• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi bukti yang penting dan utama dibandingkan alat bukti lain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menjadi bukti yang penting dan utama dibandingkan alat bukti lain."

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masalah mengenai waris merupakan persoalan yang tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terkait dengan bukti sebagai ahli waris. Bukti sebagai ahli waris yang dimaksud dalam hal ini ialah keterangan atau surat waris.

Keberadaan ahli waris sangat penting dalam hal pewarisan, dalam praktik untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris diperlukan suatu dokumen yang berkedudukan sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kedudukan tersebut. Dalam kontek hukum perdata, termasuk hukum waris, bukti surat akan menjadi bukti yang penting dan utama dibandingkan alat bukti lain.

Dokumen yang digunakan untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris adalah surat keterangan waris. Berdasarkan surat keterangan waris inilah nantinya para ahli waris mempunyai alas hak untuk menuntut warisan. Untuk mengetahui alas hak ini maka perlu diketahui perihal subyek dan obyek hukum waris dalam kaitannya menuju surat keterangan waris yang uniform. Subyek hukum waris merupakan hal yang sangat esensial mengingat surat keterangan waris ini sebagai alat bukti bagi pihak-pihak yang mengklaim dirinya sebagai ahli waris, dan pada gilirannya berfungsi sebagai dasar untuk menuntut hak tertentu atas benda atau hak kebendaan sebagai obyek waris.

Sebagaimana telah diketahui, pada saat ini ada 3 (tiga) bentuk dan 3 (tiga) instansi yang dapat membuat bukti sebagai ahli waris yang disesuaikan dengan golongan atau etnis penduduk atau warga negara Indonesia. Penggolongan

(2)

penduduk berdasarkan etnis dan hukum yang berlaku untuk tiap golongan penduduk tersebut merupakan warisan Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia, yang sampai sekarang ini dianggap sebagai aturan yang sakral yang tidak dapat diubah oleh siapapun, bahkan oleh negara. Padahal dalam rangka pembaharuan hukum dan membangun bangsa yang bermartabat aturan seperti itu harus segera kita tanggalkan dan kita tinggalkan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan bangsa kita yang sudah merdeka.

Penggolongan penduduk Indonesia yang terdapat dalam aturan mengenai pembuatan bukti sebagai ahli waris dapat dilihat faktor historis bangsa Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda pada saat itu menjalankan politik devide et impera atau politik pemecah belah. Politik devide et impera ini dilakukan dengan cara membagi penduduk nusantara dalam 3 (tiga) golongan penduduk yaitu : Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (seperti Tionghoa, India, Arab, Pakistan), dan Golongan Pribumi, sebagaimana diatur dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (selanjutnya disebut IS). Adanya pemisahan penduduk dengan golongan-golongan penduduk yang didasarkan pada etnis atau ras dalam Pasal 163 IS ini berakibat pada bedanya sistem hukum yang diberlakukan terhadap setiap golongan tersebut.

Tiga golongan penduduk tersebut tunduk pada hukum perdata yang berbeda-beda sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS dan Pasal 75 RR. Pembedaan pada golongan ini membawa pula perbedaan dalam hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut.

Dasar hukum masih berlakunya ketentuan Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS di Indonesia yang merupakan produk pemerintah Hindia-Belanda adalah Pasal 2

(3)

aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan : “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dokumen yang digunakan untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris bagi golongan Eropa, Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), digunakan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan. Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP).

Golongan Pribumi (Bumiputera), selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat di bawah tangan, bermeterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir pewaris. Golongan Eropa, Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), selama ini pembuktian sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan.

Surat keterangan waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dibuat oleh Notaris tidak dibuat dalam bentuk minuta (salinan), melainkan dalam bentuk in originali (Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris Belanda yang diikuti di Indonesia). Artinya surat keterangan dalam bentuk yang asli dan ditandatangani sendiri oleh Notaris yang bersangkutan. Surat keterangan waris yang dibuat selama ini merupakan terjemahan dari Verklaring Van Erfrecht.

