• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Nomor : 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Persoalan-Persoalan Hukum di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dikaitkan dengan Perkembangan

Doktrin dalam Hukum Perdata Internasional

OLEH

Nama Penyusun : Mard Monando Sitinjak NPM : 2014200188

PEMBIMBING

Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M.

Penulisan Hukum

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana

Program Studi Ilmu Hukum

2019

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang setinggi-tingginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan yang beranda tangan di bawah ini:

Nama : Mard Monando Sitinjak NPM : 2014200188

Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan pikiran, bahwa karya ilmiah / karya penulisan hukum yang berjudul:

“Persoalan-Persoalan Hukum di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dikaitkan dengan Perkembangan Doktrin dalam Hukum Perdata Internasional”

Adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah /Karya Penulisan Hukum yang telah saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:

a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau

b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai integritas akademik dan itikad baik;

Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau melanggar pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat- akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan dalam bentuk apapun juga.

Bandung, 13 Desember 2019

Mahasiswa penyusun Karya Ilmiah/ Karya Penulisan Hukum

( )

Mard Monando Sitinjak 2014200188

Materai 6000

(5)

i ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis persoalan-persoalan yang terbentuk dari suatu kontrak elektronik yang berkaitan dengan penggunaan asas hukum perdata internasional dalam rangka penentuan hukum yang berlaku dan yurisdiksi untuk menemukan permasalahan serta menjawab permasalahan tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Penelitian ini menganalisis karakteristik kontrak elektronik dan penggunaan pranata hukum perdata internasional dalam sistem hukum perdata internasional Indonesia dalam menentukan hukum yang seharusnya berlaku, terutama dengan penggunaan asas lex loci contractus. Hal ini menjadi penting mengingat karakteristik kontrak elektronik yang borderlerss dan inter-absentes.

Selain itu, penelitian ini menganalisis bagaimana dasar yurisdiksi forum pengadilan dalam mengklaim kewenangan untuk mengadili suatu perkara.

Penelitian dilangsungkan dengan mengkaji peraturan-peraturan dalam hukum positif Indonesia yang berkaitan dengan penentuan hukum yang berlaku atas kontrak elektronik internasional dan yurisdiksi forum pengadilan dihadapkan dengan perkembangan doktrin-doktrin dalam hukum perdata internasional.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif yaitu dengan penelaahan terhadap kontrak elektronik internasional yang menimbulkan permasalahan pre-kontraktual dan hubungan kontraktual serta kewenangan forum pengadilan dikaitkan dengan asas, konsep, dan teori dalam hukum perdata internasional.

Hasil yang diperoleh penelitian ini ialah bahwa kontrak elektronik internasional dalam penyelesaiannya di negara berbasis civil law dapat menggunakan prinsip last act dalam menentukan lokasi dari pembentukan kontrak sebagai bentuk modern dari asas lex loci contractus sedangkan negara berbasis common law dapat menerapkan The Most Significance Relationship Theory dalam menanggapi masalah yang serupa. Perolehan dasar yurisdiksi forum pengadilan dalam mengklaim untuk mengadili perkara kontrak elektronik dapat didasarkan pada asas forum rei dan forum rei sitae.

Kata kunci: Kontrak Elektronik Internasional, Asas Hukum Perdata Internasional, lex loci contractus, Yurisdiksi Pengadilan, dan Pendekatan The Most Significance Relationship Theory.

(6)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala berkat dan pengharapannya penulisan hukum yang berjudul “Persoalan- Persoalan Hukum di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dikaitkan dengan Perkembangan Doktrin dalam Hukum Perdata Internasional” dapat selesai tepat waktu.

Adapun penulisan hukum yang penulis buat ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena keterbatasan dari penulis sendiri. Maka dari itu, penulis sangat mengharapkan apabila pihak lain tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan mengenai masalah hukum perdata internasional dikaitkan dengan kontrak elektronik internasional dan adanya kritik dan saran terhadap penulisan hukum ini.

Terselesaikannya penulisan hukum ini pun tidak lepas dari pihak-pihak yang dari awal hingga selesainya penulisan hukum ini telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Maka dari itu, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Keluarga dari penulis, terutama kepada Marudut Sitinjak, Darna Hutadjulu, Jane E. Sitinjak, dan Mard E. Sitinjak yang dari awal penulis memasuki dunia perkuliahan, membuat skripsi hingga selesainya skripsi ini terus-menerus memberi dukungan yang tiada henti kepada penulis.

2. Bapak Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M. selaku dosen pembimbing skripsi penulis, yang mana buku karangan beliau penulis jadikan bahan rujukan utama dan terus memberikan masukan dan kritikan yang bermanfaat kepada penulis. Tanpa kritik, komentar, dan masukan dari beliau, saya tidak dapat menyelesaikan karya penulisan hukum ini.

