TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:
Dipresentasikan pada : Hari/tanggal : Jam :
INFEKSI SIFILIS PADA KEHAMILAN
Oleh :
Gst. A. Vina Mery Giovani Pembimbing :
Dr. dr. AAGP Wiraguna, SP.KK (K), FINSDV, FAADV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILM U KESEHATAN KUL IT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP
SANGLAH DENPASAR
2016
2 BAB I
PENDAHULUAN
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum. 1,2 Sifilis juga disebut sebagai “the great imitator” dimana infeksi ini dapat menyerang semua organ tubuh serta memberikan gambaran klinis yang menyerupai banyak penyakit. Sifilis dapat ditularkan melalui hubungan seksual, transfusi darah serta ditularkan dari ibu ke janin.
Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum tersebut dapat ditransmisikan dari ibu ke fetus melalui pembuluh darah kapiler plasenta. Akibatnya, muncul berbagai manifestasi klinis yang berupa Adverse Pregnancy Outcomes (APOs), terdiri dari stillbirth, kematian dini pada fetus, bayi berat lahir rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau penyakit pada bayi baru lahir (bayi dengan serologi reaktif).3,4
Paradigma lampau menyatakan bahwa transmisi sifilis dari ibu ke anak akan bermanifestasi sebagai sifilis kongenital yang tidak dapat dihindari. Namun seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, berbagai tes skrining dan pengobatan sifilis dilaporkan semakin efektif untuk mencegah transimisi penyakit.5 Diagnosis dan pencegahan transmisi sifilis dilaporkan layak, murah dan hemat biaya. Walaupun demikian, sifilis kehamilan tetap dilaporkan sebagai masalah kesehatan publik.6
Secara global, setidaknya hampir 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis aktif pada tahun 2008 dan berisiko menularkan penyakit tersebut kepada janin yang dikandungnya. Angka tersebut ditemukan lebih rendah jika dibandingkan dengan laporan WHO pada periode sebelumnya (tahun 1997-2003), dimana diperkirakan pada periode tersebut ada sekitar 2 juta ibu hamil yang terinfeksi sifilis dan tidak terobati per tahunnya. Walaupun demikian, WHO tetap menyatakan bahwa sifilis merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting pada masa kehamilan. Sedangkan enurut Survei Terpadu Biologi dan Perilaku (STBP) tahun 2011, prevalensi sifilis masih cukup tinggi di Indonesia.
Pada populasi waria, prevalensi sifilis sebesar 25%, wanita penjaja seks komersial
3 10%, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki 9%, dan pengguna narkoba suntik 3%.4 Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah pada tahun 2014, tercatat 20 kasus baru, 3 orang sifilis primer, 11 orang sifilis sekunder dan 6 orang sifilis laten dini.3,6,31
Berdasarkan analisis data surveilans antenatal multinasional oleh Newman et al., pada tahun 2013, diperkirakan lebih dari 520.000 kehamilan dengan hasil yang buruk akibat sifilis pada tahun 2008. Dari jumlah tersebut, diketahui bahwa 215.000 mengalami stillbirth dan kematian fetus secara dini, 90.000 mengalami kematian neonatal, 65.000 mengalami kelahiran prematur atau berat bayi lahir rendah, dan 150.000 merupakan bayi baru lahir yang terinfeksi sifilis. Estimasi data tersebut belum mencakup jumlah kematian tambahan yang mungkin terjadi setelah bulan pertama kehidupan khususnya untuk bayi dengan prematur, berat lahir rendah dan infeksi kongenital.3
Suatu review sistemik oleh Hawkes et al., pada tahun 2011 tentang intervensi yang diberikan terkait skrining sifilis pada ibu hamil menyimpulkan bahwa paket intervensi (layak dan hemat biaya) yang tercakup dalam Antenatal Care (ANC) dapat menurunkan stillbirth dan kematian fetus secara dini yang disebabkan oleh sifilis sebesar 50%.5 Antenatal Care sejak dini merupakan intervensi penting dalam pencegahan transmisi sifilis dari ibu ke anak. Intervensi ini sejalan dengan pilar kedua strategi global WHO terkait eliminasi transmisi sifilis, yaitu peningkatkan akses dini perawatan maternal dan neonatal. Pilar tersebut secara eksplisit merujuk pada tujuan, yaitu peningkatan presentase ibu hamil yang melakukan ANC dini.4
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai dampak infeksi sifilis pada kehamilan. Tinjauan pustaka ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai APOs serta komplikasi yang dapat terjadi akibat infeksi tersebut, sehingga mampu meningkatkan kesadaran klinisi untuk melakukan skrining, menegakkan diagnosis dan memberikan penanganan sedini mungkin.
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifilis
2.1.1 Definisi Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh. Terdapat masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.
2.1.2 Mikrobiologi Treponema pallidum
Treponema merupakan anggota dari famili Spirochaetaceae dalam orde Spirochaetales. Walaupun Treponema pallidummerupakan agen infeksi penting, hanya sedikit dipahami mengenai mekanisme aksi atau virulensinya.19,20
Treponema pallidum adalah organisme yang berbentuk spiral dan sangat motil dengan ujung yang meruncing dan memiliki 6 sampai 14 spiral. Dari bentuknya yang silinder, panjang bakteri mencapai sekitar 6 sampai 15 mm dan lebar mencapai 0,25 mm. T. pallidum adalah organisme yang memiliki metabolisme yang lambat. 7,8 Bakteri T. pallidum memiliki beberapa karakteristik, seperti:20,21,22
a. Membran luar T. pallidum sebagian besar adalah lipid dan mengandung sedikit protein. Hal ini menimbulkan tatangan dalam mengembangkan tes diagnostik yang akurat dan vaksin yang efektif. Kondisi tersebut semakin dipersulit karena T. pallidum hanya dapat dibudidayakan melalui inokulasi ke dalam testis kelinci.
b. Urutan genom T. pallidum menunjukkan organisme tersebut memiliki keterbatasan dalam biosintesis dan katabolik. T. pallidum dapat meggunakan katbohidrat, namun tidak mampu untuk mensinstesis asam lemak. Selain itu, T. pallidum juga memiliki beberapa set enzim yang digunakan untuk membentuk set molekul.
5 c. Bakteri T. pallidum merupakan bakteri gram negatif yang memiliki membran luar dengan membran dalam yang hanya berisi beberapa membran protein integral. Karateristik ini membantu dalam memberikan pemahaman mengenai bagaimana organisme dapat menimbulkan proses inflamasi dan respon imunologis. T. pallidum memiliki keterbatasan dalam jumlah protein permukaan sehingga permukaan sel bakteri T. pallidum hanya dapat dipresentasikan pada beberapa target untuk respon imun host. Dengan demikian bakteri T. pallidum dapat menghindari kliren imunologis.
d. Organisme T. pallidum bereplikasi secara lambat, waktu untuk membelah diri dikalkulasikan mencapai 30-33 jam pada tahap awal penyakit. Atas dasar tersebut, maka untuk mencapai pengobatan sifilis dini yang efektif sangat diperlukan pemeliharaan konsentrasi serum minimal selama 7-10 hari tanpa interupsi. Selain itu, keterbatasan biosintesis T. pallidum juga tercermin dari tidak adanya fakta mengenai strain T. pallidum yang resisten terhadap penisilin.
