Analisis Parameter Fisik dan Kimia Kompos dengan Metode Vermicomposting pada Sampah Daun
Nicken Dasa Wulandari
1*, Tanti Utami Dewi
1, dan Vivin Setiani
11Program Studi Teknik Pengolahan Limbah, Jurusan Permesinan Kapal, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, Surabaya, 60111
*E-mail :[email protected]
Abstrak
Penanganan sampah daun yang biasa dilakukan adalah dengan mengumpulkan sampah daun dan membakarnya. Hal ini akan menimbulkan masalah bagi kualitas udara akibat dampak pembakaran sampah daun. Salah satu penanganan terbaik bagi sampah daun sebai salah satu penanganan terbaik bagi sampah daun sebagai salah satu jenis sampah organik yang bersifat biodegradable yaitu melalui proses pengomposan sehingga menghasilkan produk baru berupa pupuk organik berbahan sampah daun. Mikoroorganisme dapat diperoleh melalui pemanfaatan MOL (Mikroorganisme Lokal) dari nasi basi yang terdiri dari bakteri (Lactobbacillus, Streptococcus, Azotobacter, Azospirilium) dan Jamur (Fusarium dan Trichoderma) untuk mempercepat penguraian sehingga menghasilkan pupuk dengan kualitas terbaik. Adapun tujuan dilakukan penelitian ini yaitu akan memanfaatkan sampah organik menjadi kompos. Pengomposan sampah daun dengan menggunakan metode cacing (vermikompos) dapat mempercepat dalam pembuatan kompos, dan penambahan MOL nasi basi, sehingga dapat menghasilkan pupuk dengan kualitas terbaik. Dimensi komposter vermikompos yang digunakan 75 cm x 75 cm x 100 cm.Komposisi kompos terdiri dari sampah daun trembesi (25,47%) daan sampah sayuran (74,53%). Pengukuran yang dilakukan yaitu suhu, warna, bau, tekstur, pH, kadar air, C, N, rasio C/N, P2O5, dan K2O. Hasil akhir pengomposan telah memenuhi SNI 19- 7030-2004. Kandungan kimia kompos yaitu C-organik 31,88%; Nitrogen 2,21%; rasio C/N 14,42; P2O5
0,287%; K2O 0,28%.
Keywords : composting, sampah daun trembesi dan sampah sayuran, vermikompos
1. PENDAHULUAN
Riset yang dilakukan oleh Sustainable Waste Indonesia (SWI) menunjukan bahwa 24 % sampah organik di Indonesia masih belum terolah dan terkelola dengan baik (Chaoui, H., 2018). Sampah merupakan salah satu limbah yang terdapat di lingkungan. Bentuk, jenis, dan komposisi dari sampah dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan kondisi alam dari suatu daerah.Salah satu cara pemanfaatan sampah ini adalah dengan mengelolanya menjadi pupuk kompos (pengompsan) yang bisa di manfaatkan untuk para petani, sebagai pupuk ramah lingkungan. Berdasarkan (Novien, 2014).
Metode dengan menggunakan cacing sebagai objek pengurai sampah biasa disebut dengan metode vermicomposting. Proses vermicomposting dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: Pada suhu 20-29 ºC cacing tanah akan tumbuh dan berkembang dengan maksimal, kelembapan yang terbaik adalah 80-90%, dengan kisaran optimum sebesar 85%, nilai pH optimum bagi cacing tanah antara 6.5 dan 8.5 (Anjangsari, (2017).
