• Tidak ada hasil yang ditemukan

P r o s i d i n g 354

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "P r o s i d i n g 354"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KERAPATAN KANOPI (MIKROKLIMAT) TERHADAP FRUIT SET KELAPA SAWIT

Yohana Theresia Maria Astuti(1), Tri Nugraha Budi Santosa(2), Raden Sandy Rizky Wijaya(3) Institut Pertanian Stiper

(1)corresponding email: [email protected]

(2)corresponding email: [email protected]

(3)corresponding email: rizky [email protected]

PENDAHULUAN

Pengelolaan tajuk (canopy management) yang tepat merupakan aspek kunci kelapa sawit. Pengelolaan tajuk direfleksikan dengan pengaturan jarak tanam sehingga didapatkan nilai indeks luas daun yang maksimum (Corley & Tinker, 2003). Kerapatan kanopi dapat mempengaruhi mikroklimat di bawah kanopi. Mikroklimat merupakan iklim mikro yang terdapat di dalam daerah yang cukup kecil (Tjasyono, 2004).

Penyerbukan bunga kelapa sawit memerlukan polinator. Polinator bunga kelapa sawit dapat berupa angin, air, manusia, hewan vertebrata dan serangga (Wink, 2003; Young et al., 2007). Elaeidobius kamerunicus merupakan serangga penyerbuk utama kelapa sawit di Indonesia. E. kamerunicus adalah serangga yang sangat penting dalam peningkatan set buah kelapa sawit (Girsang et al., 2017; Kouakou et al..2014; Donough & Law. 1987; Wahid et al., 1987; Caudwell, 2001; Ponnamma et al., 2006; Yue et al., 2015; Teo, 2015). Penyerbukan serangga sangat penting ketika kelembaban atmosfer tinggi dan pada bunga yang terletak jauh di dalam tandan bunga betina( Appiah & Agyei-Dwarko, 2013; Purba et al., 2010). Mereka ditemukan di tandan bunga betina dan jantan (Meléndez & Ponce, 2016). Imago E. kamerunicus berwarna coklat kehitaman dan memiliki 2 pasang sayap dengan sayap bagian depan mengeras yang disebut elitra. Imago jantan dapat dibedakan dari ciri morfologi seperti ukuran tubuh jantan lebih besar dari pada betina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur imago jantan 31 – 61 hari lebih lama dari pada umur betina 29 – 55 hari (Girsang et al., 2017; O’Brien & Woodruff, 1986). Bunga jantan berfungsi sebagai sumber makanan dan tempat berkembang biak E.

kamerunicus (Syed, 1982). Tingginya curah hujan dapat menyebabkan menurunnya serangga penyerbuk (Prasetyo et al., 2010). Kumbang dewasa paling melimpah pada bunga betina pada hari ke 2 dari anthesis (Yue et al., 2015; Hala et al., 2012) atau selama hari ke-2 dan ke-3 dari puncak (Syed, 1982; Syed, 1979). E. kamerunicus dewasa cenderung bertahan pada spikelet untuk kawin dan bertelur pada sore hari (Yue et al., 2015; Hala et al., 2012). Bunga jantan yang sedang anthesis memiliki bau yang lebih kuat dibandingkan bunga betina reseptif. Senyawa volatil yang diproduksi oleh bunga kelapa sawit berfungsi untuk menarik serangga penyerbuk (Rahayu, 2009). Di pagi hari, bunga jantan anthesis mulai memancarkan aroma yang kuat, namun jumlah kumbang paling tinggi pada siang hari dan turun jumlahnya di sore hari (Yue et al., 2015; Prasetyo et al., 2010; Adaigbe, et al., 2011). E. kamerunicus sepenuhnya tergantung pada bunga jantan kelapa sawit untuk bertahan hidup (Teo, 2015). Aktivitas E. kamerunicus berlangsung dari pagi sampai siang (Saravanan et al., 2014). Sekitar 1,63 buah telur E.

kamerunicus diletakkan per hari. Harapan hidup rata-rata di E. kamerunicus adalah sekitar 60 hari (Hala et al., 2012; Herlinda et al.,, 2006). Fruit set serta tandan buah kelapa sawit di beberapa daerah cukup rendah. Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur mencapai fruit set 35,1%. Persentase ini lebih rendah dari potensi fruit set kelapa sawit, yaitu di atas 75%

(Prasetyo et al., 2010; Kahono, et al., 2012; Prasetyo et al., 2012a). Penerapan berbagai insektisida yang tidak tepat juga dapat mengurangi populasi E. kamerunicus (Prasetyo et al.,

