• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Pola Asuh Positif dan Perilaku Melukai diri Remaja. The Correlation between Positive Parenting and Adolescent Self-Injuries Behavior

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Hubungan antara Pola Asuh Positif dan Perilaku Melukai diri Remaja. The Correlation between Positive Parenting and Adolescent Self-Injuries Behavior"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1

ANALITIKA

Jurnal Magister Psikologi UMA

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/analitika

Hubungan antara Pola Asuh Positif dan Perilaku Melukai diri Remaja The Correlation between Positive Parenting

and Adolescent Self-Injuries Behavior

Cindi Nabilla Maharani1)*, Luh Surini Yulia Savitri2) & Sri Redatin Retno Pudjiati2)

1) Program Magister Profesi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Indonesia

2)Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Indonesia

Submitted: 24 Januari 2022; Reviewed: 19 April 2022; Accepted: 13 Juni 2022

*Corresponding author: E-mail: cindi.maharani@ui.ac.id Abstrak

Remaja merupakan kelompok usia yang paling banyak ditemukan terlibat dalam perilaku melukai diri. Adapun demikian di Indonesia sendiri penelitian mengenai perilaku melukai diri di remaja belum banyak dilakukan, di sisi lain fenomena ini dinilai sangat perlu menjadi perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pola asuh positif berhubungan dengan perilaku melukai diri remaja dengan mencari tahu korelasi di antara keduanya. Partisipan penelitian ini berjumlah 478 remaja berusia 12-18 tahun yang menetap dan tinggal di Indonesia. Perilaku melukai diri diukur menggunakan Deliberate Self-Harm Inventory-9r (DSHI-9r), sementara pola asuh positif diukur menggunakan Parent as Social Context Questionnaire (PSCQ). Uji korelasi menggunakan Rank Spearman menemukan bahwa pola asuh positif dan seluruh dimensi di dalamnya secara signifikan berhubungan negatif dengan perilaku melukai diri (p < 0.01).

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi penerapan pola asuh positif yang orang tua lakukan maka perilaku melukai diri akan menurun. Hasil temuan ini dapat menjadi pertimbangan dalam membuat penanganan untuk mencegah maupun menurunkan perilaku melukai diri yang dilakukan remaja dengan penerapan pola asuh positif.

Kata kunci: Remaja; Perilaku Melukai Diri; Positive Parenting Abstract

Adolescents are the groups found to be most involved in self-injurious behavior. However, research on self-injury behavior in adolescents in Indonesia has not been widely carried out, while this phenomenon is considered to be a concern. This study aims to find out whether positive parenting is related to adolescent self-injury behavior by finding out the correlation between the two variables. The participants of this study were 478 adolescents aged 12-18 years who lived in Indonesia.

Self-injury behavior was measured using the Deliberate Self-Harm Inventory-9r (DSHI-9r), while positive parenting was measured using the Parent as Social Context Questionnaire (PSCQ). Correlation test using Spearman Rank found that there is a significant negative relationship between positive parenting and all dimensions in it with self-injury behavior (p <

0.01). This shows that the higher positive parenting that parent’s do, the self-injury behavior will decrease. The results of these findings can be considered developing treatment to prevent or reduce adolescent self-injury behavior by applying positive parenting.

Keywords: Adolescent; Self-Injuries Behavior; Positive Parenting

How to Cite: Maharani, C.N., Luh, S.Y.S. & Sri, R.R.P. (2022). Hubungan antara Pola Asuh Positif dan Perilaku Melukai diri Remaja. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 14 (1): 1 - 12.

(2)

2 PENDAHULUAN

Perilaku melukai diri didefinisikan Nock (2010) sebagai perilaku merusak jaringan tubuh yang secara sengaja dilakukan oleh seorang individu tanpa keinginan untuk mengakhiri hidupnya, dan secara sosial tidak disetujui. Definisi ini mengenyampingkan perilaku perusakan jaringan tubuh lainnya yang tidak disengaja maupun diterima secara sosial sebagai perilaku melukai diri, misalnya seperti terjatuh karena tersandung, menindik atau mentato tubuh (Brown & Plener, 2017) Literatur yang ada menunjukkan bahwa terdapat cukup banyak metode yang digunakan untuk melukai dirinya, adapun demikian menggunting, menggaruk, memukul, membenturkan, mengukir, dan mengikis adalah metode - metode yang paling sering dilakukan (Zetterqvist et al., 2015;Brown & Plener, 2017). Secara umum perilaku melukai diri dilakukan individu sebagai upaya untuk menurunkan psychological distress yang dihasilkan dari suatu situasi stressfull dengan cara yang tidak adaptif (Grandclerc et al., 2016). Nock (2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa tujuan yang individu ingin dapatkan dari perilaku melukai diri antara lain mengurangi pikiran/perasaan negatif, memunculkan pikiran/perasaan yang diinginkan, menghentikan situasi sosial yang tidak diinginkan, atau memunculkan situasi sosial yang diinginkan.