Permasalahannya adalah dikalangan notaris, tidak semua notaris bersedia

(4)

membuat surat keterangan waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Disamping karena tidak adanya aturannya yang jelas yang mengatur tentang surat keterangan waris dan juga karena tidak adanya aturan yang khusus dalam hal perlindungan hukum bagi notaris yang membuat surat keterangan waris keturunan Tionghoa, namun juga karena adanya keragu-raguan dikalangan Notaris, jika ahli waris tidak memberikan keterangan yang sebenarnya atau menyembunyikan ahli waris yang lain, karena sejak surat keterangan waris dibuat dan dikeluarkan oleh notaris, selalu terbuka kemungkinan bagi notaris untuk dimintakan pertanggung jawabannya baik secara moral, etika maupun hukum yang berlaku dengan akibat hukum terberat notaris diberhentikan dari jabatannya secara tidak hormat.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini tidak ada ketentuan secara tegas dan khusus yang mengatur notaris dalam membuat surat keterangan waris. Demikian juga dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut Undang-Undang Jabatan Notaris, disingkat UUJN) tidak ditemukan pengaturan tentang pembuatan surat keterangan waris, demikian juga Peraturan Jabatan Notaris (selanjutnya disebut PJN) tidak ditemukan kewenangan notaris dalam membuat surat keterangan waris. Sampai saat ini, notaris membuat surat keterangan waris berdasarkan kebiasaan yang diikuti dari notaris Belanda.

Menurut ketiga sistem pewarisan yang ada di Indonesia, masing-masing menjelaskan bahwa suatu proses pewarisan terjadi karena adanya kematian dan

(5)

dengan sendirinya karena kematian harta waris pewaris beralih kepada ahli waris.

Dalam hukum waris BW, dapat di lihat pada Pasal 830 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut : “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian.”

Selanjutnya Pasal 833 KUHPerdata menyebutkan : “Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si yang meninggal ...”

Namun demikian, pada tahun 1842 dimuat dalam suatu undang-undang yang bernama Wet op het Notarisambt Pasal 38 ayat (2), ternyata kita temui suatu petunjuk yang menyatakan bahwa seorang notaris diwajibkan membuat akta-akta dalam minuta, dibebaskan dari kewajiban tersebut apabila membuat akta-akta yang disebut terakhir adalah verklaring van erfregt. Pasal ini kemudian dimasukkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke dalam Het Reglement op het Notarisambt in Indonesie (Nederlandsch Indie) (PJN) 1860 dalam Pasal nomor

35. Dalam pemasukannya ternyata pasal tersebut tidak dikutip dengan lengkap, antara lain, kata-kata verklaring van erfregt dalam Pasal 38 NW ini adalah akta dengan pihak-pihak (partij akte).

Mengingat hal yang disebutkan di atas, maka keterangan waris yang pada umumnya dibuat di Indonesia bukanlah verklaring van erfregt yang dimaksudkan oleh Pasal 38 Undang-undang Belanda (1842) itu. Pada tahun 1913 di Belanda dikeluarkan undang-undang yang bernama de Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa para ahli waris seseorang yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam buku-buku besar utang-utang nasional

(6)

harus membuktikan hak mereka dengan suatu keterangan waris setelah kematian pewaris dibuktikan.

Pembuatan keterangan hak waris oleh notaris di Indonesia semula didasarkan pada kebiasaan saja oleh notaris sebelumnya (kebiasaan yang berasal dari Notaris Belanda yang pernah praktek di Indonesia) yang kemudian diikuti oleh Notaris berikutnya sampai saat ini. Terkait dengan hal itu, terdapat pula pengaturan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Namun demikian, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak berlaku secara umum, hanya berlaku secara internal, mengingat Peraturan Menteri Negara tidak termasuk dalam hierarki Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris berlangsung hingga saat telah berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN). UUJN merupakan peraturan perundang-undangan utama yang mengatur mengenai Jabatan Notaris.

UUJN menentukan sejumlah kewenangan Notaris, dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN diatur kewenangan umum Notaris sebagai berikut :

Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

(7)

Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Kewenangan umum Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN ditentukan kewenangan lain dari Notaris sebagai berikut :

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;

f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta risalah lelang.

Pasal 15 ayat (3) UUJN diatur pula kewenangan yang dapat dimiliki Notaris di luar dari UUJN sebagai berikut, ”Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Kewenangan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN memberikan kemungkinan bagi Notaris untuk memiliki kewenangan- kewenangan lain yang akan diatur kemudian dalam produk hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN jika dicermati tidak mengatur secara eksplisit mengenai kewenangan Notaris untuk membuat Surat Keterangan Waris, termasuk pula mengenai sifat dari Surat Keterangan Waris, tidak terdapat penjelasan apakah termasuk sebagai akta otentik ataukah surat di bawah tangan?

