1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kampung Kapasan Dalam ketika abad ke 17 atau sekitar tahun 1700- an merupakan kampung Pecinan hingga saat ini. Awal mula terbentuknya Kampung Pecinan ini karena banyak orang Tionghoa asli dari negeri Tiongkok datang ke Surabaya akibat kurangnya bahan makanan pada zaman pemerintahan dinasti Qing sedangkan jumlah penduduk di Tionghoa semakin meningkat. Banyak pula pendatang warga Tionghoa dari Batavia ke Surabaya karena terjadi pemutusan kerja di pertambangan dan perkebunan, serta tuduhan dari pemerintah Hindia Belanda kepada warga Tionghoa karena ikut membantu gerakan pemberontak yang melawan Belanda. Kapasan Dalam sebelum diperbolehkan dimasuki penduduk oleh Mayor The Goen Tjing awalnya berbentuk hutan randu atau hutan kapas yang rimbun. Hal ini juga yang menjadi alasan lahirnya nama Kapasan. Mayor The Goan Tjing merupakan pemimpin daerah yang diberi pangkat oleh Belanda karena kekayaan yang mereka miliki. Kapasan Dalam diizinkan untuk ditinggali karena kampung Pecinan lainnya seperti Slompretan dan Kembang Jepun sudah penuh (Majalah Liberty 1695. ed. 1 – 15 Februari 1989).
Penduduk Pecinan di Kapasan Dalam pada saat itu merasa membutuhkan klenteng karena saat itu pendatang Tionghoa kebanyakan memegang aliran Konghucu, Selain itu, klenteng merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam sebuah Kampung Pecinan. Sehingga dibangun Klenteng Boen Bio ditengah-tengah Kampung Kapasan Dalam pada tahun 1883 yang hingga saat ini menjadi bagian dari Kampung Kapasan Dalam (Shinta,2005,p.41). Tahun 1904, klenteng tersebut dipindahkan dari dalam Kampung Kapasan Dalam ke pinggir jalan raya yang letaknya hingga saat ini.
Pada tahun 1967 pada masa Orde Baru seluruh kegiatan keagamaan, tradisi, kepercayaan dan adat istiadat orang Tionghoa di Indonesia dilarang untuk
diselenggarakan (http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/10/07/foto- gus-dur-di-kelenteng-boen-bio-surabaya-598406.html).
Meski klenteng Boen Bio sudah dipindah ke pinggir jalan raya, namun saat itu masyarakat Tionghoa di Indonesia masih belum mendapatkan hak kebebasan dalam menyelanggarakan kegiatan agama maupun tradisi mereka.
Hingga pada masa pemerintahan Presiden GusDur yang menjabat sebagai presiden RI ke-4 yang menetapkan Imlek sebagai hari libur fakultatif dan berlanjut menjadi hari libur nasional. Sehingga GusDur merupakan sosok yang dihormati oleh warga Tionghoa, tidak hanya karena memberikan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa di tanah air, namun juga karena beliau, agama Kong Hu Cu bisa diresmikan di Indonesia sebagai agama ke-6. Di Klenteng umat Kong Hu Cu, Boen Bio, foto GusDur dipajang sejak tahun 2012 dan diletakan di sebelah kiri altar utama , sedangkan sisi kanan altar merupakan foto Nabi Kong Co (http://wisata.kompasiana.com/jalan- jalan/2013/10/07/foto-gus-dur-di-kelenteng-boen-bio-surabaya-598406.html)
Keberadaan Kampung Pecinan yang terletak ditengah masyarakat pribumi Surabaya memberi ruang bagi warga pribumi untuk tinggal di Kampung Pecinan ini. Tahun 1960-an seorang pemimpin organisasi beretnis Jawa datang ke Kapasan Dalam membawa anak buahnya untuk tinggal disana.
Kedekatan lokasi Kapasan Dalam dengan Pulau Madura juga memberi peluang bagi warga Madura untuk tinggal di Kapasan Dalam. Hingga saat ini penduduk di Kampung Kapasan Dalam terdiri dari masyarakat Tionghoa, Jawa dan Madura.