(2)

2012b). Penggunaan bibit kelapa sawit berpotensi produksi tinggi mempengaruhi populasi E.

kamerunicus karena bunga betina yang sangat melimpah dan bunga jantan sangat sedikit (Tuo et al., 2011; Purba et al., 2009). Di sisi lain, perubahan populasi E. kamerunicus mempengaruhi produksi buah kelapa sawit. Pada saat populasi E. kamerunicus tinggi, maka fruit set juga tinggi, dan sebaliknya (Hutauruk & Syukur, 1985; Harun & Noor. 2002). Penyerbukan yang dilakukan oleh kumbang E.kamerunicus meningkatkan produksi buah kelapa sawit dari 44% menjadi 75%

(Hutauruk et al. 1982). Fruit set adalah rasio buah yang jadi terhadap keeluruhan buah pada satu tandan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kerapatan kanopi (mikroklimat) terhadap aktivitas dan populasi E.kamerunicus dan kaitannya terhadap peningkatan fruit set kelapa sawit.

METODOLOGI

Penelitian dilakukan di perkebunan kelapa sawit yang terletak di Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian dimulai bulan Oktober 2016 hingga April 2017. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pengumpulan data untuk dianalisis hubungan antara kerapatan kanopi (mikroklimat) terhadap aktivitas serangga penyerbuk serta pengaruhnya terhadap fruit set. Tanaman kelapa sawit yang diamati berjumlah 30 pokok untuk setiap tingkatan umur, yaitu tahun tanam 2011, 2009 dan 2007.

Pengamatan dilakukan terhadap populasi E. .kamerunicus pada bunga betina pada masa reseptif (3 hari). Pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya dilakukan pada pagi hari. Pengukuran lain dilakukan terhadap diameter kanopi (tajuk) serta fruit set. Hasil pengamatan dianalisis dengan anova serta korelasi dengan margin error 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Mikroklimat di bawah kanopi pada perkebunan kelapa sawit:

Tahun Tanam Diameter kanopi Mikroklimat

Suhu (°C) Kelembaban (%) Intensitas Cahaya (Lux)

2011 11,542b 33,40a 69,33c 11860a

2009 11,97a 31,10b 72,00b 6770b

2007 12,364a 30,40c 72,83a 4930c

Sumber: Data Primer diolah 2017

Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan ada

perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada jenjang nyata 5 %.

Tabel 2. Jumlah E.kamerunicus selama bunga betina reseptif dan fruit set pada beberapa kerapatan kanopi kelapa sawit (tahun tanam) di perkebunan kelapa sawit

Tahun tanam Jumlah E.kamerunicus

(ekor) Fruit Set (%)

2011 153,200p 72,366p

2009 145,233p 71,270p

(3)

2007 153,467p 73,313p Sumber: Data Primer diolah 2017

Keterangan: Rerata yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama menunjukkan tidak ada

perbedaan nyata berdasarkan uji DMRT pada jenjang nyata 5 %.

Tabel 3. Korelasi antara mikroklimat dan jumlah E.kamerunicus pada bunga betina reseptif di perkebunan kelapa sawit

Jumlah Serangga

Persamaan R²

Suhu y = 0,8177x + 124,77 0,0775

Kelembaban y = 0,1044x + 64,863 0,0349

Intensitas Cahaya y = 0,0305x + 148,24 0,0546

Sumber: Data primer diolah 2017

Tabel 4. Korelasi antara mikroklimat dan persentase fruit set kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit

Fruit Set

Persamaan R²

Suhu y = -0,1091x + 75,766 0,0289

Kelembaban y = 0,1044x + 64,863 0,0349

Intensitas cahaya y = -0,0061x + 72,798 0,0464

Sumber: Data primer diolah 2017

Tabel 5. Korelasi antara jumlah E.kamerunicus pada bunga betina dan fruit set kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit

Fruit Set

Persamaan R²

Elaeidobius kamerunicus y = 0,1965x + 42,718 R² = 0,8085 Sumber: Data primer diolah 2017

.Hasil analisis jumlah serangga di bunga betina menunjukkan populasi E. kamerunicus sama pada berbagai diameter kanopi. Susanto & Prasetyo (2012) menyampaikan bahwa populasi E. kamerunicus meningkat pada musim kemarau dan relatif menurun pada musim penghujan. Pada saat pengambilan data jumlah serangga dilakukan pada bulan oktober, dimana curah hujan mencapai 278,5mm/bulan. Akibat dari curah hujan yang tinggi tersebut jumlah E. kamerunicus yang diamati memiliki nilai yang relatif rendah dan tidak jauh berbeda.