(8)

Meskipun demikian, sebagaimana telah disebutkan di atas dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN dimungkinkan bagi Notaris untuk mempunyai kewenangan lain di luar UUJN. Kewenangan tersebut menurut Pasal 15 ayat (3) UUJN harus diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan:

c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa:

1) Wasiat dari pewaris, atau 2) Putusan Pengadilan, atau

3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau

4) - Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli: surat keteranganahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris dari Notaris.

- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya:

surat keterangan dari Balai Harta Peninggalan.

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tersebut di atas merupakan peraturan bagi kewarisan hanya yang menyangkut di bidang pertanahan, namun pada kenyataannya banyak diterapkan secara luas untuk kewarisan bidang lain seperti perbankan maupun asuransi.

Mengacu pada ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa:

(9)

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran dalam ayat (1) di atas dengan ketentuan bahwa rakyat tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA tersebut di atas dapat diketahui bahwa untuk menjamin kepastian hukum maka perlu adanya pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah tersebut meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat bagi para pihak yang bersangkutan, dalam hal pendaftaran tanah diperlukan keterangan waris yang buat oleh pejabat berwenang.

Dalam praktek terdapat tiga jenis keterangan waris, yaitu keterangan waris bawah tangan, akta keterangan waris Notaris, dan keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. Keterangan waris bawah tangan hanya menerangkan bahwa nama-nama yang ada di dalam keterangan waris tersebut merupakan ahli waris yang berhak atas warisan dari pewaris tanpa adanya besaran bagian masing- masing untuk ahli waris. Pembenaran keterangan waris bawah tangan biasanya dilakukan oleh RT, RW, Kelurahan hingga Kecamatan. Sedangkan keterangan waris yang dibuat oleh Notaris maupun Balai Harta Peninggalan memuat jumlah atau besaran bagian dari masing-masing ahli waris.

(10)

Penjelasan dalam Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966 yang menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia dan Kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia bahwa Kantor-kantor Catatan Sipil di Indonesia terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia dan hanya dibedakan antara Warga Negara Indonesia dan Orang Asing. Ketentuan tersebut tidak mengurangi berlakunya ketentuan mengenai perkawinan, pewarisan dan ketentuan-ketentuan Hukum Perdata lainnya.

Pada sisi lain, proses pembuatan bukti sebagai ahli waris yang dibedakan dalam tiga golongan penduduk dalam hal ini tidak sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis). Dalam hal ini Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (International Convention on The Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965/CERD).

Pasal 5 huruf Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa penghapusan diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan dengan memberikan:

a. Perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan didalam hukum kepada semua warga negara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis;

b. Jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa perseorangan, kelompok orang, atau lembaga yang membutuhkan perlindungan dan jaminan kesamaan penggunaan hak sebagai warga Negara; dan

c. Pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya pluralisme dan penghargaan hak asasi manusia melalui penyelenggaraan pendidikan nasional.

Ketentuan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa kedudukan semua warga negara dalam hukum adalah sama dan bebas dari diskriminasi ras maupun

(11)

etnis. Berdasarkan pada ketentuan tersebut maka seharusnya proses pembuatan bukti sebagai ahli waris bagi seluruh warga negara juga berlaku sama tanpa pembedaan berdasarkan ras maupun etnis. Selain ketentuan tersebut, Pasal 9 Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis juga memberikan perlindungan atas perlakuan yang sama bagi setiap warga negara menyebutkan “Setiap warga Negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis”.

Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tersebut di atas kembali menunjukkan dengan jelas bahwa hakhak sipil seluruh warga negara di berbagai bidang adalah sama dan tanpa pembedaan berdasarkan ras maupun etnis. Berdasarkan berbagai ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis telah memberikan ketentuan yang jelas mengenai perlindungan setiap warga negara dari diskriminasi ras dan etnis.

Seharusnya penerapan tersebut dapat pula dilaksanakan dalam pembuatan bukti sebagai ahli waris.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan hingga saat ini pengaturan pembuatan surat keterangan waris belum secara tegas dan khusus diatur baik dalam UUJN maupun dalam KUHPerdata di Indonesia (norma kabur). Beranjak dari norma kabur ini, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Perlindungan Hukum

(12)

Bagi Notaris Pembuat Keterangan Hak Waris Bagi WNI Keturunan Tionghoa”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dikemukakan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah Notaris berwenang mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali?

