• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS Diajukan Kepada. Untuk Memperoleh Gelar Magister Manajemen. Oleh: Minondhy Kastanja Program Pascasarjana Magister Manajemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TESIS Diajukan Kepada. Untuk Memperoleh Gelar Magister Manajemen. Oleh: Minondhy Kastanja Program Pascasarjana Magister Manajemen"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Kecemasan terhadap Efektivitas Komunikasi dengan Peran Cultural Intelligence

Sebagai Variabel Moderating

(Studi pada Mahasiswa Etnis Indonesia Timur di UKSW Salatiga)

TESIS

Diajukan Kepada

Program Pascasarjana Magister Manajemen Untuk Memperoleh Gelar Magister Manajemen

Oleh:

Minondhy Kastanja 912012023

Program Pascasarjana Magister Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Kristen Satya Wacana S a l a t i g a

2018

(2)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara multibangsa merupakan salah satu negara dengan realita multikultural terbesar di dunia. Hal ini dibuktikan oleh kondisi sosio-kultural maupun geografis yang beragam dan luas (Yaqin, 2005). Multikulturalisme sebenarnya merupakan konsep bahwa sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis dan agama. Sebuah konsep yang memberikan pemahaman kepada kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam.

Keanekaragaman mengacu pada variasi yang dibuat dalam masyarakat dengan adanya berbagai ras, latar belakang etnis dan budaya, serta perbedaan yang muncul dari kelas, umur, dan kemampuan, dengan harapan bahwa masing-masing konsep, dalam hubungan satu sama lain, memperkaya makna dan nilai yang lain (Schneider, 1995). Lebih lanjut Sujarwa

(3)

2

(2011) menyatakan bahwa keragaman merupakan suatu keadaan masyarakat yang didalamnya terdapat perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk, yang ditandai dengan beragam suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Hal ini dibuktikan berdasarkan data sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, bahwa suku bangsa Indonesia terdiri dari 1.300 suku.

Keragaman tidak hanya terjadi pada kehidupan bermasyarakat, namun dalam dunia kerja pun demikian. Keragaman di tempat kerja mengacu pada berbagai perbedaan antara orang-orang dalam suatu organisasi. Ely dan Thomas (1996) dalam penelitiannya tentang keanekaragaman budaya di tempat kerja menemukan bahwa tiga perspektif keberagaman diferensial mempengaruhi fungsi kelompok kerja beragam budaya. Dalam integration- and-learning perspective, keanekaragaman ras mendorong anggota kelompok untuk secara terbuka mendiskusikan poin yang berbeda pandang mereka karena perbedaan - termasuk yang secara eksplisit terkait dengan budaya pengalaman yang dihargai sebagai kesempatan untuk belajar. Sedangkan dalam access-and-legitimacy perspective, keragaman budaya

(4)

3

merupakan sumber daya yang mungkin berharga, tetapi hanya pada margin organisasi dan hanya untuk mendapatkan akses ke dan legitimasi dengan pasar yang beragam. Hal ini menumbuhkan persepsi fungsi staf kulit putih sebagai status yang lebih tinggi daripada fungsi dikelola oleh orang kulit berwarna, trek karir ras terpisah dan kesempatan, yang dipupuk kekhawatiran di kalangan staf warna tentang sejauh mana mereka dihargai dan dihormati, dan ambivalensi pada bagian orang kulit berwarna tentang arti dan pentingnya identitas ras mereka di tempat kerja. Yang dihasilkan ketegangan interacial / interfunctional muncul untuk menghambat belajar dan kemampuan orang untuk secara maksimal efektif dalam pekerjaan mereka. Dan dalam discrimination- and-fairness perspective, peran keanekaragaman ras membatasi wacana tentang ras satu di mana karyawan menegosiasikan makna dari seluruh perbedaan - lomba yang berkaitan dengan alasan moral.

Rutgers, Avery dan Morris (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa bahwa perbedaan rata-rata baik Hitam-Putih dan Hispanik-Kulit putih dalam penjualan per jam secara signifikan lebih kecil di unit toko yang dirasakan untuk mempertahankan

(5)

4

iklim kerja yang sangat pro-keberagaman. Penelitian Sze Man dan Tsz Kong (2011) menemukan hubungan negatif yang signifikan antara kinerja keuangan perusahaan dan representasi dewan perempuan dengan menggunakan proxy yang berbeda untuk keragaman gender dalam ruang rapat. Selain itu, tidak ada hubungan kausal (PWOMAN) kecuali ditujukan dengan membandingkan hasil yang diperoleh dari dua model. Oleh karena itu, terlihat bahwa nilai perusahaan dan jenis kelamin keragaman di ruang rapat sebenarnya saling mempengaruhi. Sedangkan penelitian Kunze, Boehm, dan Bruch (2011) menemukan bahwa keragaman usia tampak terkait dengan munculnya diskriminasi usia dalam perusahaan, yang berdampak negatif terhadap kinerja perusahaan secara keseluruhan melalui mediasi dari komitmen afektif.

Isu-isu keragaman ini perlu mendapatkan perhatian tersendiri mengingat masyarakat Indonesia yang majemuk dengan jumlah suku bangsa kurang lebih 700-an dan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam. Berbagai perbedaan yang ada menjadi pemicu untuk memperkuat isu konflik yang sewaktu- waktu dapat muncul meskipun konflik tersebut belum

(6)

5

tentu berawal dari keragaman kebudayaan, melainkan dari isu-isu lain (Sujarwa, 2011).

Keanekaragaman tidak hanya melibatkan bagaimana orang melihat diri mereka sendiri tetapi juga bagaimana mereka memandang orang lain.

Persepsi mereka mempengaruhi interaksi mereka.

Untuk berbagai macam karyawan untuk berfungsi secara efektif sebagai sebuah organisasi, sumber daya manusia profesional perlu untuk secara efektif menangani isu-isu seperti komunikasi, kemampuan adaptasi, dan perubahan (Patrick dan Kumar, 2012).