Gambar 2.1. Treponema pallidum
Sebagian besar kasus sifilis dapat ditularkan melalui kontak seksual (vaginal, anogenital, dan orogenital), tetapi juga dapat menyebar secara kongenital (pada kehamilan melalui transplasenta atau selama persalinan melalui jalan lahir).
Penularan melalui produk darah juga telah dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.
Bakteri dapat masuk melalui mikrotrauma dari kulit atau mukosa. Bakteri bereplikasi, kemudian menuju ke kalenjar limfe, masuk ke pembuluh darah dan
6 menyebar secara sistemik dalam waktu 24 jam. Infeksi akan menunjukkan manifestasi klinis dalam rentang waktu 10 – 30 hari setelah T. pallidum masuk dan menimbulkan lesi primer.9
2.1.3 Gejala Klinis
Manifestasi awal penyakit sifilis dapat berupa makula kecil, yang kemudian menjadi papul dan mengalami ulserasi. Ulkus biasanya tunggal, tidak nyeri, dasar bersih dan relatif tidak memiiki pembuluh darah, meskipun kaang dapat multipel.
Dapat terjadi limfadenopati inguinal bilateral. Pada pria, lesi umumnya ditemukan di sulkus koronal pada glan penis atau batang penis, sedangkan pada wanita lesi ditemukan pada vulva, dinding vagina, atau pada servik. Lesi ekstragenital jarang terjadi. Apabila tidak diobati, ulkus akan menghilang secara spontan dalam waktu 3-8 minggu tanpa meninggalkan bekas luka.10
Pada pasien yang tidak mendapat pengobatan, onset tahap sekunder penyakit dapat terjadi pada 6 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi awal. Lesi primer mungkin masih tetap ada ketika lesi sekunder secara klinis terjadi. Bentuk utama dari sifilis sekunder adalah ruam kulit dapat berbentuk makula, papular atau papulo-skuamosa yang terlihat pada telapak tangan dan telapak kaki, namun dapat tersebar pada seluruh tubuh. Ruam bisa disertai dengan limfadenopati generalisata dan demam, sakit kepala, serta malaise. Pada sifilis sekunder juga dapat ditemukan kondilomata lata. Gejala tersebut dapat mengalami remisi spontan dan menghilang dalam 2 – 6 miggu.10
Apabila sifilis sekunder tetap tidak terdiagnosis dan tidak mendapat pengobatan, seluruh manifestasi yang terlihat dari penyakit sembuh secara spontan dan pasien akan masuk ke periode laten yang dapat berlangsung selama beberapa tahun. Sifilis laten dibagi menjadi infeksi laten awal dan laten akhir, dengan garis pembagi yaitu 1 tahun setelah terjadinya infeksi. Selama tahap laten dari penyakit, tidak ada lesi kulit atau selaput lendir untuk sampel. Oleh karena itu, diagnosis harus berdasarkan hasil pengujian serologis dan tidak adanya tanda-tanda dan gejala sifilis tersier.10
7 Sifilis tersier secara umum dipertimbangkan sebagai tahap destruktif dari penyakit. Gejala dapat muncul beberapa tahun setelah infeksi awal, meskipun proses penyakit dapat berlanjut lebih cepat pada pasien yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Manifestasi sifilis tersier dapat berupa lesi noduloulseratif destruktif yang disebut gumma, osteomielitis, osteitis, kekakuan dan nyeri gerak dengan disertai berbagai tanda akan terjadinya meningitis, kejang, penurunan kesadaran, berbagai penyakit kardiovaskuler dan neurosiphilis.10
Gambar 2.2 Perjalanan penyakit sifilis yang tidak diobati10
2.1.4 Diagnosis Sifilis
Diagnosis sifilis didasarkan pada evaluasi klinis, deteksi organisme penyebab, dan konfirmasi dari penyakit dengan pemeriksaan laboratorium. Treponema pallidum tidak dapat dilakukan kultur di laboratorium, tetapi dapat diidentifikasi pada lesi menggunakan pemeriksaan lapangan gelap atau mikroskop fluoresensi atau dengan teknik molekuler. Pada individu yang asimtomatis, dapat dilakukan tes serologi untuk skrining terhadap infeksi. Serologi masih merupakan metode yang paling reliabel untuk diagnosis laboratorium sifilis.
Uji serologis dibagi menjadi tes nontreponemal dan treponemal. Diagnosis serologi konvensional menggunakan pendekatan dua langkah, yaitu skrining pertama dengan metode nontreponemal, dan kemudian menggunakan tes konfirmasi yang menggunakan metode antigen treponema untuk mengkonfirmasi
8 hasil tes skrining positif. Uji nontreponemal juga dapat digunakan untuk memonitor respon pengobatan.7
Pemeriksaan histologis dapat dilakukan pada individu dengan lesi yang tidak khas, dimana pemeriksaan ini ditandai dengan ditemukannya infiltrat perivaskuler yang terdiri dari limfosit dan plasma sel. Selain itu dapat ditemukan endarteritis obliterans dan endoplebitis, proliferasi endothelial serta penebalan dinding pembuluh darah yang dikelilingi sel infiltrat. Selanjutnya dapat terjadi obliterasi dan trombosis pembuluh darah yang menyebabkan nekrosis. Pada sifilis sekunder dapat ditemukan spirochaetes pada sayatan yang diberi pewarnaan Levaditi. Sedangkan pada sifilis tersier yang berbentuk gumma dapat dijumpai vaskulitis granulomatosa.9
2.1.5 Terapi sifilis
Pengobatan sifilis menggunakan penisilin G yang diberikan secara parenteral.
Penisilin merupakan pilihan obat untuk tatalaksana sifilis pada semua stadium.
Preparat yang digunakan seperti benzathine, aqueous procaine, atau aqueous crystalline. Dosis dan lama pengobatan disesuaikan dengan stadium dan manifestasi klinis yang muncul dari penyakit. Pengobatan untuk sifilis laten lanjut dan sifilis tersier memerlukan waktu yang lebih lama, karena organisme penyebab mungkin membelah secara lambat. Pengobatan yang lebih lama juga dibutuhkan pada individu dengan sifilis laten yang tidak diketahui secara pasti durasi individu tersebut terinfeksi sifilis. Pemilihan preparat penisilin yang tepat memegang peranan penting, karena T. pallidum dapat berada pada area yang sulit diakses oleh beberapa jenis penisilin, misalnya area sistem saraf pusat dan cairan humour akueus. Kombinasi penisilin benzathine, procaine dan preparat penisilin oral dianggap tidak tepat digunakan sebagai pengobatan sifilis.11
Pemantauan pengobatan sifilis dilakukan dengan evaluasi klinis dan serologis pada 6 dan 12 bulan setelah pengobatan. Respon serologi (titer) harus dibandingkan dengan titer saat pengobatan berlangsung. Individu yang memiliki tanda dan gejala menetap atau kambuh dan mereka yang setidaknya mengalami empat kali lipat peningkatan titer tes nontreponemal secara persisten selama lebih
9 dari 2 minggu, dapat dikategorikan mengalami kegagalan pengobatan atau re- infeksi. Individu-individu tersebut harus diobati ulang dan re-evaluasi terkait infeksi HIV.11
2.2 Perubahaan pada Kehamilan
Kehamilan berhubungan dengan adanya perubahan pada anatomi, fisiologis, biokimia, dan endokrin yang mempengaruhi beberapa organ dan sistem organ.
