• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUDAYA PENGGUNAAN TELEPON SELULER OLEH REMAJA DI KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU (Kasus pada Siswa SMU Negeri 1 Mukomuko) GUSHEVINALTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BUDAYA PENGGUNAAN TELEPON SELULER OLEH REMAJA DI KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU (Kasus pada Siswa SMU Negeri 1 Mukomuko) GUSHEVINALTI"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

GUSHEVINALTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis "Budaya Penggunaan Telepon Seluler oleh Remaja di Kabupaten Mukomuko Propinsi Bengkulu (Kasus Pada Siswa SMU Negeri 1 Mukomuko)" adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2006

Gushevinalti NRP. P054040011

(3)

Kabupaten Mukomuko Propinsi Bengkulu (Kasus pada Siswa SMU Negeri I Mukomuko). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan SYAHRUN HAMDANI NASUTION

Tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan telepon seluler oleh remaja di Kabupaten Mukomuko sebagai budaya massa. Tujuan khusus: (1) Mengkaji pola sikap dan pola tindak remaja di Kabupaten Mukomuko yang menggunakan telepon seluler; (2) Mengetahui pengaruh faktor individu dan keluarga terhadap pola sikap dan pola tindak penggunaan telepon seluler oleh remaja di kabupaten Mukomuko; (3) Mengetahui sumber informasi yang mempengaruhi remaja di Kabupaten Mukomuko dalam menggunakan telepon seluler dalam kaitannya dengan budaya massa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus, yaitu kasus penggunaan telepon seluler di SMUN 1 Mukomuko. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah mengadakan observasi lapangan, menyebarkan keusioner pada pengguna telepon seluler yang berjumlah 109 orang, melakukan wawancara mendalam dengan delapan orang individu sebagai informan dan melakukan diskusi dengan empat kelompok pengguna telepon seluler serta studi dokumentasi. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan telepon seluler oleh remaja di Kabupaten Mukomuko adalah budaya massa. Hal ini terbukti dari: (1) Pola sikap penggunaan telepon seluler dikalangan remaja di Kabupaten Mukomuko cenderung digunakan sebagai gaya hidup (lifestyle), bukan diutamakan sebagai sarana komunikasi dan pola tindak penggunaan telepon seluler dikalangan remaja di Kabupaten Mukomuko cenderung digunakan untuk aktivitas yang kurang bermanfaat dan bersifat tidak penting; (2) Faktor individu dan keluarga sangat mempengaruhi pola sikap dan pola tindak remaja menggunakan telepon seluler; (3) Sumber informasi yang paling mempengaruhi remaja menggunakan telepon seluler adalah media massa.

Kata kunci: budaya popular, kebudayaan, remaja, komunikasi

(4)

GUSHEVINALTI. Culture of using Cellular Phones among Teens at Mukomuko County, Bengkulu Province (The Case Students of SMU Negeri I Mukomuko).

Under the guidance of DJUARA P. LUBIS and SYAHRUN HAMDANI NASUTION

The main objective of this study was to investigate the trend of owning cellular phones among teens as a mass culture. While tehe specific ones were (1) to investigate the attitude and behavioral patterns of those teens possessing cellular phones at Mukomuko; (2) to identity individual and family influences on the attitudes and behavior patterns in using cellular phones among teens at Mukomuko; (3) to determine the influencing sources of information accessed by teens at Mukomuko in deciding to use cellular phones and their relation to mass culture. The qualitative approach was used in the analysis of the case study. The data were collected through observations, questionaires responded by 109 students, in-depth interviews with eight students as resource persons, focus- group discussion with four groups of phone users, and documentation study. The data were analyzed descriptively. The result of this study shows that the use of cellular phones has been a mass culture: (1) Teens at Mukomuko use cellular phones as a lifestyle, rather than as a communication tool; (2) Individual and family factors greatly influence those teens in using cellular phones; (3) mass media is considered to be the most influencing source of information in the use of cellular phones among teens at Mukomuko.

Key words: popular culture, culture, teens, communication

(5)

© Hak cipta milik Gushevinalti, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

(6)

GUSHEVINALTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006

(7)

SMU Negeri 1 Mukomuko) N a m a : GUSHEVINALTI

N R P : P054040011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS Ketua

Dr.drh. Syahrun Hamdani Nasution Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Sumardjo, MS Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro. MS

Tanggal Ujian : 10 Agustus 2006 Tanggal Lulus :

(8)

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan magister di Institut Pertanian Bogor beserta penelitian yang menghasilkan sebuah tesis yang berjudul “Budaya Penggunaan Telepon Seluler Oleh Remaja Di Kabupaten Mukomuko Propinsi Bengkulu (Kasus pada Siswa SMU Negeri 1 Mukomuko)”.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Dr. Djuara P. Lubis (Ketua Komisi Pembimbing) dan Dr. drh. Syahrun Hamdani Nasution (Anggota Komisi Pembimbing) yang telah memberikan arahan, bimbingan dan masukan dalam penulisan tesis ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada suami dan anakku tercinta (Indra Cahyadinata dan Farrah Athiyyah Cahyadinata), keluarga besar ku atas doa, dukungan dan pengorbanannya selama ini. Tak lupa pula, terima kasih kepada semua pihak di lokasi penelitian yang telah banyak membantu dalam penelitian ini (khusus pada pihak SMUN 1 Mukomuko). Terimakasih kepada staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama kuliah. Akhirnya, kepada teman-teman KMP (tahun 2004) atas canda, tawa, bantuan, diskusi dan kebersamaannya selama perkuliahan.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dalam pengembangan ilmu komunikasi.

Bogor, Agustus 2006 Gushevinalti

(9)

Penulis dilahirkan di Mukomuko – Bengkulu pada tanggal 16 Agustus 1978 dari pasangan A. Razak RH (Alm) dan Nurazima (Alm). Penulis, yang merupakan anak terakhir dari sembilan bersaudara, menikah dengan Indra Cahyadinata pada tanggal 7 Juli 2003, dan pada tanggal 4 Oktober 2004 telah dikarunia satu orang anak dengan nama Farrah Athiyyah Cahyadinata.

Pendidikan taman kanak-kanak hingga SMA ditempuh di Kabupaten Mukomuko, lulus tahun 1996. Tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui Penelusuran Minat dan Keterampilan (PMDK) pada program studi Ilmu Komunikasi (S-1) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, lulus pada tahun 2000. Tahun 2004, penulis diterima pada program studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan untuk strata 2 (S-2) Sekolah Pasca Sarjana IPB dengan biaya kuliah dari Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS Dikti) Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu sejak bulan Desember 2001. Penulis juga pernah bekerja sebagai Staf Humas pada Job Placement Centre Universitas Sumatera Utara dari tahun 2000-2001.

(10)

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang……….. 1

Rumusan Masalah………... 4

Tujuan Penelitian………. 6

Manfaat Penelitian……….. 6

TINJAUAN PUSTAKA 7 Wujud Kebudayaan………. 7

Pola Sikap……… 9

Pola Tindak……….. 10

Budaya Massa………. 11

Ragam Definisi Budaya Massa……… 11

Massa dalam Budaya Massa... 15

Proses Budaya Massa ………. 16

Budaya Massa sebagai Setting Industri... 18

Telepon seluler... 20

Sejarah dan Fungsi Telepon Seluler (Ponsel)... 20

Karakteristik Telepon seluler sebagai Media... 21

Dampak Sosial Penggunaan Telepon Seluler... 22

Telepon Seluler sebagai Gaya Hidup... 23

Remaja... 25

Definisi... 25

Karakteristik Remaja... 25

Konformitas Kelompok Remaja... 27

Perilaku Konsumtif Remaja... 29

Gaya Hidup Remaja... 30

Kerangka Kerja... 31

Hipotesa Pengarah... 33

METODOLOGI PENELITIAN 34

(11)

iii

Informan Penelitian………. 35

Waktu dan Lokasi Penelitian... 35

Teknik Pengumpulan Data... 36

Analisa Data... 38

GAMBARAN UMUM KABUPATEN MUKOMUKO dan SMU NEGERI 1 MUKOMUKO 37 Gambaran Umum Kabupaten Mukomuko... 37

Letak Geografis... 37

Luas Wilayah... 37

Kebudayaan... 41

Kependudukan... 42

Pendidikan... 44

Telekomunikasi dan Informasi... 46

Gambaran Umum SMU Negeri 1 Mukomuko... 47

Profil Sekolah... 47

Visi Sekolah dan Misi Sekolah... 47

Peraturan Sekolah tentang Telepon Seluler... 48

Profil Siswa SMUN 1 Mukomuko... 48

Profil Orang Tua Siswa dan Prestasi Sekolah... 50

KARAKTERISTIK REMAJA PENGGUNA TELEPON SELULER 51 POLA SIKAP DAN POLA TINDAK PENGGUNAAN TELEPON SELULER 64 Pola Sikap... 66

Pola Tindak... 85

Frekwensi Menggunakan Telepon Seluler... 85

Siapa Dihubungi/Menghubungi... 89

Apa yang Dibicarakan dan Lamanya... 89

Tempat Telepon Seluler Sering Digunakan... 91

Fasilitas Yang Sering Digunakan pada Telepon Seluler... 92

Cara Menyimpan/Membawa Telepon Seluler... 93

Ikhtisar ... 109

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLA SIKAP DAN POLA TINDAK DALAM MENGGUNAKAN TELEPON SELULER 113 Faktor Individu dan Keluarga... 113

(12)

iv

SIMPULAN... 117 DAFTAR PUSTAKA... 119 LAMPIRAN... 122

(13)

1 Klasifikasi Wawancara Kelompok………. 38 2 Luas Wilayah dan Persentase Per Kecamatan di Kabupaten

Mukomuko………

40

3 Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Mukomuko tahun

2004 -2005...