Rogers (2001) menjelaskan komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Mulyana (2005) menjelaskan bahwa komunikasi terjadi jika setidaknya suatu sumber membangkitkan respons pada penerima melalui penyampaian suatu pesan dalam bentuk tanda atau symbol, baik bentuk verbal atau bentuk nonverbal, tanpa harus memastikan terlebih dulu bahwa kedua pihak yang berkomunikasi punya suatu sistem simbol yang sama. Komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang berbeda bangsa, ras, bahasa, agama, tingkat pendidikan, status sosial

(7)

6

atau bahkan jenis kelamin disebut komunikasi antarbudaya.

Liliweri (2003) mendefinisikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Lebih lanjut Husain (2003) mengatakan bahwa ketika berkomunikasi dengan orang dari suku, atau agama lain kita dihadapkan dengan sistem nilai dan aturan yang berbeda. Sulit memahami komunikasi mereka bila kita sangat etnosentrik, karena di Indonesia masih sering terdengar stereotip-stereotip kesukuan (Husain, 2003).

Seseorang berkomunikasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Penyesuaian bukan berarti bahwa kita harus setuju dengan atau meniru semua tindakan orang lain. Sebaliknya, kita harus mencoba untuk memahami alasan di balik tindakan mereka tanpa terintimidasi oleh situasi. Jadi kita harus melakukan upaya untuk berkomunikasi secara efektif dengan orang-orang dari budaya yang berbeda di semua arena kehidupan: pendidikan, bussines, politik, olahraga, pariwisata, kesehatan, dll (Mulyana, 2012). Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila

(8)

7

rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang komunikator maksud dengan yang komunikan terima, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilakukan (Rogers, 2001).

Kemampuan untuk berkomunikasi antarbudaya secara efektif sangat dituntut pada kalangan mahasiswa. Dimana mahasiswa merupakan generasi yang nantinya akan masuk ke dalam dunia kerja dan diperhadapkan dengan berbagai isu keragaman.

Namun, pada kenyataannya ada mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, baik dalam proses belajar di kelas maupun dalam suasana informal di luar kelas. Penelitian yang dilakukan oleh Utami (1991) pada mahasiswa mengenai efektivitas relaksasi dan terapi kognitif dalam usaha untuk mengurangi kecemasan komunikasi pada mahasiswa, menunjukkan bahwa fenomena kecemasan komunikasi memang tampak di kalangan mahasiswa. Dalam terapi kognitif ini yang dilakukan adalah usaha-usaha untuk mengubah penilaian negatif dan irasional subjek terhadap dirinya, menjadi penilaian positif dan rasional.

(9)

8

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu et al. (2004) memaparkan hasil penelitiannya, bahwa semakin seseorang berpola pikir positif maka semakin rendah kecemasan berbicara di depan umum, sebaliknya semakin seseorang berpola pikir negatif maka akan semakin tinggi kecemasan berbicara di depan umum. Hal ini dapat disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi.

Individu yang mengalami kecemasan berkomunikasi cenderung untuk menarik diri dari pergaulan dan berusaha sesedikit mungkin untuk terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Kecemasan merupakan suatu keadaan khawatir, gugup atau takut, ketika berhadapan dengan pengalaman yang sulit dalam kehidupan seseorang dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Greenberg &

Padesky, 1995). Sedangkan Nevid et al. (2003) menjelaskan kecemasan (anxiety) sebagai keadaan emosional yang mempunyai ciri keterangsangan fisiologis, perasaan yang tegang yang tidak menyenangkan dan perasaan aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu

(10)

9

yang buruk akan segera terjadi. Gudykunst & Mody (2002) meyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antarkelompok. Gudykunst menegaskan pula bahwa kemampuan untuk mengatur ketidakpastian dan kecemasan berpengaruh dalam kemampuan individu untuk dapat berkomunikasi secara efektif dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru.

Untuk mencapai komunikasi antarbudaya yang efektif, individu seharusnya mengembangkan kompetensi antar budaya. Salah satunya adalah dengan memiliki kecerdasan budaya. Menurut Ismail et al. (2012) kecerdasan budaya dapat mengurangi hambatan komunikasi antar budaya dan memberikan individu kewenangan untuk mengelola berbagai budaya. Dimana, kecerdasan budaya memungkinkan individu mengidentifikasi bagaimana oran lain berpikir dan bagaimana mereka bereaksi terhadap pola perilaku. Bucker et al. (2012) dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kecerdasan budaya memainkan peran penting dalam mengurangi kecemasan dan mempengaruhi efektifitas komunikasi dan kepuasan kerja secara positif.

(11)

10

Kecerdasan budaya (Crown, 2008) adalah kemampuan pribadi yang menyebabkan seseorang untuk bertindak secara efektif dalam situasi budaya yang berbeda. Menurut Gibson (2008), seseorang yang memiliki kecerdasan budaya yang tinggi, memiliki kemampuan belajar dalam lingkungan budaya baru dan menikmati menghadapi budaya baru. Early &

Peterson (2004) menegaskan bahwa CQ bukan hanya pemahaman kognitif tentang perbedaan budaya juga tidak diturunkan ke kefasihan dalam bahasa asing.

Sebaliknya, itu terdiri dari tiga dimensi termasuk emosional/motivasi dan fisik di samping kognitif. Oleh karena itu, orang dengan kecerdasan yang tinggi membuat situasi yang baru dan berbeda berkaitan dengan perbedaan budaya dan mereka termotivasi untuk bertindak atas pemahaman baru tentang isyarat yang mereka lihat dan alami. Individu dengan emosi/motivasi yang kuat dalam kecerdasan budaya memiliki rasa yang kuat tentang keberhasilan atau kemampuan mereka sendiri untuk memahami dan beradaptasi dengan budaya baru.

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat kecenderungan untuk terjadi hambatan – hambatan antar etnis di dalam suatu lingkungan. Model komunikasi antarbudaya mahasiswa etnis yang

(12)

11

berasal dari Indonesia Timur telah dapat menghormati dan menghargai adat kebiasaan etnis Indonesia Tengah (Kalimantan dan Sulawesi) serta etnis yang berasal dari Indonesia Barat termasuk etnis Jawa.