Perubahan ini sangat penting untuk membantu ibu dalam beradaptasi dengan keadaan hamil serta untuk membantu pertumbuhan dan kelangsungan hidup janin.12
2.2.1 Perubahan pada Hematologi dan Sistem Kardiovaskuler
Selama proses kehamilan, terjadi berbagai perubahan fisiologis pada hematologi dan sistem kardiovaskuler ibu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme ibu dan janin. Perubahan fisiologis ini berperan dalam memfasilitasi peningkatan suplai darah yang teroksigenisasi ke jaringan perifer dan janin yang dikandungnya. Berbagai perubahan tersebut mencakup volume sirkulasi darah (mempengaruhi beban awal), ketahanan dan resistensi pembuluh darah perifer (mempengaruhi beban akhir), fungsi dan kontraktilitas miokard, denyut jantung, dan terkadang irama jantung serta sistem neurohormonal.13
2.2.1.1 Volume Darah
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma, sel darah merah, dan total volume darah. Volume plasma meningkat sebanyak 15% selama trimester pertama. Pada trimester kedua kehamilan, terjadi akselerasi volume plasma dan puncaknya terjadi pada sekitar usia kehamilan 32 minggu yang mencapai hingga 50% lebih tinggi dari volume plasma ibu yang tidak hamil, dan tetap tinggi sampai kehamilam matur.12,13 Volume plasma akan kembali ke tingkat seperti dalam kondisi tidak hamil setelah 6 hari pasca persalinan. Seringkali terdapat kenaikan volume plasma yang mencapai 1 liter volume plasma dalam sirkulasi maternal, 24 jam setelah melahirkan.12
10 Gambar 2.3 Perubahan Volume Plasma Selama Kehamilan13
2.2.1.2 Volume Sel Darah Merah
Volume sel darah merah akan menurun selama 8 minggu pertama kehamilan, peningkatan kembali seperti saat tidak hamil terjadi pada usia kehamilan 16 minggu dan kemudian meningkat hingga 30 % lebih tinggi dari saat tidak hamil ketika kehamilan matur. Peningkatan sel darah merah yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan plasma menyebabkan terjadinya hemodilusi dan anemia fisiologis kehamilan.12,13
2.2.1.3 Koagulasi dan Fibrinolisis dalam Kehamilan
Faktor VII, VIII, IX, XIII bersama dengan fibrinogen dan fibrin ditemukan meningkat selama kehamilan. Fibrinogen meningkat dari 2,5 g/l menjadi 4 g/l.
Sementara itu, faktor XI dan III mengalami penurunan. Kondisi perubahan secara keseluruhan menyebabkan peningkatan koagulabilitis dan membuat kehamilan menjadi kondisi ‘hiperkoagulasi’. 12,13
2.2.1.4 Platelet
Trombositopenia merupakan kondisi yang relatif sering terjadi dalam kehamilan.
Jumlah platelet <150 g/l telah dilaporkan terjadi pada 6% sampai 15% pada ibu hamil and 1% dari ibu hamil memiliki platelet <100 g/l. Pada sebagian besar kasus, penurunan platelet terjadi semala trimester ketiga.14
11 2.2.1.5 Jantung
Murmur pada ejeksi sistolik merupakan kondisi yang normal pada ibu hamil. Hal ini disebabkan karena adanya turbulensi sekunder terhadap peningkatan aliran darah melalui katup jantung yang normal. Murmur diastolik dapat terdengar sesekali. Curah jantung dapat meningkat akibat dari peningkatan denyut jantung, penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan peningkatan stroke volume.
Denyut jantung meningkat 15% lebih tinggi dari kondisi tidak hamil pada akhir trimester pertama. Denyut jantung dapat meningkat sampai 25% pada akhir trimester kedua, namun tidak ada perubahan lebih lanjut pada trimester ketiga.
Stroke volume meningkat sekitar 20% pada usia 8 minggu kehamilan dan meningkat hingga 30% pada akhir trimester kedua, dan kemudian menetap hingga kehamilan matur.12
Pada kehamilan normal, terdapat peningkatan pada volume diastolik akhir pada ventrikel kiri yang terjadi pada usia kehamilan 10 minggu dan puncaknya terjadi selama trimester ketiga. Selain itu, dimensi atrium kiri dan kanan serta diastolik ventrikel kanan juga mengalami peningkatan. Beban awal dipengaruhi oleh posisi maternal, posisi supine menyebabkan kompresi pada vena cava inferior dan menyebabkan obstruksi dari aliran balik vena serta penurunan curah jantung.13
2.2.2 Perubahan pada Sistem Respirasi
Pada awal trimester pertama kehamilan, terjadi pembengkakan kapiler pada mukosa hidung, faring, dan laring yang menyebabkan ibu menjadi kesulitan bernapas menggunakan hidung dan dapat mengalami epistaksis serta perubahan suara. Selama hamil, ventilasi permenit mengalami peningkatan sekitar 40% yaitu dari 7,5 l/menit smpai 10,5 l/menit dan konsumsi oksigen meningkat hingga 18%
yaitu dari 250 sampai 300 ml/menit. Volume tidal meningkat secara bertahap mulai dari trimester pertama hingga keamilan matur.12
Pada ibu hamil, diafragma akan naik 4 cm yang menyebabkan tekanan negatif intratorakal menjadi sedikit, penurunan kapasitas residu fungsional, penurunan volume cadangan ekspirasi, penurunan volume residu.15
12 Gambar 2.3 Perubahan Kapasitas Paru Pada Ibu Hamil15
Pada ibu hamil PaCO2 mengalami penurunan pada akhir trimester pertama, kondisi ini menimbulkan terjadinya alkalosis respiratorik. Alkalosis respiratorik menyebabkan terjadinya kompensasi metabolic sehingga terjadi penurunan serum bikarbonat dan kelebihan basa.12
2.2.3 Perubahan pada Sistem Renal
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan ukuran ginjal sepanjang 1 cm, dilatasi kaliks renal, pelvis, dan ureter, serta penurunan peritalsis. Pada akhir trimester pertama, Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) meningkat hingga 50 %, kondisi ini terjadi setidaknya hingga usia kehamilan 36 minggu. Kreatinin klirens 24 jam meningkat hingga 25% setelah 4 minggu periode menstrual akhir dan meningkat hingga 45% setelah 9 minggu.12,16 Pada ibu hamil, reabsorpsi tubular terhadap sodium meningkat. Glukosa dan asam amino mungkin tidak di absorpsi secara efisien, sehingga dapat terjadi glukosuria (hingga 300mg/hari) dan aminoaciduria pada kehamilan normal.16
2.2.4 Perubahan pada Sistem Gastrointestinal
Pembesaran uterus menyebabkan pergeseran dan gangguan pada sfingter esofagus bagian bawah, dan progesteron menyebabkan terjadinya relaksasi esofagus. Hal ini kemudian mengakibatkan peningkatan kejadian refluks hingga 80% sampai kehamilan matur. Peningkatan tekanan pada gaster akibat kompresi mekanik juga memberikan kontribusi terhadap kejadian nyeri ulu hati dan refluks.15,16 Tekanan
13 pada sfingter esofagus bagian bawah akan kembali normal saat 48 jam setelah kelahiran.12
2.2.5 Perubahan pada Sistem Endokrin
Kehamilan berhubungan dengan kondisi resistensi insulin. Hal ini serupa dengan diabetes tipe 2. Pada awal kehamilan, peningkatan estrogen dan progesteron memicu terjadinya hipertrofi pada sel pankreas dan peningkatan ekstresi insulin dapat mengganggu metabolisme karbohidrat maternal. Sekresi hormon lain pada ibu hamil seperti human placental lactogen, prolaktin, kortisol, estrogen dan progesteron dapat menginduksi resistensi insulin.12
Selain itu, selama kehamilan juga terjadi peningkatan sintesis dari Thyroxin Binding Globulin (TBG) oleh hati. TBG ini dapat memicu peningkatkan konsentrasi total serum T3 dan T4. Meskipun demikian tidak terjadi perubahan dalam jumlah hormon tiroid bebas. Defisiensi yodium dapat terjadi sebagai hasil dari proses ekskresi yang berlebihan akibat peningkatan GFR dan penurunan absorpsi tubular. Transport aktif dari yodium menuju fetoplasental unit serta aktivitas fetal tiroid juga menurunkan yodium maternal.12
Pembesaran yang signifikan pada kelenjar pituitari juga dapat terjadi selama kehamilan. Pertumbuhan ini terjadi akibat peningkatan jumlah dari prolactin-secreting cells dengan proporsi lactotroph meningkat dari 1% hingga 40%. Kondisi ini akan meningkatkan prolaktin hingga 10 sampai 20 kali dari kondisi tidak hamil. Hormon gonadotropin ditekan oleh tingginya konsentrasi estrogen dan progesterone. Konsentrasi plasma Corticosteroid Binding Globulin (CBG) juga meningkat selama kehamilan.12
2.2.6 Perubahan pada Sistem Integumen
Selama kehamilan kulit mengalami sejumlah perubahan akibat terjadinya perubahan hormonal. Hiperpigmentasi terjadi pada lebih dari 90% perempuan selama kehamilan. Hal ini dimulai pada trimester pertama kehamilan.