40

4 Jumlah Kepala Keluarga dan Penduduk Kabupaten Mukomuko Menurut Kecamatan, Tahun 2004...

43

5 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Kabupaten MukoMuko, Tahun 2004...

43

6 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru TK dan Sekolah Dasar di Kabupaten Mukomuko Menurut Kecamatan, Tahun 2004...

45

7 Jumlah Sekolah, Murid dan Guru SLTP dan SLTA di

Kabupaten Mukomuko Menurut Kecamatan, Tahun 2004...

46

8 Lokasi dan Jumlah Tower Telkomsel, Indosat, dan pro XL di Kabupaten Mukomuko………

46

9 Jumlah Kelas dan Sebaran Siswa Menurut Jenis Kelamin di SMUN 1 Mukomuko Tahun Ajaran 2005/2006...

49

10 Jumlah dan Persentase Umur Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

52

11 Jumlah dan Persentase Jenis Kelamin Pengguna Telepon Seluler dan Total Siswa di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

52

12 Jumlah dan Persentase Domisili Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

53

13 Jumlah dan Persentase Pekerjaan Orang Tua Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

53

14 Jumlah dan Persentase Penghasilan Orang Tua Pengguna Telepon Seluler Per Bulan di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006

54

15 Jumlah dan Persentase Uang Saku Per Bulan Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

54

16 Jumlah dan Persentase Rata-Rata Biaya Pulsa Pengguna Telepon Seluler Per Bulan di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006

55

(14)

v

18 Jumlah dan Persentase Acara Yang Paling Sering Ditonton Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006

56

19 Jumlah dan Persentase Isi Acara Televisi yang Paling Sering Ditonton oleh Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1

Mukomuko,Tahun 2006...

57

20 Jumlah dan Persentase Frekwensi Menonton Televisi

Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006

58

21 Jumlah dan Persentase Akses Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko Terhadap Surat Kabar, Tahun 2006...

58

22 Jumlah dan Persentase Akses Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko Terhadap Majalah, Tahun 2006...

59

23 Jumlah dan Persentase Berita Surat Kabar/Majalah yang Paling Sering Dibaca Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

59

24 Jumlah dan Persentase Informasi Surat Kabar/Majalah yang Disukai Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

60

25 Jumlah dan Persentase Frekwensi Membaca Surat Kabar/Majalah oleh Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006...

61

26 Sumber Informasi dan Proses Difusi Telepon Seluler oleh Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko, Tahun 2006

61

27 Jumlah dan Persentase Pengguna Telepon Seluler di SMUN 1 Mukomuko Berdasarkan Lama Memiliki Telepon Seluler, Tahun 2006...

63

28 Kriteria dan Nomor Informan Pada Wawancara Individu………. 65 29 Sebaran Informan pada Wawancara Individu Berdasarkan

kriteria Uang Saku, Pendapatan Orang tua, Kepemilikan Telepon Seluler dan domisili. ...

65

(15)

1 Proses Terjadinya Budaya Massa……… 17 2 Teori Triple M... 17 3 Bagan Alur Kerangka Kerja……….. 32

(16)

Lampiran 1 Data Responden Penelitian dari Kuesioner 121

Lampiran 2 Kuesioner 127

Lampiran 3 Panduan Wawancara Terstruktur dan Mendalam Dengan Individu

129

Lampiran 4 Panduan untuk Wawancara Kelompok 132

Lampiran 5 Panduan Pengambilan Data 133

Lampiran 6 Struktur Organisasi SMU Negeri 1 Mukomuko 134 Lampiran 7 Daftar Guru Tetap, Guru Bantu dan Guru Tidak tetap di SMU

Negeri 1 Mukomuko

135 Lampiran 8 Sarana dan Prasarana SMU Negeri 1 Mukomuko 136 Lampiran 9 Kondisi Orang Tua Siswa SMU Negeri 1 Mukomuko 136 Lampiran 10 Keterangan tentang Sebaran Informan Wawancara Individu 137

Lampiran 11 Foto-foto Penelitian 138

Lampiran 12 Surat Izin Penelitian 140

(17)

Latar Belakang

Pada tahun 2003 terdapat satu milyar pengguna telepon seluler di dunia (Krisna, 2001). Menurut riset PT Telkom, pengguna telepon seluler di Indonesia tahun 2000 sudah 3.198.649 pelanggan atau meningkat 76,62 persen dibanding tahun 1999 yang tercatat 1.821.358 pelanggan. Jumlah pengguna telepon seluler tahun 2004, seiring dengan pemulihan ekonomi nasional, diprediksi bisa mencapai 11 juta orang, melampaui pengguna telepon tetap (fixed line) yang kini baru mencapai 6,3 pelanggan (Lysthano, 2005)

Akan arti pentingnya telepon seluler, perlu disimak hasil penelitian yang dilakukan oleh Siemens Mobile Phone Indonesia. Dalam sebuah survei yang berjudul Survey Siemens Mobile Lifestyle itu didapatkan informasi menarik bagaimana telepon seluler telah menjadi bagian hidup dan napas manusia sehari-hari. Sekitar 79 persen penduduk Indonesia merasa sangat kehilangan ketika telepon seluler mereka tidak ada di sekitarnya, sementara 62 persen merasa selalu dengan tidak sengaja memeriksa telepon seluler mereka ketika mendengar nada bunyi pengiriman SMS (Nurudin, 2004).

Pada masa awal kemunculannya, telepon seluler (ponsel) masih dipandang oleh sebagian besar orang sebagai simbol status sosial dari masyarakat kelas atas. Suatu kelas sosial yang secara stereotip biasa memperbaharui hidupnya melalui “artefak” produksi industri. Di sini terlihat bagaimana sebuah teknologi baru yang didesain sedemikian rupa dapat menjadi simbol status sosial bagi penggunanya. Sejauh ini produk-produk yang menggunakan teknologi canggih (seperti telepon seluler) seringkali memiliki korelasi yang kuat dengan derajat kemampuan ekonomi penggunanya yang terbilang cukup mapan. Selama ini yang umum diketahui menjamurnya telepon seluler merupakan warna gejala fenomena masyarakat perkotaan baik remaja maupun orang dewasa, namun sekarang penggunaan telepon seluler sudah merambah ke wilayah kabupaten maupun kecamatan.

Kabupaten Mukomuko merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Bengkulu yang terbentuk pada tahun 2003, yang dimekarkan dari kabupaten induknya, Bengkulu Utara. Sebagai salah satu kabupaten baru, tentu banyak perubahan yang terjadi secara cepat dalam jangka waktu yang relatif pendek.

Perubahan yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perubahan fisik

(18)

dan non-fisik. Beberapa perubahan fisik yang dapat diamati terdiri dari pembangunan jalan, jembatan, gedung perkantoran dan perumahan rakyat.

Perubahan non-fisik meliputi perubahan jumlah penduduk yang semakin meningkat, dan pergeseran nilai masyarakat lokal sebagai akibat semakin berbaurnya budaya dari pendatang. Perubahan non-fisik ini sangat dipacu oleh kemajemukan masyarakat yang berasal dari berbagai ras dan membaurkan nilai- nilai.

Pada sisi lain, pembentukan Kabupaten Mukomuko pada sebagian orang atau kelompok masyarakat dipandang sebagai peluang bisnis baru yang potensial. Potensi ini sangat dipahami dengan baik oleh operator selular yang ada di Indonesia. Pada tahun 2004 telah berdiri tower TELKOMSEL dan INDOSAT. Apalagi pada tahun 2006 telah berdiri pula tower Pro XL. Dengan fasilitas ini, banyak remaja yang memiliki telepon seluler, sebagai alat baru untuk berkomunikasi. Padahal, Kabupaten Mukomuko masih relatif kecil, dengan kata lain, kehadiran telepon seluler disana belum menjadi suatu kebutuhan yang mendasar untuk berkomunikasi apalagi bagi remaja yang notabene belum memiliki penghasilan untuk membeli alat itu sendiri maupun mengisi pulsanya.

Kenyataannya, kelompok inilah yang banyak memakai telepon seluler di Kabupaten Mukomuko. Dari kondisi ini, dapat dikatakan bahwa menggunakan telepon seluler di Kabupaten Mukomuko menjadi trend baru bagi remaja.

Sekarang ini, telepon seluler seolah-olah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat bahkan remaja ataupun pelajar. Fungsinya saat ini bukan hanya sebagai alat berkomunikasi yang efektif, akan tetapi juga sebagai alat meningkatkan prestise atau nilai diri di komunitasnya, dengan tujuan agar tidak dianggap ketinggalan zaman.