Faktor pengahambat yang terjadi pada mahasiswa baru berasal dari Indonesia Timur adalah kesulitan membaur dan kurangnya pengetahuan tentang budaya setempat. Tradisi dan kebiasaan yang berasal dari etnis Indonesia Timur memiliki tantangan terhadap penyesuaian pada tradisi lokal. Frekuensi komunikasi yang terjadi juga relatif rendah meskipun mahasiswa baru dari Indonesia Timur memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Melihat adanya fenomena kecemasan dalam berkomunikasi pada mahasiswa serta peran cultural intelligence dalam mempengaruhi kecemasan dan komunikasi, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga. UKSW merupakan salah satu kampus yang beranggotakan civitas akademika yang heterogen, dan berasal dari berbagai pelosok Tanah Air dengan berbagai latar belakang budaya dan adat yang berbeda. Hampir semua etnis ada di UKSW, oleh karena itulah UKSW sering disebut sebagai Indonesia Mini.

(13)

12

Berdasarkan uraian di atas maka yang diangkat oleh penulis untuk menjadi topik dalam penelitian ini adalah pengaruh kecemasan terhadap efektifitas komunikasi antaretnis dengan cultural intelligence sebagai variabel moderating.

1.2 Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kecemasan mempengaruhi efektifitas komunikasi antaretnis pada mahasiswa UKSW?

2. Apakah cultural intelligence berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara kecemasan dan efektifitas komunikasi antaretnis pada mahasiswa UKSW?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh kecemasan terhadap efektifitas komunikasi antaretnis pada mahasiswa UKSW?

2. Untuk mengetahui peran cultural intelligence sebagai variabel moderating dalam hubungan kecemasan dan efektifitas komunikasi antaretnis pada mahasiswa UKSW?

(14)

13 1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran ilmiah dan dapat bermanfaat sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya sehingga berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang berhubungan dengan Managemen Sumber Daya Manusia.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak Universitas Kristen Satya Wacana tentang pengaruh kecemasan dan cultural intelligence terhadap efektivitas komunikasi antarbudaya.

(15)

14 BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Defenisi dan Penalaran Konsep 2.1.1 Kecemasan (Anxiety)

1. Defenisi Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional, suatu perasaan yang tidak menyenangkan sebagai reaksi terhadap ancaman dari suatu objek yang belum jelas (Chaplin, 2000). Menurut Atkinson (2000), kecemasan adalah emosi yang tidak menyenangkan yang di tandai dengan kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang berada pada tingkat yang berbeda-beda.

Nevid et al. (2003) mendefinisikan kecemasan sebagai suatu keadaan emosional yang mempuanyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Lebih lanjut Freud (dalam Alwisol, 2005) menjelaskan kecemasan merupakan fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan

(16)

15

reaksi adaptif yang sesuai. Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan bila tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan.

Menurut Semiun (2006), kecemasan adalah suasana perasaan hati yang merasa takut terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan individu saja. Kecemasan merupakan suatu keadaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Keadaan yang tidak menyenangkan itu sering kabur dan sulit menunjuk dengan tepat, tetapi kecemasan itu sendiri selalu dirasakan.

2. Ciri-Ciri Kecemasan

Menurut Nevid et al. (2003) kecemasan dapat ditandai oleh ciri fisik, behavioral, dan kognitif.

1. Ciri-ciri fisik meliputi: kegelisahan, kegugupan;

tangan atau anggota tubuh gemetar; kekencangan pada pori-pori perut atau dada; banyak berkeringat; telapak tangan yang berkeringat;

pening atau pingsan; mulut atau kerongkongan

(17)

16

terasa kering; sulit berbicara; sulit bernafas;

bernafas pendek; jantung yang berdebar keras atau berdetak kencang; suara yang bergetar; jari- jari atau anggota tubuh yang menjadi dingin;

pusing; merasa lemas atau mati rasa; sulit menelan; kerongkongan terasa tersekat; leher dan punggung terasa kaku; sensasi seperti tercekik atau tertahan; tangan yang dingin dan lembab;

terdapat gangguan sakit perut dan mual; panas dingin; sering buang air kecil; wajah terasa memerah; diare; merasa sensitif atau mudah marah.

2. Ciri-ciri behavioral meliputi: perilaku menghindar, perilaku melekat dan dependen; perilaku terguncang.

3. Ciri-ciri kognitif meliputi: khawatir tentang sesuatu; perasaan terganggu akan ketakutan atau aprehensif terhadap sesuatu yang terjadi di masa depan; keyakinan bahwa sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tanpa adanya penjelasan yang jelas; terpaku pada sensasi kebutuhan; sangat waspada; merasa terancam oleh orang atau peristiwa yang normalnya hanya sedikit atau tidak mendapat perhatian; ketakutan akan kehilangan kontrol; ketakutan akan

(18)

17

ketidakmampuan untuk mengatasi masalah;

berpikir bahwa dunia mengalami keruntuhan;

berpikir bahwa semuanya terasa sangat membingungkan tanpa dapat diatasi; khawatir tentang hal-hal yang sepele; berpikir tentang hal mengganggu yang sama secara berulang-ulang;

berpikir bahwa harus dapat menghindar dari keramaian, kalau tidak pasti akan pingsan;

pikiran terasa bercampur aduk atau kebingungan;

tidak mampu menghilangkan pikiran-pikiran terganggu; berpikir akan segera mati, meskipun dokter tidak menemukan sesuatu yang salah secara medis; khawatir akan ditinggal sendirian;

sulit berkonsentrasi atau memfokuskan pikiran.

2.1.2 Efektivitas Komunikasi Antaretnis 1. Definisi Komunikasi

Kata atau istilah komunikasi dari bahasa Inggris

“communication”, secara etimologis atau menurut asal katanya adalah dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis yang memiliki makna ‘berbagi’ atau ‘menjadi milik bersama’

yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna.

Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang kepada orang lain

(19)

18

dengan menggunakan lambang-lambang yang bermakna bagi kedua pihak, dalam situasi tertentu komunikasi menggunakan media tertentu untuk merubah sikap atau tingkah laku seseorang atau sejumlah orang sehingga ada efek tertentu yang diharapkan (Effendi, 2000). Rogers (2001) mendefinisikan komunikasi sebagai proses suatu ide dialihkan dari satu sumber kepada satu atau banyak penerima dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Semakin besar kaitan antara yang komunikator maksud dengan yang komunikan terima, maka semakin efektif pula komunikasi yang dilakukan.

Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting, karena merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk bisa mengenal dirinya dan dunia di luar dirinya (Taylor et al., 1986). Scram (dalam Effendy, 2002) menjelaskan bahwa jika seseorang melakukan komunikasi, berarti sedang melakukan kesamaan (commones) dengan orang lain tentang suatu informasi, gagasan atau sikap dengan

(20)

19

orang lain. Karena pada hakekatnya adalah membuat si penerima & si pemberi sama-sama "sesuai" untuk suatu pesan. Lebih lanjut Robbins (2002) mengatakan bahwa, tidak ada kelompok yang dapat eksis tanpa komunikasi : pentransferan makna di antara anggota- anggotanya. Hanya lewat pentransferan makna dari satu orang ke orang lain informasi dan gagasan dapat dihantarkan. Tetapi komunikasi itu lebih dari sekedar menanamkan makna tetapi harus juga dipahami.

2. Komunikasi Antarbudaya

Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa (dalam Liliweri, 2009:12) menyatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah komunikasi antar orang-orang yang berbeda kebudayaanya, misalnya antara suku bangsa, etnik, ras dan kelas sosial. Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya perbendaharaan- perbendaharaan yang dimiliki dua orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, yang dapat menimbulkan segala macam kesulitan.

Pengaruh budaya atas individu dan masalah- masalah dari balik pesan terlukis pada gambar berikut:

(21)

20 Gambar 2.1

Komunikasi Antarbudaya (Liliweri, 2009:14) Tiga budaya diwakili dalam model pada gambar 2.1 oleh tiga bentuk geometrik yang berbeda. Budaya A dan Budaya B relatif serupa dan masing-masing diwakili oleh suatu segi empat. Budaya C sangat berbeda dengan budaya A dan budaya B, perbedaan yang lebih besar ini tampak pada melingkar budaya C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B.

Menurut DeVito (1996:488), komunikasi antarbudaya memiliki lima prinsip sebagai berikut:

1. Relativitas Bahasa

Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik.

2. Bahasa sebagai Cermin Budaya

Semakin besar perbedaan budaya, semakin besar perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar

Budaya A Budaya B

Budaya C

(22)

21

perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.

3. Mengurangi Ketidakpastian

Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besar ketidakpastian dan ambiguitas dalam komunikasi.

4. Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya

Semakin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi.

5. Memaksimalkan Hasil Interaksi

Untuk memaksimalkan interaksi dalam komunikasi antarbudaya terdapat tiga implikasi penting yaitu:

pemberian hal positif, terus melibatkan diri dalam komunikasi dan membuat makna prediksi yang akan menghasilkan bentuk positif dari komunikasi.

Menurut Barna dan Rubenm (dalam DeVito, 1996:490), terdapat lima hambatan dalam komunikasi antarbudaya yaitu:

1. Pengabaian perbedaan antara individu dan kelompok yang secara kultural berbeda;

2. Pengabaian perbedaan antara kelompok kultural yang berbeda;

3. Pengabaian perbedaan dalam makna;

(23)

22

4. Pelanggaran adat kebiasaan kultural; dan 5. Penilaian perbedaan secara negatif.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan dari komunikasi antarbudaya diperlukan penyamaan dari tujuan-tujuan komunikasi dan mengurangi etnosentrisme (persepsi terhadap hal-hal yang paling benar dan tepat).

3. Etnis

Etnis atau sering disebut sebagai kelompok etnis adalah sebuah himpunan manusia (subkelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan rasa, agama, asal usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu (Jones dalam Liliweri, 2002). Dalam Pasal 1 Angka 3 UU No.

40 Tahun 2008 menjelaskan bahwa, etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma, bahasa, sejarah, geografis dan hubungan kekerabatan.

Dalam membahas komunikasi antar etnis yang membedakannya dari studi komunikasi yang lain, yaitu adanya derajat perbedaan latar belakang pengalaman yang relative besar antara para komunikatornya, yang disebabkan oleh perbedaan- perbedaan kebudayaan. Konteks komunikasi antar

(24)

23

etnis dapat meliputi komunikasi antarpribadi atau lintas pribadi, di antara dua orang (dyad), komunikasi diantara tida orang (triads), komunikasi gender yakni komunikasi antara atau lintas peserta komunikasi yang berbeda jenis kelamin (Liliweri, 2002). Lebih lanjut Liliweri menjelaskan bahwa, komunikasi antar etnis adalah komunikasi antar-anggota etnis yang berbeda, atau komunikasi antar-anggota etnis yang sama, tetapi mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda.

4. Dimensi Efektifitas Komunikasi Antaretnis Di dalam komunikasi antar etnis terdapat lima dimensi (Devito, 1997), antara lain:

1. Keterbukaan (Openness) adalah penilaian terhadap kualitas keterbukaan dalam komunikasi dapat dimengerti paling tidak dari dua hal yaitu keinginan untuk membuka diri dengan setiap orang yang mempunyai maksud berinteraksi dan kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur. Adanya keinginan untuk membuka diri dengan orang lain, dapat dipahami sebagai keinginan untuk menyampaikan informasi yang dimiliki kepada orang lain.

2. Empati (Emphaty), dalam komunikasi memerlukan adanya empati yang dimiliki oleh

(25)

24

para pelakunya. Empati yang terjadi selama komunikasi berlangsung, menjadikan para pelakunya memiliki pemahaman yang sama mengenai perasaannya masing-masing karena masing-masing pihak berusaha untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain dengan menggunakan cara yang sama.

3. Dukungan (Supportiveness), ada banyak cara untuk mengungkapkan dukungan kepada orang lain. Dukungan yang tidak diucapkan melalui kata-kata bukanlah merupakan dukungan yang bernilai negatif, tetapi lebih jauh dari itu dapat mengandung nilai positif dalam suatu komunikasi.