Hiperpigmentasi dapat terjadi pada puting, areola, perineum, dan vulva.
Hiperpigmentasi terjadi akibat peningkatan hormone estrogen dan progesterone
14 yang memiliki stimulasi melanogenik. Kehamilan juga dapat menimbulkan beberapa kondisi pada kulit seperti linea nigra, melisma, spider nevi, striae gravidarum, dan eritema palmar.12,17,18
2.2.7 Perubahan Imunitas
Pada kehamilan terjadi perubahan sistem imunitas maternal untuk mentoleransi pertumbuhan fetus. Perubahan tersebut meliputi respon imun pada desidua dan perubahan respon imun perifer. Selain itu, secara keseluruhan terjadi perubahan innate immunity, dimana terdapat peningkatan monosit, granulosit serta penurunan jumlah sel natural killer dan interferon gamma. Perubahan sistem imunitas tersebut penting untuk menjaga perkembangan fetus dan esensial untuk mempertahankan kehamilan secara normal. Sedangkan disisi lain, perubahan tersebut mengakibatkan wanita hamil lebih sensitif terhadap paparan infeksi.30
2.3 Infeksi Sifilis pada Kehamilan
2.3.1 Patogenesis Sifilis pada Kehamilan
Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana pada sifilis kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental dari Treponema pallidum. Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder.
Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak diobati tampaknya dapat pulih, namun dapat mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua tahun. Oleh karena itu, seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan kedua dari periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati.19
Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali kontak seksual diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara sistemik, treponema menyebar melalui aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil yang terinfeksi treponema dapat mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah onset infeksi. Transmisi pada fetus intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan. Ibu hamil
15 terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi pada fetus.19
Gambar 2.4. Transmisi sifilis dari ibu ke fetus
2.3.2 Manifestasi Klinis Infeksi Sifilis pada Kehamilan
Sifilis pada kehamilan memberikan manifestasi yang sama dengan infeksi sifilis secara umum, hanya saja mayoritas wanita hamil yang didiagnosis dengan sifilis masih berada dalam tahap asimptomatis. Adapun gejalanya dapat dibedakan berdasarkan tingkat sifilis, yaitu:19
2.3.2.1 Primer
Lesi awal sifilis adalah papul yang muncul di area kelamin pada 10-90 hari (rata- rata 3 minggu) setelah terpapar. Papul berkembang sampai berdiameter 0,5-1,5 cm dan setelah kira-kira satu minggu terjadi ulserasi yang menghasilkan chancre tipikal dari sifilis primer (ulkus bulat atau sedikit memanjang, dengan tepi yang mengeras sebanyak 1-2 cm).
Gambar 2.5. Chancre pada sifilis primer19
16 Ulkus tersebut memiliki dasar yang bersih dengan diameter 1-2 cm, tanpa disertai rasa nyeri. Selain itu, pada ulkus genital juga ditemukan pembesaran kelenjar getah bening inguinal dan seringkali terjadi secara bilateral. Pada sifilis primer, biasanya ditemukan lesi soliter tetapi lesi multipel juga dapat terjadi. Lesi primer pada area non-genital dapat terjadi, namun gambarannya dapat berupa lesi atipikal, khususnya pada area anal. Chancre sifilis primer pada umumnya terjadi di area genital, perineal atau anal. Walaupun demikian, beberapa bagian tubuh yang lainnya juga dapat terkena. Kebanyakan chancre ditemukan pada penis (untuk pria), dan labia atau servik (untuk wanita). Chancre pada wanita ini cenderung tidak mudah terlihat dan tidak nyeri. Akibatnya, sifilis primer pada wanita tidak mudah terdiagnosis hingga berkembang menjadi sifilis sekunder. Di lain pihak, chancre dapat sembuh secara spontan dalam 3-6 minggu melalui mekanisme imun tubuh, walaupun tanpa mendapatkan pengobatan.19
2.3.2.2 Sekunder
Dalam beberapa minggu atau bulan, penyakit dapat berkembang disertai beberapa perubahan seperti demam dengan suhu rendah, malaise, radang tenggorokan, nyeri kepala, adenopati, dan ruam pada kulit ataupun mukosa. Pada tahap ini terjdi penyebaran T.Pallidum secara luas melalui sistem hematogen dan limpatik, hal ini dibuktikan melalui temuan pada darah, kelenjar limfa, biopsi hati, dan cairan serebrospinal. Sekitar 25% pasien sifilis sekunder memiliki kelainan pada cairan serebrospinal, dengan adanya peningkatan jumlah sel, protein, dan temuan T.Pallidum.
Temuan awal pada stadium ini berupa ruam berwarna tembaga yang hilang dengan cepat, dimana keluhan ini seringkali tidak disadari pasien sehingga terlewatkan saat pemeriksaan. Beberapa hari kemudian muncul erupsi makulopapular yang simetris pada daerah badan dan ekstrimitas, termasuk telapak tangan dan kaki. Lesi berwarna merah kecoklatan, menyebar, dan berdiameter 0,5-2 cm. Biasanya ruam disertai sisik, walau terkadang halus, folikular, ataupun pada kasus jarang bisa disertai pustula, kecuali pada bagian telapak tangan dan kaki.