Letak rumah antara warga Tionghoa, Jawa dan Madura tidak bersebelahan satu dengan lainnya, melainkan terpisahkan menjadi kubu barat dan timur. Kubu barat merupakan tempat tinggal warga Tionghoa dengan jumlah 73 KK(Kepala Keluarga) sedangkan kubu timur merupakan tempat tinggal warga Jawa dan Madura dengan jumlah 79 KK. Namun ada 3 keluarga yang sudah mengalami perkawinan campur antara warga Tionghoa dengan warga Jawa tinggal di kubu barat yang merupakan wilayah tinggal warga
Tionghoa. Sedangkan di kubu timur yang merupakan wilayah tinggal warga Jawa dan Madura belum pernah ditinggali oleh warga peranakan Tionghoa.
(Sumber : Hasil wawancara dengan Bapak Singgih Tanudjaja dan Ibu Mandini 12 Maret 2014)
Ditengah keberagaman masyarakat yang ada di Kapasan Dalam, Kampung ini juga memiliki tradisi Sedekah Bumi atau disebut juga dengan Bersih Desa yang selalu diadakan rutin setiap tahunnya. Sedekah Bumi adalah ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memohon pada Tuhan agar melimpah kesejahteraan sekaligus memohon agar dihindarkan dari marabahaya. Masyarakat Jawa mengadakan Sedekah Bumi setiap menyambut Tahun Baru Jawa 1 Suro. Acara Sedekah Bumi diikuti oleh seluruh penduduk desa dan dimulai dari pembacaan mantra oleh sesepuh, agar roh-roh mau menjaga keselamatan mereka. Dalam ritual ini mereka juga menyampaikan rasa syukur dengan memberi saji-sajian hasil panen warga desa dan tumpengan berikutnya adalah Pesta rakyat yang biasanya diisi dengan acara wayang kulit semalam suntuk, ludhruk, campur sari hingga dangdutan (Widodo,2003,p.82).
Urutan ritual Sedekah Bumi di Kapasan Dalam sama seperti ritual Sedekah Bumi etnis Jawa pada umumnya. Yang membedakan adalah pada pelaku ritual Sedekah Bumi yang terdiri dari warga etnis Jawa, etnis Madura dan etnis Tionghoa serta penyelenggaran Sedekah Bumi mengikuti tanggalan Tionghoa. Tepatnya pada tanggal 26 bulan kedelapan penanggalan Tionghoa (Imlek) atau satu hari sebelum peringatan hari jadi Nabi Konghucu, Peh Gwee. Di tahun 2013, Sedekah Bumi jatuh pada tanggal 30 September menurut penanggalan internasional. Irawan Djaja Saputra sebagai ketua ritual Sedekah Bumi mengatakan bahwa tujuan dari ritual Sedekah Bumi di Kapasan Dalam adalah untuk meneruskan tradisi Klenteng Konghucu.
(Sumber : Hasil wawancara dengan Irawan Djaja Saputra 17 Bagustus 2013)
Irawan mengakui warga Kampung Kapasan Dalam yang terdiri dari warga Tionghoa, Jawa dan Madura hidup berdampingan dengan rukun. Dia mengatakan bahwa warga Kampung siap membantu memberikan sumbangan dana, jika ada salah satu anggota keluarga meninggal dari warga Kampung tersebut. Sumbangan dana ini diberikan secara sukarela oleh setiap Kepala Keluarga tanpa memandang etnis, agama atau ras apa keluarga yang mengalami musibah tersebut berasal. Warga Jawa juga tak jarang membantu acara-acara yang diselenggarakan Klenteng Boen Bio. (Sumber : Hasil Wawancara dengan Irawan 23 Bagustus 2013)
Warga baik yang bertenis Jawa, Tionghoa dan Madura setiap hari bertemu di sebuah warung makan. Warung makan tersebut terletak ditengah- tengah kampung antara kubu barat sebagai wilayah warga Tionghoa dengan kubu timur sebagai wilayah warga Jawa dan Madura. Warung makan tersebut bisa dikatakan sebagai markas besar mereka untuk berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain untuk saling berbagi informasi. Warga yang bertemu secara langsung di warung tersebut tentunya lebih dari dua orang.
Karena seringnya mereka bertemu di warung tersebut, akhirnya lama- kelamaan warga-warga tersebut tanpa disadari membentuk kelompok. Namun dalam kelompok tersebut tidak terdapat susunan hirarki sebagai ketua kelompok ataupun wakil kelompok.
Kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari dua) berinteraksi dengan cara bertatap muka secara langsung, terbentuk karena spontanitas, tidak memiliki struktur dan tujuan yang begitu kuat disebut Komunikasi Kelompok (Goldberg,1985,p.10). Sedangkan Micheal Burgoon (Wiryanto, 2004, p.47) mendefinisikan Komunikasi Kelompok sebagai interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih, dengan tujuan yang telah diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, yang mana anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota yang lain secara tepat.
