkey et al., 2017).

Makroinvertebrata dimanfaatkan sebagai indikator kualitas air sungai karena bergerak terbatas atau menetap, masa hidup cukup lama, memiliki kepekaan terhadap berbagai jenis polutan, mudah disampling, dan mudah diidentifikasi (Djumanto et al., 2013). Menurut Beracko et al. (2017) Makroinvertebrata air terdiri dari kelompok phylum Annelida (classis Hirudinea dan Oligochaeta), Platyhelminthes (classis Turbellaria), Mollusca (classis Gastropoda dan Bivalvia), dan Arthropoda (classis Insecta). Contoh Makroinvertebrata perairan sebagai berikut:

2.3.1 Phylum Annelida

Kualitas perairan memengaruhi secara langsung terhadap organisme aquatik yang hidup didalamnya. Salah satu organisme yang ada di sungai yaitu

(9)

filum Annelida. Menurut Azhari & Nofisulastri (2018) Annelida berasal dari bahasa latin (kata annulus berarti cincin dan oidos berarti bentuk) dapat juga disebut sebagai cacing bentuk tubuh bergelang-gelang atau cacing gelang. Cacing ini terdapat selom dengan septum-septum dibagi menjadi beberapa kompartemen.

Annelida juga merupakan hewan simetris bilateral. Annelida memiliki sistem peredaran darah tertutup dan sistem saraf tersusun seperti tangga tali. Pembuluh darah yang utama membujur sepanjang bagian dorsal sedangkan sistem saraf terdapat di bagian ventral. Annelida memiliki sistem digesti, saraf, ekskresi, dan reproduksi yang bersifat metamerik. Menurut Kusnandi (2015) Annelida merupakan jenis organisme yang hidupnya menetap di dasar perairan dengan pergerakan yang relatif lambat sehingga cocok dijadikan indikator biologis (bioindikator) di sungai karena struktur dan komunitasnya sangat dipengaruhi lingkungan di sekitarnya. Annelida memiliki peran penting dalam proses penguraian bahan organik dan sumber makanan bagi organisme yang hidup pada ekosistem perairan tersebut. Ada dua jenis yang dapat ditemukan di perairan tawar sungai yaitu dari Classis Hirudinea dan Classis Oligochaeta. Berikut ini adalah penjelasan dari kedua kelas tersebut:

1. Classis Hirudinea

Hirudinea merupakan kelas dalam filum Annelida, salah satu contohnya adalah Hirudo medicinalis (Linnaeus, 1758). Lintah memiliki tubuh panjang sangat lentur dengan pengisap di kedua ujungnya yang berfungsi untuk bergerak dan mengulurkan tubuh serta berwarna abu-abu, cokelat atau hijau (Umar et al., 2013).

Menurut Kusnandi (2015) lintah adalah organisme yang dapat ditemukan pada

(10)

lingkungan yang tercemar sehingga termasuk ke dalam organisme toleran. Spesies lintah menyukai habitat di lingkungan beta-mesosaprobik dan alfa-mesosaprobik, namun beberapa ada di oligosaprobik (Kazancı et al., 2015). Pemanfaatan lintah sebagai bioindikator bertujuan untuk mengetahui gejala awal terhadap perubahan lingkungan akibat berbagai aktivitas yang dilakukan manusia seperti industri, pertanian, limbah rumah tangga, dan pariwisata (Juliantara et al., 2018). Berikut ini adalah hewan lintah yang di tunjukkan pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Hirudo medicinalis(Linnaeus, 1758), (Gjertsen, 2007)

2. Classis Oligochaeta

Oligochaeta merupakan cacing tersegmentasi dengan 4 set chaetae disetiap segmen (terlihat hanya dengan mikroskop). Spesies akuatik cacing ini menyerupai cacing tanah kecil tetapi kebanyakan memang demikian dalam keluarga yang berbeda. Keluarga yang paling umum adalah Naididae (yang sekarang termasuk Tubificidae). Mereka sering berada di sedimen lunak dan sangat melimpah pada kualitas air yang buruk dan tercemar (Umar et al., 2013). Salah satu contoh yang ditemukan pada perairan tercemar adalah cacing Lumbricus terrestris (Linnaeus,1758) ditunjuk pada gambar 2.2.