Telepon seluler yang sekarang telah mengalami pertambahan perannya dari alat komunikasi berkembang menjadi sarana pelengkap pergaulan dan simbol status sosial. Berbagai fasilitas dan kemudahan penggunaannya yang familiar dengan remaja, mendorong remaja, dan kelompok remaja, menggunakannya sebagai sarana untuk menunjukkan identitas diri, siapa dirinya dengan menggunakan telepon seluler merek tertentu yang dianggap bisa mewakili kepribadiannya. Pengaruh dari kelompok remaja sebagai kelompok referensi bagi remaja akan sangat mempengaruhi keputusan remaja dalam memilih dan menggunakan suatu produk, khususnya dalam usaha remaja agar diterima kelompoknya. Bagaimana tidak, dahulu ponsel digunakan oleh kalangan

(19)

tertentu seperti orang kaya atau para pengusaha, namun sekarang sudah menjadi barang biasa sehingga penggunaannya tidak lagi kalangan menengah ke atas.

Sebastian (2004) menyatakan ada dua golongan pemilih telepon seluler.

Golongan pertama, adalah orang-orang yang memilih telepon seluler karena telepon seluler tersebut sungguh-sungguh diciptakan memang memenuhi selera

“gaya.” Biasanya bentuk telepon seluler yang memegang peranan, umumnya ukurannya kecil, tipis, dan bentuknya sering disebut orang, manis. Golongan kedua, adalah orang-orang yang memilih telepon seluler memang karena kualitas dan kekayaan fiturnya, bentuk tidak lagi terlalu memegang peranan.

Dari kelompok masyarakat yang menggunakan telepon seluler, kelompok remaja tentu menjadi kelompok pengguna yang menarik perhatian. Meskipun belum ada angka pasti, tetapi diduga dari kelompok inilah pengguna telepon seluler terbanyak. Menurut Hurlock (1973) umumnya remaja jauh lebih tertarik pada pola status hidup kelas atas daripada kelas bawah dan mereka juga terkesan oleh segala sesuatu yang berkualitas lebih baik. Salah satu ciri khas remaja dalam perkembangan sosial, remaja akan mengalami dua macam pergerakan yaitu pergerakan pemisahan diri dari orang tua dan ketergantungan emosi yang menyertainya, serta pergerakan menuju ke arah teman sebaya.

Kelompok remaja merupakan kelompok masyarakat yang sangat mudah dipengaruhi atau terpengaruh oleh perkembangan zaman, yang mencakup perkembangan teknologi informasi. Masa remaja merupakan masa mencari identitas diri (realitas emosional), sehingga realitas area ekspresi diri anak muda atau remaja merupakan lapangan gembala yang hijau segar bagi pengusaha komersial. Ciri lain yaitu remaja merasa belum punya pegangan dan mereka cenderung lebih loyal kepada kelompoknya. Remaja berusaha mencari simbol- simbol budaya populer yang dimiliki oleh kelompoknya. Kelompok remaja menggunakan telepon seluler menjadi menarik karena mereka umumnya masih dalam usia sekolah, sehingga belum memiliki penghasilan untuk membeli telepon seluler maupun membeli pulsa.

Gaya hidup baru ini akhirnya membentuk pola-pola perilaku remaja yang seragam (homogen), yang biasa mereka lakukan dalam pergaulan sehari-hari sehingga membentuk budaya tersendiri. Budaya tersebut terlihat dari sikap, tindakan dan sarana yang digunakan.

(20)

Dengan kata lain semua pendapat, pikiran, perasaan maupun aksi-aksi yang diarahkan hanya kepada yang disukai dan yang banyak orang sukai. Gejala inilah yang disebut masyarakat yang memiliki budaya massa (menurut Fishwick dan Wilson seperti dikutip Liliweri, 1991). Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat secara beramai-ramai memakai atau memilih jenis produk tertentu akibat dari pengaruh media massa yang terkadang kurang dibutuhkan namun dilakukan.

Berangkat dari fenomena itu, kiranya sangat menarik dilakukan suatu kajian secara ilmiah tentang bagaimana pola sikap dan pola tindak penggunaan telepon seluler oleh remaja di Kabupaten Mukomuko Propinsi Bengkulu.

Rumusan Masalah

Kehadiran telepon seluler sebagai alat komunikasi yang membanjiri kota- kota dan daerah-daerah di Indonesia telah membentuk aktivitas komunikasi sendiri. Dengan kata lain, revolusi dalam berkomunikasi di Indonesia sudah memasuki tahap baru dengan kehadiran telepon seluler sebagai trend baru.

Trend yang baru ini tentu saja secara tidak langsung berakibat menurunnya intensitas komunikasi antar pribadi yang selama ini dilakukan. Dari segi waktu, kehadiran telepon seluler sangat membantu dalam melakukan komunikasi melalui media misalnya dengan SMS (Short Message Service), tetapi karena Kabupaten Mukomuko merupakan daerah kecil, maka penggunaan telepon seluler masih dipandang belum efektif untuk digunakan seperti halnya yang terjadi di kota besar, dimana media komunikasi dapat menembus ruang, jarak dan waktu untuk berkomunikasi. Sehingga pengunaan telepon seluler menjadi gaya hidup baru bagi penggunanya.

Di Kabupaten Mukomuko banyak sekali remaja yang memiliki telepon seluler. Komunitas remaja pengguna telepon seluler ini umumnya masih sekolah atau pelajar SMU dan SMP, berusia rata-rata 13 sampai19 tahun, ada yang berasal dari keluarga yang mapan, namun ada juga dari keluarga yang tingkat ekonomi menengah ke bawah. Khususnya di SMU Negeri I Mukomuko, banyak siswa yang memiliki telepon seluler dan menggunakan perangkat ini dalam pergaulan sehari-hari.

Dalam kehidupan sehari-harinya baik di rumah, di tempat perbelanjaan, di tempat hiburan, bahkan di sekolah, umumnya remaja tampil dengan berbagai jenis telepon seluler nya. Penggunaan telepon seluler oleh remaja di Mukomuko

(21)

seakan-akan lebih digunakan untuk gaya hidup selain untuk kebutuhan berkomunikasi. Banyak para remaja yang membawa telepon seluler dengan dipegang atau dikalungkan di leher. Sebenarnya, bisa saja disimpan di kantong baju atau celana dan tas saja. Mungkin dengan cara seperti ini remaja tampil lebih percaya diri di lingkungannya.

Gaya hidup baru remaja ini tentu saja didasari berbagai motif penggunaan telepon seluler itu sendiri yang mungkin saja berbeda dari tiap individu. Ikut-ikutan teman, gaya, kebutuhan media komunikasi, prestise atau gengsi, serta merek merupakan alasan-alasan yang paling mungkin dan masuk akal kenapa para remaja di Kabupaten Mukomuko menggunakan telepon seluler.

Kebiasaan demikian pada akhirnya membentuk pola-pola perilaku remaja yang seragam, yang biasa mereka lakukan dalam pergaulan sehari-hari sehingga membentuk budaya tersendiri. Budaya tersebut terlihat dari sikap, tindakan dan sarana yang digunakan. Dengan kata lain, remaja ingin tampil berbeda untuk menunjukkan identitas diri, simbol status sosial, sehingga remaja memiliki gaya hidup tersendiri misalnya dengan menggunakan telepon seluler sebagai benda yang dapat menaikkan status di dalam komunitasnya. Kehadiran telepon seluler telah menjadi fenomena baru dalam sistem komunikasi remaja di Mukomuko. Kepemilikian telepon seluler tersebut seolah-olah sebagai simbol identitas mereka.

Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini yaitu : ”Apakah penggunaan telepon seluler oleh remaja di Kabupaten Mukomuko merupakan budaya massa?” Secara rinci masalah dirumuskan menjadi:

1. Bagaimana pola sikap dan pola tindak remaja di Kabupaten Mukomuko dalam menggunakan telepon seluler?

2. Bagaimana pengaruh faktor individu dan keluarga terhadap pola sikap dan pola tindak penggunaan telepon seluler oleh remaja di Kabupaten Mukomuko?

3. Sumber informasi darimana saja yang mempengaruhi remaja di Kabupaten Mukomuko dalam menggunakan telepon seluler?

(22)

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan telepon seluler oleh remaja di kabupaten sebagai budaya massa. Dengan demikian, dapat dijabarkan tujuan khusus berikut ini:

1. Mengkaji pola sikap dan pola tindak remaja di Kabupaten Mukomuko yang menggunakan telepon seluler.

2. Mengetahui pengaruh faktor individu dan keluarga terhadap pola sikap dan pola tindak penggunaan telepon seluler oleh remaja di kabupaten Mukomuko 3. Mengetahui sumber informasi yang mempengaruhi remaja di Kabupaten

Mukomuko dalam menggunakan telepon seluler.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :

1. Pengembangan dan pengkayaan kajian dalam Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

2. Referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan budaya massa, telepon seluler maupun tentang perilaku remaja. Mengingat penelitian tentang topik ini masih jarang dilakukan penelitian secara ilmiah/akademis.

(23)

Wujud Kebudayaan

Ketika berbicara tentang budaya, banyak aspek yang akan diikutsertakan di dalamnya. Pada intinya budaya merupakan karakter kehidupan, cerminan progresifitas manusia dalam menjalani dan menyiasati hidupnya. Agama, seni, fashion, musik, teknologi, sastra dan semua material yang dihasilkan manusia dalam memahami kehidupannya dengan manusia lain adalah hasil dari budaya.