Dari uraian di atas maka akan dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan sampah daunsebagai pupuk kompos dengan kualitas terbaik (pupuk vermikompos). Vermikompos tersebut akan diterapkan untuk menguraikan sampah lebih cepat. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui analisis kualitas kompos yang dihasilkan terhadap kandungan fisik dan kimia pada kompos dengan metode vermicomposting.Proses pengomposan membutuhkan produk dekomposer atau bahan pengurai untuk proses penguraiannya melalui mikroorganisme lokal (MOL). MOLyang akan digunakan untuk pengomposan ini menggunakan MOL nasi basi. Nasi basi biasanya diberikan untuk ternak, dan yang cukup menarik perhatian nasi basi terkadang hanya dibuang begitu saja di tempat sampah tanpa ada pengolahan lanjutan hingga lambat laun memberikan efek bau yang kurang sedap pada lingkungan dan pemandangan yang tidak menyenangkan (Lubis, dkk. 2017).
2. METODE
Penelitian ini menggunakan komposter aerobic yang sebelumnya didesain sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan sebagai alat pendukung pada penelitian ini. Adapun rincian ukuran komposter yang digunakan diantaranya berbentuk kotak berbahan dasar kayu dan pada bagian dalam komposter dikelilingi kassa untuk mencegah terjadinya cacing keluar, kapasitas pada komposter ini sebesar 281.250 cm3 dengan rincian panjang 75 cm, lebar 75 cm dan tinggi 50 cm dan 48 cm, kemiringan ketinggian pada komposter diatur
sedemikian supaya air lindi tidak mengggenang. Di bagian bawah wadah komposter terdapat wadah sebagai penampung air lindi. Pada bagian depan bawah komposter dilubangi untuk tempat kran penampung air lindi.
Pada bagian samping komposter terdapat lubang aerasi dengan diameter 15 cm. Berikut desain komposter vermikompos :
Gambar 1. Desain komposter vermikompos
Bahan yang digunakan adalah 13 kg sampah daun dan sampah sayuran dan menambahkan cacing tanah sebesar 3,25 kg , dan juga menambahkan MOL nasi basi dengan dosis 520 ml. Kemudian dilanjutkan pencacahan hingga berukurannya menjadi lebih kecil dan menambahkan MOL dilakukan agar proses dekomposisi dapat berjalan lebih cepat. Kemudian dilakukan pengadukan kembali agar adonan kompos homogen dan kemudian memasukkan adonan kompos kedalam komposter yang sudah disiapkan.
a. Pembuatan Mol Nasi Basi
Penelitian ini menggunakan dosis optimum MOL nasi basi yaitu 40 mL / 1 kg sampah.
Massa sampah = Kg
1 𝑘𝑔
𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎ℎ (𝑘𝑔) = 40𝑚𝑙
𝑥
b. Penambahan Cacing
Penelitiaan Vermicompostingini dilakukan dengan memberikan 0,875 kg sampah daun kepada 0,5 kg cacing dengan asumsi cacing akan memakan daun terfermentasi seberat tubunya (Pratiwi,dkk.2017)
c. Pemantauan Kompos
Keberhasilan proses pengomposan dapat dipantau dengan melakukan pemantauan sebagai berikut:
1) Pengecekan suhu dan pH dilakukan setiap hari dengan mengambil 3 titik 2) Pengamatan harian visual kompos (warna, bau dan tekstur)
3) Pengukuran kandungan C, N, rasio C/N, P2O5, dan K2O pada akhir pengomposan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Suhu
Pengukuran dan pemantauan suhu selama proses vermicomposting dilakukan satu kali setiap harinya yaitu pada pukul 08.00.
Gambar 2. Grafik pengukuran suhu kompos
Pada Gambar 2 saat proses vermicomposting berlangsung suhu di tiap komposter berkisar 25-40°C pada hari ke-1 sampai hari ke-2. Suhu pada awal pengomposan yang berkisaran antara 25-40°Ctermasuk dalam fase mesophilik(Habibi, 2009).Suhu maksimal yang dicapai pada pengomposan terjadi pada hari ke 5. Pada saat suhu mencapai puncak, mikroba aktif menguraikan bahan organik. Mikroorganisme dalam kompos menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik menjadi CO2, uap air, dan panas.