(4)

Hasil analisis fruit set menunjukkan hasil yang sama pada berbagai diameter kanopi.

Syed & Saleh (1988) menyatakan jika populasi kumbang kurang dari sekitar 700 kumbang per bunga betina, maka fruit set yag dihasilkan tidak memadai. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dilihat analisis jumlah serangga di bunga betina memiliki jumlah kurang dari 700, sehingga fruit set dari ketiga macam diameter kanopi relatif sama.

Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa antara mikroklimat (suhu, kelembaban, intensitas cahaya) dan jumlah serangga yang mengunjungi bunga betina reseptif memiliki hubungan yang sangat rendah. Di Indonesia, perkembangan populasi E. kamerunicus lebih cepat pada musim penghujan dibandingkan dengan musim kemarau walaupun secara perilaku lebih aktif pada musim kemarau (Susanto & Prasetyo, 2012). Berdasarkan pendapat tersebut, menyatakan bahwa perbedaan perilaku E. kamerunicus dipengaruhi oleh perbedaan musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan yang artinya serangga tersebut perilakunya sangat erat dipengaruhi oleh iklim yang luas atau bukan dipengaruhi oleh mikroklimat. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa antara mikroklimat (suhu, kelembaban, intensitas cahaya) dan fruit set memiliki hubungan yang sangat rendah. Berat tandan sebagian dipengaruhi oleh fruit set dan penyerbukan yang efisien. Beberapa wilayah di Asia Tenggara, polinasi bantuan sering dilakukan untuk mendapatkan fruit set yang baik, ini disebabkan kekurangan bunga jantan, kecepatan angin yang rendah dan curah hujan tinggi (Gray, 1966).

Hasil analisis korelasi lainnya menunjukkan bahwa antara jumlah serangga di bunga betina dan fruit set memiliki hubungan yang sangat tinggi. Efek jangka panjang dari introduksi E.

kamerunicus dideskripsikan oleh Donough & Law (1987). Mereka membandingkan data jumlah tandan dan hasilnya sebelum dan sesudah dilepaskan E. kamerunicus selama 4 tahun di Johor dan Peninsular Malaysia dan di Sabah. Hasilnya setelah diintroduksi berat tandan naik, dengan jumlah tandan yang relatif sedikit berkurang. Pendapat tersebut mendukung hasil analisis korelasi jumlah serangga dan fruit set yang sangat tinggi.

KESIMPULAN

1. Antara mikroklimat dengan jumlah serangga memiliki korelasi yang sangat rendah karena nilai korelasinya mendekati 0.

2. Antara mikroklimat dengan fruit set memiliki korelasi yang sangat rendah karena nilai korelasinya mendekati 0

3. Antara jumlah serangga dengan persentase fruit set memiliki korelasi yang sangat kuat karena mendekati angka 1.

DAFTAR PUSTAKA

Adaigbe, V.C.I., J.A. Odebiyi, A.A. Omoloye, C.I. Aisagbonhi and O. Iyare. 2011. “Host location and ovipositional preference of Elaeidobius kamerunicus on four host palm species”, Journal of Horticulture and Forestry Vol. 3(5): 163-166.

Appiah, S.O. & D. Agyei-Dwarko. 2013. “Studies on Entomophil pollination towards sustainable production and increased profitability in the oil palm: a review”, Elixir Agriculture 55: 12876-12883.

Caudwell, R.W., 2001. “Insect pollination of oil palm—time to evaluate the long-tem viability and sustainability of Elaeidobius kamerunicus”, Planter 77: 181-190.

Corley, R.H.V. & P.B. Tinker. 2003. The Oil Palm. Blackwell Science Ltd. United Kingdom

(5)

Donough, C.R.& I.H. Law. 1987. “The effect of weevil pollination on yield and profit-ability at Pamol Plantations”, Proceedings of the 1987 International Palm Oil/ Oil Palm Conference. Kuala Lumpur, Malaysia. 11 pp.

Girsang, R. J., M. C. Tobing & Y. Pangestuningsih. 2017. Biologi Serangga Penyerbuk Elaeidobius Kamerunicus (Coleoptera: Curculionidae) Setelah 33 Tahun Diintroduksi di Sumatera Utara. Jurnal Agroekoteknologi FP USU E-ISSN No. 2337- 6597 5 (2):

348- 354.