(Johan, 2005)

Agar pemahaman mengenai wujud kebudayaan lebih mudah dan terarah maka perlu diketahui apa yang dimaksud dengan kebudayaan. Koentjaraningrat (1994) menyatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya itu. Alfian (1982) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai salah satu sumber utama sistem atau nilai masyarakat. Sistem nilai itulah yang membentuk sikap mental atau pola pikir manusia dan masyarakat sebagaimana terpantul dalam pola sikap dan tingkah laku sehari-hari dalam berbagai segi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.

Soekanto (1988) menyatakan kebudayaan adalah kompleks yang menyangkut pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai anggota masyarakat. Untuk memahami kebudayaan secara ringkas menurutnya, kebudayaan mencakup semuanya yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, mulai dari cara berpikir, merasakan sesuatu, dan bertindak sesuai dengan apa yang diperolehnya baik dari generasi sebelumnya maupun lingkungannya. Kebudayaan yang dikembangkan oleh setiap kelompok masyarakat senantiasa akan mencari dan membentuk nilai-nilai dan norma-norma yang fungsional untuk dirinya sehingga menghasilkan wujud yang sangat beraneka ragam antar kelompok masyarakat. Pola-pola perilaku kebudayaan yang melatarbelakangi masing-masing warga masyarakat memberikan nilai yang berbeda tentang kebiasaan orang atau kelompok masyarakat. Pola-pola perilaku adalah cara-cara bertindak yang sama dari orang-orang yang hidup bersama dalam kelompok masyarakat yang harus diikuti oleh semua warga kelompok masyarakat tersebut.

(24)

Kebudayaan memasuki berbagai segi kehidupan manusia dan masyarakat. Kebudayaan sesungguhnya merupakan unsur utama dalam proses pembangunan diri manusia dan masyarakat. Sebagai unsur utama, kebudayaan bisa sebagai pendorong, atau sebaliknya, sebagai penghambat proses pembangunan. Kebudayaan hanya mungkin sebagai pendorong sejauh dia berhasil mempertahankan relevansinya dengan perkembangan masyarakat. Itu berarti bahwa kebudayaan dituntut pula untuk memperbaharui dan mengembangkan diri seseorang, antara lain dengan measukkan nilai-nilai baru yang relevan dengan kehendak zaman sebagai bagian integral dari dirinya.

Menurut Soetarto dan Agusta (2003), ada dua aspek untuk mengidentifikasikan kebudayaan. Aspek pertama kebudayaan dimaksud sebagai hadirnya seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Dengan cara demikian pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan interaksi sosial dengan orang-orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang konstan. Aspek kedua yaitu kebudayaan merupakan suatu aspek material, dalam hal ini benda-benda fisik buatan manusia. Benda-benda tersebut dibuat orang dengan tujuan dan makna tertentu. Termasuk kedalam ini adalah telepon seluler sebagai artefak budaya.

Kebudayaan yang berkembang sangat beraneka ragam. Namun dalam perbedaan tersebut pada tiap-tiap kebudayaan dijumpai unsur-unsur serupa, dan oleh Kluckhohn (1953) sebagaimana dikutip oleh Soetarto dan Agusta (2003) disebut sebagai unsur kebudayaan universal. Koentjaraningrat (1994) mengatakan, setiap unsur universal kebudayaan itu memiliki tiga wujud, yaitu:

1. Wujud idiil (pola bersikap), yaitu kompleks gagasan, dan nilai-nilai;

2. Wujud aktivitas (pola kelakuan), yaitu suatu kompleks tindakan berpola (terorganisasi, terstruktur) dari manusia dalam masyarakat; dan

3. Wujud fisik (pola sarana/kebendaan) yaitu benda-benda hasil karya manusia.

Tiga wujud kebudayaan tersebut sejalan dengan pendapat Talcott Parsons dan A.L. Kroeber (dikutip oleh Koentjaraningrat, 1986) yang pernah menganjurkan untuk membedakan secara tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Dengan demikian,

(25)

maka setiap masyarakat dalam melakukan aktivitasnya akan selalu berdasarkan sistem nilai budaya yang dimilikinya guna mencapai tujuan hidupnya. Selanjutnya Koentjaraningrat (1986) menjelaskan bahwa ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tertentu tak terpisahkan satu sama lain yaitu ide-ide yang mengatur dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia yang akan menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik, sebaliknya benda-benda fisik tersebut akan mempengaruhi pola pikir dan tindakan manusia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, terlihat bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud yaitu ide-ide atau gagasan/pandangan; kelakuan atau tindakan/aktivitas; dan sarana atau fisik/ benda. Ketiga wujud kebudayaan tersebut akan dikaji dalam penelitian ini melalui: pertama, telepon seluler sebagai artefak budaya (wujud fisik kebudayaan); kedua, dari pola sikap atau wujud idiil merupakan motivasi remaja menggunakan; ketiga, pola tindak yang merupakan wujud aktifitas kebudayaan, yaitu kegiatan/kebiasaan yang dilakukan remaja dalam menggunakan telepon seluler.

Pola Sikap

Sikap dapat didefinisikan sebagai perasaan, pikiran dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subyek yang memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadapan dengan obyek sikap (Van Den Ban dan Hawkins, 1999). Sejalan dengan pernyataan Meyrs seperti dikutip Sarwono (2002), sikap adalah suatu rekasi evaluasi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang yang ditunjukkan dalam kepercayaan, perasaan atau tindakan seseorang.

Beberapa pengertian sikap yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Sherif dan Sherif, Allport dan Bem yang dirangkum dalam Rakhmat (2001) adalah sebagai berikut: (1) sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir dan merasa dalam menghadapi obyek, ide, situasi atau nilai; (2) sikap mempunyai daya dorong dan motivasi; (3) sikap relatif lebih menetap; (4) sikap mengandung evaluatif; (5) sikap timbul dari pengalaman, tidak dibawa sejak lahir tetapi merupakan hasil belajar, sehingga sikap dapat diperteguh atau diubah.

Gerungan (1996) menyebutkan manusia tidak dilahirkan dengan pandangan atau sikap perasaan tertentu, tetapi sikap tersebut dibentuk sepanjang

(26)

perkembangannya. Adanya sikap tersebut menyebabkan manusia akan bertindak secara khas terhadap obyek-obyeknya.

Sikap terbentuk dari pengalaman, melalui proses belajar. Pengalaman yang dimaksud adalah tentang obyek yang menjadi respon evaluasi dari sikap.

Proses belajar dalam pengalaman adalah sebagai peningkatan pengetahuan individu terhadap obyek sikap. Proses belajar tersebut didapat melalui interaksi dengan pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama serta pengaruh faktor emosional (Azwar, 2003)

Sikap akan berarti jika diwujudkan dalam bentuk tindakan, baik lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan Sajogyo (1982) yang mengatakan bahwa sikap merupakan kecondongan yang berasal dari dalam individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu terhadap suatu obyek akibat pendirian dan perasaan terhadap obyek tersebut.

Pola Tindak

Arif (1995) menjelaskan bahwa tindakan atau tingkah laku adalah kebiasaan bertindak yang menunjukkan tabiat seseorang yang terdiri dari pola- pola tingkah laku yang digunakan oleh individu dalam melakukan kegiatannya.

Lebih jauh dikatakan bahwa tindakan itu terjadi karena adanya penyebab (stimulus), motivasi dan tujuan dari tindakan itu.

Tindakan dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor yang terdapat di dalam diri sendiri (karakteristik individu) dan faktor luar (faktor eksternal). Proses interaksi itu sendiri terjadi pada kesadaran atau pengetahuan seseorang (Sarwono, 2002). Menurut Brigham dalam Azwar, 2003), tindakan (B) adalah fungsi (f) karakteristik individu (P) dan lingkungan (E), sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut: B = f(P,E).

Pola tindakan seseorang bisa saja berbeda satu sama lain, tetapi proses terjadinya adalah mendasar bagi semua individu, yakni dapat terjadi karena disebabkan, digerakkan dan ditujukan pada sasaran (Kast dan Rosenzweig, 1995).

Hasil penelitian para ahli menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara sikap dengan tindakannya (Azwar, 2003). Sikap (attitude) sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan manusia. Sikap sangat menentukan tindakan (behavior) seseorang. Sikap juga sangat mempengaruhi tanggapan seseorang

(27)

terhadap maslah kemasyarakatan termasuk masalah lingkungan. Seseorang yang mempunyai sikap positif terhadap sesuatu obyek, besar kemungkinan mempunyai niat untuk bertindak positif juga terhadap obyek tersebut, dan timbulnya sikap positif didasari oleh adanya pemikiran dan pengetahuan terhadap obyek tersebut. Tindakan individu sangat dipengaruhi oleh sikap maupun pengetahuannya. Seseorang bersikap suka atau tidak suka, baik atau tidak baik, senang atau tidak senang terhadap suatu obyek sangat dipengaruhi oleh pengalaman atau pengetahuannya.