Situasi stressful yang dialami remaja diperkirakan meningkat sejak pandemi COVID-19 terjadi. Seperti yang diketahui pandemi COVID-19 mengakibatkan banyaknya kondisi tidak pasti dan tak terduga yang harus masyarakat alami. Hal ini sangat mungkin berdampak negatif pada kesehatan mental setiap orang, tak terkecuali remaja. Penelitian yang dilakukan Shah et al (2020) menunjukkan bahwa kondisi yang dihasilkan dari pandemi COVID-19 berdampak pada peningkatan stress remaja. Di sisi lain, Nock (2010) menjelaskan bahwa terbatasnya pilihan cara untuk mengatasi situasi stressful menempatkan melukai diri sebagai cara yang paling mudah dilakukan, sehingga risiko individu terlibat dalam perilaku melukai diri meningkat. Apabila dilihat dari pembatasan sosial yang terjadi pada situasi pandemi, kondisi yang dijelaskan Nock sangat mungkin dialami oleh remaja. Hal ini menjelaskan bahwa perilaku melukai diri berisiko meningkat selama pandemi COVID-19.

Secara umum dibandingkan dengan tahapan perkembangan lainnya, remaja merupakan kelompok usia yang ditemukan paling banyak terlibat dalam perilaku melukai diri dengan persentase sebesar 17,2% dari seluruh kelompok usia lainnya (Swannell et al., 2014). Onset perilakunya sendiri mulai meningkat pada usia 12 tahun, memuncak pada usia 15-16 tahun, dan menunjukkan penurunan saat mencapai usia remaja akhir atau setara dengan usia 18 tahun (Plener et al., 2015; Muehlenkamp et al., 2019). Prevalensi perilaku melukai diri pada remaja ditemukan sebesar 25% (Plener et al., 2009; Victor et al., 2019) dan mengalami peningkatan dalam satu dekade terakhir (Vermont Health Department, 2015; Wester et al., 2016). Sementara di Indonesia, onset dari perilaku melukai diri ditemukan Tresno et al (2012) berada pada usia 14,39 tahun, akan tetapi angka pasti dari prevalensinya sampai saat ini belum diketahui.

Seperti yang diketahui tahapan remaja merupakan sebuah periode transisi dari masa anak-anak menuju dewasa (Marotz & Ellen, 2016). Pada masa ini berbagai perasaan, pengalaman, dan harapan baru yang jumlahnya tak terhitung harus dihadapi

(3)

3 remaja. Sehingga tidak heran apabila masa ini dikatakan sebagai periode dimana kemungkinan terjadinya stressor lebih tinggi (Krapic, dkk, 2015) melihat adanya perubahan besar dan tuntutan yang harus remaja lewati. Di saat bersamaan perubahan otak yang terjadi pada masa ini juga mengakibatkan remaja menjadi lebih sensitif dan rentan terhadap stressor (Eiland & Romeo, 2013). Hal ini tak jarang membuat mereka kewalahan jika harus berhadapan dengan stressor lainnya (Wilmshurst, 2017). Di sisi lain, perkembangan kontrol kognitifnya belum dapat mengeimbangi tingginya sensitivitas akan stressor, sehingga menyebabkan remaja menunjukkan kemampuan yang masih belum sepenuhnya memadai untuk meregulasi emosi negatif yang dimilikinya (Young, dkk, 2019). Hal ini dijelaskan dapat memicu berbagai permasalahan psikologis (Cummings et al., 2014) maupun perilaku berisiko lainnya seperti perilaku melukai diri (Leshem, 2016).

Berdasarkan literatur yang ada, banyak dampak yang dihasilkan dari perilaku melukai diri baik pada fisik maupun psikologis individu yang melakukannya. Jika dilihat dari aspek fisik, semakin sering perusakan jaringan tubuh dilakukan maka resiko terjadinya infeksi dan kehilangan darah akan semakin tinggi (Higgins, 2015). Lebih lanjut, semakin muda usia individu saat memulai perilaku melukai diri kecenderungan menetapnya perilaku tersebut dalam kehidupannya akan meningkat, dengan konsekuensi medis yang juga semakin parah dibandingkan dengan individu yang memulai perilaku melukai diri pada usia yang lebih tua (Plener, et al., 2015;

Muehlenkamp et al., 2019). Sementara pada aspek psikologis, perilaku melukai diri cenderung dapat memperburuk kondisi psikologis individu tersebut, mengingat efek yang didapatkan dari perilaku melukai diri bersifat sementara tanpa menyelesaikan akar dari permasalahan yang dihadapi (Higgins, 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa individu dengan perilaku melukai diri menampilkan gejala Borderline Personality Disorder (Brown & Plener, 2017), kecemasan dan depresi (Son et al., 2021) yang lebih tinggi daripada individu yang tidak melakukannya. Selain itu perilaku ini juga disebut berkontribusi dalam pemikiran dan perilaku bunuh diri (Whitlock et al., 2013).