17 Lesi pada mukosa dapat berupa lesi kecil yang superfisial, ulkus dengan tepi keabuan yang tidak nyeri (biasanya dianggap sebagai sariawan/apthous ulcer yang tidak nyeri), ataupun dapat juga berupa sebagai plak keabuan yang lebih besar. Gastritis erosiva juga dilaporkan terjadi pada beberapa kasus.
Kondiloma lata merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk lesi putih atau keabuan yang besar, meninggi, dan biasa ditemukan di daerah yang hangat dan lembab. Lesi ini merupakan manifestasi dari sifilis sekunder yang mengalami perubahan kulit pada area yang hangat dan lembab, seperti aksila dan daerah lipat paha. Saat ini kondiloma lata seringkali ditemukan di daerah sekitar chancre primer, utamanya daerah perineum dekat anus, hal ini kemungkinan diakibatkan oleh penyebaran secara langsung treponema dari lesi primer. Sifilis sekunder merupakan penyakit sistemik, sehingga dokter tidak boleh lalai hanya memperhatikan manifestasi dermatologisnya saja.
Sifilis laten merupakan infeksi sifilis yang tanpa gejala klinis, namun hasil tes serologisnya positif. Selain pemeriksaan serologis, dapat juga dilakukan pemeriksaa cairan serebrospinal untuk mengeksklusi neurosifilis asimptomatis, walaupun kebanyakan dokter tidak melakukan pungsi lumbal pada semua pasien dengan kemungkinan sifilis laten.
Gambar 2.6. Manifestasi kutaneus dan mukosa sifilis sekunder19
2.3.2.3 Tersier
Kejadian morbiditas dan mortalitas dari sifilis utamanya diakibatkan oleh manifestasi dan keterlibatan penyakit pada kulit, tulang, sistem saraf pusat (SSP),
18 ataupun organ viscera, utamanya jantung dan pembuluh darah besar. Interval waktu dari awal infeksi hingga manifestasi stadium tersier dari penyakit ini bervariasi dari 1 hingga 20 tahun. Penelitian pada era sebelum penggunaan antibiotik menyatakan sepertiga kasus infeks sifilis yang tidak diobati akan berkembang menjadi komplikasi tersier, dimana neurosifilis merupakan komplikasi tersering. Sifilis tersier secara umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: neurosifilis, sifilis kardiovaskular, dan late benign syphilis.
Setelah invasi spirocheta pada SSP saat sifilis stadium awal, infeksi yang tidak diobati dapat sembuh sendiri, atau berkembang menjadi meningitis sifilis asimtomatik, ataupun berkembang menjadi meningitis sifilis simptomatik.
Perkembangan selanjutnya dapat menuju sifilis meningovaskular (biasanya 5-12 tahun pasca infeksi primer) atau terus berkembang menjadi paresis (18-25 tahun).
Sifilis meningovaskular dapat melibatkan beberapa bagian pada SSP.
Manifestasinya berupa hemiparesis atau hemiplegia (83% kasus), afasia (31%), and kejang (14%). Sekitar 50% pasien lainnya mengalami gejala umum seperti pusing, nyeri kepala, insomnia, gangguan memori dan mood selama beberapa minggu hingga bulan, yang diakibatkan gangguan perfusi.
Late benign syphilis atau gumma merupakan proses inflamasi granulomatosa proliferatif yang bersifat destruktif pada jaringan. Kebanyakan terjadi pada kulit dan tulang, dengan frekuensi yang lebih jarang pada mukosa dan viscere seperti otot, dan struktur okular. Manifestasi pada kulit dapat berupa nodular atau nodul ulseratif dan lesi soliter.
2.3.2.4 Dampak Infeksi Sifilis Pada Kehamilan
Sifilis primer maupun sekunder yang tidak mendapat penatalaksanaan selama kehamilan akan 100% berefek pada janin, dimana 50% dari kehamilan dalam kondisi ini akan menghasilkan kelahiran prematur atau kematian perinatal.Sifilis laten dini pada kehamilan yang tidak diterapi dapat menyebabkan angka prematuritas atau kematian perinatal sekitar 40%. Sepuluh persen janin yang lahir dari ibu dengan sifilis lanjut yang tidak diterapi menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital, dan angka kematian perinatal meningkat hingga sepuluh kali lipat.
19 Kendati sifilis jarang dapat ditularkan secara seksual setelah lebih dari dua tahun terinfeksi, wanita dengan sifilis yang tidak diterapi dapat tetap infeksius terhadap janin yang dikandungnya hingga beberapa tahun lamanya. Sejumlah penelitian terbaru telah mengkonfirmasi prognosis sifilis pada kehamilan yang tidak mendapat terapi. Pada 56 kasus yang dilaporkan, hanya 7 di antaranya yang mendapat terapi selama kehamilan, dimana 34% dari kasus tersebut mengalami stillbirth, dan angka rerata usia kehamilan saat kelahiran adalah 32.3 minggu.
Penelitian lain menunjukkan adanya insiden kelahiran prematur sebesar 28% pada kelompok wanita penderita sifilis yang mendapat terapi selama masa kehamilan.
Bukti presumtif adanya sifilis kongenital tampak pada 15 (26%) kasus dari 57 wanita yang diterapi (tidak selalu adekuat) yang ditemukan pada usia kehamilan 24 minggu dan pada 41 (60%) wanita dari 70 wanita yang mendapat terapi pada trimester ketiga.19
Berdasarkan penelitian meta analisis yang dilakukan terhadap 6 artikel mengenai adverse pregnancy outcomes pada wanita dengan sifilis, didapatkan kematian janin, kematian neonatus, kelahiran prematur, serta berat badan lahir rendah merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan. Gejala infeksi sifilis ditemukan pada 15% bayi yang lahir dari ibu sifilis yang tidak mendapatkan terapi.27
Gambar 2.7 Kelahiran prematur sebagai salah satu dampk infeksi sifilis pada kehamilan
20 2.4 Dampak Infeksi Sifilis Pada Bayi
Infeksi sifilis pada kehamilan meningkatkan risiko infeksi transplasenta pada janin sebesar 60-80%. Risiko infeksi tersebut semakin meningkat terutama pada trimester kedua kehamilan. Transmisi dari ibu ke bayi semakin tinggi pada infeksi sifilis primer atau sekunder yang tidak mendapatkan terapi (risiko sebesar 60- 90%), pada sifilis laten dini risiko penularan mencapai 40% dan 10% pada sifilis laten lanjut. Sebanyak 2/3 kehamilan dengan sifilis memberikan gejala asimtomatis saat bayi lahir, namun infeksi tetap ada dan dapat bermanifestasi segera setelah lahir ataupun bertahun-tahun paska kelahiran. Adapun manifestasinya dapat diklasifikasikan menjadi sifilis kongenital dini dan sifilis kongenital lanjut. Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh namun meninggalkan jaringan parut dan beberapa kelainan, disebut juga stigmata sifilis kongenital.28,29
2.4.1 Sifilis Kongenital Dini
Pada stadium ini, gejala klinis muncul pada 3 bulan awal kehidupan hingga sebelum usia 2 tahun. Adapun gejala yang muncul dapat berupa hepatosplenomegali (70%), lesi kulit (70%), demam (40%), neurosifilis (20%), pneumonitis (20%), serta limpadenopati menyeluruh. Lesi kulit dapat ditandai dengan adanya vesikel, bula atau ruam kulit berwarna merah tembaga atau lesi ptekie pada telapak tangan, telapak kaki, sekitar hidung dan mulut, serta area popok. Dapat terjadi gangguan pertumbuhan, lesi pada selaput lendir hidung dan faring yang bersekresi disertai darah, meningitis, osteokondritis pada tulang panjang hinga mengakibatkan pseudoparalisis.25,28,29
Gambar 2.8 Manifestasi sifilis kongenital dini
21 2.4.2 Sifilis Kongenital Lanjut
Pada stadium ini, manifestasi klinis muncul setelah usia 2 tahun, meski dapat pula asimtomatis. Titer serologis sering berfluktuasi. Adapun gejala klinisnya dapat berupa keratitis interstitialis, gigi Hutchinson, gigi mulberry, gangguan syaraf pusat VIII yang mengakibatkan ketulian, Neurosifilis, skeloris pada tulang hingga tulang kering menyerupai pedang (saber sign), perforasi palatum durum dan septum nasi akibat destruksi dari gumma, tulang frontal yang menonjol, fisura di sekitar rongga mulut dan hidung disertai ragade (sifilis rinitis infantil).28,29
Gambar 2.9 Manifestasi sifilis kongenital lanjut
Dari kiri : gigi Mullbery, gigi Hutchinson’s, saber shins
2.5 Skrining Sifilis pada Kehamilan
Skrining sifilis pada kehamilan merupakan aspek penting yang harus dilakukan selama masa kehamilan. Deteksi dini yang memadai pada masa kehamilan, berperen secara efektif dalam mengobati dan mencegah transmisi sifilis. Skrining sifilis pada kehamilan mencakup:23
a. Semua wanita hamil harus diskrining sifilis pada kunjungan pertama pelayanan antenatal.