3. Ibu Dr. Ida Susanti, S.H., LL.M., CN. selaku dosen penguji I sidang skripsi penulis yang selama proses sidang memberikan masukan-masukan kepada penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

(7)

iii

4. Ibu Dr. Rachmani Puspitadewi, S.H., M.Hum. selaku dosen penguji II sidang skripsi penulis yang selama proses sidang memberikan saran dan kritikan kepada penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

5. Bapak John Lumbantobing, S.H., LL.M, MCIArb. selaku dosen pembimbing proposal penulis yang telah banyak membantu penulis dalam membuat proposal dengan memberikan masukan terhadap penulis mengenai materi dan telah sabar membimbing penulis dalam tahapan proposal agar dapat dijadikan materi skripsi serta juga mau berdiskusi dengan penulis saat proses pembuatan skripsi tersebut.

6. Ibu Prof. Dr. C. Dewi Wulansari, S.H., M.H. selaku dosen wali dari penulis yang telah memberikan banyak sekali masukan dan motivasi sehingga penulis dapat menjadi lebih baik dari semester ke semester.

7. Teman-teman Unpar yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih karena kalian semua telah menjadi teman dari penulis selama masa perkuliahan di Unpar.

8. Teman-teman penulis, yaitu teman-teman lainnya yang telah lama menjadi teman dan sahabat penulis yang telah memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan berguna untuk perkembangan dunia hukum di Indonesia.

Bandung, 13 Desember 2019

Mard Monando Sitinjak 2014200188

(8)

iv DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I ...1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 9

1.3. Tinjauan Pustaka ... 9

1.3.1 Pengertian dan Istilah dalam Hukum Perdata Internasional ...9

1.3.2 Pendekatan dalam Penentuan Applicable Law ... 11

1.4 Metode Penelitian ... 14

1.5 Rencana Sistematika Penulisan ... 15

BAB II ... 16

1. Kontrak Elektronik di Indonesia ... 16

1.1. Perjanjian Pada Umumnya dalam Hukum Positif Indonesia ... 16

1.2. Kedudukan Kontrak Elektronik dalam Hukum Positif Indonesia ... 20

2. Perkembangan Hukum Perdata Internasional di Indonesia Berkaitan dengan Hubungan Kontraktual ... 24

2.1. Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional di Indonesia ... 24

2.2. Asas-Asas Umum Hukum Perdata Internasional di Indonesia Berkaitan dengan Hubungan Kontraktual ... 25

3. Yurisdiksi Forum Pengadilan dalam Mengadili Sengketa Perdata Internasional Berdasarkan Hukum Positif Indonesia ... 28

BAB III ... 31

1. Penentuan Yurisdiksi Forum Pengadilan atas Sengketa Kontrak Elektronik Internasional ... 31

1.1. Penentuan Dasar Yurisdiksi Forum Pengadilan ... 31

1.2. Elemen-Elemen Yurisdiksi Forum Pengadilan Dalam Hukum Perdata Internasional ... 33

1.3. Yurisdiksi Forum Pengadilan Berdasarkan Perkembangan Hukum Acara Perdata Internasional ... 36

(9)

v

2. Penentuan Hukum yang Berlaku Atas Kontrak Elektronik Internasional

Berdasarkan Asas Hukum Perdata Internasional ... 38

2.1. Pranata Tradisional Hukum Perdata Internasional ... 38

2.2. Pendekatan The Second Restatement of Conflict of Law (The Most Significance Relationship Theory) ... 45

BAB IV ... 54

1. Pengantar ... 54

2. Penentuan Yurisdiksi Mengadili Forum Pengadilan atas Sengketa Hubungan Kontraktual Berdasarkan Asas Hukum Perdata Internasional ... 55

3. Penentuan Hukum yang Berlaku atas Kontrak Elektronik Internasional Berdasarkan Asas Hukum Perdata Internasional ... 59

BAB V ... 64

1. Kesimpulan ... 64

2. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu produk inovasi teknologi telekomunikasi adalah internet (interconnection networking), yaitu koneksi antarjaringan komputer. Internet yang merupakan implementasi dari Transmission Control Protocol atau Internet Protocol (TCP atau IP) telah memberikan kemudahan dalam berkomunikasi secara global tanpa batasan geografis antarnegara. Komunikasi tersebut dapat meliputi komunikasi antar pribadi dengan menggunakan electronic mail (e-mail) atau tayangan informasi bebas baca yang disebut sebagai World Wide Web atau yang disingkat WWW atau lebih singkat disebut Web.1

Di Indonesia pesatnya teknologi khususnya internet, memberikan kemudahan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Indonesia memiliki sekitar 93,4 juta pengguna internet dan sekitar 71 juta pengguna telepon pintar yang menjadikan internet, dan tentunya transaksi daring (online), sebagai bagian dari gaya hidup yang tercermin melalui perilaku dalam berbelanja. kemudahan dan efektivitas transaksi menggunakan internet menarik masyarakat untuk menggunakan perkembangan transaksi yang sangat cepat dan menjadikan model transaksi melalui internet digemari di kalangan masyarakat modern.