Budaya Massa Ragam Definisi Budaya Massa

Ibrahim (2004) mengutip pendapat Siregar, menyebutkan istilah budaya massa (mass culture) sering dipertukarkan dengan budaya populer (popular culture), begitu pula dengan hiburan massa (mass entertainment). Walaupun budaya massa tidak hanya bersifat hiburan, tetapi mencakup pula seluruh produk terpakai atau barang konsumsi (consumer goods) sebagai produk massa yang formatnya terstandarisasi dan penyebaran dan penggunaannya bersifat luas.

Secara sederhana, budaya populer-lebih sering disebut dengan budaya pop adalah apapun yang terjadi di sekeliling kita setiap harinya. Apakah itu pakaian, film, musik, makanan, semuanya termasuk dalam bagian dari kebudayaan populer. Definisi dari popular atau populer adalah diterima oleh banyak orang, disukai atau disetujui oleh masyarakat banyak.

Menurut Damono (2004) sebenarnya, budaya massa merupakan penyusupan atau pengaruh budaya asing. Kebudayaan massa adalah istilah untuk mass culture, istilah Inggris yang konon berasal dari bahasa Jerman masse dan Kultur. Kebudayaan massa sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan; istilah ini merupakan pasangan dari high culture, kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi.

Ibrahim (2004) mengutip Michael Schudson, lewat tulisannya “The New Validitation of Popular Culture: Sense and Sentimentality in Academia” mencoba memetakan studi tentang kebudayaan pop atau mass culture sebagai berikut.

Pertama, studi tentang produksi objek-objek budaya; Kedua, studi tentang kandungan objek-objek itu sendiri, dan; Ketiga, studi tentang objek-objek dan makna-makna yang dikaitkan dengan objek tersebut lewat subpopulasi atau populasi secara umum. Dengan demikian budaya pop pun bisa dimengerti

(28)

secara lluas sebagai kepercayaan-kepercayaan, praktik-praktik, dan objek-objek melalui mana ia diorganisasikan, dan yang tersebar luas diantara populasi.

Kebudayaan pop lalu dianggap sebagai sarana dominasi baru. Ia menjadi pusat pergulatan budaya global yang dikritik sebagai ajang “imprealisme kultural”

karena negara maju dianggap menciptakan “imprealisme media” untuk mengakutkan “imprealisme kesadaran” dengan cara mengincar otak dan gaya hidup yang berpusat jauh di luar wilayah kesadaran kultural masyarakat Dunia Ketiga.

Strinati (2004) mendefinisikan budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi massa dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan kepada khalayak konsumen massa. Budaya massa adalah budaya populer, yang diproduksi untuk pasar massal. Strinati (2004) mengutip MacDonald (1957) menyebut budaya massa sebagai sebuah kekuatan revolusioner dinamis, yang menghancurkan batasan kuno kelas, tradisi, selera, dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya massa membaurkan dan mencampuradukkan segala sesuatu, menghasilkan apa yang disebut sebagai budaya homogen. Dengan demikian, budaya massa menghancurkan segala nilai, karena penilaian mengimplikasikan adanya diskriminasi/pembedaan.

Sedangkan Fishwick dan Wilson seperti dikutip Liliweri (1991) mengakui bahwa budaya pupoler sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk budaya yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya ini merupakan pengaruh rangsangan dari luar (termasuk media massa) yang tidak kita sadari namun membuat kita melakukannya. Semua pikiran, perasaan, dan perbuatan kita diarahkan kepada yang disukai dan banyak yang disukai orang. Gejala seperti inilah yang disebut masyarakat sudah memiliki budaya massa. Kita dapat menganalogikan orang yang berbudaya pop itu seolah-olah orang yang sedang demam mode. Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat beramai-ramai memilih jenis produk tertentu contohnya penggunaan telepon seluler.

Hannah Arent seperti dikutip Kayam (2004) menyebutkan sifat-sifat budaya massa adalah sebagai berikut: komersial, menghibur, populer, modern, merupakan paket, mempunyai audiens yang luas, dan dapat diperoleh secara

’demokratis’.

Meskipun budaya massa seperti budaya pop dipandang sebagai budaya yang "dangkal" di dalam wacana kebudayaan, tetapi wacana budaya pop

(29)

dipengaruhi bukan hanya oleh kepentingan ekonomi dan kapitalisme. Pada umumnya kebudayaan pop dipahami sebagai ekspresi kebudayaan yang memiliki ciri-ciri ringan, sesaat, gampang diterima oleh masyarakat kebanyakan dan kebanyakan masyarakat, massal, dan menghibur. Di kalangan masyarakat tertentu, kebudayaan pop seringkali juga di persepsi sebagai atribut modernitas.

Dibandingkan dengan “kebudayaan tinggi” yang telah mapan, kebudayaan pop lebih menekankan pada kemampuannya untuk mengkomunikasikan produk- produk dan segala aktivitasnya dibandingkan penilaian dan penghargaan kualitas. Ia lebih menyukai penghargaan pasar ketimbang penghargaan dari para kritisi seni. Lebih menyukai memilih estetika persepsi daripada estetika kreasi.

Kata lainnya, ia lahir atas pesanan pasar.

Oleh karena yang disebut “pasar” berisi orang-orang yang berasal dari segala lapisan sosial, maka demikian pulalah yang disebut publik kebudayaan pop. Publik kebudayaan pop ada di segala lapisan masyarakat. Dilihat sebagai fenomena masyarakat industri, kebudayaan pop cenderung menjadi kebudayaan massa. Ia lahir untuk memenuhi kebutuhan massa yang ingin menikmati “waktu senggang” alias hiburan. Maka wajar bila kebudayaan pop selalu mengikut- sertakan jaringan komunikasi massa dalam menyebarluaskan produk dan aktivitasnya. Ia memassalkan diri lewat media massa, membentuk citra modernitas lewat “tampang Indo”, membujuk konsumen dan penggemarnya lewat kiat iklan serta memberi kemasan dengan wahana teknologi canggih.

Demikian memassalnya kebudayaan pop, sehingga ia mampu membuat

“kebudayaan tinggi” hanya mapan di kalangan kritikus, meletakkan dan membuat

“kebudayaan daerah” sebagai “kebudayaan pinggiran”, dan menjadikan

“kebudayaan nasional” tinggal sebagai “konsep” (Mursito, 2005)

Kuntowijoyo seperti yang dikutip Ibrahim (2004) mengatakan bahwa budaya massa akibat dari massifikasi. Ini disebabkan karena sektor budaya terjadi industrialisasi dan komersialisasi, sekalipun industrialisasi dan komersialisasi tidak selalu berarti negatif bagi budaya.

Demikianlah beberapa definisi budaya massa yang diungkapkan para ahli, namun dalam penelitian ini batasan budaya massa lebih terfokus pada pengaruh media massa. Artinya komunikasi massa sebagai proses dimana komunikator secara profesional menggunakan media massa dalam menyebarluaskan pesan yang melampaui jarak untuk mempengaruhi khalayaknya dalam jumlah banyak.

(30)

Media massa memiliki kekuatan ampuh dalam mempengaruhi khalayaknya baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Pengaruh yang sering dipersoalkan adalah pengaruh jangka panjang yang mempunyai kekuatan tertentu dalam mempengaruhi kebudayaan kahalayak penerima pesan.

Pengaruh komunikasi massa terhadap kalayak massa yang merubah menjadi ciri massa inilah yang menciptakan budaya massa.

Menurut Mc. Quail (1972) seperti yang dikutip Liliweri (1991) mengatakan untuk memahami massa paling tidak diketahui beberapa karakteristiknya, massa mempunyai tingkat instruksi yang rendah, tujuan atau objek perhatian yang dikelola, kontrol/organisasi eksternal yang dimanipulatif, dan kadar kesadaran yang rendah. Dari kriteria inilah dapat dibatasi pengertian budaya massa dalam penelitian ini yaitu segala yang dimiliki setiap orang dalam suatu masyarakat.

Sebagai yang dimiliki itu tidak harus material tetapi juga immaterial, mungkin sekali dalam bentuk cara berpendapat dan berpikir, cara merasakan sesuatu, sampai pada tindakan yang menggunakan produk tertentu. Pemilikan unsur budaya itu sebagai akibat dari pesan-pesan media massa yang dimanipulasi oleh sang komunikatornya. Pesan-pesan itu dikelola secara profesional, disebarkan dengan tingkat frekwensi dan jumlah tertentu dengan teknologi media secara besar besaran kepada sejumlah orang. Hasilnya, mereka yang menerima terdorong oleh sikap yang berkadar kesadaran rendah, kurang mengontrol diri sendiri kemudian menerimanya sebagai suatu perilaku tertentu secara bersama- sama. Akibatnya, terciptalah orang sebagai manusia yang cenderung 'hanyut' di dalam apa-apa yang ditawarkan padanya (tontonan, produk, kesenangan, gaya, gaya hidup), tanpa mampu lagi mengembangkan daya kritis dalam dirinya.

Dengan kata lain semua pikiran, perasaan dan perbuatan kita diarahkan hanya kepada yang disukai dan yang banyak orang sukai. Sehingga dapat dianalogikan orang yang berbudaya pop itu seolah-olah orang yang sedang demam mode.

Meskipun mode yang ditawarkan rendah namun orang mengikutinya karena beramai-ramai.