Gray, B.S. 1966. The necessity for assisted pollination in areas of low male inflorescence production and its effect on the components of yield of the oil palm (Elaeis guineensis).

Planter. Kuala Lumpur

Hala, N., Y. Tuo, A.A.M. Akpesse, H.K. Koua and Y. Tano. 2012. “Entomofauna of oil palm tree inflorescences at La Mé experimental station (Côte d’Ivoire)”, American Journal of Experimental Agriculture 2: 306-319.

Harun, M.I.& M.R.M.D. Noor. 2002. “Fruit set and oil palm bunch components”, J. Oil Palm Res., 14: 24-33.

Herlinda, S., Y. Pujiastuti, T. Adam and R. Thalib. 2006. “Life Cycle of Pollinator Beetle (Elaeidobius kamerunicus Faust.) (Coleoptera:Curculionidae) on Male Flowe r of Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq,) in The Laboratory”, Agria 1 (3): 10-12.

Hutauruk, C.H, A. Sipayung & P. Sudharto. 1982. Elaeidobius kamerunicus Fst: Hasil Uji Kekhususan Inang dan Peranannya Sebagai Penyerbuk Kelapa Sawit. Buleti Pusat Penelitian Marihat, 3(2): 1-15

Hutauruk, C.H. & S. Syukur. 1985. “Serangga penyerbuk kelapa sawit di Cote d’Ivore, Benin dan Republic du Cameroun Afrika Barat”, Buletin Pusat Penelitian Marihat, 5:

29-42.

Kahono, S., P. Lupiyaningdyah, Erniwati and H. Nugroho. 2012. “Potensi dan pemanfaatan serangga penyerbuk untuk meningkatkan produksi kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit desa Api-api, kecamatan Waru, kabupaten Penajam Paser Utara Kalimantan Timur”, Zoo Indonesia 21(2): 23-34.

Kouakou, M., N. Hala, A.A.M. Akpesse, Y. Tuo, M. Dagnogo, K.E. Konan & H.K. Koua. 2014.

“Comparative efficacy of Elaeidobius kamerunicus, E. Plagiatus, E. Subvittatus (Coleoptera:Curculionidae) and Microporum spp. (Coleoptera: Nitidulidae) in the pollination of oil palm (Elaeis guineensis)”, Journal of Experimental Biology and Agricultural Sciences 2 (6): 538-545.

Meléndez, M.R. and W.P. Ponce. 2016. “Pollination in the oil palms Elaeis guineensis, E.

oleifera and their hybrids (OxG), in tropical America” e-ISSN 1983-4063 - www.agro.ufg.br/pat - Pesq. Agropec. Trop. 46 (1): 102-110.

O’Brien, C.W. & R.E. Woodruff. 1986. First records in the united states and south America of the african oil palm weevils, Elaeidobius subvittatus (Faust) and E. Kamerunicus (Faust) (Coleoptera:Curculionidae), Entomology Circular 284.

Ponnamma, K.N., V. Asha & A. Sajeebkhan. 2006. “Progeny emergence in Elaeidobius kamerunicus”, Planter 82: 333-336.

Prasetyo, A.E., E. Supriyanto, A. Susanto and A.R. Purba. 2010. “Population dynamics of Elaeidobius kamerunicus faust, A case study on upland oil palm pollination”, Proceeding of International Oil Palm Conference Yogyakarta 1-6 Juni 2010.

Prasetyo, A.E., M. Arif and T.C. Hidayat. 2012a. “Buah Landak Pada Tanaman Muda Kelapa sawit”, Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit 17: 13-20.

(6)

Prasetyo, A.E., A. Zainudin and W.A. Harsanto. 2012b. “Evaluasi Buah Partenokarpi pada Tanaman Muda Kelapa Sawit di PT Graha Inti Jaya”, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

Purba, A.R., E. Supriyanto, N. Supena and M. Arif. 2009. ”Peningkatan Produktivitas Kelapa Sawit Dengan Menggunakan Bahan Tanaman Unggul”, Prosiding Pertemuan Teknis Kelapa Sawit, Jakarta 28-30 Mei 2009.

Purba, R.Y., I.Y Harahap, Y. Pengaribuan and A. Susanto. 2010. “Menjelang 30 Tahun Keberadaan Serangga Senyerbuk Kelapa Sawit Elaeidobius kamerunicus Faust di Indonesia”, Jurnal Penelitian Kelapa Sawit 18 (2) : 73-85.