Informasi mengalir dari suatu lokasi ke lokasi lain tanpa dibatasi oleh jarak di antara lokasi-lokasi itu sendiri.2 Perkembangan internet di Indonesia memang seperti tidak terduga sebelumnya. Beberapa tahun yang lalu internet dikenal oleh sebagian kecil orang yang mempunyai minat di bidang komputer. Tahun-tahun terakhir ini, pengguna jasa internet meningkat secara sangat pesat, meski ada

1 Yahya Ahmad Zein, Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-Commerce: Dalam Transaksi Nasional dan Internasional, Mandar Maju, 2009, hlm. 1.

2 Id., hlm. 3.

(11)

2

pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan pengguna internet di Indonesia baru sebatas untuk hiburan dan percobaan.3

Perkembangan teknologi yang virtual dan luas ini telah memasuki revolusi 4.0 yang karena apa pun bisa diakses melalui online dalam hal ini hukum ikut bercampur. Sebelum memasuki revolusi 4.0, awalnya kita dihadapkan pada revolusi 3.0 yaitu era yang menerapkan implementasi elektronik dan teknologi informasi dalam produksi otomatis.4 Pakar-pakar beranggapan bahwa akan berdampak pada kegiatan bisnis dan pemerintahan, antara lain dengan turunnya batas antara investor dengan pasar, peran artificial intelligence yang semakin besar, dan kehidupan yang terkoneksi (internet).5 Tidak terlepas dari hal tersebut perkembangan hukum pun ikut serta mengisi khususnya pada konsep freedom of contract atau kebebasan berkontrak yang meliputi:6

1. Kebebasan setiap orang untuk memutuskan apakah ia membuat perjanjian atau tidak membuat suatu perjanjian;

2. Kebebasan para pihak untuk memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian;

3. Kebebasan para pihak untuk menentukan bentuk perjanjian;

4. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian;

5. Kebebasan para pihak untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.

Dalam kaitannya dengan perjanjian pada umumnya, mengacu pada aturan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut sebagai KUHPerdata). Pasal 1320 KUHPerdata mengatur agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian

3 Budi Agus Riswandi, Regulasi Hukum dalam Transaksi E-Commerce: Menuju Optimalisasi Pemanfaatan Teknologi Informasi, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 19, No. 19, 2002, hlm.

135.

4 Min Xu et al., The Fourth Industrial Revolution: Opportunities and Challenges, International Journal of Financial Research, Vol. 9,No. 2, 2018, hlm. 90.

5 Id. hlm. 91

6 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Benda dan Hukum Perikatan, Nuansa Aulia, 2015, hlm. 73; sebagaimana dikutip dari Johanes Gunawan, Penggunaan Perjanjian Standar dan Implikasinya pada Asas Kebebasan Berkontrak, Padjajaran, Majalah Ilmu Hukum dan Pengetahuan Masyarakat No. 3-4, Jilid XVII, PT Alumni, 1987, hlm. 55.

(12)

3

tersebut harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian. Syarat sahnya perjanjian meliputi syarat subyektif dan syarat obyektif:

• Syarat Subjektif:

1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian.

• Syarat Objektif:

1. Mengenai suatu hal tertentu.

2. Suatu sebab yang halal.

Berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian apabila suatu kontrak elektronik internasional menimbulkan sengketa bagi para pihak, maka norma hukum di Indonesia yang mengatur mengenai pilihan hukum dan yurisdiksi forum pengadilan dari kontrak elektronik yang dibentuk para pihak terdapat dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (yang selanjutnya disebut sebagai UU ITE).

Dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE tertulis bahwa:

“Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.”

Apa yang menjadi pengertian sebagai pilihan hukum diterangkan dalam penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bahwa:

“Pilihan hukum yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak internasional termasuk yang dilakukan secara elektronik dikenal dengan choice of law. Hukum ini mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut. Pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik hanya dapat dilakukan jika dalam kontraknya terdapat unsur asing dan penerapannya harus sejalan dengan prinsip hukum perdata internasional (HPI).”

Penjelasan Pasal 18 ayat (2) UU ITE di atas menunjuk hukum yang oleh para pihak dipilih sebagai hukum yang mengikat dan mengatur kontrak para pihak.