Nock (2009; Nock, 2010) menjelaskan bahwa perilaku melukai diri dapat dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri (intrapersonal) maupun lingkungan (interpersonal). Salah satu faktor interpersonal yang seringkali diasosiasikan dengan perilaku melukai diri remaja adalah pola asuh. Hal ini sejalan dengan Collins et al (2000;

Sander et al, 2018) yang menjelaskan bahwa faktor terpenting yang memengaruhi jalannya perkembangan anak adalah kualitas pengasuhan. Lebih lanjut hal ini terbukti dari penelitian-penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya karakteristik pola asuh tertentu yang berdampak negatif pada perilaku melukai diri remaja. Hasil penelitian Wang et al (2017) menemukan bahwa remaja yang melukai dirinya memiliki orang tua yang cenderung mengkritik dan terlalu mengontrol. Temuan yang serupa juga diperoleh oleh Du et al (2017) dan Baetens et al (2014) yang menemukan bahwa tingginya kontrol psikologis dan perilaku dari orang tua ditemukan dapat meningkatkan risiko remaja terlibat dalam perilaku melukai diri. Selain itu, hasil penelitian Victor et al (2019) juga menemukan bahwa harsh parenting menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi kemunculan perilaku melukai diri.

(4)

4 Sikap mengkritik dan mengontrol anak merupakan karakteristik dari pola asuh negatif (Skinner et al., 2005). Crisler (2015) menjelaskan bahwa penerapan pola asuh negatif akan membatasi anak untuk mampu merespon situasi stressful atau menantang dengan cara yang adaptif. Di sisi lain, anak yang menerima pola asuh positif dapat lebih mampu merespon pikiran dan perasaan negatif yang dihasilkan dari pengalaman stressful atau menantang secara adaptif sehingga risiko yang bisa ditimbulkan dari pengalaman tersebut dapat ditekan. Lebih lanjut, literatur yang ada menjelaskan bahwa penerapan pola asuh positif menghasilkan remaja yang memiliki kesehatan psikologis yang baik (Smokowski et al., 2014), dengan tingkat psikopatologi yang juga rendah (Anne McArthur et al., 2017). Secara umum pola asuh ini disebut Tabak dan Zawadzka (2017) sebagai faktor yang dapat mempromosikan kesehatan mental remaja. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pola asuh positif diyakini dapat menjadi faktor protektif yang menjanjikan untuk perilaku melukai diri yang dilakukan remaja.

Sebelumnya sudah ada satu penelitian yang secara khusus berupaya mencari tahu efek dari pola asuh positif dalam menurunkan perilaku melukai diri remaja (Victor et al., 2019). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola asuh positif terbukti mampu mengurangi kemungkinan timbulnya perilaku melukai diri pada remaja perempuan.

Namun partisipan yang dilibatkan dalam penelitian tersebut hanya perempuan. Selain itu pola asuh positif yang diukur juga hanya menggunakan satu karakteristik saja yaitu pengakuan positif dalam bentuk verbal dan reward. Skinner et al (2005) menjelaskan bahwa seluruh karakteristik pola asuh positif yaitu kehangatan, terstruktur dan parental autonomy dibutuhkan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar psikologis anak secara optimal, dengan demikian perkembangan yang positif pada anak bisa diperoleh.

Berdasarkan penjabaran di atas peneliti berupaya untuk mengetahui peran pola asuh positif terhadap perilaku melukai diri di remaja (perempuan dan laki-laki) secara menyeluruh. Terlebih di Indonesia sendiri fenomena perilaku melukai diri pada populasi remaja belum mendapat begitu banyak perhatian, sehingga hasil penelitiannya masih terbatas. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini diharapkan peneliti dapat meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perilaku melukai diri yang terjadi di remaja dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan intervensi sebagai upaya untuk mencegah maupun mengurangi perilaku tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini tergolong ke dalam penelitian kuantitatif dengan pendekatan korelasional. Hal ini dikarenakan perilaku spesifik yang diukur dapat dikuantifikasi dan penelitian ini berupaya untuk menjelaskan hubungan antara kedua variabel, yaitu perilaku melukai diri sebagai variabel prediktif dan pola asuh positif sebagai variabel outcome. Partisipan dalam penelitian ini adalah remaja berusia 12-18 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang tinggal dan menetap di Indonesia. Pemilihan rentang usia ini berlandaskan pada onset perkembangan perilaku melukai diri dan pengelompokan usia remaja. Plener et al (2015) menyampaikan bahwa onset dari perilaku melukai diri ditemukan mulai meningkat pada usia 12-13 tahun, memuncak di sekitar usia 14-16 tahun, dan mengalami penurunan saat mendekati usia remaja akhir. Lebih lanjut

(5)

5 Nienstein (2009; Curtis, 2015) membagi masa remaja dalam tiga kelompok yaitu remaja awal (≥ 13 tahun), remaja madya (14-16 tahun) dan remaja akhir (≤ 17 tahun).