Karena itu maka Ghanney (1972) dan Mc Quail (1989) seperti yang dikutip Liliweri (1991) mengungkapkan bahwa peranan media massa (dalam kaitannya dengan budaya massa) berperan untuk mengendalikan dan mengarahkan perilaku khalayak.

(31)

Massa dalam Budaya Massa

Massa yang menjadi konsumen kebudayaan dilukiskan sebagai badan- badan rakyat yang terikat dan tersatukan dalam masyarakat baru yang dikembangkan melalui beraneka ragam proses orientasi “menerima dan memberi” nilai-nilai lama dan baru melihat organisasi ekonomi, pembagian kerja, organisasi tempat pemukiman, serta dalam melihat pemanfaatan beraneka macam sumber. Proses itu digambarkan menghasilkan suatu solidaritas baru yang membuat ‘masyarakat massa’ menjadi suatu kesatuan sosial yang unik dan baru. Pendapat Edward Shils yang dikutip Kayam (2004) menyebutkan masyarakat massa sebagai suatu masyarakat industri, yang juga merupakan

‘masyarakat orde baru’ yang kendati segala konflik-konflik interennya, mengungkapkan bahwa pada individu terdapat kesadaran yang lebih besar akan ikatan pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan akan adanya suatu ketertarikan dengan sesama.

Mass atau masse mengacu ke mayoritas masyarakat Eropa yang tak terpelajar dan nonaristokratik, terutama sekali masyarakat yang sekarang ini biasa disebut sebagai kelas menengah ke bawah, kelas pekerja, dan kaum miskin. Jadi, jika kebudayaan elit dikaitkan dengan mereka yang “berbudaya”

maka kebudayaan massa dianggap milik mayoritas masyarakat “tak berbudaya”, dan ini jelas mengandung ejekan dan sikap yang merendahkan. Massa mengandung pengertian kelompok manusia yang tidak bisa dipilah-pilahkan, bahkan semacam kerumunan, di dalamnya tidak ada lagi individu. Kebudayaan massa diciptakan semata-mata untuk konsumsi kelompok masyarakat serupa itu (Damono, 2004)

Senada dengan pendapat di atas, Strinati (2004) mengungkapkan bahwa massa adalah konsumen yang pasif, cenderung pada bujukan manipulatif media massa, terbuka terhadap daya tarik untuk membeli komoditas produk massa yang dihasilkan oleh budaya massa, yang terbentang di hadapan kenikmatan konsumsi massal yang menyesatkan, serta terbuka pada eksploitasi yang mendorong budaya massa. Gambarannya adalah sebuah massa yang nyaris tanpa berpikir, tanpa merenung, menangguhkan segala harapan kritis, bersekongkol dengan budaya massa dan konsumsi massa.

Sementara itu, Ibrahim (2004) mengatakan massa adalah masyarakat yang terbentuk dari hasil polesan industri. Inilah yang kemudian dikenal dengan

(32)

masyarakat massa (mass society). Masyarakat massa adalah suatu kategori masyarakat industrial.

Liliweri (1991) mengutip Mc Quail (1972) mengemukakan bahwa massa kurang memiliki kesadaran diri dan identitas diri, serta tidak mampu bergerak secara serentak dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Massa ditandai oleh komposisi yang selalu berubah pula. Ia tidak bertindak untuk dirinya sendiri tetapi disetir untuk melakukan suatu tindakan. Para anggotanya heterogen dan banyak sekali jumlahnya, serta berasal dari semua lapisan sosial dan demografis. Meskipun demikian, dalam menentukan suatu objek perhatian tertentu massa selalu bersikap sama dan berbuat sesuai persepsi orang yang akan memanipulasi mereka.

Pemahaman tentang realitas media dapat dikaji ketika kita membicarakan budaya massa sebagai lahan dari eksploitasi pemodal. Massa diartikan sebagai sekelompok orang yang tidak terdidik. Artinya kandungan budaya pada tingkat ini mengandung anarkisme dan ketidakteraturan. Hasil dari budaya ini merupakan kelanjutan dari sebuah proses artikulasi dari produsen untuk kemudian menciptakan sebuah realitas yang baru.

Proses Budaya Massa

Allan O’Connor, salah seorang pengkaji budaya yang dikutip Ibrahim (2004), menyoroti topik “popular cultural,” menjelaskan bahwa tema ini mengacu pada “proses budaya yang berlangsung di antara masyarakat umumnya (general public).” Kalau budaya massa tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari, sebelum ia menjadi bagian di dalam masyarakat, pasti ada kelompok atau bagian masyarakat (produser budaya) yang merancang atau memproduksinya.

Bagaimana produk budaya itu sampai ke masyarakat, dan produk yang bagaimana pula yang “dibutuhkan” oleh sejumlah massa yang besar. Semua ini tidak mungkin ada tanpa melibatkan teknologi. Pertumbuhan teknologi adalah hasil peradaban manusia yang penting tidak hanya dalam menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam jumlah besar (mass production), tapi berkat teknologi pula produk budaya bisa disebarkan (dissemination). Proses terjadinya budaya massa ini dapat dilihat pada Gambar 1:

(33)

Gambar 1. Proses terjadinya budaya massa

Ada tiga tahap perkembangan media massa bila dikaitkan dengan budaya massa, menurut Lowenstein dan Merril yang dikutip Winarni (2003) yaitu :

1. tahap elit, media massa dikonsumsi oleh golongan elit.

2. tahap popular, media massa tidak hanya dikonsumsi oleh kalangan elit saja melainkan sudah merambah pada masyarakat berpendidikan dan masyarakat umumya.

3. tahap spesialisasi, media massa mulai diarahkan pada target audiensnya.

Dengan berkembangnya teknologi komunikasi dan penggunaan media, maka akan berdampak pada perkembangan budaya masyarakat yang menerima pesan-pesannya. Untuk itulah banyak ilmuwan komunikasi yang mulai menaruh perhatian pada kajian hubungan antara media massa dengan kebudayaan masyarakat.

Salah satu teori yang membahas hubungan antara media massa dengan masyarakat massa sampai terbentuknya budaya massa adalah teori Triple M.

Ada tiga unsur penting dalam teori ini, yaitu masyarakat massa, media massa, dan budaya massa. Menurut Mowlana dalam Liliweri (1991) ketiga unsur tersebut terkait satu dengan lain dan membentuk satu segitiga seperti pada Gambar 2:

Gambar 2. Teori Triple M Produser

Budaya

Produk Budaya

Teknologi/

Media massa

Massa Budaya Massa/ Pop Culture

Masyarakat massa (Mass Society)

Media massa (Mass Media)

Budaya massa (Mass Culture)

(34)

Masyarakat massa merujuk pada suatu sistem hubungan atau interaksi antar individu dengan individu, individu dengan kelompoknya, kelompok dengan kelompok. Masyarakat massa pada awalnya merupakan masyarakat industri yang pembagian kerjanya telah membuat anggotanya terspesialisasi namun tetap bergantung satu sama lain. Dalam masyarakat seperti ini norma dan moral selalu berada dalam perubahan yang terus menerus secara konstan. Sedangkan hubungan individu lebih bersifat titik singgung dan terbagi-bagi daripada teratur secara periodik.

Media massa dalam teori ini mengacu pada media yang berfungsi sebagai pembagi pesan. Pesan-pesan yang disampaikan media massa mengandung nilai-nilai dan norma, ide maupun simbol yang mewakili pola pikir, perasaan, pendapat, tindakan masyarakat tertentu. Pesan yang disebarluaskan oleh media akhirnya akan dipertukarkan oleh masyarakat kepada pihak lainnya.

Disinilah sebenarnya media massa menciptakan suatu budaya massa karena dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya massa, individu mulai kehilangan kebebasan dan kemerdekaan termasuk kehilangan kaitannya dengan sesama. Individu mulai cemas dan mudah terpengaruh oleh pesan-pesan media yang dapat menjadi pegangannya.

Karena media massa seringkali lebih mementingkan aspek komersil maka ide-ide dasar yang ada di masyarakat kerapkali diubah. Secara ringkas, teori Triple M menunjukkan bahwa hubungan antara aspek masyarakat massa, media massa, dan budaya massa sangat terkait. Masyarakat massa melahirkan media massa, media massa melahirkan budaya massa.

Budaya Massa sebagai Setting Industri

Bersamaan dengan proses industrialisasi, televisi dipandang sebagai pencipta kebudayaan massa. Di satu sisi, budaya massa merupakan konsekuensi dari lahir dan adanya masyarakat industri, di sisi lain dengan kemampuannya sebagai “the extension of man”, dan potensialnya melipatgandakan pesan, televisi membawakan dan menyebarluaskan simbol- simbol budaya masyarakat industri yang kemudian menjadi me-massa. Tetapi juga harus diingat, televisi juga dilahirkan dari perut masyarakat industri. Dengan kata lain, kebudayaan massa lebih diartikan sebagai hasil lingkungan masyarakat industri yang telah berkembang. Karena industri biasanya berkembang di kota- kota, maka budaya massa juga terutama ada dan berkembang di kota-kota.

(35)

Ini berarti, kebudayaan kota merupakan hasil sentuhan lembaga-lembaga industri, perusahaan-perusahaan komersial, dan lembaga-lembaga lain, yang kemunculannya menyusul dan berkaitan dengan berlangsungnya industrialisasi.