Perlu diketahui sebelumnya karakter internasional dalam suatu Transaksi Elektronik adalah adanya unsur asing dalam kontrak Transaksi Elektronik internasional tersebut. Jadi, dapat disimpulkan bahwa suatu Transaksi Elektronik dikatakan sebagai Transaksi Elektronik internasional apabila ditemukan unsur asing dalam kontrak internasional yang dibentuk para pihak. Selain itu, pasal di atas dapat dimaknai bahwa para pihak diakui memiliki kebebasan dalam

(13)

4

menentukan pilihan hukumnya dalam berkontrak sesuai dengan prinsip kebebasan berkontrak (party autonomy).

Dalam hal tidak ada ketentuan mengenai pilihan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam kontrak elektronik maka Pasal 18 ayat (3) UU ITE mengatur sebagai berikut:

“Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.”

Dalam bagian penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU ITE diterangkan bahwa dalam hal tidak ada pilihan hukum, penetapan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional yang akan menetapkan hukum yang berlaku, mengikat, dan mengatur kontrak tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, persoalan penentuan hukum atau sistem hukum siapa yang berlaku dalam perkara, akan ditentukan oleh ketentuan-ketentuan dalam bidang hukum perdata internasional yang melibatkan elemen asing atau pada saat pengadilan menghadapi gugatan yang mengandung elemen asing. Sementara itu dalam hukum positif Indonesia, asas atau kaidah yang menunjuk hukum atau sistem hukum siapa yang berlaku pada dasarnya terdapat dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18 Algemeene Bepalingen van Wetgeving (voor Indonesië) (yang selanjutnya disebut sebagai AB). Pasal 18 AB mengatur mengenai kaidah hukum perdata internasional dalam hal penetapan status dan keabsahan dari perbuatan- perbuatan atau hubungan-hubungan hukum yang mengandung unsur asing.

Asas hukum perdata internasional yang digunakan dalam pasal tersebut adalah lex loci actus. Kaidah tersebut mengakibatkan konsekuensi hukum bahwa sebuah perbuatan hukum atau masalah hukum tertentu dikualifikasikan berdasarkan sistem hukum di mana perbuatan hukum atau masalah hukum itu terjadi (locus regit actum).7 Contohnya mengenai apakah sebuah perbuatan hukum adalah perbuatan yang sah atau tidak sah, apakah formalitas dari sebuah perbuatan

7 Bayu Seto Hardjowahono, Buku ke-1 (Edisi Kelima), Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti, 2013, hlm. 78

(14)

5

hukum telah dipenuhi, apakah akibat hukum dari sebuah perbuatan hukum tertentu, semuanya akan ditentukan berdasarkan hukum dari tempat perbuatan tersebut dianggap terjadi.8

Apabila menggunakan pranata tradisional hukum perdata internasional, maka masalah hukum mengenai kontrak elektronik internasional timbul saat derivasi dari asas locus regit actum yaitu asas lex loci contractus dan lex loci solutionis diterapkan dalam penyelesaian perkara. Melihat kenyataan bahwa kontrak elektronik internasional tercipta bukan melalui pihak-pihak yang berhadapan satu sama lain (inter-absentes) namun dapat melalui sarana komunikasi modern seperti melalui Sistem Elektronik yang berdampak pada penentuan locus contractus menjadi sulit.9 Selain itu dalam perkembangannya, kontrak elektronik memungkinkan terjadinya pelaksanaan perjanjian di tempat yang berbeda, oleh karena itu penggunaan asas lex loci solutionis akan menimbulkan permasalahan hukum apabila kontrak elektronik tersebut dianggap sah di salah satu tempat pelaksanaan, tetapi di tempat pelaksanaan lainnya dianggap tidak sah.10 Oleh karena itu pendekatan penentuan applicable law berdasarkan Pasal 18 AB menemui permasalahan hukum perdata internasional. Permasalahan dari kontrak elektronik tersebut yang menarik penulis untuk melakukan penelitian mengenai penentuan hukum atau sistem hukum yang berlaku pada suatu kontrak elektronik sesuai dengan aturan dalam Pasal 18 ayat (3) UU ITE.

Selanjutnya, norma dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE mengatur mengenai yurisdiksi forum dalam melakukan klaim atas penyelesaian sengketa kontrak elektronik, yang tertulis sebagai berikut:

“Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.”

Dari Pasal 18 ayat (4) UU ITE dapat dipahami bahwa forum yang berwenang mengadili sengketa kontrak elektronik adalah forum yang dipilih oleh para pihak.

8 Id

9 Id, hlm. 272

10 Id, hlm. 273

(15)

6

Forum tersebut dapat berbentuk pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya. Sedangkan dalam Pasal 18 ayat (5) UU ITE tertulis bahwa:

“Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.”