Pengumpulan data dilakukan secara daring menggunakan metode convenience sampling, yakni pengumpulan data yang dilakukan berdasarkan kemudahan, ketersediaan dan kesediaan (Gravetter & Forzano, 2012). Meskipun tidak seluruh populasi dapat mengikuti penelitian, namun partisipan yang terlibat dapat menjadi sampel yang merepresentatifkan populasi dalam penelitian ini. Penelitian ini telah lulus kaji etik serta melakukan uji keterbacaan dan uji coba untuk mengevaluasi setiap aitem dari kedua alat ukut sebelum pengumpulan data dilakukan.

Terdapat dua alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Deliberate Self- Harm Inventory-9r (DSHI-9r) dan Parent as Social Context Questionnaire (PSCQ). DSHI-9r adalah alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku melukai diri. Alat ukur ini merupakan versi pendek dari DSHI yang originilnya dikembangkan oleh Gratz (2001) dan kemudian dimodifikasi untuk dapat digunakan pada populasi remaja oleh Lundh et al (2007) dan Bjärehed dan Lundh (2008). DSHI-9r terdiri dari 9 item yang masing- masingnya mewakili satu bentuk perilaku melukai diri. Penilaian dari DSHI-9r menggunakan skala likert dari angka 0 (tidak pernah melakukan) sampai 6 (melakukan lebih dari lima kali). Berdasarkan izin Lundh, peneliti kemudian mengadaptasi DSHI-9r ke dalam bahasa Indonesia dengan metode back translate. Semakin besar skor yang didapatkan artinya semakin sering partisipan terlibat dalam perilaku melukai diri.

Sementara PSCQ digunakan untuk mengukur pola asuh positif yang orang tua terapkan berdasarkan persepsi remaja. Alat ukut ini dikembangkan oleh Skinner, et al (2009) dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Abidin et al (2019). Item pola asuh positif dalam PSCQ terdiri dari 12 item yang terbagi ke dalam tiga dimensi yaitu kehangatan, struktur dan parental autonomy. Penilaian PSCQ menggunakan skala likert dengan rentang 1 (sangat tidak setuju) hingga 4 (sangat sesuai). Semakin tinggi skor yang didapatkan maka semakin tinggi pola asuh positif yang orang tua terapkan.

Penelitian ini menggunakan analisis korelasi untuk menguji hipotesis penelitian, yaitu hubungan pola asuh positif terhadap perilaku melukai diri remaja. Selain itu peneliti juga melakukan uji statistik deskriptif untuk memperoleh gambaran umum variabel, dan uji statistik Independent T-Test sebagai analisis tambahan untuk memperkaya hasil penelitian dengan melihat ada atau tidaknya perbedaan skor perilaku melukai diri jika dilihat dari kelompok jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) maupun usia (remaja awal, madya, dan akhir).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum uji hipotesis dilakukan, peneliti terlebih dahulu melakukan uji deskriptif dan asumsi. Uji deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai partisipan dan kedua variabel yang diangkat dalam penelitian. Mengacu pada cut-off hypothetical mean setiap variabel akan dibagi ke dalam dua kategori yaitu rendah dan tinggi. Namun khusus untuk variabel perilaku melukai diri peneliti menambahkan satu kategori yaitu “tidak melakukan” untuk partisipan yang tidak pernah melakukan

(6)

6 perilaku melukai diri. Sementara uji asumsi diperlukan untuk menentukan jenis uji korelasi yang akan digunakan dalam pengujian hipotesis.

Tabel 1. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Partisipan Penelitian

Variabel N %

Jenis Kelamin

Perempuan 422 88.3

Laki-laki 56 11,7

Usia

Remaja awal (12 – 13 tahun) 43 9 Remaja madya (14 – 16 tahun) 214 44.8 Remaja akhir (17 – 18 tahun) 221 46.2

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui bahwa partisipan pada penelitian ini didominasi oleh remaja perempuan sebanyak 422 orang (88.3%) dan mayoritas dari mereka tergolong ke dalam kelompok usia remaja akhir dengan persentase sebesar 46.2% atau sebanyak 221 partisipan.

Tabel 2. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Perilaku Melukai Diri

Mean SD Kategori n %

Perilaku Melukai Diri

5.49 6.05 Tidak pernah melakukan

128 26.8

Pernah melakukan

350 73.2

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui rata-rata (mean) skor perilaku melukai diri partisipan adalah 5.49 (SD = 6.05), dengan mayoritas partisipan pernah melukai dirinya (350 partisipan atau 73.2%).

Tabel 3. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Pola Asuh Positif

Mean SD Kategori Rentang Skor n %

Pola Asuh Positif 34.45 6.71 Rendah X ≤ 34 242 50.6

Tinggi X ≥ 35 236 49.4

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diketahui rata-rata (mean) skor pola asuh positif orang tua adalah 34.45 (SD = 6.71). Sebanyak 242 atau 50.6% partisipan mempersepsikan pola asuh positif dari orang tua yang tergolong rendah.