Cak Alim (29th) sebagai salah satu anggota kelompok Kapasan Dalam mengatakan awalnya mereka tidak merencanakan untuk membuat sebuah kelompok ataupun memiliki tujuan mengapa mereka berkumpul. Namun lambat laun karena mereka sering bertemu di warung tersebut untuk berkumpul atau sekedar nyangkruk (bahasa Jawa), akhirnya mereka merasa bahwa mereka merupakan bagian dari sebuah kelompok. Cak Alim mengatakan bahwa mereka berkumpul untuk menjalin keakraban dan berbagi informasi. ( Sumber : Hasil Wawancara dengan Cak Alim 6 Februari 2014).
Kelompok ini terdiri dari 7 anggota pokok yang aktif, empat diantaranya adalah pria dan beretnis Tionghoa, satu wanita beretnis Tionghoa, satu pria bertenis Madura dan dua pria beretnis Jawa. Mereka berkumpul tidak dibatasi waktu, hanya saja biasanya mereka berkumpul ketika sore hari pukul 17.00 hingga jam 19.00 malam. Kelompok lain yang ada di Kapasan Dalam kebanyakan sudah tidak jalan lagi seperti kelompok arisan atau ibu-ibu PKK.
Yang ada hanya hanyalah kelompok yang terbentuk secara tahunan, misalnya untuk acara Sedekah Bumi atau Hari Kemerdekaan. Sehingga kelompok yang berada di warung makan ini merupakan satu-satunya kelompok dimana anggotanya bertemu secara langsung setiap hari dalam interaksi keseharian.
Peneliti memilih 7 orang warga kampung Kapasan Dalam sebagai informan dalam penelitian ini dikarenakan 6 dari 7 orang tersebut adalah warga asli kampung Kapasan Dalam. Selain itu dari hasil pra-observasi peneliti ketika berada di warung Kapasan Dalam, 7 orang ini memiliki intensitas bertemu setiap hari dibandingkan dengan warga lainnya, dan tentunya 7 orang ini memiliki latar belakang etnik dan agama yang berbeda satu sama lain, yaitu warga Tionghoa, Jawa dan Madura, sehingga mencakupi syarat dalam meneliti sisi pluralisme yang terdiri dari etnik dan agama. Hanya saja penelitian ini lebih fokus dalam membahas sisi pluralisme etnik.
Kelompok ini termasuk termasuk kelompok kecil, hal ini sesuai dengan pandangan Devito (Wiryanto,2004,p.46) yang mengatakan bahwa kelompok kecil terdiri dari 5-12 orang. Kelompok selalu mempunyai alasan
yang sama bagi anggotanya untuk berinteraksi. Selain termasuk dalam kelompok kecil, kelompok ini juga termasuk kelompok primer karena Tony sebagai salah satu anggota kelompok mengakui bahwa hubungan personal diantara mereka sangat akrab. Terkadang mereka berkumpul dirumah salah satu anggota kelompok untuk bermain tenis meja atau pergi memancing pada hari Minggu. “ya terkadang kita kumpul dirumahnya siapa gitu, ga pandang siapa lu, mau Tionghoa, Jawa, Madura yang penting saling meghargai yaudah ngumpul” ujar Tony sebagai warga keturunan Tionghoa ini (Sumber : Hasil Wawancara dengan Tony pada 6 Februari 2014)
Hal ini selaras dengan pandangan Cooley (Rakhmat,1994,p.21) kelompok primer adalah suatu kelompok yang anggota-anggotanya berhubungan akrab, personal dan menyentuh hati dalam asosiasi kerja sama.
Kelompok primer bersifat dalam dan meluas, dalam artinya menembus kepribadian kita yang paling tersembunyi atau mengungkap unsur-unsur backstage. Meluas artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rentangan dan cara berkomunikasi. Selain itu karakteristik kelompok primer bersifat personal, menekankan hubungan daripada aspek isi, lebih ekspresif dan informal.