Pasal 18 ayat (5) UU ITE di atas mengandung persepsi bahwa hukum Indonesia telah mengantisipasi bilamana suatu kontrak elektronik tidak memuat suatu pilihan forum. Oleh karena itu dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional. Sedangkan dalam bagian penjelasan Pasal 18 ayat (5) UU ITE disebutkan bahwa:

“Dalam hal para pihak tidak melakukan pilihan forum, kewenangan forum berlaku berdasarkan prinsip atau asas hukum perdata internasional. Asas tersebut dikenal dengan asas tempat tinggal tergugat (the basis of presence) dan efektivitas yang menekankan pada tempat harta benda tergugat berada (principle of effectiveness).”

Zeng Sophia Tang dalam bukunya yang berjudul “Electronic Consumer Contracts in the Conflict of Laws” berpendapat bahwa penyelesaian masalah perdagangan tradisional sangat berpengaruh berdasarkan pada lokasi aktivitas perdagangan sebagai connecting factor, namun dalam perbuatan hukum yang tercipta di internet lebih menyulitkan:11

• Pertama, satu aktivitas daring akan menghasilkan urutan peristiwa yang kompleks, yang dapat menyebar di berbagai negara, contohnya pada saat perusahaan melakukan pengiklanan dalam suatu situs, iklan tersebut dapat diakses oleh seluruh negara, menyebabkan aksesibilitas koneksi internet apabila tidak adanya pemblokiran teknis yang efisien.

• Kedua, hakikat dalam transaksi yang terjadi di dalam internet adalah jarak antara pihak-pihak secara fisik berlokasi di negara-negara yang berbeda untuk

11 Zeng Sophia Tang, Electronic Consumer Contracts in the Conflict of Laws, Hart Publishing, 2015, hlm. 15.

(16)

7

dapat melakukan aktivitas pelaksanaan perjanjian, yang mana menyulitkan penentuan di mana pelaksanaan tersebut berlokasi.

Ketiga, beberapa program seperti e-commerce yang diadopsi oleh penyelenggara Sistem Elektronik menggunakan electronic agents yaitu suatu program yang mengeksekusi permintaan user secara otomatis. Hal tersebut akan menimbulkan kesulitan dalam menentukan lokasi aktivitas pelaksanaan perjanjian, maka dalam hal ini akan menimbulkan ketidakpastian apakah lokasi dari pihak yang bertanggungjawab atas aktivitas pelaksanaan perjanjian atau lokasi Agen Elektronik yang memiliki dampak pada aktivitas pelaksanaan perjanjian.

Keempat, perbuatan hukum seperti dalam e-commerce memisahkan satu tindakan ke dalam tahapan yang berbeda dan masing-masing dapat terjadi di tempat yang berbeda. Sebagai contoh, ketika sebuah korporasi mengirimkan produk digital kepada konsumen melalui email, email tersebut awalnya akan disimpan di server kotak surat konsumen, yang terletak di negara A; konsumen kemudian dapat mengunduhnya ke komputernya, yang ada di dalam negara B;

konsumen mungkin tidak membukanya secara langsung, tetapi membawa laptop ke negara C, di mana dia membuka surat dan menggunakan produk digital. Atau konsumen mungkin memiliki alamat email yang berbeda dan demi kenyamanannya, konsumen menggunakan satu email alamat yang terletak di server dalam negara D untuk mengunduh semua pesan yang masuk dari alamat lain. Dalam hal ini, email keluar akan disimpan pertama kali dalam negara A, kemudian ditransfer ke dan disimpan dalam negara D.

Dari uraian di atas lokasi kegiatan dalam Transaksi Elektronik dapat menunjukkan bahwa terdapat lebih dari satu connecting factor. Dalam pranata hukum perdata internasional, suatu kontrak internasional tanpa memuat klausul yang menunjuk forum yang berwenang dan hukum yang berlaku, pengadilan biasanya akan memutuskan yurisdiksi forum dan pilihan hukum dengan mempertimbangkan serangkaian lokasi kegiatan seperti: tempat kontrak dibuat (the place of contracting), tempat pelaksanaan kontrak (the place of performance), tempat

(17)

8

pelanggaran kontrak (the place of the breach of contract), dan lain sebagainya.12 Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti mengenai penetapan yurisdiksi forum pengadilan sesuai dengan Pasal 18 ayat (5) UU ITE.

Pasal 2 UU ITE mengatur mengenai ruang lingkup keberlakuan UU ITE. Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

“Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang mengakibatkan akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.”

Berdasarkan Pasal 2 UU ITE dapat disimpulkan bahwa UU ITE berlaku terhadap:

1. Orang yang melakukan perbuatan hukum di wilayah hukum Indonesia;

2. Orang yang melakukan perbuatan hukum di luar wilayah Indonesia;

3. Perbuatan hukum itu mengakibatkan akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia; dan

4. Merugikan kepentingan Indonesia.

Melihat kaidah dalam pasal tersebut yang bersifat ekstrateritorial, menimbulkan masalah hukum dalam hal penghormatan terhadap kedaulatan negara lainnya.