Rahayu, S. 2009. Peranan senyawa volatile kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) bagi serangga penyerbuk Elaeidobius kamerunicus Faust dan Thrips hawaiienensis Morgan (disertasi). Bandung: Institut Teknologi Bandung

Saravanan, L., P. Kalidas, K. Ravi Babu and T. Phanikumar. 2014. “Factors affecting the activity of pollinating weevil, Elaeidobius kamerunicus Faust.”, in irrigated oil palm plantations, L. Saravanan et al., Agrotechnol : 2:4. http://dx.doi.org/10.4172/2168- 9881.S1.007 2nd International Conference on Agricultural & Horticultural Sciences.

February 03-05, 2014.

Susanto, A. & A.E. Prasetyo. 2012. Meningkatkan Fruit Set Kelapa sawit dengan Teknik Hatch & Carry Elaeidobius kamerunicus. Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Medan.

Syed, R.A. 1979. “Studies on oil palm pollination by insects”, Bulletin of Entomological Research 69: 213.

Syed, R.A. 1982. “Insect pollination of oil palm, feasibility of introducing Elaeidobius spp. into Malaysia.in oil palm in agriculture in the Eighties”, The incorporated society of planters, Kuala Lumpur, pp. 263- 289.

Syed, R.A. & A. Saleh. 1988. Population of Elaeidobius kamerunicus Fst. in relation to fruit set. Palm Oil Res. Inst. Kuala Lumpur

Teo, T.M. 2015. “Effectiveness of the oil palm pollinating weevil, Elaeidobius kamerunicus, in Malaysia”, Utar Agriculture Science Journal 4 (1): 40-43.

Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. ITB, Bandung.

Tuo, Y., H.K. Koua and N. Hala. 2011. “Biology of Elaeidobius Kamerunicus and Elaeidobius Plagiatus (Coleoptera: Curculionidae) Main Pollinators of Oil Palm in West Africa”, European Journal of Scientific Research ISSN 1450-216X Vol.49 No.3: 426-432.

http://www.eurojournals.com/ejsr.htm.

Wahid, M.B., Z. Masijan, A.H. Halim and D. Mohid. 1987. “The population census and the pollination efficiency of the weevil Elaeidobius kamerunicus in Malaysia. A status report, 1983–1986”. Proceedings of the 1987 International Oil Palm/ Palm Oil Conferences. Kuala Lumpur, Malaysia. 32 pp.

Wink, M. 2003. Evolution of secondary metabolites from an ecological and molecular phylogenetic perspective. Phytochemistry 64: 3-19

Young, H.J., D.W. Dunning, & K.W.V. Hasseln. 2007. Foraging behaviour affects pollen removal and deposition in Impatients capensis (Balsaminaceae). American Journal of Botany 94 (7): 1267-1271.

Yue, J., Z. Yan, C. Bai, Z. Chen, W. Lin, & F. Jiao. 2015. “Pollination activity of Elaeidobius kamerunicus (Coleoptera: Curculionoidea) on oil palm on Hainan island”, Florida entomologist 2 (98): 499-504.

Referensi

Dokumen terkait

Pada kasus infeksi, mikroorganisme ditemukan pada area dan sebagai penyebab peradangan, mikroorganisme ini dapat diidentifikasi dan penyembuhan yang tepat dapat mengurangi

Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran Kopi Amstirdam di Kabupaten Malang meliputi petani sebagai produsen, tengkulak/pengepul, pengolah, toko/pabrik dan

Informasi titik kritikal salinitas berdasarkan daya berkecambah kultivar Eiffel dan Tidore adalah NaCl 0,6 % dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan invigorasi benih dengan

Hal ini menyebabkan sampel ZnO tanpa aditif tidak bersifat seperti varistor, yaitu: tidak menunjukkan pola yang non linier (non ohmik) dari hubungan arus I dan tegangan listrik

2) Penelitian ini akan ditekankan pada struktur teks kidung Rahayu; klasifikasi dan deskripsi kidung Rahayu; konsep hidup rahayu yang tercermin dari kidung

Ruang ini menurut Relph (1976) memiliki tiga komponen penting yaitu aspek fisik (teraba), kegitan yang terlihat, dan simbol dan makna. Oleh karena itu kerusakan suatu

Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat kerusakan bangunan di Pidie Jaya selain akibat dari pemakaian kwalitas bahan yang rendah, pemakaian bentuk atap masjid

Penyebaran informasi tersebut melalui pertemuan kelompok dan diteruskan melalui pengurus kelompok. Terdapat sanksi yang diberlalukan terhadap siapapun yang melanggar aturan