Tabel 4. Hasil Analisis Statistik Deskriptif Dimensi Pola Asuh Positif

Mean SD

Kehangatan 11.93 2.60

Struktur 10.76 2.60

Parental Autonomy 11.76 2.48

Berdasarkan tabel 4 diketahui rata-rata (mean) skor setiap dimensi pola asuh positif adalah 11.93 (SD = 2.60) untuk dimensi kehangatan, 10.76 (SD = 2.60) untuk dimensi struktur, dan 11.76 (SD = 2.48) untuk dimensi parental autonomy. Hal ini

(7)

7 menunjukkan bahwa dalam penelitian ini karakteristik pola asuh positif yang paling ditunjukkan orang tua partisipan adalah kehangatan.

Tabel 5. Hasil Uji Asumsi

Kolmogorov Smirnov Test Pola asuh positif dengan perilaku

melukai diri remaja

0.00

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa nilai residual pola asuh positif dengan perilaku melukai diri remaja memiliki signifikansi sebesar 0.00 (< 0.05) yang artinya data tidak berdistribusi normal. Maka dari itu uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh positif dengan perilaku melukai diri.

Tabel 6. Hasil Uji Korelasi Pola Asuh Positif dengan Perilaku Melukai Diri Variabel Independen Perilaku Melukai Diri

R p

Pola Asuh Positif -0.320 0.000**

Dimensi Kehangatan -0.285 0.000**

Dimensi Struktur -0.229 0.000**

Dimensi Parental Autonomy -0.327 0.000**

Keterangan: **p < 0.01

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara pola asuh positif dan perilaku melukai diri dengan kekuatan korelasi yang tergolong sedang (r = -0.320). Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pola asuh positif yang orang tua berikan maka semakin perilaku melukai diri akan menurun. Hal yang sama juga ditemukan pada ketiga dimensi pola asuh positif. Dimensi parental autonomy secara signifikan berkorelasi negatif dengan perilaku melukai diri yang tergolong sedang (r = -0.327). Sementara dimensi kehangatan dan struktur secara signifikan berkorelasi negatif dengan perilaku melukai diri yang tergolong lemah (r = - 0.285, r = -0.229). Artinya semakin tinggi karakteristik kehangatan, struktur dan parental autonomy ditunjukkan orang tua maka perilaku melukai diri akan menurun.

Hasil uji korelasi ini menunjukkan bahwa hipotesa penelitian diterima. Seperti yang diketahui, bahwa perilaku melukai diri adalah respon individu terhadap situasi atau pengalaman stressful dalam bentuk yang tidak adaptif sebagai upaya untuk menurunkan psychological distress yang dialami dari situasi tersebut (Grandclerc et al., 2016; see also Nock, 2010). Penjelasan ini menunjukkan bahwa individu yang terlibat dalam perilaku melukai diri tidak mampu untuk merespon situasi stressful dengan cara yang adaptif, dan pola asuh positif menjadi salah satu faktor yang dapat menurunkan tendensi tersebut.

Hal ini sejalan dengan penjelasan Crisler (2015) yang menyampaikan bahwa pola asuh positif dapat membantu anak untuk lebih mampu merespon situasi stressful dengan adaptif.

Lebih spesifik jika dilihat dari ketiga dimensi pola asuh positif Skinner et al (2005) menyatakan bahwa pola asuh yang hangat berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan belonging anak. Anak yang mempersepsikan pola asuh orang tuanya hangat, peduli,

(8)

8 penuh dengan kasih sayang, dan memberikan dukungan yang memadai akan menilai dirinya diterima, dihargai, dan diperhatikan oleh orang tua mereka. Perasaan ini sangat mungkin membantu individu untuk lebih mampu menghadapi suatu situasi stressful yang dapat memicu perilaku melukai diri dengan cara yang adaptif. Sejalan dengan hasil penelitian kualitatif Bai dan Repetti (2015) yang menemukan bahwa seorang anak akan menjadi lebih mampu merespon stressor dengan cara yang lebih adaptif apabila pola asuh orang tuanya memiliki karakteristik yang hangat. Dengan demikian respon tidak adaptif seperti perilaku melukai diri dapat dihindari.

Begitu pula dengan dimensi struktur dan parental autonomy. Skinner et al (2005) menjelaskan bahwa dimensi pola asuh positif struktur berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan kompetensi anak. Orang tua yang menyediakan anak dengan arahan dan aturan yang jelas, realistis, dan bisa diikuti akan membantu anak untuk memiliki berbagai kompetensi yang ia perlukan dalam hidup, termasuk merespon stressor dengan cara yang adaptif. Sementara itu, dimensi parental autonomy dijelaskan Skinner et al (2005) berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan autonomy anak. Orang tua yang tidak mengekang dan memfasilitasi anak untuk memiliki kebebasan dalam memilih, berekspresi dan bertindak berupaya untuk mendorong anak berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan (Seiffge-Krenke & PakaIniskiene, 2010). Hal ini akan memberikan anak kesempatan untuk belajar dari pengalamannya sehingga ketika dihadapkan dengan situasi yang menekan atau menantang anak dapat mengatasinya dengan cara yang adaptif.