2. Apa bentuk perlindungan hukum bagi Notaris yang mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali?

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas sebagai pedoman dalam mengadakan penelitian dan juga menunjukan kualitas dari penelitian tersebut. Oleh karena itu dasarnya maka tujuan dari penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus yang dapat dirinci lebih lanjut sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan ilmu di bidang hukum, khususnya di bidang kenotariatan dan hukum tentang Hak Waris.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

(13)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Notaris dalam mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlindungan hukum bagi Notaris yang mengeluarkan Keterangan Hak Waris dalam bentuk in originali.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan bidang hukum kenotariatan pada khususnya serta pengembangan pengetahuan mengenai hukum waris terkait dengan peranan dan perlindungan hukum bagi Notaris dalam melakukan tugasnya sebagai pelayan masyarakat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran dalam bidang hukum khususnya yang berhubungan kenotariatan agar dapat dipakai sebagai acuan bagi Notaris dalam membuat dan mengeluarkan Keterangan Hak Waris khususnya bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa serta perlindungan hukumnya jika terjadi permasalahan seputar Keterangan Hak Waris tersebut.

1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum dan lain-lain, yang akan

(14)

dipakai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Sebagai landasan dimaksud untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang bersifat konsensus yang diperoleh dari rangkaian upaya penelusuran (controleur bear). Berhubungan dengan itu maka harus dihindari teori-teori (ajaran atau doktrin), konsep, asas yang bertentangan satu sama lain. Dengan demikian teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Hal ini ditegaskan oleh Nazir1 bahwa teori dapat meningkatkan arti dari penemuan penelitian karena tanpa teori suatu penelitian hanyalah merupakan keterangan-keterangan yang berpencar. Terkait dengan hal tersebut, Poerwanto2 menjelaskan bahwa suatu kerangka teoritik yang dipakai minimal mengandung tiga hal, yaitu (1) grand concepts yang melandasi seluruh pemikiran teoritik dari suatu penelitian; (2) untuk membangun kerangka teori; dan (3) proposisi penelitian.

Adapun teori yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum, Teori Kewenangan dan Teori Hukum Waris. Selain ketiga teori ini, penelitian ini juga menggunakan konsep Perlindungan Hukum dan konsep Keterangan Hak Waris.

1.5.1.1 Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum dalam penelitian ini digunakan untuk membahas rumusan masalah yang pertama yaitu kewenangan Notaris dalam membuat surat keterangan waris. Hingga saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur kewenangan membuat surat keterangan waris.

1 Mohammad Nazir, 2008, Metode Penelitian, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 24 2Poerwanto, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 4.

(15)

Kepastian hukum mengandung arti kepastian aturan dalam undang-undang yang tidak dapat ditafsirkan secara berlainan. Kepastian hukum juga mengandung aspek konsistensi walaupun suatu peraturan perundang-undangan diimplementasikan dalam waktu dan ruang yang berbeda.3

Menurut Gustav Radbruch seperti yang dikutip oleh Theo Huijbers4 pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan. Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas.

Aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas.

Aspek itu menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Relevansinya dalam penelitian ini bahwa diskriminasi terhadap WNI keturunan dalam upaya membuat surat keterangan waris merupakan pengabaian baik terhadap keadilan maupun kepastian hukum dimana WNI keturunan belum memiliki payung hukum yang pasti untuk mengurus surat keterangan waris.

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo mengartikan, bahwa kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat

3Sudarsono, 2007, Kamus Hukum Edisi Baru, Cetakan Kelima, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hal. 63.

4Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan Keempatbelas, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163.

(16)

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.5 Kepastian hukum menurut Sudiko Mertokusumo ini akan memberikan perlindungan hukum bagi Notaris yang bersedia membuatkan surat keterangan waris bagi WNI keturunan meskipun di kelak kemudian hari menghadapi tuntutan dari hak waris lainnya yang semula tidak diketahui oleh Notaris yang bersangkutan.

Kepastian hukum menurut Van Kan menyatakan bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia.6 Lebih lanjut Van Kan menyatakan7:

Kepastian hukum adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara. Kepastian hukum tersebut dibedakan dalam dua macam yaitu: 1) kepastian oleh karena hukum, yaitu hukum menjamin kepastian antara pihak yang satu terhadap pihak yang lainnya, artinya adanya konsistensi penerapan hukum kepada semua orang tanpa pandang bulu, dan, 2) kepastian dalam atau dari hukum, artinya kepastian hukum tercapai jika hukum itu sebanyak- banyaknya undang-undang, tidak ada ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan sistem logis dan pasti), dibuat berdasarkan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid) dan di dalamnya tidak ada istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan (tertutup).