Kemudian suhu berangsur-angsur mulai menurun pada hari ke-7menunjukkan angka yang stabil yaitu suhu ruangan. Proses penurunan suhu pada komposter menunjukkan bahwa proses penguraian mikroorganisme terhadap kompos sudah mengalami proses kematangan kompos.
0 50 100
0 5 10 15 20 25 30 35
Suhu °C
Hari Ke-
Suhu Ruangan Komposter
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Yulianto (2009) bahwa setelah sebagian besar bahan terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Suhu masing-masing komposter dengan penambahan mol nasi basi maupun tanpa penambahan MOL nasi basi telah mencapai suhu normal seperti tanah sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
B. Parameter Warna, Bau, dan Tekstur
Warna, bau dan tekstur kompos yang sudah jadi adalah berwarna coklat kehitaman (gelap) menyerupai tanah. Apabila warna kompos masih seperti aslinya maka kompos tersebut belum jadi (Widyarini, 2015). Perubahan warna kompos disebabkan karena mikrobia pada masing-masing perlakuan berfungsi dengan baik untuk mendekomposisi bahan organik. Bau atau aroma yang dihasilkan pada proses pengomposan merupakan suatu tanda bahwa terjadi aktivitas dekomposisi bahan oleh mikroba.
Bau yang ditimbulkan dapat berasal dari bahan yang terlalu basah (Haffiudin, 2015) sehingga perlu dilakukan pembalikan. Pengamatan bau kompos dilakukan dengan menggunakan indra penciuman.
Reaksi ini termasuk reaksi oksidasi yang hasilnya berupa gas amoniak, air dan energi panas sehingga menyebabkan bau menjadi menyengat. Bau padakompos dengan penambahan mol nasi basi telah mencapai bau seperti tanah.
Hasil pengamatan tekstur kompos yang dihasilkan pada proses pengomposan merupakan suatu tanda tingkat kematangan kompos. Tekstur kompos yang baik apabila bentuk akhirnya sudah tidak menyerupai bahan, karena sudah hancur akibat pengurai alami oleh mikroorganisme yang hidup didalam kompos maka perlu diperhatikan tekstur dan susunan dari bahan dimana semakin kecil ukuran potongan bahan baku kompos maka akan semakin cepat proses pembusukan (Maria, 2012). Kompos dikatakan matang apabila terjadi perubahan warna menjadi warna seperti tanah (Haq dkk, 2014), kompos matang juga akan memiliki aroma seperti tanah. Jika kompos beraroma busuk, menunjukkan proses pengomposan masih berlangsung. Bentuk akhir kompos tidak menyerupai bentuk aslinya karena hancur akibat penguraian oleh mikroba, dan berbentuk remah hancur menyerupai tanah.
C. Parameter pH
Perubahan pH pada kompos dapat dilihat pada Gambar 3. pH awal pengomposan yaitu 5,2 dan mengalami penurunan sebesar 4,8. Penurunan nilai pH ini dikarenakan selama proses vermicomposting berlangsung antara lain disebabkan karena terjadinya degradasi rantai pendek asam lemak dan amonifikasi unsur hara N (Anjangsari, 2017).pH mengalami penurunan nilai pH menuju netral pada hari ke-12. Peningkatan pH tersebut diikuti dengan bau ammonia, yang menandakan adanya proses nitrifikasi.
Menurut (Aira et al., 2014), peningkatan pH ini disebabkan hal ini disebabkan karena aktivitas bakteri metanogen yang mengonversi asam organik menjadi senyawa lain seperti metana, amonia dan karbon dioksida. Setelah peningkatan nilai, pH tersebut mengalami penurunan nilai hingga mencapai pH netral.
Nilai pH optimum kompos mencapai 7, hal tersebut telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004.