Tabel 7. Hasil Uji Beda Perilaku Melukai Diri Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Usia

n Mean p

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

56 422

217.36 242.44

0.19 Usia

Remaja Awal 43 272.93 0.14

Remaja Madya Remaja Akhir

214 221

242.89 229.72

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dari perilaku melukai diri jika dilihat berdasarkan jenis kelamin maupun kelompok usia (p >

0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata skor perilaku melukai diri pada kelompok partisipan laki-laki maupun perempuan tidak memiliki perbedaan yang signifikan, begitu pula dengan kelompok usia remaja awal, madya dan akhir.

Analisis tambahan dilakukan peneliti untuk memperkaya hasil penelitian.

Berdasarkan temuan penelitian, diketahui bahwa mayoritas partisipan pernah melakukan perilaku melukai diri. Namun perilaku ini tidak ditemukan berbeda antara kelompok remaja perempuan dan laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian Li, et al (2020) yang menemukan bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan jenis kelamin dalam perilaku melukai diri yang dilakukan remaja. Selain itu, data penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku melukai diri antara kelompok usia remaja awal, madya dan

(9)

9 akhir juga tidak ditemukan berbeda. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa pada umumnya perilaku melukai diri memuncak di usia remaja madya dan menurun saat mendekati remaja akhir (Plener et al., 2015).

Perbedaan penemuan ini diyakini peneliti disebabkan karena frekuensi perilaku melukai diri dalam penelitian hanya diukur berdasarkan pengalaman partisipan selama enam bulan terakhir, sehingga sejarah perilaku melukai diri pada tahun sebelumnya tidak diketahui.

Secara umum, penelitian ini memiliki beberapa limitasi. Pertama perolehan partisipan tidak merata. Mayoritas partisipan adalah perempuan dan berusia remaja akhir. Kedua, pengukuran yang digunakan untuk mengukur perilaku melukai diri dan pola asuh bersifat self-report yang memungkin terjadinya bias, seperti kecenderungan partisipan untuk memberikan jawaban yang asal maupun tidak sesuai dengan dirinya.

Dalam hal ini terlihat dari adanya pola jawaban yang terkesan tidak valid pada beberapa partisipan, misalnya hanya menjawab skala 2 pada semua pertanyaan. Ditemukannya pola tersebut mengharuskan peneliti untuk memfilter dan mengeliminasi 103 partisipan dengan pola serupa sebelum menghasilkan data akhir dengan jumlah 478 partisipan untuk dapat diolah.

SIMPULAN

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa secara keseluruhan pola asuh positif dan ketiga dimensi di dalamnya secara signifikan berhubungan negatif dengan perilaku melukai diri yang dilakukan remaja. Artinya, semakin orang tua menunjukkan pola asuh positif yang di dalamnya terdapat kehangatan, struktur dan dukungan autonomy anak maka keterlibatan remaja dalam perilaku melukai diri semakin menurun.

Hasil dari penelitian dapat menjadi pertimbangan dalam membangun strategi maupun intervensi sebagai upaya untuk mencegah maupun mengurangi perilaku melukai diri yang terjadi di remaja. Hal ini semakin penting dilakukan mengingat hasil penelitian yang juga menunjukkan bahwa mayoritas dari partisipan pernah melakukan perilaku melukai diri, dan hal ini tidak ditemukan berbeda baik pada remaja berjenis kelamin perempuan dan laki-laki maupun kelompok usia remaja awal, madya dan akhir. Selain itu, kekuatan korelasi antara pola asuh positif dan perilaku melukai diri yang didapatkan berada pada rentang lemah hingga sedang juga mengarahkan bahwa adanya faktor protektif lain dari perilaku melukai diri. Dengan demikian, peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengeksplorasi faktor-faktor lain yang mungkin berhubungan dalam penurunan perilaku melukai diri di remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, F. A. (2019). Factor structure of the Indonesian version of the Parent as Social Context Questionnaire Factors influencing students achievement in Statistics View project Indonesian Mothers’ Mental Health During COVID-19 Pandemic View project.

https://www.researchgate.net/publication/337486906

Anne McArthur, B., Cherry, K. M., Braimoh PsyD, G., & Lumley, M. N. (2017). An Exploration of Positive Parenting in Relation to Psychopathology for Youth with a Diagnosis of Bipolar Spectrum Disorder.

In J Can Acad Child Adolesc Psychiatry (Vol. 26, Issue 3).

(10)

10 Baetens, I., Claes, L., Martin, G., Onghena, P., Grietens, H., van Leeuwen, K., Pieters, C., Wiersema, J. R.,

& Griffith, J. W. (2014). Is Nonsuicidal Self-Injury Associated With Parenting and Family Factors?