Berdasarkan kepastian hukum menurut Van Kan ini kepastian hukum mengenai pembuatan surat keterangan waris harus diberikan kepada warga negaranya, tidak pandang bulu apakah warga negara tersebut WNI pribumi asli ataupun WNI keturunan.

Menurut Peter Mahmud Marzuki8 kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu

5Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I) hal. 145.

6E. Utrecht dan Moh. Saleh J. Jindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Iktiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta, hal. 25.

7E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal. 92.

(17)

mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.

Teori kepastian hukum yang digunakan dalam penelitian ini mengacu kepada pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyatakan kepastian hukum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan merupakan keamanan hukum bagi notaris yang membuat keterangan hak waris bagi WNI keturunan.

1.5.1.2 Teori Kewenangan

Teori kewenangan digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu kewenangan dalam pembuatan surat keterangan waris bagi WNI keturunan. Selama ini yang terjadi WNI keturunan selalu diombang-ambingkan siapa sebenarnya yang memiliki kewenangan membuatkan surat keterangan waris. Pihak Lurah/Camat menyatakan tidak berwenang karena bukan pribumi, demikian juga Notaris juga berpendapat tidak berwenang membuatkan surat keterangan waris bagi WNI keturunan karena tidak adanya aturan yang jelas.

8Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 158.

(18)

Definisi dari kata wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak.

Sedangkan definisi dari kata kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum.9 Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :

“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.10

Lurah/Camat dan Notaris baru memiliki wewenang membuat surat keterangan WNI keturunan apabila telah ditetapkan melalui undang-undang memiliki kewenangan untuk itu. Selama ini kewenangan membuat surat keterangan waris WNI keturunan masih kabur, apakah berada ditangan Lurah/Camat, ataukah Notaris.

Apabila kewenangan membuat surat keterangan waris tersebut diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, kewenangan ini disebut sebagai kewenangan atribusi. Indroharto11 mengemukakan bahwa wewenang dapat diperoleh secara atribusi, yaitu pemberian wewenang kepada badan atau jabatan melalui suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan atribusi

9Sudarsono, op.cit, hal. 99.

10Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta hal. 29.

11Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Harapan, Jakarta, (selanjutnya disebut Indroharto I) hal. 90.

(19)

itu sebagai penciptaan kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, lembaga atau jabatan baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.

Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.12 Seperti misalnya kewenangan memberikan surat keterangan waris bagi WNI keturunan kepada Lurah/Camat atau Notaris akan menimbulkan akibat-akibat baik bagi si WNI keturunan ataupun bagi pemberi surat keterangan waris tersebut.

Kewenangan notaris yang dilakukan dalam pembuatan surat keterangan waris merupakan kewenangan yang diperoleh secara atribusi yang secara normatif diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Namun demikian, dalam Undang-Undang Jabatan Notaris ini tidak disebutkan secara spesifik tentang kewenangan Notaris membuat surat keterangan waris bagi WNI keturunan serta akibat hukum yang menyertainya.

1.5.1.3 Teori Hukum Pembuktian

Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian bertujuan untuk menetapkan hukum di antara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hukum. Berkaitan dengan materi

12Ibid, hal. 68

(20)

pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat di tujukan kepada penggugat, tergugat maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi.

Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan hendak memilihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum pembuktian itu mengatur bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara meteril, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut. Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.13

Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama dalam lalu lintas keperdataan. Ada beberapa pendapat mengenai pengertian alat bukti tulisan, antara lain :

1. Menurut A. Pitlo,

“Alat pembuktian dengan bentuk tertulis yang disebut dengan surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti menerjemahkan suatu isi pikiran”14 2. Menurut Sudikno Mertokusumo,

“Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk

13H. Riduan Syahrani, 2004, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 83

14Mr. A. Pitlo, Pembuktian dan Daluwarsa (terj), 1978, PT. Internusa, Jakarta, hal. 51

(21)

menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”15

3. Menurut Teguh Samudera,

“Surat adalah suatu pernyataan buah pikiran atau isi hati yang diwujudkan dengan tanda-tanda bacaan dan dimuat dalam sesuatu benda.”16

4. Menurut H. Riduan Syahrani,

“Alat bukti tulisan ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dapat dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu.”17

Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa alat bukti tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang merupakan buah pikiran atau isi hati dari orang yang membuatnya. Alat pembuktian tertulis dapat dibedakan dalam akta dan tulisan bukan akta, yang kemudian akta masih dibedakan lagi dalam akta otentik dan akta di bawah tangan.