Gambar 3. Grafik pengukuran pH komposi
D. Parameter C-organik, Nitrogen, P2O5, K2O dan Rasio C/N
Berdasarkan SNI 19-7030-2004 spesifikasi kualitas kompos nilai C-organik berkisar antara 9,80-32%, dari hasil pengujian akhir kandungan C-organik kompos sebesar 31,88%. Kandungan C-organik kompos mengalami penurunan selama pengomposan. Penurunan ini terjadi karena permukaan daun kering yang semakin besar mengakibatkan aktivitas mikroorganisme pengurai semakin berat sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mendekomposisi bahan tersebut (Atmaja, dkk., 2017).
Menurut standar kualitas kompos yang ditetapkan oleh SNI : 19-7030-2004 bahwa kandungan Nitrogen (N total) yang baik minimal 0,4%.Kandungan akhir kompos dengan penambahan MOL nasi basi memiliki N sebesar 2,21%. Terjadi peningkatan pada akhir pengomposan, dikarenakan komposisi sampah sayuran lebih besar, dibandingkan dengan sampah daun. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sitompul
4.34 4.64.9 5.25.5 5.86.1 6.46.77 7.37.6
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627282930
pH
Hari ke-
dkk (2017) bahwa kandungan N-Total telah memenuhi standart karena di dalam proses fermentasi, senyawa N menjadi nutrisi bagi bakteri.
Kandungan P2O5 pada kompos matang minimum sebesar 0,10% (SNI 19-7030-2004). Hasil akhir kompos mengandung P2O5 sebesar 0,287%. Selama proses pengomposan kandungan P2O5 akan mengalami peningkatan dihasil akhir,hal ini menunjukkan bahwa kandungan phosfor pada sampel vermikompos baik digunakan sebagai kompos organik untuk diaplikasikan terhadap tanaman. (Liferdi, 2015) menyatakan bahwa phosphor (P2O5) berperan penting dalam pertumbuhan tanaman untuk pembentukan sel pada jaringan akar, batang, ranting, dan daun. Berikut grafik Phospor (P2O5) yang dihasilkan pada akhir pengomposan. Dilihat dari standar kualitas kompos menurut SNI : 19-7030-2004, kompos yang baik memiliki kandungan Kalium minimal 0,20%. Hasil akhir uji kandungan K2Okompos pada penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan dari bahan awal kompos yaitu sebesar 0,28%. Unsur kalium (K2O) pada proses pengomposan cenderung meningkat, hal ini disebabkan karena adanya penambahan aktivator, maka semakin banyak aktivator mikroorganisme pendegradasi yang menyebabkan rantai karbon terputus menjadi rantai karbon sederhana (Hayati,2016).
Standar baku mutu yang ditetapkan oleh SNI : 19-7030-2004, kandungan rasio C/N yang baik untuk kompos sebesar 10 – 20.Nilai akhir rasio C/N kompos telah memenuhi SNI, yaitu sebesar 14,42. Hal ini disebabkan karena nilai rasio C/N yang terlalu rendah biasanya akan terjadi dikomposisi yang sangat cepat, tetapi selanjutnya kecepatan tersebut akan menurun karena kekurangan C sebagai sumber energi.
Rasio C/N dibawah 20, kelebihan N akan cenderung menguap dari tumpukan dalam bentuk gas NH3
(Cooperband, 2015). Rasio C/N pada kascing yang dihasilkan berada pada rentang nilai 14%– 18%.
4. KESIMPULAN
Pengomposan dengan metode Vermicomposting meningkatkan rata-rata kandungan fisik dan kimia dari bahan baku kompos, hasil kompos dengan menggunakan bantuan MOL nasi basi menghasilkan nilai sebesar 27°C untuk parameter suhu, pH sebesar 7, C-organik sebesar 31,88%; N sebesar 2,21%; P2O5 sebesar 0,287%; K2O 0,28%; dan rasio C/N 14,42. Parameter fisik dan kimia dengan penambahan MOL nasi basi telah memenuhi standart baku mutu SNI 19-7030-2004.
5. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Allah SWT, orangtua dan keluarga yang selalu mendoakan, memberi kasih sayang, dukungan, pengertian dan bantuan kepada penulis, serta kedua dosen pembimbing atas terselesaikannya penyusunan artikel ini dan teman-teman yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis.