Berdasarkan perkembangan hukum perdata internasional, suatu statuta atau hukum negara hanya berlaku di dalam teritorial suatu negara yang mana berprinsip dasar pada kedaulatan eksklusif negara sesuai perkembangan teori statuta di Belanda (abad ke-17). Menurut Ulrik Huber, berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara (comitas gentium) suatu hukum yang harus berlaku di negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku di mana-mana, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberi pengakuan.13 Ajaran comitas gentium ditegaskan kembali oleh Johannes Voet bahwa suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan/pemberlakuan kaidah hukumnya di dalam wilayah hukum suatu negara lain. Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan santun pergaulan

12 Id.

13 Supra note 7, hlm. 43-44

(18)

9

antarnegara (comitas gentium).14 Berdasarkan uraian di atas dapat terlihat bahwa Pasal 2 UU ITE akan menimbulkan masalah hukum terkait dengan yurisdiksi hukum bagi forum pengadilan dalam hal mengklaim kewenangan untuk mengadili perkara yang diajukan terlebih apabila forum pengadilan menghadapi yurisdiksi ekstrateritorial.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Bagaimana penentuan yurisdiksi pengadilan untuk mengadili sengketa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik dan tidak mencantumkan pilihan forum pengadilan berdasarkan Pasal 18 ayat (5) UU ITE?

2. Bagaimana penentuan sistem hukum yang akan mengatur sengketa transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik dan tidak mencantumkan pilihan hukum berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU ITE?

1.3. Tinjauan Pustaka

1.3.1 Pengertian dan Istilah dalam Hukum Perdata Internasional

Hukum perdata internasional, seperti cabang hukum domestik lainnya, sebagian ditentukan oleh tradisi dan sebagian oleh kebijakan. Melihat perkembangan teraktual bidang hukum perdata internasional, peran kebijakan memberikan sumbangsih yang lebih besar daripada di cabang hukum lainnya yang dapat melihat kembali ke sejarah yang lebih panjang. Karena alasan yang sama, ia lebih mengandalkan doktrin daripada hukum domestik.15 Oleh karena akibat dari perkembangan sejarah yang panjang yang mana bersumber tidak hanya pada sumber hukum formal namun juga bersumber banyak pada doktrin. Beberapa ahli menggambarkan hukum perdata internasional sebagai berikut: 16

a) Prof. R.H. Graveson berpendapat bahwa:

“The conflict of laws, or private international law, is that branch of law which deals with cases in which some relevant fact has a connection with

14 Id, hlm. 44-45

15 K. Lipstein, Principles of the Conflict of Laws, National and International, Martinus Nijhoff Publishers, 1981, hlm. 44.

16 Supra note 7, hlm. 7-8

(19)

10

another system of law on either territorial or personal grounds, and may, on that account, raise a question as to the application of one’s own or the appropriate alternative (usually foreign) law to the determination of the issue, or as to the exercise of jurisdiction by one’s own or foreign courts”

b) Prof. van Brakel dalam bukunya Grondslagen en Beginselen van Nederlands Internationaal Privaatrecht berpandangan bahwa:

“Hukum perdata internasional adalah hukum nasional yang dibuat untuk hubungan-hubungan hukum internasional.”

c) Prof. G. C. Cheshire beranggapan bahwa:

“Private international law is that part of English law which comes into operation whenever the court is faced with a claim that contains a foreign element. It is only when this element tis present that private international law has a function to perform.”

d) Prof. Sudargo Gautama—dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia—mendefinisikan HPI sebagai:

“... keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwa antar warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel- stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal-soal.”

Istilah Lex Fori yang merupakan peristilahan yang khusus dalam Hukum Perdata Internasional menurut Black’s Law Dictionary adalah:17

“The law of the forum; the law of the jurisdiction where the case is pending”

Sedangkan Lex Causae adalah:18

“The legal system that governs a dispute”

Selain itu suatu kasus dapat diatur oleh lebih dari satu sistem hukum yang antara lain dapat berupa kumulatif, seperti contoh adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan di luar negeri sama-sama diatur dalam hukum Inggris dan hukum dari negara tempat terjadinya perbuatan tersebut, atau berupa alternatif, seperti contoh adalah mengenai keabsahan perjanjian yang sama-sama diatur oleh hukum dari tempat kontrak atau diatur oleh hukum yang diterapkan (applicable law).19 Peraturan-peraturan dapat dipilah menjadi dua bagian yaitu menjadi legal

17 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary Ninth Edition, West, 2009, hlm. 993.

18 Id., hlm. 992.

19 Trevor C. Hartley, International Commercial Litigation Text, Cases, Materials on Private International Law, Cambridge University Press, 2009, hlm. 11.