1.5.1.4 Teori Hukum Waris

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana pembagian menurut undang-undang tentang harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia dan yang mengatur dengan baik adanya peristiwa hukum maupun perbuatan hukum dari harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya serta akibat-akibatnya bagi para ahli waris.18

15Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 36

16Ibid, hal. 37

17H. Riduan Syahrani, op.cit, hal. 91

18Effendi Perangin, 2003, Hukum Waris, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 3

(22)

Selanjutnya Hukum waris menurut para sarjana pada umumnya adalah peraturan yang mengatur perpindahan kekayaan seorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain, yang intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seorang terhadap harta kekayaan yang berwujud, maupun tidak berwujud; perpindahan kekayaan si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi ahli waris, baik yang berhubungan antara sesama ahli waris maupun dengan pihak ketiga.

Definisi Hukum Waris menurut Pitlo adalah rangkaian ketentuan- ketentuan di mana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, selain itu diatur juga mengenai : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya sendiri atau Pihak ketiga.

Dari kedua pengertian tersebut di atas menurut penulis, hukum waris merupakan segenap peraturan-peraturan yang berisikan segala sesuatu mengenai hal-hal tentang cara-cara beralihnya hak/kewajiban seseorang yang meninggal dunia, terutama dibidang hukum kekayaan kepada orang lain yang menjadi ahli warisnya. Dan unsur-unsurnya dapat disebut sebagai berikut :

1. Hukum waris berlaku apabila ada seseorang yang meninggal dunia.

2. Hukum waris mengatur tentang segala sesuatu dan akibatnya dari segala harta baik berwujud dan tidak berwujud.

3. Hukum waris tersebut masuk dalam ruang lingkup hukum harta kekayaan

(23)

Hukum waris terbentuk19 berkaitan dengan sejarah hukum dari bangsa Indonesia yang pernah di bawah pendudukan Belanda, sehingga hukum waris kita sekarang berlaku bagi beberapa golongan, yang semuanya berlaku dalam lalu lintas hukum di Indonesia. Pemberlakuan hukum waris ada bersamaan dengan penggolongan penduduk di Indonesia, penggolongan tersebut berdasarkan Pasal 131 Jo. Pasal 163 Indische Straatsregeling (kecuali hukum keluarga berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (Undang-Undang tentang Perkawinan), berdasarkan Pasal 131 IS maka KUHPerdata berlaku bagi :

1. Orang-orang Belanda;

2. Orang-orang Eropa lainnya

3. Orang-Orang jepang dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempumyai asas- asas hukum yang sama

4. Orang-orang yang lahir di Indonesia yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk kelompok 2 dan 3.

Selanjutnya berdasarkan S.1917 nomor 129, seluruh hukum perdata Barat (B.W), dengan sedikit kekecualian berlaku bagi golongan penduduk Tionghoa.

Dalam Pasal 2 KUHPerdata, disebutkan “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bila juga kepentingan si

19Ibid, hal. 6.

(24)

anak menghendakinya. Mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah ada”.20 Dengan demikian, suatu pewarisan baru ada atau timbul apabila :

1. Adanya Pewaris (Yang meninggal);

2. Adanya Ahli waris;

3. Adanya Harta Peninggalan (Warisan)

Menurut Imam Sudiyat dalam bukunya “Peta Hukum Kewarisan di Indonesia, disebutkan hukum waris adat meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan/ ketetapan hukum yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda (materiil) dan harta citra (Non Materiil) dari generasi yang satu ke generasi yang berikutnya berikutnya cq ahli waris”.21 Selanjutnya disebutkan bahwa mengingat Hukum waris Indonesia bersifat Pluralistik, maka saat ini di Indonesia berlaku tiga sistem waris, adat, hukum waris islam, hukum waris barat, kesemuanya dipergunakan.

Menurut Mohd. Idris Ramulyo diuraikan pengertian Hukum Kewarisan sebagai Himpunan aturan-aturan hukum yang mengatur tentang siapa ahli waris yang berhak mewarisi. Bagaimana kedudukan masing-masing ahli waris serta bagaimana / berapa perolehan masing-masing ahli waris secara adil dan sempurna.

Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa hal-hal yang diatur dalam hukum waris adalah suatu hukum dalam lingkup harta kekayaan, yang didalamnya mengatur peralihan harta dari seseorang yang meninggal, ke generasi

20Ibid, hal. 65.

21Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, 2005, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Pewarisan Menurut Undang-undang), Badan Penerbit Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Edisi I, hal. 1.

(25)

berikutnya, semua norma dan prinsip-prinsip pembagiannya secara adil kepada masing-masing ahli warisnya.

1.5.1.5 Konsep Perlindungan Hukum

Konsep perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.22 Sunaryati Hartono berpendapat bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan.23 Oleh sebab itu, perlindungan hukum perlu diberikan kepada Notaris yang bersedia membuat surat keterangan waris bagi WNI keturunan yang merupakan pihak yang lemah kedudukan hukumnya.

Perlindungan hukum yang dimaksudkan untuk melindungi Notaris dari tuntutan hukum di kelak kemudian hari sebagai akibat dibuatnya surat keterangan waris bagi WNI keturunan tersebut.

Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan dalam Undang-Undang Dasar

22Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118.

23Hartono, Sunaryati, 2001, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 29.

(26)

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua orang, bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dalam konteks Ilmu Hukum, konsep perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi.

Dengan demikian Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:24

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

2. Perlindungan Hukum Represif

24Musrihah, 2000, Dasar dan Teori Ilmu Hukum, PT. Grafika Persada, Bandung, hal. 30.

(27)

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Dalam penelitian ini digunakan perlindungan hukum preventif yaitu perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris dari tuntutan yang akan terjadi di kelak kemudian hari sebagai akibat pembuatan surat keterangan waris bagi WNI keturunan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis berpendapat bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat termasuk Notaris yang membuat surat keterangan waris maupun WNI keturunan yang membutuhkan surat keterangan waris. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat.

1.5.1.6 Keterangan Hak Waris

Di Negara Indonesia, bagi orang-orang yang tunduk pada Kitab Undang- Undang Hukum Perdata selanjutnya disingkat KUH Perdata, surat keterangan waris masih banyak diterbitkan oleh notaris. Penulis di sini menggunakan istilah surat keterangan waris, karena bentuk surat waris sendiri ada dua pendapat di kalangan notaris, yaitu berupa surat keterangan ahli waris yang dikeluarkan oleh notaris dalam bentuk aslinya (in originali) dan surat waris yang berupa akta pernyataan ahli waris di hadapan notaris dalam minuta (akta notaris).

(28)

Adapun pengertian dari surat waris menurut pendapat dari penulis sendiri adalah surat keterangan yang dibuat oleh atau dihadapan notaris berdasarkan keterangan-keterangan, bukti-bukti (dokumen) dan saksi-saksi yang ada yang isinya menerangkan tentang siapa saja yang menjadi ahli waris dari pewaris.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia hingga saat ini belum ada suatu aturan khusus mengenai surat keterangan waris. Dengan tidak adanya suatu Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan mengenai surat keterangan waris di Indonesia, maka hal ini menjadi bahan pemikiran bagi para notaris.

Dikarenakan belum ada pengaturan yang tegas dan jelas tentang surat ahli waris, maka dikalangan notaris sendiri ada dua pendapat tentang bentuk dan syarat-syarat pembuatan surat keterangan waris oleh notaris, yaitu:

1. Pendapat Pertama:

a. Ahli waris datang kepada notaris untuk minta dibuatkan surat keterangan waris dari notaris atas meninggalnya pewaris;

b. Notaris meminta kepada ahli waris untuk membuat surat pernyataan kesaksian ahli waris yang isinya menceritakan keberadaan pewaris semasa hidupnya. Umumnya yang membuat dan menandatangani surat pernyataan adalah minimal dua orang saksi yang usianya lebih kurang sama dengan pewaris dan dalam surat pernyataan kesaksian tersebut ahli waris bisa turut mengetahui dan menanda-tangani surat pernyataan tersebut. Surat pernyataan kesaksian ahli waris umumnya ada dua bentuk, yaitu pernyataan yang dibuat oleh saksi-saksi sendiri (di bawah

(29)

tangan dan dilegalisir oleh Notaris) dan akta pernyataan oleh saksi- saksi dihadapan notaris (akta notaris);

c. Kemudian notaris menanyakan pada Pusat Daftar Wasiat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang pada intinya menanyakan tentang ada atau tidak pewaris membuat surat wasiat;

d. Atas dasar hal-hal tersebut, kemudian notaris membuat surat keterangan ahli waris atau surat keterangan hak mewaris.