(11)

Gambar 2.2 Lumbricus terrestris(Linnaeus,1758), (Mambrasar et al., 2018)

Lumbricus terrestris memiliki ciri-ciri morfologi berwarna coklat merah pada bagian dorsal, warna kuning krem pada bagian ventral, warna coklat merah pada bagian anterior, dan warna orange kekuningan pada bagian posterior. Rata-rata panjang tubuh 4-7,6 cm dengan jumlah 112-114 segmen serta klitelum berwarna orange. Habitat hidupnya pada Suhu 31oC, kelembaban tanah 90%, pH 6,3 agak masam, dan tekstur tanah berpasir. Spesies cacing ini berasal dari Eropa dan sudah banyak tersebar sampai di seluruh dunia (Mambrasar et al., 2018).

2.3.2 Phylum Mollusca

Mollusca adalah kelompok hewan invertebrata yang memiliki tubuh lunak yang dilindungi oleh cangkang dan ada juga yang tidak bercangkang (Ferisandi et al., 2018). Hewan ini lebih toleran terhadap lingkungan yang dinamis, sehingga dapat dengan baik beradaptasi dan bertahan hidup apabila dibandingkan dengan phylum lain (Ibrahim et al., 2017) . Hewan yang termasuk ke dalam phylum ini adalah kelas Gastropoda (siput- siputan) dan Bivalvia (kerang) (Purnama et al., 2019). Menurut Wahyuni et al. (2017) Gastropoda dan Bivalvia dapat ditemukan pada habitat berlumpur atau berlumpur berpasir dalam bentuk berkumpul dan menyebar. Salah satu familia dari kelas Gastropoda adalah Ampullariidae spesies

(12)

Pomacea canaliculata (Lamarck, 1822) dan Pachychillidae spesies Sulcospira testudinaria (Von Dem Busch, 1842). Sedangkan familia dari kelas Bivalvia adalah Uniodidae spesies Contradens contradens (Lea, 1838) dan Corbiculidae spesies Corbicula javanica (Megerle Von Mühlfeld, 1811). Berikut ini adalah penjelasan dari 2 kelas phylum Mollusca :

1. Classis Gastropoda

Gastropoda termasuk dalam kelas dari phylum Mollusca. Umumnya diperairan bersembuyi dibalik bebatuan, melekat pada tumbuhan air dan membenamkan diri di pasir. Gastropoda memiliki ciri-ciri adanya mantel, organ, visceral, radula, cangkang, dan terkadang memiliki beberapa insang yang merupakan ciri-ciri Moluska (Kastawi, 2005). Kelompok ini bersifat sesil dan memiliki kemampuan sangat terbatas untuk menghindari lingkungan yang sulit memulihkan heterogenitas pada ekosistem air tawar setelah adanya gangguan (Bae

& Park, 2020). Salah satu contoh dari kelas ini adalah siput air tawar familia Ampullariidae, berikut ini penjelasannya:

Gambar 2.3 Pomacea canaliculate(Lamarck, 1822), (Kenpei, 2009)

Keong murbei umumnya di kenal dengan sebutan keong mas (Pomacea canaliculata (Lamarck, 1822) ) dari familia Ampullariidae dan merupakan keong

(13)

air tawar pendatang dari Amerika Selatan yang masuk ke Indonesia sekitar awal 1980-an (Saputra, Sutriyono, et al., 2018). Keong mas mampu bertahan hidup selama 6 bulan dalam tanah dan menyukai hidup di perairan dangkal serta bersubstrat lumpur karena akan berkembangbiak kembali (Suarmustika et al., 2018). Morfologi keong mas yakni berwarna kuning keemasan sampai oranye, lebih tipis dengan ukuran 0,3 mm-0,5 mm/individu, bentuk cangkang agak lonjong, dan lebih kecil dengan panjang cangkang 10,5 – 14,8 cm diameter dan diameter cangkang 7,2 – 8,0 cm (Dharmawati et al., 2016).