4. Kepositifan (Positiveness), dapat diwujudkan dengan dua cara yaitu bersikap positif dan menghargai orang lain. Sikap positif dalam komunikasi menjadikan seseorang dapat menghargai dirinya secara positif.

5. Kesetaraan (Equality), kesetaraan antar pelaku merupakan suatu keharusan agar proses komunikasi dapat berjalan dengan baik.

Kesetaraan berarti menerima dan menyetujui orang lain atau memberi orang lain penerimaan yang positif tanpa harus dikondisikan.

(26)

25

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Antaretnis

Komunikasi antar etnis dipengaruhi oleh beberapa faktor (Daryanto, 2010), antara lain:

1. Percaya, dengan adanya rasa percaya ini membuat seseorang akan terbuka dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan kepada orang lain sehingga meningkatkan komunikasi.

2. Sikap suportif, dengan adanya sikap suportif dapat mengurangi sikap defensive dalam komunikasi.

Ciri-ciri sikap suportif adalah deskriptif yaitu menyampaikan perasaan dan persepsi tanpa menilai, mengkomunikasikan keinginan bentuk kerja sama mencari pemecahan masalah, bersikap jujur dan spontan, memiliki empati, menghormati perbedaan pandangan dan keyakinan yang ada dan bersedia mengakui kesalahan.

3. Sikap terbuka, dengan sikap yang terbuka terhadap orang lain akan berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi yang efektif.

6. Hambatan-hambatan dalam Komunikasi Antaretnis

Menurut Chaney & Martin (2004), komunikasi antar etnis tidak dapat belangsung secara efektif karena adanya faktor-faktor yang menghambat.

(27)

26

Hambatan tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu diatas air (above waterline) dan dibawah air (below waterline). Faktor-faktor hambatan komunikasi antarbudaya yang berada dibawah air (above waterline) adalah faktor-faktor yang membentuk perilaku atau sikap seseorang, dimana hambatan semacam ini cukup sulit untuk dilihat atau diperhatikan. Hambatan-hambatan tersebut, antara lain: Persepsi (perception), norma (norms), stereotip (stereotypes), filosofi bisnis (business philosophy), aturan (rules), jaringan (network), nilai (values) dan grup cabang (subcultures group). Sedangkan faktor- faktor hambatan komunikasi yang berada diatas air (below waterline) terdapat 9 jenis, dimana hambatan semacam ini lebih mudah untuk dilihat karena hambatan-hambatan ini banyak yang berbentuk fisik.

Hambatan-hambatan tersebut, antara lain: Fisik (physical), budaya (cultural), persepsi (perceptual), motivasi (motivational), pengalaman (experiantial), emosi (emotional), bahasa (lenguistic), nonverbal, dan kompetisi (competition).

2.1.3 Cultural Intelligence (CQ)

Kecerdasan budaya adalah kemampuan seseorang ke arah adaptasi sukses dengan lingkungan budaya baru yang biasanya berbeda dari teks budaya

(28)

27

seseorang (Early & Ang, 2003). Lebih lanjut Early &

Peterson (2004) menyatakan kecerdasan budaya adalah kemampuan individu untuk memahami, menafsirkan, dan secara efektif bertindak dalam kondisi memiliki berbagai budaya.

Menurut Ang et al. (2007), kecerdasan budaya (CQ), didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk berfungsi dan mengelola secara efektif dalam pengaturan beragam budaya. Lebih lanjut Ang et al.

mengatakan bahwa terdapat empat dimensi cultural intelligence, antara lain: 1) Metakognitif CQ, mencerminkan proses mental yang digunakan individu untuk memperoleh dan memahami pengetahuan budaya, termasuk pengetahuan, dan kontrol atas, proses berpikir individu yang berkaitan dengan budaya. 2) Kognitif CQ mencerminkan pengetahuan tentang norma-norma, praktik, dan konvensi dalam budaya yang berbeda yang diperoleh dari pendidikan dan pengalaman pribadi. 3) Motivational CQ mencerminkan kemampuan untuk mengarahkan perhatian dan energi ke arah belajar tentang dan berfungsi dalam situasi yang ditandai oleh perbedaan budaya. 4) Perilaku CQ mencerminkan kemampuan untuk menunjukkan tindakan verbal

(29)

28

dan nonverbal yang tepat saat berinteraksi dengan orang-orang dari budaya yang berbeda.

2.2 Pengembangan Hipotesis

2.2.1 Pengaruh Kecemasan terhadap Efektivitas Komunikasi Antaretnis

Menurut Stuart & Sundeen (1993) kecemasan merupakan sesuatu yang dapat diperoleh dari belajar.

Individu akan belajar dari pengalaman kegagalan memenuhi tuntutan lingkungan yang mengancam.

Individu yang merasa terancam akan menimbulkan kecemasan. Kecemasan sebagai sesuatu emosi yang muncul dari pengalaman subyektif individu biasanya tidak dapat dikenali secara nyata. Menurut Greenberg

& Padesky (1995) kecemasan merupakan suatu keadaan khawatir, gugup atau takut, ketika berhadapan dengan pengalaman yang sulit dalam kehidupan seseorang dan menganggap bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Dalam hal komunikasi antaretnis, orang cenderung akan berinteraksi dengan orang lain yang mereka pikir akan memberikan hasil yang positif, dan bila mendapatkan hasil yang positif maka proses komunikasi tersebut akan terus ditingkatkan, dan ketika dalam proses komunikasi tersebut dirasa

(30)

29

mendapat hasil yang negatif maka pelaku komunikasi tersebut mulai menarik diri dan mengurangi proses komunikasi (Iswari & Pawito, 2012). Lebih lanjut Rahayu et al. (2004) menjelaskan bahwa kecemasan dalam berkomunikasi disebabkan karena individu membangun pesan-pesan yang negatif dan memperkirakan hal-hal yang negatif sebagai hasil keikutsertaannya dalam interaksi komunikasi.

Gudykunst & Mody (2002) menegaskan bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.