Dalam berkomunikasi, kelompok ini menggunakan bahasa Jawa Suroboyo sehari-hari sebagai bahasa utama mereka. Namun tidak jarang warga Tionghoa menggunakan bahasa Mandarin ketika berbicara dengan anggota kelompok lainnya. Bahasa mandarin yang biasa digunakan adalah bahasa mandarin mengenai bisnis, terutama mata uang. Begitu juga dengan warga Jawa dan Madura yang menggunakan bahasa Jawa dan Madura mereka. Akibatnya baik warga Jawa, Madura maupun Tionghoa yang sering berkumpul dalam kelompok ini saling belajar mengetahui istilah-istilah bahasa dari etnis yang berbeda. Warga Jawa akhirnya memahami arti dari bahasa mandarin yang digunakan oleh warga Tionghoa, begitu juga dengan orang Tionghoa mengerti bahasa atau istilah tertentu yang dilontarkan oleh orang Jawa dan Madura.
Rivers yang menyatakan bahwa komunikasi adalah pembawa proses sosial. Ia adalah alat yang manusia miliki untuk mengatur, menstabilkan dan memodifikasi kehidupan sosialnya. Proses sosial bergantung pada penghimpunan, pertukaran dan penyampaian pengetahuan. Pengetahuan bergantung pada komunikasi (Peterson, Jensen dan Rivers, 1965:16). Cak Alim (29th) yang merupakan warga Madura dan menjadi bagian dari kelompok tersebut mengakui bahwa dia merasa bangga lahir dan tinggal di Kapasan Dalam. Kebanggaan tersebut dikarenakan Cak Alim mengerti bahasa mandarin sehari-hari, karena terbiasa mendengar dari anggota kelompok beretnis Tionghoa lainnya. Kemampuan Cak Alim dalam berbahasa mandarin ternyata memudahkannya ketika melakukan tawar-menawar barang dengan pedagang beretnis Tionghoa (Sumber : Hasil wawancara dengan Jusuf pada tanggal 6 Februari 2014)
Dalam menghadapi lingkungan sosial yang penuh dengan kemajemukan, diperlukan sikap toleransi yang tinggi dalam menghadapi perbedaan tersebut sehingga komunikasi terus bisa berlangsung dan menciptakan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari di kampung tersebut.
Suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan) disebut Pluralisme. Pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut (Subkhan,2007,p.29).
Unsur-Unsur komunikasi kelompok yang menjadi titik acuan dalam penelitian ini sesuai dengan teori Cartwright dan Zanden (1968) antara lain:
pelaku komunikasi dalam komunikasi kelompok, pesan-pesan yang dipertukarkan dalam komunikasi kelompok, interaksi yang terjadi di dalam proses komunikasi kelompok, kohesivitas yang terjadi di dalam proses komunikasi kelompok dan norma kelompok yang diterapkan (Gurning,2012,p.5).
Komunikasi kelompok memfokuskan pembahasannya kepada interaksi di antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi kelompok juga melibatkan komunikasi antarpribadi di dalamnya. Melalui komunikasi kita menyesuaikan diri dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi kita (Kim,2000,p.137). Kelompok-kelompok sosial apabila digabungkan akan membentuk substansi yang lebih besar dan membentuk suatu lingkungan sosial yang terdiri dari masyarakat-masyarakat yang beranekaragam. Oleh karena itu, komunikasi memegang peranan penting dalam kaitannya dengan pembentukan masyarakat (Suprapto,2009,p.3).
Dimana masyarakat-masyarakat ini tinggal di Kota, Desa maupun Kampung.
Selain itu, dilihat dari definisi komunikasi kelompok menekankan pada sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lain dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Artinya bahwa kelompok tersebut menjadi wadah berkumpulnya individu-individu terdiri dari berbagai macam status sosial seperti budaya, ras atau agama.
Terkait dengan penelitian terdahulu milik Marpaung (2012), dengan judul Komunikasi Kelompok di Kalangan Pemulung untuk dapat bertahan hidup di TPA Namo Bintang Pancur Batu. Metode penelitian yang digunakan adalah Studi Kasus, penelitian ini menunjukkan bahwa Komunikasi kelompok di kalangan pemulung memberikan pengaruh besar dalam bertahan hidup bagi para pemulung di daerah TPA Namo Bintang.
Penelitian lainnya adalah milik Fina (2012) dengan judul Komunikasi Kelompok pada Komunitas Kompas MuDa. Penelitian ini menggambarkan bahwa Komunitas Kompas Muda di Bandung memiliki pola komunikasi kelompok yang cukup terstruktur. Karena seringnya komunitas ini melakukan kegiatan bersama, menyebabkan keeratan antara anggota kelompok memiliki perasaan saling memiliki. Sedangkan komunitasnya, kelompok Kompas Muda
ini tidak memiliki norma atau peraturan tertulis, norma yang diberlakukan hanya sebatas norma perilaku saja.