Anggapan yang timbul bahwa masyarakat kota identik dengan masyarakat industri, dalam arti budayanya, menandakan adanya semacam pengakuan betapa besar pengaruh industrialisme terhadap kebudayaan kota. Karena industrialisasi berproses secara simbiosis dengan tatanan, semangat, dan mentalitas budaya masyarakat kota, maka kota bisa jadi juga berfungsi sebagai wahana dan media berlangsungnya modernisasi.

Di sini diyakini, bahwa industrialisme telah menciptakan semacam solidaritas baru, tercipta suatu komunitas budaya tunggal perkotaan, menggantikan solidaritas budaya lama yang primordial dan tradisional. Namun, sesungguhnya masyarakat perkotaan merupakan masyarakat hasil migrasi dan meningkatnya mobilitas penduduk akibat industrialisasi, berasal dari berbagai latar belakang (sub) budaya. Budaya kota sebagai hasil industrialisme ini biasanya disebut juga sebagai budaya massa, dengan pendukung massa perkotaan yang karakternya bisa digambarkan sebagai berikut; Pertama, massa yang berkelompok ke dalam pusat-pusat urban adalah gelombang migrasi yang meliputi beberapa generasi. Kedua, massa termasuk kaum tua tidak dipisahkan atau disisihkan sama sekali dari hubungan keluarga lama masing-masing di desa atau semi pedesaan. Ketiga, massa-massa itu lama kelamaan menerima semacam identitas urban, pada waktu yang bersamaan mereka masih merasa terikat pada asal-usul etnis masing-masing. Keempat, massa urban bukan hanya merupakan massa industri, akan tetapi massa yang lebih cair dan terbaur. Pusat- pusat urban di Indonesia tidak hanya terbentuk oleh dinamika-dinamika industri, tetapi juga oleh dinamika birokrasi pemerintahan dan unsur-unsur non-industri (Peter, 2005)

Dengan setting kehidupan masyarakat industri perkotaan yang melahirkan budaya kota dan budaya massa demikian ini, televisi hadir. Televisi hadir untuk mengisi “materi” dan jiwa budaya massa dengan simbol-simbol.

Menyajikan gaya hidup, citra, dan juga impian-impian, yang nampaknya menjadi kebutuhan masyarakat massa industri perkotaan. Televisi menyajikan acara- acaranya dikemas dan diformat sebagai hiburan.

(36)

Telepon Seluler Sejarah dan Fungsi Telepon Seluler (Ponsel)

Telepon seluler ditemukan oleh Martin Cooper pada 3 April 1973.

Teknologi telepon seluler pertama memilki berat 800 gram ukuran sekitar 30x10x5 cm. Dia mencoba telepon seluler ‘raksasanya’ sambil berjalan-jalan di berbagai lokasi di New York. Itulah saat pertama telepon seluler ditampilkan dan digunakan di depan publik.

Dalam pertunjukan itu, Cooper menggunakan telepon seluler seberat 30 ounce sekitar (800 gram ) atau sepuluh kali lipat dibandingkan rata-rata telepon seluler yang beredar saat ini. Mengikuti demonstrasi kemampuan telepon seluler di depan publik pada 1973 itu, ternyata Cooper membutuhkan waktu 10 tahun untuk membuat peralatan yang ditunjukkannya itu masuk ke pasar. Teknologi berkembang terus. Ada banyak versi dan varian teknologi yang dikembangkan para vendor telekomunikasi. Sejak telepon seluler generasi pertama yang diwakili oleh NMT (nordic mobile telecommunication), AMPS (advanced mobile phone system ) serta CDMA (code division multiple acces); kemudian generasi kedua yang diwakili oleh GSM (global system for mobile communication), serta CDMA One; kemudian semakin maju lagi dengan GPRS (general packet radio service ), EDGE, serta UMTS dan CDMA 2000 1X yang mulai masuk ke generasi ketiga (Marten, 2005)

Menjelang akhir tahun 1990-an di Indonesia, telepon seluler melejit menjadi sebuah benda yang paling diminati dan diincar untuk dimiliki oleh semua kalangan. Berkomunikasi dengan telepon seluler di Indonesia kini bukan barang baru lagi. Indonesia dengan jumlah penduduknya mendekati 300 juta jiwa merupakan pangsa potensial bagi Industri telepon seluler.

Tetapi kalau dilihat dari segi fungsinya, telepon seluler ternyata selain untuk kebutuhan media komunikasi, juga sebagai alat untuk menaikkan gengsi dan status, selebihnya telepon seluler hanya sebagai pajangan biar orang lain melihatnya. Dengan demikian telepon seluler sudah bergesar fungsi awalnya sebagai media komunikasi (Hamzah, 2005).

Telepon seluler sendiri berkembang cukup pesat. Penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga International yang bernama International Telecommunication Union tahun 2001, menemukan sejumlah data yang mengungkapkan bahwa penggunaan telepon seluler di 100 negara-negara

(37)

miskin melampaui telepon tetap dan komputer, mengingat harga telepon seluler sangat terjangkau (Johan, 2005).

Sebuah penelitian yang dilakukan Lemelson MIT Intervention Index di AS mengungkapkan, sebenarnya telepon seluler memberikan manfaat untuk meningkatkan produktivitas kerja, berkomunikasi dengan keluarga dan teman serta memberikan keuntungan dan peluang terciptanya inovasi baru. Namun di sisi lain, Index juga mengungkapkan bahwa sebuah penemuan baru kadang datang dengan ongkos sosial yang mahal (Johan, 2005).

Karakteristik Tele pon Seluler sebagai Media

Menurut ensiklopedia Wikipedia, telepon seluler yang disingkat sebagai ponsel, adalah sebuah perangkat telekomunikasi elektronik yang mempunyai kemampuan dasar yang sama dengan telepon fixed line yang konvensional namun dapat dibawa ke mana-mana (portabel) dan tidak perlu disambungkan dengan jaringan telepon menggunakan kabel (nirkabel; wireless). Indonesia mempunyai dua jaringan telepon nirkabel saat ini yaitu GSM (Global System For Mobile Telecommunications) dan CDMA (Code Division Multiple Access).

Telepon seluler, selain berfungsi untuk melakukan dan menerima panggilan telepon, umumnya juga mempunyai fungsi pengiriman dan penerimaan pesan singkat (short message service; SMS). Telepon-telepon yang lebih mahal juga sering menambahkan fitur kamera dan layanan internet (WAP, GPRS, 3G). Ada pula penyedia jasa telepon genggam di beberapa negara yang menyediakan layanan generasi ketiga (3G) yang menambahkan jasa videophone maupun televisi online di telepon seluler mereka.

Sebagai media, telepon seluler merupakan media yang bersifat potabel yang bisa dibawa kemana-mana. Artinya, media ini juga memberi kemudahan bagi pengguna karena dapat dihubungi dan menghubungi walaupun pengguna berada di tempat yang jauh, asalkan terdapat sinyal ponsel. Telepon seluler praktis dan ringan karena beratnya di bawah 90 gram dan mudah dibawa. Pelayanan telepon seluler begitu populer, ini disebabkan tingkat kebebasan, mobilitas dan peningkatan produktivitasnya yang mampu dilayani oleh teknologi telepon seluler ini. Selain kelebihan tersebut, biaya pulsa telepon seluler lebih mahal dibanding telepon biasa, timbulnya harga beli yang mahal serta biaya pemakaian yang cukup tinggi. Operasional media ini sangat tergantung pada

(38)

persediaan baterai disamping persediaan pulsa. Sehingga walaupun mobilitas telepon seluler begitu terbatas.

Dampak Sosial Penggunaan Telepon Seluler

Sejak ditemukannya, telepon seluler sudah menjadi barang yang sangat dibutuhkan dalam melakukan komunikasi. Namun dibalik itu semua, ditemukannya telepon seluler memiliki imbas negatif dan membawa dampak sosial yang ternyata tidak disadari oleh masyarakat. Jaman sekarang, telepon seluler sudah dianggap kebutuhan pokok. Bukan suatu barang yang dianggap istimewa atau mahal. Penggunanya sudah merambah pada kalangan bawah bahkan anak kecil. Penggunaan telepon seluler pun bukan lagi sebagai alat komunikasi semata, melainkan juga mendorong terbentuknya interaksi sosial yang sama sekali berbeda dengan komunikasi tatap muka.

Telepon selular sendiri berkembang cukup pesat. Penelitian yang dilakukan oleh sebuah lembaga International yang bernama International Telecommunication Union tahun 2001, menemukan sejumlah data yang mengungkapkan bahwa penggunaan telepon selular di 100 negara-negara miskin melampaui telepon tetap dan komputer, mengingat harga telepon selular sangat terjangkau. Namun penemuan tersebut bertolak belakang dengan riset yang dilakukan di negara adidaya Amerika Serikat. Hampir satu dari tiga warga negara Amerika atau sekitar 30 persen menyatakan membenci penemuan telepon seluler atau telepon selular. Demikian yang diungkap dalam sebuah penelitian yang dilakukan Lemelson MIT Intervention Index. Namun kehadiran telepon selular sedikit banyak mengalahkan penggunaan jam alarm (25%) dan televisi (23%). Hal ini berdasarkan survei tehadap sikap orang AS terhadap penemuan hal-hal baru (Johan, 2005).