Gambar 2.4 Sulcospira testudinaria (Von Dem Busch, 1842), (Safa’ah et al., 2018)

Sulcospira testudinaria (Von Dem Busch, 1842) atau biasa disebut sumpil sering berada di area persawahan dan daerah aliran sungai (Safa’ah et al., 2018).

Spesies ini termasuk ke dalam familia Pachychilidae. Memiliki morfologi Isnaningsih & Listiawan (2010): cangkang ukuran besar berbentuk contong memanjang serta sudut puncak ± 35 arah putaran cangkang ke kanan. Cangkang berwarna coklat hingga coklat kehitaman. Puncak cangkang tinggi dan runcing tetapi hampir semua spesimen puncak cangkang terkikis secara alami. Sutura tidak dalam. Mulut cangkang oval memanjang, tepi mulut cangkang kurva,

(14)

menerus clan tajam, sisi kolumela tebal, dan berwama kuning serta pusat cangkang tertutup.

2. Classis Bivalvia

Bivalvia (Pelecypoda) memiliki ciri-ciri umumnya berhabita di dasar laut atau ditemukan melekat dengan kaki yang disebut “bysus”, memiliki cangkang setangkap dan keras, memiliki ligament, umbo, periostakum, dan garis pertumbuhan yang mengambarkan masa umur spesies tersebut. Pemakan plankton yang tersaring lewat lubang di dalam tubuh (Pratiwi, 2006). Berikut ini adalah salah satu contoh makroinvertebrata kelas Bivalvia:

Gambar 2.5 Corbicula javanica (Megerle Von Mühlfeld, 1811),(Safa’ah et al., 2018)

Corbicula javanica (Megerle Von Mühlfeld, 1811) merupakan spesies kerang air tawar yang berasal dari berbagai negara Asia Tenggara (Yap et al., 2020). Kerang ini memiliki morfologi Isnaningsih & Listiawan (2010): cangkang ukuran kecil, bentuk oval atau agak segitiga. Bagian posterior dan anterior simetris dan masing- rnasing dengan ujung membulat. Garis ligamen antara bagian posterior dan anterior sejajar. Warna cangkang hitam, kuning kehijauan, kuning, hingga kuning kecoklatan. Semakin ke arah ventral warna semakin muda dan mengkilat.

(15)

Gambar 2.6 Contradens contradens (Lea, 1838), (Isnaningsih & Listiawan, 2010)

Contradens contradens (Lea, 1838), memiliki morfologi yang disampaikan oleh (Isnaningsih & Listiawan, 2010) bahwa cangkang berukuran sedang hingga besar dan berbentuk oval. Bagian posterior lebih besar dari bagian anterior. Ujung posterior meruncing di bagian bawah sedangkan ujung anterior membulat. Garis ligamen bagian posterior lebih tinggi dan menaik dibandingkan dengan garis ligamen anterior. Tonjolan umbo terlihat jelas. Wama cangkang hijau kecoklatan di bagian posterior dan coklat tua di bagian ventral. Semakin ke arah umbo wama cangkang semakin memudar.

2.3.3 Phylum Arthropoda

Phylum Arthropoda merupakan yang terbesar di muka bumi dan terpenting karena terdiri dari sekitar 2 juta sampai 50 juta spesies. Hewan yang termasuk dalam phylum ini terdiri dari Crustacea, Arachinida, dan Insecta. Arthrpoda berperan penting dalam ekosistem sebagai predator, penyerbuk, pengurai, pendaur ulang nutrisi dan mempunyai respon cepat terhadap perubahan ekologi sehingga dapat di gunakan sebagai bioindikator yang berpontensi baik (Rana et al., 2019). Berikut ini salah satu contoh dari phylum Arthropoda:

1. Classis Insecta

(16)

Serangga adalah salah satu kelompok hewan yang memiliki tingkat keanekaragaman tinggi. Menurut data yang sudah diidentifikasi, lebih dari 72%

anggota dari hewan termasuk dalam kelompok serangga. Menurut pernyataan Ferianto (2012) sekitar berjumlah 72% tersebut kurang lebih 10% menempati habitat perairan yang terbagi ke dalam 10 ordo diantaranya Ephemeroptera, Odonata, Plecoptera, Trichoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Hemiptera, Diptera, Megaloptera, dan Neuroptera. Mereka hidup sebagai herbivor, karnivor, dan detritivor. Serangga akuatik serta komponen biota akuatik lainnya dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator untuk menilai tingkat cemaran di perairan tawar.