(20)

11

categories dan menjadi connecting factors. Legal categories lebih digambarkan seperti rumah merpati yaitu proses subsumsi ke mana fakta-fakta kasus mungkin dapat ditempatkan ke dalam suatu masalah hukum. Sedangkan connecting factors memiliki fungsi untuk menyambungkan legal categories kepada hukum yang diterapkan (applicable law).20

Suatu proses kualifikasi tidak perlu dipengaruhi oleh fakta-fakta dalam setiap kasus, namun yang menjadi sudut pandang dalam melihat proses kualifikasi adalah dari pertanyaan hukum yang akan berbentuk menjadi legal category.21 Metode dalam melakukan proses kualifikasi dapat diterapkan melalui teori Lex Fori (The Lex Fori Theory), teori Lex Causae (The Lex Causae Theory), Kajian Ilmu Hukum dan Perbandingan Hukum (Analytical Jurisprudence and Comparative Law), Pandangan Falconbridge (Falconbridge’s Views), Peradilan dan Kualifikasi Inggris (English Courts and Characterisation).22

1.3.2 Pendekatan dalam Penentuan Applicable Law

Dalam Pasal 18 ayat (3) UU ITE telah disebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak menentukan pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut maka aturan hukum yang berlaku akan ditentukan berdasarkan hukum perdata internasional. Perkembangan hukum perdata internasional membawa kita kepada tiga jenis pendekatan dalam melihat penentuan hukum yang berlaku tersebut yaitu:

1. Pendekatan Berdasarkan Tujuan Hukum Perdata Internasional

Dalam pendekatan yang berdasarkan pada tujuan HPI, terbagi menjadi dua jenis yaitu:

a) HPI yang bertujuan mewujudkan keadilan dalam perselisihan hukum (conflict justice atau conflictual justice)

Dalam pendekatan ini, suatu perkara yang memiliki unsur asing dan akan diselesaikan melalui metode HPI, diselesaikan dengan pola penyelesaian

20 Id.

21 Id., hlm. 13-15.

22 Id., hlm. 15-19.

(21)

12

perkara yang seragam. Hal tersebut dilakukan dengan mengumpulkan teori-teori dan doktrin-doktrin yang mendukung keseragaman pola penyelesaian perkara. Oleh karena itu kelompok ini cenderung mengembangkan asas HPI yang kaku dan tetap dalam penerapannya pada setiap perkara internasional.23

b) HPI yang bertujuan mewujudkan keadilan substansial dalam setiap perkara (substantive justice)

Dalam pendekatan ini, suatu perkara yang memiliki unsur asing dan akan diselesaikan melalui metode HPI, diselesaikan dengan memperhatikan keadaan-keadaan dalam perkara-perkara tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan mengumpulkan teori-teori yang menganjurkan suatu metode yang menentukan suatu aturan substansial yang lebih relevan dengan perkara tersebut. Penilaian relevansi tersebut didasarkan atas nilai keadilan yang tercipta dalam penyelesaian suatu perkara.24

2. Pendekatan Berdasarkan Hasil yang Dicapai dari Proses HPI

Sejalan dengan pendekatan dalam angka 1 di atas, dalam pendekatan ini, penyelesaian HPI dilihat dari sifat dan fungsi metodologi HPI yang menghasilkan penetapan tentang hukum yang berlaku. Dalam pendekatan ini orang membedakan antara jurisdiction-selecting approaches yang berarti bahwa pendekatan HPI menetapkan sistem hukum yang berlaku atas semua persoalan hukum yang timbul dari sebuah perkara HPI dan rule-selecting yang berarti pendekatan HPI memberlakukan aturan lokal atas masalah hukum tertentu dari sebuah perkara HPI.25

23 Supra note 7, hlm. 26.

24 Id.

25 Id.

(22)

13

3. Pendekatan Berdasarkan Metodologi Penetapan Hukum yang Harus Diberlakukan

Pendekatan lain yang digunakan dalam menentukan suatu sistem hukum/hukum yang berlaku dalam HPI adalah dengan memilah teori-teori HPI yang fundamental ke dalam beberapa golongan:

a) Pendekatan lex fori

Pendekatan ini menganggap perkara HPI diselesaikan dan diputus berdasarkan sistem hukum dari pengadilan yang mengadili perkara.26 b) Pendekatan multilateralism

Berdasarkan pada prinsip bahwa pengadilan bersikap netral dan terlebih dahulu menetapkan tempat kedudukan dan hubungan hukum yang menjadi perkara dengan bantuan titik-titik taut. Setelah tempat kedudukan telah ditetapkan, maka pengadilan akan menentukan hukum dari tempat tersebut yang akan digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum.27

c) Pendekatan unilateralism

Pendekatan ini melihat bahwa forum harus menentukan aturan-aturan hukum apa saja yang akan diberlakukan untuk menyelesaikan persoalan hukum yang timbul dalam suatu hubungan hukum.28

d) Pendekatan eklektik

Menurut Prof. Juenger pendekatan ini menggambarkan kombinasi pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam penetapan hukum atau aturan hukum yang seharusnya berlaku dalam penyelesaian suatu perkara. Hal tersebut dilakukan dengan mengunggulkan elemen-elemen dari pendekatan-pendekatan tersebut di atas yang dapat digunakan untuk