Di satu sisi lembaga Lemelson MIT Intervention Index mengemukakan, sebenarnya telepon seluler memberikan manfaat untuk meningkatkan produktivitas kerja, berkomunikasi dengan keluarga dan teman serta memberikan keuntungan dan peluang terciptanya inovasi baru. Namun di sisi lain, Index juga mengungkapkan bahwa sebuah penemuan baru kadang datang dengan ongkos sosial yang mahal.

Penemuan telepon selular secara tidak langsung sudah mendorong terbentuknya interaksi sosial berbeda saat telepon selular belum ditemukan.

Orang yang tidak suka tampil di tempat umum cenderung melakukan komunikasi

(39)

di ruangannya sendiri. Tidak hanya itu saja, akhirnya juga akan merambat dan terjadi di lingkungan keluarga, dimana sesama anggota keluarga harus berkompetisi dengan orang lain dalam berkomunikasi. Akibatnya hilangnya sebuah kontrol keluarga terhadap perilaku anggotanya.

Tidak semua orang membenci penemuan telepon seluler. Namun tidak sedikit yang merasa dirugikan. Kenyataan di lapangan menyebutkan masih banyak yang merasa terganggu oleh penggunaan telepon selular. Survei yang dilakukan Sprint Wireless menyebutkan sebanyak 80 persen warga AS makin tidak sopan dalam menggunakan telepon selular. Sebanyak 54 persen merasa marah atau diabaikan oleh teman sendiri yang tiba-tiba dihentikan percakapannya untuk menerima telepon. Ada lagi yang merasa tidak nyaman bila mendengar percakapan bisnis atau masalah pribadi orang lain dibicarakan lewat telepon selular. Sebanyak 62 persen responden menjawab ketidaknyaman tersebut. Sebaliknya, sebanyak 98 persen responden menjauh dari kumpulan orang yang berbincang melalui telepon selular di keramaian. Entah itu beranjak ke ruangan lain atau ke tempat lain. Dan hampir semua responden atau sekitar 93 persen sepakat menerima telepon saat rapat berlangsung merupakan suatu hal yang tidak sopan (Johan, 2005).

Penemuan telepon selular semakin hari semakin booming dan terus berevolusi. Bagi para pengguna ternyata masih belum siap atas ‘tanggung jawab’

sosial terhadap penggunaan alat komunikasi canggih tersebut. Banyak orang yang membenci, namun di lain pihak banyak orang yang menyambut gembira penemuan telepon selular.

Telepon Seluler sebagai Gaya Hidup

Sekarang ini, teknologi dari alat komunikasi ini semakin hari semakin maju, sehingga banyak jenis telepon seluler yang bermunculan. Telepon seluler yang diproduksi semakin variatif baik dari merek, bentuk, ukuran maupun menu dan fitur yang ada di dalam telepon seluler tersebut. Dengan adanya hal tersebut, masyarakat cenderung untuk berlomba-lomba memiliki telepon seluler yang menurut mereka paling maju dan paling baru.

Di pusat pertokoan, mall dan tempat hiburan, bisa dipastikan kebanyakan dari pengunjung menggunakan alat canggih itu. Pemandangan orang sibuk memijit nomor telepon seluler untuk menghubungi rekannya atau mengirimkan pesan melalui Short Messaging Service (SMS), ataupun memanfaatkan fasilitas

(40)

lain dari telepon seluler, kini sudah menjadi trend. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan lembaga riset Asia Market Intelligence (AMI) terungkap, 84 persen pengguna telepon seluler menganggap SMS sebagai media komunikasi yang tidak mengganggu, di mana 66 persen responden bahkan menggunakannya sebagai media untuk tukar menukar lelucon. Di kalangan pebisnis, SMS malah digunakan untuk memperlancar hubungan dengan customer maupun kolega. Di kalangan menengah ke bawah, telepon selular juga sudah menjadi seperti barang elektronik pada umumnya (Lysthano, 2005).

Selain sebagai kebutuhan, kepemilikan telepon seluler juga menjadi bagian dari gaya hidup (lifestyle), baik masyarakat kota maupun desa. Dengan harga yang terjangkau, seseorang bisa menggunakan telepon seluler dengan leluasa. Kini sudah tidak heran lagi anak berusia lima tahun hingga usia belasan atau kelompok remaja dipercaya orang tuanya untuk menggunakan telepon seluler. Dengan demikian orang tua bisa memantau keberadaan dan aktivitas anaknya. Anak sendiri bisa “bergaya” dan tak kesulitan lagi berkomunikasi dengan teman-temannya.

Konsumsi masyarakat atas perangkat teknologi, terutama telepon seluler menunjukkan beberapa kegiatan: pemakai berkomunikasi dengan telepon seluler mereka, memasukkan dunia pribadi mereka lewat telepon seluler, dan membangun dunia sendiri antara telepon seluler yang mereka miliki dengan kehidupan nyata sehari-hari. Sehingga menuju perubahan yang terjadi dalam konsep modernitas dan mobilitas, kebutuhan akan manajemen pribadi, serta masuknya teknologi dalam kehidupan pribadi.

Penemuan telepon seluler semakin hari semakin meningkat dan terus berevolusi. Bagi para pengguna ternyata masih belum siap atas ‘tanggung jawab’

sosial terhadap penggunaan alat komunikasi canggih tersebut. Banyak orang yang membenci, namun di lain pihak banyak orang yang menyambut gembira penemuan telepon selular. Telepon seluler merupakan cermin dari teknologi yang saat ini berkembang semakin pesat, dan ini termasuk teknologi dalam berkomunikasi yang saat ini marak digunakan oleh masyarakat di Indonesia.

Pada awalnya mungkin telepon seluler ini hanya digunakan oleh kalangan tertentu, misalnya pengusaha. Namun sekarang, telepon seluler ini seolah-olah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat bahkan remaja ataupun pelajar sendiri. Telepon seluler sekarang ini bukanlah benda yang asing. Bagaimana tidak, dahulu telepon seluler digunakan oleh kalangan tertentu seperti orang kaya

(41)

atau para pengusaha bonafid, namun sekarang sudah menjadi barang biasa sehingga penggunaannya tidak lagi kalangan menengah ke atas akan tetapi mulai anak SD bahkan tukang becak dan para penganggur pun pakai telepon seluler (Hamzah, 2005)

Remaja Definisi

Seringkali dengan mudah orang mendefinisikan remaja sebagai periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang perasaan dan sebagainya. Tetapi mendefinisikan remaja ternyata tidak semudah itu. Walaupun demikian, Sarwono (1997) memberikan pedoman umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumynya tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik)

2. Di banyak mansyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial)

3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri, tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual dan tercapainya puncak perkembangan kognitif maupun moral (kriteria psikologik).

4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua dan sebagainya. Dengan lain perkataan, orang-orang yang sampai batas usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja.

Karakteristik Remaja

Dalam masa remaja, remaja berusaha untuk melepaskan diri dari milieu orang tua dengan maksud untuk menemukan jatidirinya. Menurut Erikson, sebagaimana dikutip oleh Monks, dkk (1999) menamakan proses tersebut

Gambar

Gambar 1. Proses terjadinya budaya massa
Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Kerja
Tabel 1. Klasifikasi Wawancara Kelompok   Kelompok I:
Tabel 4  Jumlah Kepala Keluarga dan Penduduk Kabupaten Mukomuko Menurut  Kecamatan, Tahun 2004   Penduduk  No  Kecamatan  KK  L  P  Jumlah  1  Lubuk Pinang  5.395  12.801  11.756  24.557  2  Mukomuko Utara  5.968  14.332  13.210  27.542  3  Teras Terunjam
+5

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas pelayanan dalam penelitian ini diukur berdasarkan skala SERVPERF dari Cronin dan Taylor (1994) dengan menggunakan pertanyaan yang dikembangkan dari persepsi

kandungan zat gizi (energi dan protein) diperoleh nilai Mean ± SD dari terapi gizi medik yang terdiri dari preskripsi diet, kitir makanan, pemorsian makanan,

Peningkatan efektivitas penggunaan ekstrak etanol tanaman patikan kebo pada kulit untuk luka bakar dapat dilakukan dengan memformulasi dalam sediaan krim basis tipe minyak dalam

 peserta memerlukan pelayanan kesehatan ruukan &in*kat ;anutan atas indikasi medis sesuai den*an sisitem ruukan yan* diatur dalam ketentuan peraturan

Hasil diagram SWOT yang diperoleh dari nilai total skor pembobotan pada usaha kue pilin MAMA ZeZE adalah untuk faktor internal, bernilai ( 2,2 ) yang artinya

Hasil analisis menunjukkan bahwa materi pendidikan multikultural yang dapat menunjang pencapaian kompetensi akademik dan sosial siswa terdiri dari 31 indikator atau dalam

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah telah menetapkan Peraturan Menteri No. 25/Per/M.KUM/IX/2015 tentang revitalisas koperasi. Pertama untuk meningkatkan pera

Jos kokeilun oletettaisiin aiheuttaneen sivukulumuutokset jo kahden ensimmäisen kokeiluvuoden aikana (Lapissa 2003–2004 ja Kainuussa 2005–2006) ja estimoinnit uusitaan tällä