Komunitas larva insekta yang masih dengan kondisi baik biasanya terdapat di sungai-sungai kecil yang masih alami dan komunitas ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman taksa yang tinggi. Adanya penurunan keanekaragaman dari beberapa ordo insecta dapat diketahui dengan melihat kondisi perairan yang menurun. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Diantari et al. (2018) terjadinya penurunan keanekaragaman dan kelimpahan serangga Ephemeroptera, Plecoptera, dan Trichoptera dari hulu, tengah, dan hilir sungai mengindikasikan bahwa telah terjadi penurunan kualitas perairan dari sangat baik hingga buruk sekali. Salah satu contoh dari kelas Insecta adalah ordo Hemiptera familia Gerridae yang biasanya dapat ditemukan di sungai. Berikut ini adalah penjelasannya:

(17)

Gambar 2.7 Gerris lacastris (Linnaeus, 1758),(Sumber : macroinvertebrates.org)

Gerris lacastris (Linnaeus, 1758) atau dikenal dengan anggang-anggang merupakan hewan yang memiliki kemampuan beradaptasi dan toleransi yang tinggi terhadap habitat yang selalu berubah-ubah (Olosutean & Ilie, 2013). Menurut Juliantara & Putri (2017) Anggang-anggang adalah salah satu serangga air yang dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator perairan. Kebanyakan anggang-anggang memiliki ciri morfologi yaitu warna gelap atau hitam dengan ukuran antena yang lebih panjang dari kepala, sungut berbentuk silindris, panjang metafemur melewati ujung abdomen dan ukuran tubuhnya antara 3-18 mm. Selain itu angang-angang termasuk serangga familia Gerridae yang berperan sebagai predator bagi serangga lainnya berukuran lebih kecil terutama serangga udara.

Menurut Kalih et al. (2018) Makroinvertebrata dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator ekosistem akutik karena berperan sebagai konsumen dalam rantai makanan sehingga keberadaannya sangat mempengaruhi keseimbangan di ekosistem akuatik. Penelitian di Korea menggunakan makroinvertebrata sebagai indikator terhadap perubahan suhu ditemukan adaptasi spesies terhadap suhu air yang tinggi atau rendah. Spesies yang dikelompokkan dengan suhu air rendah adalah ordo Ephemeroptera, Diptera, Plecoptera dan Trichoptera: Cincticostella

(18)

levanidovae, Ecdyonurus dracon, Hexatoma, Taenionema, Paragnetina flavotincta, Rhyacophila clemens, Ceraclea dan Agapetus. Spesies yang dikelompokkan dengan suhu air yang tinggi adalah Helodidae sp., Paratya compressa, Macromia daimoji, Tipula, Platycnemis phillopoda, Sympetrum kunckeli, Baetis pseudothermicus dan Gammaridae sp (Li et al., 2013). Menurut Elias et al. (2014) Sungai di Tanzania memanfaatkan makroinvertebrata menjadi bioindikator dengan makroinvertebrata dari taksa yang beragam seperti Ephemeroptera, Odonata, Diptera, dan Chironomids dapat menjadi petunjuk tingkatan pencemaran. Menurut Rahayu et al. (2009) jenis kelompok makroinvetebra air dapat dikelompokkan berdasarkan metode biomonitoring atau pemantauan kualitas air dengan menggunakan indikator biologis. Metode biomonitoring adalah monitoring kualitas air secara biologi yang dilakukan dengan melihat keberadaan kelompok organisme petunjuk (indikator) yang hidup di dalam air (Widiyanto & Sulistayarsi, 2016). Family Biotic indeks (FBI) merupakan cara yang dimanfaatkan untuk metode biomonitoring. FBI dapat diketahui dengan rumus perhitungan dan dengan melihat interpretasi FBI untuk menilai kualitas perairan.