Berdasarkan penelitian terdahulu penelitian ini memiliki keunikan antara lain : rumah antara warga Tionghoa, Jawa dan Madura tidak bersebelahan satu sama lain, melainkan terpisahkan oleh warung makan yang menjadi markas besar mereka. Rumah warga Tionghoa berada sebelah utara Klenteng Boen Bio sedangkan rumah warga Jawa dan Madura berada di sebelah selatan Klenteng Boen Bio. Namun keduanya menjadikan warung makan sebagai markas besar untuk bertemu. Sedangkan dalam kehidupan sosial kita sehari-hari, kita sering kali menemukan warga Jawa, Tionghoa dan Madura yang letak rumahnya bersebelahan satu sama lain.
Disisi lain, sejauh tinjauan peneliti, belum ada penelitian yang mengkaitkan antara komunikasi kelompok dengan pluralisme. Sehingga bisa dikatakan bahwa penelitian ini merupakan baru dengan objek penelitian komunikasi kelompok terhadap pluralisme. Sedangkan metode yang digunakan adalah metode studi kasus. Studi Kasus adalah metode yang digunakan untuk melihat kembali apa yang terjadi dan memberikan penjelasan melalui observasi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana Komunikasi Kelompok di Kampung Kapasan Dalam Surabaya dalam menjaga Pluralisme.
1.3 Tujuan Masalah
Memperoleh deskripsi atau gambaran komunikasi Kelompok di Kampung Kapasan Dalam dalam menjaga Pluralisme
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis
Penelitian ini bisa bermanfaat untuk menambah kajian dalam konteks komunikasi kelompok dalam sebuah Kampung yang didalamnya terdiri dari warga-warga yang berbeda keyakinan dan ras dan bisa menjaga keharmonisan dan kerukunan di dalam Kampung tersebut .
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini bisa menjadi inspirasi bagi Kampung lain untuk mempelajari komunikasi kelompok yang daialamnya hidup masyarakat dengan latar belakang keyakinan dan ras yang berbeda namun dapat hidup dengan berbaur satu dengan yang lainnya dan menjaga keharmonisan dalam Kampung tersebut.
1.5 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi subjek dan objek penelitian. Subjek Penelitian adalah anggota kelompok yang ada di Kampung Kapasan Dalam. Sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah Komunikasi Kelompok dalam menjaga Pluralisme. Peneliti sudah melakukan pra observasi sejak 13 September 2013 ketika ritual Sedekah Bumi diselenggarakan. Penelitian ini akan berlanjut hingga bulan April 2014. Selain itu batasan pluralisme yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini hanya dalam konteks etnis dan bukan agama.
Selain itu peneliti juga akan meneliti aspek siapa dan bagaimana peran dari penyampai pesan pada kelompok, pesan-pesan apa saja yang dipertukarkan dalam kelompok, pola interaksi yang terjadi dalam kelompok, kohesivitas sesama anggota kelompok dan norma apa saja yang digunakan dalam kelompok.
1.6 Sistematika Penulisan 1. PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian.manfaat penelitian (manfaat akademis dan manfaat praktis), batasan penelitian dan sistematika penulisan.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi uraian tentang landasan teori, nisbah antar konsep dan kerangka pemikiran. Adapun teori yang digunakan seperti Teori Komunikasi Kelompok, teori Kelompok Kecil, teori Karakteristik Unik Kelompok Kecil, teori Klasifikasi Kelompok, Teori Elemen Komunikasi Kelompok, Teori Unsur-Unsur Komunikasi Kelompok dan teori Pluralisme
3. METODE PENELITIAN
Bab ini berisi penjabaran metode yang dipakai dalam penelitian, yaitu definisi konseptual, jenis penelitian, metode penelitian, sasaran penelitian, unit analisis, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan uji keabsahan data.
4. ANALISIS DATA
Bab ini berisikan hasil analisis dari penelitian. Didalam bab analisis ini terdapat uraian tentang gambaran objek dan subjek penelitian, deskripsi temuan data, hasil analisis dan interpretasi peneliti serta triangulasi data.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab terakhir ini berisikan tentang paparan hasil temuan penelitian ini dan saran akademis dan praktis yang berkaitan dengan penelitian.