b. Wanita yang berisiko tinggi mengalami sifilis dan wanita yang tinggal di daerah dengan morbiditas sifilis yang tinggi harus melakukan pemeriksaan ulang antara minggu ke-28 dan 32 kehamilan serta saat melahirkan.
c. Pada ibu yang tidak mendapatkan pemeriksaan adekuat selama masa kehamilan, pemeriksaan Rapid Plasma Reagin (RPR) harus dilakukan pada saat melahirkan.
22 d. Setiap ibu dan bayi yang tidak memiliki status sifilis maternal terdokumentasi, tidak dapat meninggalkan rumah sakit tanpa dilakukannya skrining.
e. Setiap ibu yang mengalami kematian janin setelah usia 20 minggu kehamilan harus dilakukan pemeriksaan sifilis.
f. Ibu hamil yang seropositif harus mendapatkan terapi, kecuali mereka memiliki dokumentasi pengobatan yang adekuat dengan respon serologis yang tepat sesuai dengan pengobatan dan titers dinyatakan rendah serta stabil.
g. Ibu paska terapi sifilis, apabila memiliki respon yang baik terhadap pengobatan dan memiliki titer serofast rendah (Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) < 1: 2 dan RPR < 1:4), tidak memerlukan terapi ulang.
h. Wanita dengan titer antibodi yang persisten dan lebih tinggi dapat mengindikasikan terjadinya infeksi ulang.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) 2015, rekomendasi skrining sifilis pada ibu hamil meliputi:24
a. Skrining dilakuan pada semua ibu hamil pada kunjungan pertama prenatal.
b. Jika ibu hamil memiliki risiko tinggi, maka tes ulang secara dini dilakukan pada trimester ketiga kehamilan dan pada saat persalinan.
2.6 Diagnosis Sifilis pada Kehamilan
Metode paling spesifik dan sensitif dalam mendiagnosis sifilis primer ialah dengan menemukan treponema dari sediaan cairan yang diambil dari permukaan chancre yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lapangan gelap. Ruam sifilis primer dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis, kemudian tekan bagian dalam/dasar lesi hingga didapatkan serum. Serum diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap, dengan menggunakan minyak emersi. Treponema pallidum berbentuk ramping, bergerak lambat dan berangulasi. Hasil yang baik dapat diperoleh selama tidak ada riwayat terapi atibiotik ataupun penggunaan obat topikal di daerah pengambilan spesimen sebelumnya. Bahan apusan juga dapat diperiksa menggunakan mikroskop fluoresensi, dimana bahan apusan dioleskan
23 pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, diberi fluoresen. Namun hasilnya tidak sebaik mikroskop lapangan gelap dan tidak spesifik.
Beberapa pemeriksaan antibodi non spesifik yang dapat dilakukan : 1. Tes Non-treponemal (RPR, VDRL)
Kedua tes RPR dan VDRL dapat mendeteksi antibodi terhadap kardiolipin, yang merupakan komponen membran sel dari T.pallidum. Hasil tes yang positif perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan treponema. Tes non-treponemal berfungsi untuk menentukan aktifitas penyakit dan respon terhadap terapi. Contohnya peningkatan empat kali lipat dari titer dari hasil sebelumnya (1:2 menjadi 1:8) mengindikasikan re-infeksi; penurunan titer empat kali lipat pasca pengobatan (1:32 menjadi 1:8) mengindikasikan respon yang baik terhadap pengobatan.
2. Tes Treponemal (TPHA, Elisa, FTA-Abs)
Hasil tes yang reaktif akan tetap reaktif seumur hidup bahkan sesudah diterapi secara tepat. Hasil ini mengindikasikan adanya paparan infeksi sifilis dan tidak menjadi indikator aktifitas penyakit.