2.4 Kualitas Fisika dan Kimia Air

Dalam mengkaji kondisi perairan, pengukuran keanekaragaman jenis organisme sudah sering digunakan dalam pengukuran kualitas air dari bahan-bahan organik secara langsung dan dianggap lebih baik. Salah biota air yang digunakan adalah makroinvertebrata (Djumanto et al., 2013). Pengukuran kualitas air juga

(19)

tidak dapat hanya diukur dengan bioindikator alami (makroinvertebrata) saja, sebab suatu jumlah komunitas biota ditentukan juga oleh sifat fisika dan kimia perairan.

Sifat fisika dan kimia air sangat penting bagi suatu ekologi di perairan sungai oleh karena itu selain pengamatan terhadap faktor biotik organisme makroinvertebrata perlu juga dilakukan pengamatan parameter fisika dan kimia suatu perairan sungai. Sifat fisika dari perairan yaitu suhu dan kekeruhan sedangkan sifat kimia dari perairan yaitu derajat keasaman (pH), DO , BOD5 (Biochemical Oxygen Demand), DHL (Daya Hantar Listrik), TSS (Total Suspended Solid), dan TDS (Total Dissolve Solid).

Faktor abiotik (parameter fisika dan kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makroinvertebrata diantaranya sebagai berikut:

1. Suhu

Suhu adalah faktor yang sangat penting bagi kehidupan biota air karena suhu dapat mempengaruhi metabolisme, perkembangbiakan komunitas makroinvertebrata, dan berperan dalam pengaturan aktivitas suatu biota. Pengaruh tidak langsung suhu ialah meningkatkan daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Suhu juga termasuk dalam faktor pembatas fungsi aktivitas biologis hewan air seperti pemijahan, kecepatan proses perkembangan embrio, dan kecepatan bergerak (Islami, 2013). Suhu yang layak untuk organisme dapat bertahan hidup berkisar antara 20-30℃ (Sutanton &

Purwasih, 2015).

(20)

2. Kekeruhan

Kekeruhan di dalam air bukan merupakan sifat dari air yang membahayakan tetapi dapat menyebabkan suatu dampak kekhawatiran yaitu mengandung senyawa kimia yang berbahaya bagi makhluk hidup (Pramusinto & Suryono, 2016).

Kekeruhan juga dapat menunjukkan sifat optik air terhadap transmisi cahaya yaitu kekeruhan menjadi pembatas cahaya masuk ke dalam sungai. Semakin keruh air maka semakin tinggi daya hantar listriknya dan banyak pula padatannya (Khusna, 2017).

3. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman atau umumnya disebut pH. Derajat keasaman digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu larutan.

Kadar pH ini dapat menentukan apakah air tersebut dikategorikan baik, buruk, atau sedang. Kadar pH yang lebih rendah dari 7 dianggap asam dan kadar pH yang lebih tinggi dari 7 dianggap basa. Nilai pH normal untuk air permukaan biasanya antara 6.5 s/d 7.5 (Zulius, 2017). pH yang terlalu tinggi akan menghambat absorbsi oksigen di dalam air. Tabel 2.1 menunjukkan pengaruh pH terhadap komunitas biologi sebagai berikut:

(21)

Tabel 2.1 Pengaruh pH Terhadap Komunitas Biologi Perairan

Nilai pH Pengaruh Umum

6,0-6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun 2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas tidak

mengalami perubahan

5,5-6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin sedikit

2. Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas mengalami perubahan yang berarti

5,0-5,5 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton, bentosdan perifiton semakin besar

2. Terjadi penurunan kelimpahan total, biomassa, zooplankton, dan bentos

3. Alga hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses Nitrifikasi terhambat

4,5-5,0 1. Penurunan kelimpahan total, biomassa, bentos dan perifiton semakin besar

2. Penurunan kelimpahan total, biomassa, zooplankton, dan bentos

3. Alga hijau berfilamen semakin banyak 4. Proses Nitrifikasi terhambat

(Sumber: Effendi, 2003)

4. DO (Dissolved Oxygen)

DO merupakan parameter oksigen terlarut di dalam air yang digunakan untuk mengukur kualitas kebersihan air. Semakin besar nilai kandungan DO menunjukan bahwa kualitas air tersebut semakin bagus. Ketersediaan oksigen dalam air sangat menentukan kehidupan dalam perairan tersebut. Oksigen terlarut dalam air didapatkan dari udara dan proses fotosintesis tumbuhan air, serta merupakan faktor penting sebagai pengatur tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak.