26 Id., hlm. 27.

27 Id.

28 Id.

(23)

14

menetapkan suatu aturan atau hukum, bergantung dari pertimbangan- pertimbangan khas yang terbit keadaan-keadaan setiap perkara.29

Penulis berencana untuk menggunakan pendekatan eklektik yang bersifat lebih terbuka dalam melihat permasalahan yang timbul dari UU ITE. Hal tersebut disebabkan oleh bahwa kontrak elektronik memiliki karakter yang borderless, inter-absentes, dan kepentingan hukum Indonesia dalam Pasal 2 UU ITE yang perlu dipertimbangkan. Maka penulis berpendapat bahwa dalam mengkaji UU ITE, permasalahan dalam kontrak elektronik perlu dipertimbangkan elemen- elemen khas yang terbit dari keadaan-keadaan setiap perkara.

1.4 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk melakukan penulisan hukum ini adalah metode penelitian yuridis normatif di mana dilakukan penelusuran hukum terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dan dengan menggunakan metode perbandingan hukum. Suratman memberikan pendapat bahwa metode penelitian hukum yuridis normatif adalah suatu penelitian hukum yang ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau sumber-sumber hukum lainnya.30 Penelitian dilakukan dengan melihat pada sumber hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan. Sumber hukum sekunder seperti buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum, jurnal-jurnal hukum, serta komentar atas putusan pengadilan. Sumber hukum tersier seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan informasi yang tersedia di Internet.

29 Id.

30 Suratman et al, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, 2014, hlm. 51.

(24)

15 1.5 Rencana Sistematika Penulisan

BAB I: Pada bab ini penulis akan menjelaskan hal-hal yang menjadi latar belakang dilakukannya penulisan ini, identifikasi masalah, metode penelitian, dan rencana sistematika penulisan.

BAB II: Pada bab ini penulis akan membahas mengenai konsep-konsep dan peraturan mengenai perjanjian dan yurisdiksi pengadilan untuk mengadili dalam hukum positif Indonesia yang mana bersumber antara lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maupun peraturan turunannya, Het Herziene Indonesisch Reglement, Algemeene Bepalingen van Wetgeving (voor Indonesië), dan sumber-sumber hukum lainnya yang memiliki relevansi dengan pembahasan.

BAB III: Pada bab ini penulis akan membahas peristilahan, prinsip-prinsip, dan teori-teori dalam hukum perdata internasional yang berkaitan dengan penentuan hukum yang berlaku dan penentuan yurisdiksi forum pengadilan .

BAB IV: Pada bab ini penulis akan mengkaji masalah-masalah yang timbul dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan hukum perdata internasional. Analisis akan dilakukan dengan mengacu pada teori-teori yang telah dijelaskan dalam Bab II dan Bab III.

BAB V: Pada bab ini penulis akan membuat kesimpulan dan saran dengan menjawab identifikasi masalah yang ada berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Waktu zaman saya, orang bisa langsung pergi ke Australia atau kursus 2 bulan, kursus 3 bulan, kursus 5 bulan, kursus 7 bulan, dan kalau yang dapat kursus 9 bulan itu didrop,

Dalam percakapan terakhir dalam artikel wawancara ini ditemukan partikel modalitas nur dan eben yang muncul dalam tipe kalimat pernyataan dan berada pada posisi pertama

telah melanggar asas ini dikarenakan Tergugat dalam melaksanakan kewajibannya tidak berlaku jujur dan diskriminatif, hal ini dapat dibuktikan dari tindakan Tergugat yang

Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat

Selain dukungan emosional dan penghargaan adapun dukungan fasilitas yang juga menunjukan hasil yang positif yang berupa penyediaan waktu dan fasilitas yang

Disebabkan oleh gastritis akut yang berulang sehingga terjadi iritasi mukosa lambung yang berulang-ulang dan terjadi penyembuhan yang tidak sempurna akibatnya akan terjadi

Dalam pengamatan selama 3-15 tahun, 9 di antara 21 sindrom nefrotik dependen steroid mengalami remisi meskipun tidak mendapat pengobatan lagi (4 di antaranya tetap remisi lebih dari

Responden merasa bahwa isu mengenai estimasi kebutuhan dan isu mengenai pemeliharaan mesin dan peralatan konstruksi juga merupakan hal yang penting dan pada umumnya