24 Gambar 2.6. Algoritma skrining antenatal:25
Tes Non-treponemal (RPR) atau tes treponemal (TPPA,
EIA)
Negatif
Jika subyek berisiko tinggi maka tes serologi diulang
pada 28-32 minggu dan saat melahirkan
Salah satu dari tes tesebut POSITIF
Tes Non-treponemal:
titer RPR positif
Tes Treponemal: FTA- Abs dan/atau TPPA positif
Tes Non-treponemal:
titer RPR positif
Tes Treponemal: TPPA / FTA-Abs negatif
Tes Non-treponemal:
titer RPR negatif
Tes Treponemal: TPPA dan FTA-Abs positif
Subyek berisiko tinggi atau asimtomatik – kemungkinan hasil tes treponemal negatif palsu jarang terjadi
pada infeksi awal
Tes diulang pada minggu keempat
Pengobatan sebelumnya/
infeksi laten
TPPA/FTA negatif TPPA/FTA Abs
negatif
Positif palsu biologis
Sifilis (investigasi dan penatalaksanaan sesuai algoritm 2)
25 Gambar 2.7. Algoritma diagnosis dan pengobatan sifilis pada kehamilan25
Hipersensitivitas penisilin ? SEROPOSITIF
(skrining dan pengobatan pasangan seksual)
PENETAPAN STADIUM (riwayat klinis, pemeriksaan, hasil tes
sebelumnya)
PRIMER Ulkus (chancre), risiko tinggi infeksi
pada fetus
SEKUNDER Penyakit sistemik,
risiko moderat infeksi pada fetus
LATEN Asimtomatiks
risiko rendah infeksi pada fetus
TERSIER
Kardiovaskuler, neurologikal, lesi gummatous, risiko infeksi yang tidak berarti pada fetus
PENGOBATAN MATERNAL
Ya Tidak
kk
Desensitisasi si
PENGOBATAN DENGAN PENISILIN
SESUAI STADIUM
Tes RPR ulang setiap bulan sampai proses
persalinan
Negatif atau >4 fold drop pada titer
Pengobatan ulang jika terjadi peningkatan pada
titer
Pengobatan berhasil >4 minggu sebelum
melahirkan
Risiko sifilis kongenital, rujuk ke algoritm 3
Reaksi Jarisch-Herxheimer dapat mempersulit hingga 45% pengobatan sifilis, khususnya pada penyakit primer atau sekunder. Pertimbangan monitoring fetus
pada wanita yang menerima pengobatan setelah 26 minggu
26 2.7 Penatalaksanaan Sifilis pada Kehamilan
Penisilin merupakan terapi baku emas untuk infeksi sifilis pada ibu hamil. Hingga saat ini belum ditemukan adanya strain T. pallidum yang resisten terhadap penisilin secara signifikan. Tujuan terapi penisilin pada ibu hamil adalah untuk menangani penyakit ibu, mencegah transmisi pada janin dan menangani penyakit sifilis yang telah terjadi pada janin. Penanganan sifilis pada ibu hamil mengikuti regimen yang sesuai dengan stadium penyakitnya (tabel 3).23,26
Tabel 1. Terapi Sifilis pada Kehamilan23,26
Beberapa kepustakaan merekomendasikan dosis kedua benzatin penisilin diberikan setelah satu minggu setelah dosis awal untuk memperbaiki kemungkinan respon serologis.26
Alergi penisilin dilaporkan pada 5 hingga 10 persen wanita hamil. Pada ibu hamil dengan alergi penisilin, pengunaan antibiotika lain tidak direkomendasikan. Pasien perempuan yang tidak hamil dengan riwayat alergi penisilin dapat diterapi dengan antibiotika lain, namun pada ibu hamil regimen lain tidak efektif. Antibiotika golongan eritromisin dan azitromisin tidak ditemukan efektif, tetrasiklin dikontraindikasikan pada ibu hamil, sementara
Stadium Sifilis Penanganan
Primer/Sekunder/Laten awal Benzatin penisilin G 2.4 juta unit IM dosis tunggal
Laten akhir/Tersier/durasi tidak diketahui
Benzatin penisilin G 7.2 juta unit, diadministrasikan dalam tiga dosis 2.4 juta unit IM dalam interval 1 minggu Neurosifilis Aqueous crystalline penisilin G, 18
hingga 24 juta unit perhari,
diadministrasikan dalam 3 – 4 juta unit IV setiap 4 jam atau sebagai infus kontinius selama 10-14 hari Atau
Procaine penisilin G, 2.4 juta unit IM 1x/hari ditambah probenecid 500 mg PO 4x/hari selama 10-14 hari
27 pengunaan ceftriaxone belum diketahui secara pasti karena kurangnya data mengenai efikasi.26
Terapi yang direkomendasikan pada ibu hamil dengan alergi penisilin adalah desensitisasi penisilin. Desensitisasi penisilin merupakan prosedur dimana pasien dipaparkan penisilin dengan dosis bertahap hingga mencapai dosis efektif.
Setelah itu pasien diberikan terapi penisilin yang sesuai. Prosedur desensitisasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dengan ketersediaan alat untuk menangani reaksi anafilatik. Desensitisasi oral umumnya lebih sederhana dan aman.26
Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer.
Reaksi ini merupakan reaksi febril akut yang disertai dengan nyeri kepala, mialgia, bercak dan hipotensi. Gejala-gejala ini diperkirakan terjadi akibat pelepasan liposakarida treponema dari spirosit yang mati. Umumnya reaksi mulai muncul satu hingga dua jam setelah terapi, mencapai puncak pada delapan jam dan berkurang dalam 24 hingga 48 jam. Reaksi ini dapat memicu kontraksi uterus, kelahiran pre-term, dan gangguan irama jantung fetus. Namun resiko terjadinya reaksi Jarisch-Herxheimer bukan merupakan kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Reaksi Jarisch-Herxheimer ditangani secara suportif.26
Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi. Jika terapi efektif, maka dapat diharapkan titer berkurang 4-6 kali dalam 6 bulan pasca terapi dan menjadi non reaktif dalam 12 hingga 24 bulan. Titer yang meningkat hingga 4x atau tidak berkurang menunjukan kegagalan terapi atau reinfeksi.26
2.8 Pencegahan Transmisi Infeksi Sifilis dari Ibu ke Bayi
Sifilis kongenital sebagai satu manifestasi transmisi infeksi sifilis dari ibu ke bayi, terjadi akibat kurang adekuatnya skrining terhadap infeksi menular seksual pada masa kehamilan. Hal tersebut mengakibatkan penanganan infeksi sejak dini tidak dapat dilakukan.27
Pencanangan program penatalaksanaan prenatal pada semua wanita hamil tetap menjadi dasar program pencegahan sifilis transmisi sifilis dari ibu ke bayi.
28 World Health Organization telah mencanangkan Global Strategic Plan untuk mengeliminasi sifilis kongenital, yang terdiri dari 4 pilar, yaitu a) memastikan komitmen politik yang berkelanjutan dan advokasi; b) meningkatkan akses, kualitas serta pelayanan kesehatan maternal dan bayi baru lahir; c) melakukan skrining dan pengobatan pada wanita hamil dan pasangannya; seta d) membangun pengawasan, pemantauan dan system evaluasi. Selain itu, WHO bersama-sama dengan Program for Appropriate Technology and Health (PAHO) menginisisasi dual testing project untuk mengeliminasi sifilis kongenital. Metode pada program tersebut adalah dengan melakukan tes untuk menemukan T.pallidum dan HIV secara bersamaan, dengan sampel dan peralatan yang sama, sehingga seluruh wanita hamil akan mendapatkan tes skrining untuk HIV dan sifilis secara bersamaan. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa skrining sejak awal kehamilan merupakan poin yang penting untuk mencegah transmisi sifilis dari ibu ke bayi.28,29
29 BAB III
RINGKASAN
Sifilis merupakan salah satu penyakit Sexually Transmitted Diseases (STDs) yang dapat menginfeksi ibu hamil. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Treponema Pallidum. Diseluruh dunia, setidaknya 1,4 juta ibu hamil telah terinfeksi sifilis aktif pada tahun 2008. Pada ibu hamil yang menderita sifilis, bakteri Treponema pallidum dapat ditransmisikan kepada fetus dan mengakibatkan Adverse Pregnancy Outcomes (APOs) seperti still birth, early fetal death, bayi berat lahir rendah, prematur, kematian neonatal, infeksi atau infan dengan serologi reaktif.
Sifilis pada kehamilan diperoleh melalui kontak seksual. Penularan melalui kontak seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit pada sifilis primer atau sekunder. Transmisi treponema pada ibu hamil telah didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan, maka dari itu perlu adanya skrining semua wanita hamil pada kunjungan pertama antenatal.