Komunikasi yang efektif tergantung pada tingkat kesamaan makna yang didapat partisipan yang saling bertukar pesan. Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima atau mereka menginterpretasikan pesan secara sama (Iswari &

Pawito, 2012). Berdasarkan gambaran di atas maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

H1 : Kecemasan berpengaruh terhadap efektifitas komunikasi antaretnis

(31)

30

2.2.2 Pengaruh Cultural Intelligence dalam Memoderisasi Kecemasan terhadap Efektifitas Komunikasi Antaretnis

Untuk mencapai efektifitas komunikasi antaretnis antara lain dengan mengetahui pola-pola penafsiran pesan dari budaya yang berlainan agar tidak terjebak dalam stereotip, menggabungkan komponen emosional atau motivasional budaya, dan berusaha untuk mengatasi atau mengatur ketegangan atau kecemasan yang dapat terjadi pada banyak pertemuan antarbudaya (Iswari & Prawito, 2012).

Menurut Ismail et al. (2012) kecerdasan budaya memungkinkan individu mengidentifikasi bagaimana orang lain berpikir dan bagaimana mereka bereaksi terhadap pola perilaku. Akibatnya, mengurangi hambatan komunikasi antarbudaya dan memberikan individu kewenangan untuk mengelola berbagai budaya. Bucker et al. (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kecerdasan budaya memainkan peran penting dalam mengurangi kecemasan dan mempengaruhi efektifitas komunikasi secara positif.

Berdasarkan uraian di atas yang didukung oleh penelitian sebelumnya maka dapat disusun hipotesis sebagai berikut:

(32)

31

H2 : Cultural Intelligence berpengaruh sebagai variabel moderating dalam hubungan kecemasan dan efektifitas komunikasi antaretnis.

2.3 Kerangka Model Penelitian

Model dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Model Penelitian

Efektifitas Komunikasi Antaretnis Kecemasan

Cultural Intelligence (CQ)

(33)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu apakah ada pengaruh kecemasan terhadap efektifitas komunikasi antaretnis, dan apakah cultural intelligence berperan sebagai variabel moderating dalam hubungan antara kecemasan dengan efektifitas komunikasi antaretnis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini termasuk explanatory research, karena penelitian ini bermaksud menjelaskan pengaruh variabel kecemasan dan cultural intelligenece sebagai variabel moderating terhadap efektifitas komunikasi antaretnis melalui pengujian hipotesis.

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling pada lima Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) sebanyak 50 responden. Kriteria yang digunakan adalah mahasiswa baru angkatan Tahun 2017.

(34)

33 3.3 Pengukuran Konsep

Pengukuran konsep merupakan suatu upaya untuk mengkaji atau melihat konsep yang abstrak secara empirik. Konsep tersebut perlu diidentifikasikan secara tepat agar dapat dilakukan analisis serta tafsiran terhadap data yang diperoleh secara tepat pula. Dalam pengukuran suatu konsep dilakukan proses perumusan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan beserta kategori-kategori jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan beserta kategori-kategori jawaban tersebut yang dinamakan indikator empirik (Ihalaw, 2004). Konsep-konsep yang digunakan dan pengukuraannya disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3.1

Konsep, Definisi Konsep dan Indikator Empirik

Konsep Definisi Konsep Indikator Empirik Kecemasan

(Anxiety) Kecemasan merupakan suatu keadaan

emosional yang mempuanyai ciri-ciri seperti keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan aprehensif atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera

Fisik: gemetar, gugup, merasa sensitif,..

Behavioral:

perilaku menghindar,..

Kognitif: khawatir tentang sesuatu yang akan terjadi,

(35)

34

Konsep Definisi Konsep Indikator Empirik terjadi (Nevid et al.,

2003).

Efektifitas Komunikasi

Antaretnis

pesan yang

disampaikan dan yang dimaksud oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan pesan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. (Rogers, 2001).

Keterbukaan (openness)

Empati (empathy)

Sikap mendukung (supportiveness)

Sikap positif (positiveness)

Kesetaraan (equality) Cultural

Inteligence (CQ)

Kecerdasan budaya (CQ), didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk

berfungsi dan mengelola secara efektif dalam pengaturan beragam budaya (Ang et al., 2007).

Metakognitif (metacognition)

Kognitif (cognitive)

Motivasi (motivation)

Perilaku (behavioral)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti langsung dari sumber pertama atau subjek penelitian (Sangadji dan Sophia, 2010). Data tersebut diperoleh melalui kuesioner dan wawancara. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, penelitian terdahulu, literatur dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

(36)

35 3.5 Teknik Analisis Data 3.5.1 Uji Validitas

Uji validitas dilakukan untuk melihat sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukur (Azwar, 2001). Validitas adalah tingkat keandalah dan kesahihan alat ukur yang digunakan. Instrumen dikatakan valid berarti menunjukkan alat ukur yang dipergunakan untuk mendapatkan data itu valid atau dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya di ukur Dengan demikian, instrumen yang valid merupakan instrumen yang benar-benar tepat untuk mengukur apa yang hendak di ukur (Sugiyono, 2004).. Dalam pengujian ini digunakan kriteria Ghozali (2005), dimana suatu item adalah valid jika korelasi antara item tersebut dengan skor total ≥ 0.25. selain itu, akan dilakukan pengujian angka pada kolom corrected item-total correlation menunjukan nilai r hasil.

3.5.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau

(37)

36

stabil dari waktu ke waktu (Ghozali, 2005). Pengujian reliabilitas menggunakan nilai cronbach alpha. Suatu variable dikatakan reliable jika memberikan nilai cronbach alpha diatas 0.6 (Supramono dan Haryanto, 2005).

3.5.3 Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji statistik yang digunakan untuk menguji normalitas residual adalah uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov dengan ketentuan bila angka < 0,05 maka distribusi data residualnya adalah tidak normal, dan sebaliknya jika angka signifikansi > 0, 05 maka distribusi data residualnya adalah normal (Ghozali, 2005).

3.5.4 Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji interaksi untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen, dependen dan variabel moderating dengan analisis regresi liner berganda. Faktor yang memperkuat atau memperlemah pengaruh variabel independen dengan variabel dependen digunakan uji Moderated Regression Analysis (MRA). MRA dilakukan dengan

(38)

37

perkalian varaibel independen dengan variabel moderasi (Anatan, 2009:33).