Nilai dari DO dipengaruhi oleh temperature dan jumlah garam yang terlarut dalam air, kelarutan maksimum Oksigen adalah suhu 0℃ yaitu 14,16 mg/l. konsentrasi

(22)

akan menurun dengan meningkatnya temperatur air dan nilai terlarut diperairan yang baik tidak lebih dari 8 mg/l (Prahutama, 2013).

5. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

BOD5 merupakan suatu jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (umumnya bakteri) untuk menguraikan atau mendekomposisikan bahan organik dalam kondisi aerobik. Parameter BOD5 banyak digunanakan untuk penentu pencemaran suatu perairan. Beberapa peneliti menyatakan pengertian BOD5 tidak hanya tentang jumlah oksigen, tetapi juga menyatakan jumlah bahan organik mudah terurai (biodegradable organic) yang ada di perairan. Mengukur BOD5 dapat dilakukan dari pengambilan DOi (oksigen terlarut awal) kemudian di inkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (DO5) atau dapat disederhanakan dengan rumus DO5 (DOi-DO5) = BOD5 (Santoso, 2018).

6. Total Dissolve Solid (TSS)

Total suspended solid atau juga disebut dengan padatan tersuspensi total (TSS) merupakan zat padat yang tersuspensi dapat berupa lumpur, tanah liat sampai pasir dan zat lainnya atau partikel-partikel lainnya (Arief, 2012). TSS dapat menjadi penyebab kekeruhan pada air akibat padatan tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap. TSS juga merupakan faktor penting adanya penurunan kualitas perairan sehingga menyebabkan perubahan secara fisika, kimia, dan biologi (Rinawati et al., 2016). Adanya perubahan secara fisika seperti penambahan zat padat baik meliputi bahan organik maupun anorganik ke dalam perairan yang mengakibatkan kekeruhan kemudian akan menghambat penetrasi

(23)

cahaya matahari ke badan air. Baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2001 memberikan informasi mengenai ambang dari TSS di sungai adalah 50 mg/l. Apabila TSS di sungai semakin banyak dapat menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya matahari yang berpengaruh terhadap proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Apabila ketersediaan oksigen menurun dalam waktu lama akan menyebabkan perairan menjadi anaerob, sehingga dapat mengganggu biota perairan seperti ikan karena tersaring oleh insang dan organisme aerob akan mati. Nilai dari TSS dapat menjadi parameter biofisik secara dinamis mencerminkan perubahan yang terjadi di daratan maupun di perairan.

7. Total Dissolve Solid (TDS)

Total Dissolve Solid atau disebut TDS merupakan kandungan berbagai zat terlarut seperti zat organik, anorganik, dan material lain yang memiliki diameter <

10-3 µm yang terdapat dalam sebuah larutan terlarut dalam air (Rinawati et al., 2016). Perubahan dalam konsentrasi TDS dapat menjadi bahaya karena akan menyebabkan perubahan komposisi ion-ion, toksisitas masing-masing ion, dan salinitas. Nilai TDS dipengaruhi oleh limpasan air tanah, Pelapukan batuan, dan pengaruh dari limbah baik domestik maupun industri. Menurut peraturan menkes mengenai syarat dan pengawasan kualitas air menyebutkan bahwa nilai TDS pada perairan memiliki jumlah maksimal 1500 mg/l atau 1500 ppm (Effendi, 2003;

Sudarmadji, 2016).

8. Daya Hantar Listrik (DHL)

(24)

Daya hantar listrik atau disebut konduktivitas listrik merupakan gambaran numerik kemampuan suatu larutan untuk dapat menghantarkan atau meneruskan arus listrik. Nilai daya hantar listrik dikatakan tinggi jika terdapat banyak garam- garam terlarut yang dapat terionisasi (Khairunnas & Gusman, 2018). Diukur dengan menggunakan alat EC meter (Electric Conductance) dengan satuan pengukuran µmhos/cm atau Siemens/cm. Semakin tinggi jumlah padatan terlarut dalam suatu larutan maka kemungkinan jumah ion dalam larutan juga semakin besar, sehingga jumlah konduktivitas listrik jugan akan semakin besar (Irwan &

Afdal, 2016). Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan TDS dengan Konduktivitas listrik adalah linier.