Sifat dari surat keterangan waris tersebut dalam hal ini adalah surat keterangan dari notaris yang dikeluarkan oleh notaris dalam bentuk aslinya (in originali).

2. Pendapat Kedua:

Ahli waris datang menghadap kepada notaris membuat pernyataan tentang ahli waris yang disertai dua orang saksi lalu notaris menuangkannya dalam akta pernyataan yang sebelumnya terlebih dahulu notaris menanyakan pada Pusat Daftar Wasiat Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang ada atau tidak pewaris membuat surat wasiat. Adapun sifat dari surat waris ini adalah akta pernyataan ahli waris, yang dibuat dalam bentuk minuta akta dan dikeluarkan oleh notaris dalam bentuk salinan akta pernyataan ahli waris (akta pihak/partij acte).

1.5.2 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teoritis, maka dapat digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut :

(30)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran 1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Jenis Penelitian

Berangkat belum jelasnya pengaturan mengenai pembuatan keterangan waris bagi WNI keturunan oleh notaris, maka dalam penelitian ini peneliti mempergunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang- undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu yang dalam hal ini adalah permasalahan tentang perlindungan hukum bagi notaris pembuat keterangan hak waris bagi WNI keturunan Tionghoa.

Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.25 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

25Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295.

KUH Perdata

Permen Agraria No. 3 Tahun 1997

Notaris

Kewenangan

WNI Keturunan

Ketidakpastian Hukum Waris

Akta Notaris

Perlindungan Hukum Bagi Notaris Pembuat Keterangan Hak Waris Bagi

WNI Keturunan Tionghoa

(31)

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.26

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu :27

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).

2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).

3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).

4. Pendekatan Historis (historical approach).

5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).

6. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai.

Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach) dan pendekatan historis (historical approach) yaitu pendekatan dimana dalam penelitian hukum normatif dilakukan penafsiran menurut sejarah hukum maupun menurut sejarah peraturan perundang-undangan, mengingat permasalahan yang

26Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.

27Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 300-301.

(32)

diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai perlindungan hukum bagi notaris pembuat keterangan hak waris bagi WNI keturunan Tionghoa.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian hukum normatif merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun data sekunder terdiri dari :28

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari :

a. UUD Negara Republik Indonesia 1945 b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan.

e. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

f. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

g. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan h. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis (UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis).

28Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.

(33)

i. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 20014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

k. Surat Direktorat Pendaftaran Tanah Ditjen Agraria Nomor Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal-jurnal asing, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, serta simposium yang dilakukan para pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.29

3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum,30 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.31

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan mengenai jenis, sifat dan kategori bahan hukum serta perlakuan terhadap bahan

29Johny Ibrahim, op.cit, hal. 392.

30Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 14-15.

31Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.

(34)

hukum yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan bahan hukum dan penganalisaan terhadap bahan hukum dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui metode seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif.

Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya.

Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis dan argumentatif.

(35)

Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.

Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat.

Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.32

32Universitas Udayana, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Hukum, hal. 14.

(36)

36

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran  1.6  Metode Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Peserta tes diwajibkan hadir 60 Menit sebelum ujian untuk melakukan registrasi.

Segala puji hanyalah milik Allah SWT semata yang telah memperkenankan penulis menyelesaikan penelitian dan menuangkan hasilnya dalam bentuk tesis yang berjudul “ Model Investasi

ekstraksi kobal, tembaga dan mangan dengan pengompleks DDC dalam kloroform dengan penopengan EDTA ditunjukkan pada gambar 9.. Hal ini dapat dikatakan bahwa hasil

(2) Kop naskah dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2), digunakan untuk naskah dinas yang ditandatangani oleh kepala OPD Kota Depok, lembaga lainnya

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis rayap yang menyerang rumah-rumah adat Minangkabau ada tiga jenis yang tergolong ke dalam

Sediaan krim ekstrak ikan kutuk memberikan efek yang sama dengan efek yang diberikan oleh Bioplacenton, hal ini ditunjukkan dengan pada hari ke-7, rerata jumlah makrofag

The study of implementing VOA Learning English was carried out in an English listening class of 30 undergraduate students of the English language teaching major whose

Jika acara Baralek Kawin memakai adat, maka pakaian pengantin laki-laki dan perempuan adalah pakaian adat yang sudah disepakati oleh ninik mamak dan sesuai dengan norma