Y = a + b1X + b2Z + b2XZ + ε Keterangan:

a = konstanta

Y = variabel dependen X = variabel independen Z = variabel moderating b1 = koefisien regresi X b2 = koefisien regresi Z ε = nilai standard error

Untuk menguji kriteria moderasi digunakan acuan sebagai berikut (Tambun, 2013):

1. Pure moderator

Jika terdapat pengaruh Z terhadap Y dan interaksi Z*X salah satunya signifikan.

2. Quasi moderator

Jika terdapat pengaruh signifikan Z terhadap Y dan interaksi Z*X signifikan.

3. Not moderator

Jika tidak terdapat pengaruh signifikan Z terhadap Y dan interaksi Z*X tidak signifikan.

(39)

38

BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Responden

Kuesioner penelitian dibagi kepada ketua-ketua Etnis Indonesia Timur di UKSW. Kemudian memalui ketua-ketua etnis kuesioner dibagikan kepada responden dan diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 4.1

Deskripsi Responden

No. OMDA Frek No. Fakultas Frek

1. HIMPAR 10 1. Biologi 4

2. HIPMMA 10 2. FTEK 1

3. KEMAMORA 10 3. FBS 5

4. IKMASTI 10 4. FEB 5

5. FLOBAMORA 10 5. FISKOM 4

Jumlah 50 6. FKIK 3

7. FKIP 4

Jenis Kelamin 8. FPB 5

1. Laki – laki 21 9. FSM 2

2. Perempuan 29 10. FTI 6

Jumlah 50 11. Hukum 3

12. Psikologi 6

Asal 13. Teologi 2

1. Maluku 10 Jumlah 50

2. Maluku

Utara 10

3. NTT 20

4. Papua 6

5. Papua Barat 4

Jumlah 50

(40)

39

4.2 . Analisis Statistik Deskriptif

Deskripsi data merupakan unit analisis deskriptif untuk mengetahui kontribusi nilai item per variabel pada amatan etnis.

Tabel 4.2

Statistik Deskriptif Variabel Kecemasan N Minimun Maximum Mean

K1 50 1 5 2,40

K2 50 1 5 2,44

K3 50 1 4 1,46

K4 50 1 5 2,56

K5 50 1 3 1,46

Rata-rata Kecemasan 2,06 Dari tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 5 item indikator empirik untuk variabel kecemasan sebesar 2,06 dan masuk dalam kategori rendah. Angka rata-rata terendah pada variabel kecemasan yaitu item pertanyaan no 3 dan 5 dengan nilai mean 1.46 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel kecemasan yaitu item pertanyaan no 4 dengan nilai mean 2,44.

(41)

40 Tabel 4.3

Statistik Deskriptif Variabel Efektivitas Komunikasi

N Minimun Maximum Mean

EK1 50 1 5 4,54

EK2 50 3 5 4,42

EK3 50 1 5 3,52

EK4 50 2 5 3,96

EK5 50 2 5 4,20

EK6 50 3 5 4,32

EK7 50 2 5 4,04

EK8 50 3 5 4,56

Rata-rata Efektifitas Komunikasi 4,20 Dari tabel 4.3 di atas dapat dilihat bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 8 item indikator empirik untuk variabel efektifitas komunikasi sebesar 4.20 dan masuk dalam kategori tinggi. Angka rata- rata terendah pada variabel efektifitas komunikasi yaitu item pernyataan no 3 dengan nilai mean 3,52 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel efektifitas komunikasi yaitu item pertanyaan no 8 dengan nilai mean 4,56.

(42)

41 Tabel 4.4

Statistik Deskriptif Variabel Cultural Inteligence N Minimun Maximum Mean

CI1 50 3 5 4,18

CI2 50 2 5 4,12

CI3 50 2 5 3,92

CI4 50 3 5 3,62

CI5 50 2 5 3,12

CI6 50 2 5 3,38

CI7 50 1 5 3,50

CI8 50 2 5 3,88

CI9 50 2 5 3,44

CI0 50 2 5 3,80

C11 50 2 5 3,92

C12 50 2 5 3,68

Rata-rata Cultural Intelligence 3,71 Dari tabel 4.4 di atas dapat dilihat bahwa skor rata-rata jawaban responden pada 12 item indikator empirik untuk variabel cultural intelligence sebesar 3,71 dan masuk dalam kategori sedang. Angka rata- rata terendah pada variabel cultural intelligence yaitu item pertanyaan no 5 dengan nilai mean 3,12 dan angka rata-rata tertinggi pada variabel cultural intelligence yaitu item pertanyaan no 1 dengan nilai mean 4,18.

(43)

42 4.3 Uji Instrumen Penelitian

Alat ukur penelitian dilakukan pengujian menggunakan analisis validasi dan reliabilitas untuk mengetahui keabsahan instrumen yang dipakai:

4.3.1 Uji Validitas

Bivariate Pearson Product Moment Correlations digunakan sebagai metode untuk mengetahui nilai validitas dari masing – masing butir instrumen.

Tabel 4.5

Uji Validitas Instrumen X

S1 S2 S3 S4 S5

𝒓𝒄𝒐𝒖𝒏𝒕 0,724** 0,738** 0,681** 0,716** 0,533**

> > > > >

𝒓𝒕𝒂𝒃𝒍𝒆 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354

Valid Valid Valid Valid Valid Sumber: Data primer penelitian (2018)

Hasil pengukuran uji validitas instrumen X (kecemasan) pada responden secara keseluruhan memiliki 𝑟𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sehingga instrumen telah valid dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian.

Tabel 4.6

Uji Validitas Instrumen Y

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8

𝒓𝒄𝒐𝒖𝒏𝒕 0,274 0,510** 0,648** 0,567** 0,642** 0,627** 0,556** 0,305**

> > > > > > > >

𝒓𝒕𝒂𝒃𝒍𝒆 0,231 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354

Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Sumber: Data primer penelitian (2018)

(44)

43

Hasil pengukuran uji validitas instrumen Y (efektivitas komunikasi) pada responden secara keseluruhan memiliki 𝑟𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sehingga instrumen telah valid dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian.