2.5 Keadaan Umum Kali Wendit

Kali Wendit merupakan sungai yang ada di Desa Mangliawan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang yang terdapat di Provinsi Jawa Timur. Kali Wendit terletak pada 7o57’18’ S 112o40’14’E. Panjang Kali Wendit adalah 3 km (Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2020). Aktivitas masyarakat sekitar memanfaatkan Kali Wendit untuk sektor pertanian meliputi budidaya kangkung dan irigasi sawah maupun sektor domestik meliputi mandi, cuci, dan kakus (MCK).

Selain itu, seiring berjalanannya waktu berkembang pula menjadi sektor pariwisata Taman Wisata Air Wendit.

Kali Wendit dulunya merupakan telaga yang luas berair jernih, ditanami aneka bunga dan menjadi habitat aneka satwa seperti ikan, siput air tawar, dan salah satunya ada hewan endemik capung Nososticta insignis, Pseudagrion

(25)

microcephalum,dan Crocothermis servillia, namun sejak tahun 2006-2008 terjadi perubahan dari tithar atau telaga menjadi wisata yang relatif alamiah yang direvitalisasi dan cenderung artifisial. Revitalisasi ini membuat beberapa pohon ditebangi sehingga membuat debit air berkurang dan area telaga menciut.

Diperparah lagi dengan pengambilan air untuk PDAM yang melebihi kapasitas sehingga debit air Kali Wendit semakin mengecil (Sigit et al., 2013).

Pengambilan air oleh PDAM hanya boleh 1 per 3 dari debit air total. Kali Wendit memiliki debit 3000 m3/detik yang artinya hanya boleh diambil 1000 saja, akan tetapi kenyataannya air yang diambil untuk PDAM adalah 1750 m3/detik (melebihi 1000) Wawancara langsung dengan (Tholib, Kepala dusun Lowoksuruh dan Teguh, BPD Kabupaten Malang, 21 Desember 2020). Dilanjutkan berdasarkan observasi lapangan secara langsung oleh peneliti, ditemukan adanya perubahan warna air dari hulu ke tengah hingga ke hilir. Pada daerah hulu warna air masih jernih, sementara pada daerah tengah hingga ke hilir warna air sudah mengalami perubahan menjadi kecokelatan dan keruh.

2.6 Sumber Belajar

Pedidikan pada dasarnya tidak dapat lepas dari proses pembelajaran dan sumber belajar. Proses pembelajaran merupakan proses atau usaha dari pendidik untuk membantu siswanya agar dapat belajar dengan baik sehingga kedepannya siswa akan mendapatkan pengetahuan, pengalaman, dan belajar bersikap didalam lingkungannya. Proses pembelajaran dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun.

Dampak dari proses pembelajaran yang dialami siswa yaitu: (1) siswa belajar

(26)

sesuatu yang mereka tidak akan pelajari tanpa adanya tindakan pembelajaran, dan (2) siswa akan mempelajari sesuatu dengan cara yang lebih efisiensi (Uno, 2010).

Sumber belajar adalah kebutuhan seseorang ketika ingin mempelajari suatu ilmu pengetahuan sehingga informasinya akan di dapat dari sumber belajar tersebut. Sumber belajar memiliki 2 tinjauan yakni sumber belajar dalam arti sempit mencakup buku-buku atau bahan tercetak seperti majalah, buletin, ensiklopedia, dan sebagainya. Sumber belajar dalam arti luas merupakan sarana pembelajaran berupa pesan dan dapat didengar maupun dilihat seperti radio, televisi, dan perangkat keras. Hal ini dimanfaatkan oleh peserta didik sebagai sumber belajar untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan (Abdullah, 2012). Sehingga sumber belajar berperan penting dalam proses pembelajaran sebab tanpa adanya sumber belajar maka proses pembelajaran tidak akan berjalan yang artinya sumber belajar dengan proses pembelajaran tidak bisa terpisah karena sangat membantu dalam aspek perkembangan baik kognitif, sosial, bahasa, motorik, afeksi, dan moral dalam proses pembelajaran (Suhirman, 2018).