Journal of Early Adolescence, 34(3), 387–405. https://doi.org/10.1177/0272431613494006

Bai, S., & Repetti, R. L. (2015). Short-term resilience processes in the family. Family relations, 64(1), 108–

119. https://doi.org/10.1111/fare.12101

Bjärehed, J., & Lundh, L. G. (2008). Deliberate self-harm in 14-year-old adolescents: How frequent is it, and how is it associated with psychopathology, relationship variables, and styles of emotional regulation? Cognitive Behaviour Therapy, 37(1), 26–37. https://doi.org/10.1080/16506070701778951 Brown, R. C., & Plener, P. L. (2017). Non-suicidal Self-Injury in Adolescence. In Current Psychiatry Reports

(Vol. 19, Issue 3). Current Medicine Group LLC 1. https://doi.org/10.1007/s11920-017-0767-9

Crisler, V. L. (2015). Parenting practices and styles that encourage resilience and develop social interest in children (Master’s thesis, Adler Graduate School, Minnesota, United States). Retrieved from https://alfredadler.edu/sites/default/files/Crisler%20MP%202015.pdf

Cummings, C. M., Caporino, N. E., & Kendall, P. C. (2014). Comorbidity of anxiety and depression in children and adolescents: 20 years after. Psychological Bulletin, 140(3), 816–845.

https://doi.org/10.1037/a0034733

Curtis, A. C. (2015). Defining Adolescence. Journal of Adolescent and Family Health, 7(2).

http://scholar.utc.edu/jafhhttp://scholar.utc.edu/jafh/vol7/iss2/2

Du, C., You, J., Zheng, X., Ren, Y., & Jiang, Y. (2017). The effects of parental psychological control on non- suicidal self-injury in Chinese adolescents: The mediating effect of negative emotions. Journal of Psychological Abnormalities, 05(02). https://doi.org/10.4172/2471-9900.1000151

Eiland, L., & Romeo, R. D. (2013). Stress and the developing adolescent brain. In Neuroscience (Vol. 249, pp. 162–171). https://doi.org/10.1016/j.neuroscience.2012.10.048

Gravetter, F. J., & Forzano, L. B. (2012). Research Methods for the Behavioral Sciences (4th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.

Grandclerc, S., de Labrouhe, D., Spodenkiewicz, M., Lachal, J., & Moro, M. R. (2016). Relations between nonsuicidal self-injury and suicidal behavior in adolescence: A systematic review. PLoS ONE, 11(4).

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0153760

Gratz, K. L. (2001). Measurement of Deliberate Self-Harm: Preliminary Data on the Deliberate Self-Harm Inventory. In Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment (Vol. 23, Issue 4).

Higgins, M. (2015). Teen self-injury (J. Gleisner, Ed.). Abdo Publishing.

https://pdfcoffee.com/qdownload/jan-sutton-healing-the-hurt-within-understand-sbookfi-pdf- free.html

Krapić, N., Hudek-Knežević, J., & Kardum, I. (2015). Stress in adolescence: effects on development.

International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences, 562–569. doi:10.1016/b978-0-08- 097086-8.23031-6

Leshem, R. (2016). Brain development, impulsivity, risky decision making, and cognitive control:

Integrating Cognitive and Socioemotional Processes During Adolescence—An Introduction to the special issue. Developmental Neuropsychology, Vol. 41, Issues 1–2, pp 1–5.

https://doi.org/10.1080/87565641.2016.1187033

Li, CQ., Zhang, JS., Ma, S. et al. Gender differences in self-harm and drinking behaviors among high school students in Beijing, China. BMC Public Health 20, 1892 (2020). https://doi.org/10.1186/s12889-020- 09979-6

Lundh, L., Karim, J., Quilisch, E., & Lundh, L.-G. (2007). Deliberate self-harm in 15-year-old adolescents:

A pilot study with a modified version of the Deliberate Self-Harm Inventory. Scandinavian Journal of Psychology, 48, 33–41. https://doi.org/10.1111/j.1467-9450.2006.00567.x

Marotz, L. R., & Ellen, K. E. (2016). Developmental Profiles: Pre-Birth Through Adolescence, (8th Ed.).

USA, Boston: Cengage Learning.

Muehlenkamp, J. J., Xhunga, N., & Brausch, A. M. (2019). Self-injury Age of Onset: A Risk Factor for NSSI Severity and Suicidal Behavior. Archives of Suicide Research, 23(4), 551–563.

https://doi.org/10.1080/13811118.2018.1486252

Nock, M. K. (2010). Self-Injury. In Annual Review of Clinical Psychology (Vol. 6, pp. 339–363).

https://doi.org/10.1146/annurev.clinpsy.121208.131258

Pastor, C., Ciurana, A., Navajas, A., Cojocaru, D., & Vasquez, N. (2015). Positive Parenting: Lessons From Research. Revista de Cercetare Si Iterventie Sociala, 51, 227–239.

(11)

11 Plener, P. L., Schumacher, T. S., Munz, L. M., & Groschwitz, R. C. (2015). The longitudinal course of non-

suicidal self-injury and deliberate self-harm: A systematic review of the literature. In Borderline Personality Disorder and Emotion Dysregulation (Vol. 2, Issue 1). BioMed Central Ltd.

https://doi.org/10.1186/s40479-014-0024-3

Sanders., M. R., & Morawska, A. (2018). Handbook of Parenting and Child Development Across the Lifespan.