Secara klinis sifilis pada kehamilan bermanifestasi sesuai dengan stadium klinis. Pada sifilis primer dicirikan dengan papul yang berulserasi menjadi chancre klasik. Sifilis sekunder dicirikan dengan makulopapular kemerahan pada kulit pada telapak tangan, kaki, dan membran mukosa dengan menyisakan wajah.
Pembentukan gumma, gejala kardiovaskular, dan neurosifilis umumnya merupakan manifestasi sifilis tersier. Diagnosis sifilis dapat ditegakan dengan mikroskop lapang gelap, tes antibodi treponemal (TPHA, FTA-ABS), dan tes antibodi non treponemal (VDRL, RPR).
Penisilin merupakan baku emas terapi sifilis ibu hamil hingga saat ini.
Regimen penisilin disesuaikan dengan stadium infeksi ibu. Pada pasien dengan alergi penisilin sebaiknya dilakukan desensitasi karena pengunaan antibiotik lain belum menunjukan efikasi yang baik. Terapi siflilis pada ibu hamil dapat memicu reaksi Jarisch-Herxheimer, namun bukan merupakan kontraindikasi pemberian penisilin pada ibu hamil. Evaluasi titer serologis antibodi nontreponemal harus dilakukan dalam 1, 3, 6, 12, dan 24 bulan setelah terapi. Transmisi infeksi sifilis
30 dari ibu ke bayi dapat dicegah dengan program skrining sifilis sejak dini pada awal kehamilan.
31 DAFTAR PUSTAKA
1. Santis, M.D., Luca, C.D., Mappa, I., Spagnuolo, T., Licameli, A., Straface, G., & Scambia1, G. Syphilis infection during pregnancy: Fetal risks and clinical management. Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology.
2012. doi:10.1155/2012/430585
2. Casal, C., Araujo, E. C., & Corvelo, T.C.O. Risk factors and pregnancy outcomes in women with syphilis diagnosed using a molecular approach.
Sex Transm Infect. 2013;89:257–261.
3. Newman, L., Kamb, M., Hawkes, S., Gomez, G., Say, L., Seuc, A., &
Broutet, N. Global estimates of syphilis in pregnancy and associated adverse outcomes: Analysis of multinational antenatal surveillance data.
PLoS Med. 2013;10(2):e1001396.
4. Hawkes, S. J., Gomez, G.B., & Broutet, N. Early antenatal care: does it make a difference to outcomes of pregnancy associated with syphilis? A systematic review and meta-analysis. PLOS ONE. 2013;8(2): e56713.
5. Hawkes S, Matin N, Broutet N, Low N. Effectiveness of interventions to improve screening for syphilis in pregnancy: a systematic review and metaanalysis. Lancet Infect Dis. 2011;11: 684–691.
6. World Health Organization. Over a million pregnant women infected with
syphilis worldwide. 2012. Retrieved from:
http://www.who.int/reproductivehealth/topics/rtis/syphilis/pregnancy/en/
7. Sato, N. S. Syphilis – recognition, description and diagnosis. Croatla:
InTech. 2011.
8. Braccio, S., Sharland, M., & Ladhani, S. N. Prevention and treatment of mother-to-child transmission of syphilis. Paediatric and Neonatal Infections. 2016;23:3. p268-274.
9. Cohen, S. E., Klausner, J. D., Engelman, J., & Philip, S. Syphilis in the modern era: An update for physicians. Infect Dis Clin N Am. 2013:27:705–
722
32 10. Ballard R, Hook EW. Syphilis In: Unemo M, Ballard R, Ison C, Lewis D, Ndowa F, Peeling R. Laboratory diagnosis of sexually transmitted infections, including human immunodeficiency virus. World Health Organization. Switzerland:Geneva. 2013.p107-130
11. Workowski KA, Bolan GA. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. Centers for Disease Control and Prevention Recommendation and Reports. 2015; 64: 3.p34-9
12. Yanamandra N Chand, Raharan E. Anatomical and physiological changes in pregnancy and their implications in clinical practice. Cambridge University Press. 2012.p1-8
13. Bartling, S. J., & Zito, P. M. Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016; 31.p38-40
14. Valera M, Parant O, Vayssiere C, Arnal J, Payrastre B. Physiologic and pathologic changes of platelets in pregnancy. Platelets. 2010;21:8.p587- 595.
15. Pillay PS, Catherine NP, Tolppanen H, Mebazaa A.Physiologic Changes in Pregnancy. Cardiovascular Journal of Africa. 2016 Mar-Apr; 27(2): 89–
94
16. Datta, S. Maternal Physiological Changes during Pregnancy, Labor, and the Postpartum Period in Datta S, Kodali BS, Segal S. Obstetric Anesthesia Handbook. 4th Eds. Nottingham University Hospital. 2010. P1- 14
17. Bartling, S. J., & Zito, P. M. (2016). Dermatologic changes in pregnancy.
International Journal of Childbirth Education. 2016;31:38-40
18. Geraghty, L. N., & Pomeranz, M. K. Physiologic changes and dermatoses of pregnancy. International Journal of Dermatology. 2011;50:7.p771-782 19. Hitti J, Watts DH. Bacterial Sexually Transmitted Infections in Pregnancy
In: Holmes, K.K, Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen, M.S., Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases.
4th Ed. New York: McGraw-Hill. 2008.p.1542-55
33 20. Berman, S.M. (2004). Maternal syphilis: Pathophysiology and treatment.
Bulletin of the World Health Organization. 2004;82:6
21. Fraser CM, Norris SJ, Weinstock GM, White O, Sutton GG, Dodson R, et al. Complete genome sequence of Treponema pallidum, the syphilis spirochete. Science. 1998;281:375-88.
22. Radolff JD, Steiner B, Shevchenko D. Treponema pallidum: doing a remarkable job with what it's got. Trends in Microbiology.1999;7:7-9.
23. Centers for Disease Control and Prevention. Syphilis in Pregnancy in Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 43-4
24. Centers for Disease Control and Prevention. Screening Recommendations Referenced in in Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines, 2015. MMWR Recomm Rep 2015;64(No. RR-3): 45-7
25. Women and Newborn Health Service. Infections in Pregnancy: Syphillis in Pregnancy and The Newborn, Diagnosis and Treatment. 2015.p1-8 26. Norwitz E., Lockwood C., Bartlett J., Barss V. Syphilis in Pregnancy.
Uptodate Mar 2016. Available from:
http://www.uptodate.com/contents/syphilis-in-pregnancy#H1 Last update:
Nov 23, 2016
27. Gomez GB, Kamb ML, Newman LM, Mark J, Broutet N, Hawkes SJ.
Untreated Maternal Syphilis and Adverse Outcomes of Pregnancy: A Systematic Review and Meta-Analysis. Bull World Health Organ.
2013;91:217-26
28. Moline HR, Smith JF. The Continuing Threat of Syphilis in Pregnancy.
Current Opinion Obstetric and Gynocology. 2016;28:101-4
29. Braccio S, Sharland M, Landhani SN. Prevention and Treatment of Mother-to-Child Transmission of Syphilis. Current Opinion Infectious Disease. 2016;29:268-74
30. Herberts C, Melgert B, Laan JWV, Faas M. New Adjuvanted Vaccines in Pregnancy: What is Known About Their Safety? Expert Review of Vaccines. 2010;9(12):1411-22
34 31. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Infeksi Menular Seksual,
Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Sanglah Denpasar. 2014.