Suatu hasil penelitian yang belum dimanfaatkan sebagai sumber belajar sebelumnya harus diseleksi terlebih dahulu agar tepat sasaran dan sesuai tujuan pembelajaran. Sehingga dalam pemanfaatan suatu hasil penelitian untuk sumber belajar harus memperhatikan beberapa syarat-syarat sebagai berikut (Suhardi, 2012:8): (1) kejelasan potensi, (2) kejelasan sasaran, (3) kesesuaian dengan tujuan belajar, (4) kejelasan akan informasi yang dapat diungkap, (5) kejelasan pedoman eksplorasi, dan (6) kejelasan hasil yang diharapkan. Sehingga hasil penelitian ini

(27)

dapat digunakan sebagai sumber belajar, akan tetapi diperlukan untuk melakukan suatu kajian yang mendalam dan sistematik dari suatu penelitian.

2.6.1 Macam-Macam Sumber Belajar

Media pembelajaran merupakan alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, ide pemikiran, merangsang pemikiran, perhatian, perasaan, dan kemauan siswa dalam belajar sehingga proses belajar berjalan dengan baik. Menurut Emda (2011) sumber belajar memiliki beragam jenisnya diantaranya:

1. Media yang dapat dilihat dan di dengar: film dan televisi

2. Media yang dapat dilihat: peta, gambar-gambar, poster, papan tulis, bulletin board, madding, dan sebagainya.

3. Media yang dapat didengar: tape recorder, dan radio.

4. Media berupa 3D yang umum ditunjukkan, seperti: peta elekris, pertunjukan melalui pameran museum, dan model bak pasir.

2.7 Kerangka Konseptual

Mekanisme penelitian secara konseptual dapat digambarkan secara skematis seperti pada Gambar 2.8

(28)

Gambar 2.8 Kerangka Konseptual Aktivitas alih fungsi Kali Wendit sebagai

pemenuh kebutuhan air dan tempat aktivitas masyarakat

Abiotik

Suhu

Kekeruhan

pH

Daya Hantar Listrik

TSS

TDS

BOD5

Keanekragaman Makroinvertebrata

Bioindikator Kualitas air Sungai

Sumber belajar biologi

Kali Wendit

(29)

Gambar

Gambar 2.1 Hirudo medicinalis (Linnaeus, 1758), (Gjertsen, 2007)
Gambar 2.2 Lumbricus terrestris (Linnaeus,1758),  (Mambrasar et al., 2018)
Gambar 2.4 Sulcospira testudinaria (Von Dem Busch, 1842), (Safa’ah et al., 2018)
Gambar 2.5 Corbicula  javanica (Megerle Von Mühlfeld, 1811), (Safa’ah et al., 2018)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Model konsep kewirausahaan strategis yang telah dikembangkan oleh Ireland dkk menyarankan bahwa perusahaan yang secara linier dan berurutan: menggunakan cara berpikir

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a, maka perlu menetapkan Peraturan Bupati Bintan tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian dan

Berdasarkan hasil analisis deskriptif, karakter morfologi yang paling dominan dalam penentuan hubungan kekerabatan jamur ordo Agaricales di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam

Pengujian produk game dakon dilakukan oleh tim pengembang sendiri. Pengujian dilakukan agar perangkat lunak benar-benar berjalan dengan baik.Dari berbagai

Aspek-aspek itu adalah (1) penutur dan lawan tutur yang mencakup usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban dan sebagainya; (2) konteks tuturan,

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid  adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh Salmonella Typhi A, B, dan

Penulis lain seperti Surin Pitsuwan 53 dalam tesisnya melihat kepada sejarah latar belakang konflik, usaha orang Melayu untuk mendapatkan status autonomi, aturan-aturan

Sri Setyani, M.Hum Tulus Yuniasih, S.IP., M.Soc.Sc Dra.. Sri Setyani,