Switzerland: Springer.

Seiffge-Krenke, I., & Pakalniskiene, V. (2010). Who shapes whom in the family: Reciprocal links between autonomy support in the family and parents’ and adolescents’ coping behaviors. Journal of Youth and Adolescence, 40(8), 983–995. doi:10.1007/s10964-010-9603-9

Shah, K., Mann, S., Singh, R., Bangar, R., & Kulkarni, R. (2020). Impact of COVID-19 on the Mental Health of Children and Adolescents. Cureus. https://doi.org/10.7759/cureus.10051

Skinner, E., Johnson, S., & Snyder, T. (2005). Six Dimensions of Parenting: A Motivational Model.

Parenting, 5(2), 175–235. https://doi.org/10.1207/s15327922par0502_3

Smokowski, P. R., Bacallao, M. L., Cotter, K. L., & Evans, C. B. R. (2014). The Effects of Positive and Negative Parenting Practices on Adolescent Mental Health Outcomes in a Multicultural Sample of Rural Youth. Child Psychiatry and Human Development, 46(3), 333–345.

https://doi.org/10.1007/s10578-014-0474-2

Son, Y., Kim, S., & Lee, J. S. (2021). Self‐injurious behavior in community youth. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(4), 1–16. https://doi.org/10.3390/ijerph18041955 Swannell, S. v., Martin, G. E., Page, A., Hasking, P., & St John, N. J. (2014). Prevalence of nonsuicidal self-

injury in nonclinical samples: Systematic review, meta-analysis and meta-regression. In Suicide and Life-Threatening Behavior (Vol. 44, Issue 3, pp. 273–303). Wiley-Blackwell.

https://doi.org/10.1111/sltb.12070

Tabak, I., & Zawadzka, D. (2017). The importance of positive parenting in predicting adolescent mental health. Journal of Family Studies, 23(1), 1–18. https://doi.org/10.1080/13229400.2016.1240098

Tresno, F., Ito, Y., & Mearns, J. (2012). Self-Injurious Behavior and Suicide Attempts Among Indonesian College Students. Death Studies, 36(7), 627–639. doi:10.1080/07481187.2011.604464

Victor, S. E., Hipwell, A. E., Stepp, S. D., & Scott, L. N. (2019). Parent and peer relationships as longitudinal predictors of adolescent non-suicidal self-injury onset. Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health, 13(1). https://doi.org/10.1186/s13034-018-0261-0

Wang, B., You, J., Lin, M. P., Xu, S., & Leung, F. (2017). Developmental Trajectories of Nonsuicidal Self- Injury in Adolescence and Intrapersonal/Interpersonal Risk Factors. Journal of Research on Adolescence, 27(2), 392–406. https://doi.org/10.1111/jora.12273

Wester, K. L., Ivers, N., Villalba, J. A., Trepal, H. C., & Henson, R. (2016). The Relationship between Nonsuicidal Self-Injury and Suicidal Ideation. Journal of Counseling and Development, 94(1), 3–12.

https://doi.org/10.1002/jcad.12057

Whitlock, J., Muehlenkamp, J., Eckenrode, J., Purington, A., Baral Abrams, G., Barreira, P., & Kress, V.

(2013). Nonsuicidal self-injury as a gateway to suicide in young adults. Journal of Adolescent Health, 52(4), 486–492. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2012.09.010

Wilmshurst, L. (2017). Abnormal Child and Adolescent Psychology (2nd ed.). New York: Routledge.

Young, K., Sandman, C., & Craske, M. (2019). Positive and negative emotion regulation in adolescence:

links to anxiety and depression. Brain Sciences, 9(4), 76. doi:10.3390/brainsci9040076

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Oksana, dkk (2011) mengenai peranan berbagai macam media tumbuh bagi pertumbuhan stek daun jeruk Japanche citroen memberikan pengaruh yang sangat nyata

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa metode CALDEA dan metode EVAMECAL merupakan suatu kakas yang dapat digunakan untuk menganalisis sistem

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Bapa yang penuh dengan Kasih, atas berkat dan karuniaNya yang sungguh luar biasa sehingga penulis dapat

Penelitian deskriptif cross sectional ini dilakukan di Kelurahan Pabean, Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan dengan Survei Darah Jari terhadap 519

tanggung jawab mitra II adalah menerima dan melaksanakan order yang diberikan oleh mitra I baik melalui aplikasi android maupun call centre atau yang diatur oleh

Apabila pembatalan pertanggungan dibatalkan oleh Penanggung, maka Tertanggung berhak atas pengembalian premi secara prorata untuk jangka waktu pertanggungan yang belum

Karya ilmiah yang ditulis oleh Tari (2011), Manguwijaya (dalam Ratnawati 2000:2) mengungkapkan: “Religius pada dasarnya adalah bersifat mengatasi atau lebih dalam dari pada agama

Sesuai dengan kasus tersebut diatas maka dalam skripsi ini terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas yaitu pertama, apakah Asas Unus Testis Nullus Testis bisa