6. DAFTAR PUSTAKA
Anjangsari, Eki., 2017. Komposisi Nutrien (NPK) hasil Vermicomposting. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Aira, M., Monroy, F., Domínguez, J., 2024. Eisenia fetida (Oligochaeta, Lumbricidae) activates fungal growth, triggering cellulose decomposition during vermicomposting. Microb. Ecol. 52, 738–747.
Atmaja, K. M., dkk., 2017. Pengaruh Perbandingan Komposisi Bahan Baku terhadap Kualitas Kompos dan Lama Waktu Pengomposan. Universitas Udayana. Bali.
Cooperband, S., 2015. Vermicomposting: Composting With Worms. University of Neskraba – Lincoln Extension In Lancaster Country, Canada.
Chaoui, H., (2018). Vermicasting (or Vermicomposting): Processing Organic Wastes through Earthworms, Factsheet. Agreement of Differential Gene Expression (ADGEX), pp, 743/537.
Habibi., 2009. Pembuatan Pupuk Kompos Dari Limbah Rumah Tangga. Bandung: Penerbit Titian Ilmu.
Hafifudin,T., 2015. PengolahanLimbah. http://pengelolahanlimbah.wordpress.com/ category/e-kompos- daun/. [Diakses pada tanggal 23 Juni 2017]
Hayati, Nur., 2016. Efektivitas EM4 Dan MOL Sebagai Aktivator Dalam Pembuatan Kompos Dari Sampah Sayur Rumah Tangga (Garbage) dengan Menggunakan Metode Tatakura. Skripsi, Universitas Diponegoro, Semarang.
Liferdi, L., 2015. Efek Pemberian Fosfor terhadap Pertumbuhan dan Status Hara pada Bibit Manggis.Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Padang.
Lubis, Afni Tanis., 2017. Efektifitas Penambahan Mikroorganisme Lokal (MOL) Nasi, Tapai Singkong dan Buah Pepaya dalm Pengomposan Limbah Sayuran. Sumatra Utara: Fakultas Kesehatan Masyarakat. Skripsi Sarjana. Universitas Sumatera Utara.
Maria, Ervina K., 2012. Pengaruh Beberapa Jenis Pupuk Kandang Terhadap Kualitas Bhokasih. Jurnal Ilmu Hewan Tropika, Fakultas Pertanian Universitas Kristen. Palangkaraya.
Novien, A., 2004. Pengaruh Beberapa Jenis Aktivator Terhadap Kecepatan Proses Pengomposan dan Mutu Kompos dari Sampah Pasar dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman
Cai Sim (Brassica juncea L) dan Jagung Semi (Zea mays L). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pratiwi, Selly., dkk., 2017. Pengaaruh penerapan Vermikomposting Terhadap Kandungan Unsur Hara mikro (Fe, Mn, zn) Kompos dan Waktu Reduksi Sampah Organik (Daun) Di TPST UNDIP Menggunakan Bantuan Mikroorganisme Lokal. Jurnal Departemen Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Semarang.
Sitompul, Erickson., dkk., 2017. Studi Identifikasi Rasio C/N Pengolahan Sampah Organik Sayuran, Daun Dan kotoran Kambing Dengan Variasi Komposisi Menggunakan Metode Vermikomposting.
Departemen Teknik Lingkungan Fakultas teknik Universitas Diponegoro, Semarang.
Widyarini, W., 2015. Study Kualitas Hasil dan efektifitas pengomposan secara konvensional dan modern di TPA Temesi-gianyar. Bali. Denpasar. Tesis. Jurusan Ilmu Lingkungan. Program Pasca Sarjana.
Universitas Udayana. 6 hal.
Yulianto, A. A., dkk., 2009. Pengolahan Sampah Terpadu: Konversi Sampah Pasar Menjaadi Kompos Berkualitas tinggi. Jakarta: Yayasa Danamon Peduli.