Tabel 4.7

Uji Validitas Instrumen Z

S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 S8 S9 S10 S11 S12

𝒓𝒄𝒐𝒖𝒏𝒕 0,261 0,328 0,362 0,681 0,657 0,532 0,497 0,534 0,577 0,633 0,577 0,505**

> > > > > > > > > > > >

𝒓𝒕𝒂𝒃𝒍𝒆 0,231 0,231 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354 0,354

Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid

Sumber: Data primer penelitian (2018)

Hasil pengukuran uji validitas instrumen Z (cultural inteligence) pada responden secara keseluruhan memiliki 𝑟𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑟𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sehingga instrumen telah valid dan dapat digunakan sebagai alat ukur penelitian.

4.3.2 Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk memastikan instrumen penelitian sebagai alat ukur yang akurat dan dapat dipercaya. Uji reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran dilakukan terhadap aspek yang sama. Azwar (2005:29) menyatakan bahwa suatu alat ukur pada prinsipnya dikatakan reliabel apabila

(45)

44

mampu menunjukkan sejauh mana alat ukur tersebut dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Menurut Azwar (2005:32) skala dianggap reliabel ketika memenuhi koefisien alpha (α) lebih besar dari 0,60. Berikut dipaparkan nilai alpha variabel kecemasan (X), efektivitas komunikasi (Y) dan cultural inteligence (Z).

Tabel 4.8

Hasil Uji Reliabilitas Variabel Nilai

Alpha Pembanding Keterangan Kecemasan 0,725 > 0,60 Reliabel Efektivitas

komunikasi

0,664 > 0,60 Reliabel cultural

inteligence 0,785 > 0,60 Reliabel Sumber: Data primer penelitian (2018)

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 4.8 ketiga variabel memiliki nilai Alpha Croncbach’s > nilai pembanding (0,60), sehingga instrumen dari ketiga variabel layak digunakan sebagai alat ukur penelitian.

4.4 Uji Asumsi Klasik

Sebelum dilakukan persamaan regresi, uji asumsi klasik dianalisis untuk mengetahui praduga hubungan antar variabel maupun jenis metode statistik yang digunakan sebagai penguji hipotesis.

(46)

45 4.4.2 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan sebagai referensi untuk menentukan jenis statistik yang digunakan untuk unit analisis apakah non parametrik atau parametrik.

Tabel 4.9 Hasil Uji Normalitas Kecemasa

n

Efektivitas komunikas i

Cultural inteligenc e

Residua l

𝑍𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 1,025 0,828 0,731 0,510

> > > >

𝑍𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 0,175 0,175 0,175 0,175

Normal Normal Normal Normal

Sig. 0,245 0,499 0,659 0,957

> > > >

α 0,05 0,05 0,05 0,05

Normal Normal Normal Normal Sumber: Data primer penelitian (2018)

Melalui metode uji Kolmogorov-Smirnov Test diperoleh nilai 𝑍𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑍𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sehingga statistik termasuk jenis parametrik dengan distribusi normal.

4.4.3 Uji Linieritas

Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan dari data varibel konsep diri dan kematangan karier. Jika terdapat hubungan linier maka digunakan analisis regresi linier. Sedangkan jika tidak terdapat hubungan linier antara dua

(47)

46

variabel tersebut maka digunakan analisis regresi non-linier.

Tabel 4.10 ANOVA of Linearity

Sum of Squares df

Mean

Square F Sig.

Efektivitas Komunikasi * Kecemasan

Between Groups

(Combined) 71,958 12 5,997 ,580 ,844 Linearity ,076 1 ,076 ,007 ,932 Deviation

from Linearity

71,882 11 6,535 ,632 ,789

Within Groups 382,362 37 10,334

Total 454,320 49

Sumber: Predictive Analytics Software 2018 (diolah)

Dari tabel 4.10 diperoleh nilai Linearity dengan tingkat signifikansi 0,303 > 0,05, maka terdapat hubungan linier antara kecemasan dengan efektivitas komunikasi, sehingga model analisis regresi dapat digunakan untuk memprediksi hubungan antar dua variabel.

4.4.4 Uji Heterokedastisitas

Uji Heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terdapat kesamaan atau ketidaksamaan varians antara pengamatan yang satu dengan pengamatan yang lainnya. Pengujian heteroskedastisitas menggunakan grafik scatterplot. Berikut ini tampilan grafik

(48)

47

scatterplot dari model regresi dalam penelitian ini yang disajikan pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1

Uji Heterokedastisitas

Dalam suatu model regresi yang baik, biasanya tidak mengalami heteroskedastisitas. Melalui grafik scatterplot dapat terlihat suatu model regresi mengalami heteroskedastisitas atau tidak. Jika terdapat pola tertentu dalam grafik maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

Berdasarkan Gambar 4.1 terlihat bahwa titik-titik menyebar tersebar baik diatas maupun dibawah angka 0 pada sumbu X dan Y. Maka dapat

(49)

48

disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi dalam penelitian ini.

4.4.4 Uji Autokorelasi

Uji Autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan atau korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya.

Dalam pengujian ini, peneliti menggunakan uji Durbin-Watson yang disajikan pada Tabel 4.11:

Tabel 4.11 Durbin-Watson Test

Berdasarkan uji yang telah dilakukan maka didapat nilai uji Durbin-Watson sebesar 2,085.

Kemudian nilai tersebut dibandingkan dengan nilai dL dan dU. Nilai dL merupakan nilai durbin-watson statictics lower, sedangkan dU merupakan nilai nilai durbin-watson statictics upper. Nilai dL dan dU dapat dilihat dari tabel durbin-watson dengan α = 5%, n = jumlah data, k = jumlah variabel independen. Maka ditemukan nilai dL = 1.382 dan nilai dU = 1.449, k = 1 dan n = 50. Dengan demikian setelah di perhitungkan dan di bandingkan dengan tabel

(50)

49

Durbin-Watson, bahwa nilai Durbin-Watson pada Tabel adalah sebesar 2.085 > dU, yaitu 2.085 > 1.449.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi autokorelasi negatif pada model regresi dalam penelitian ini.

4.5 Uji Hipotesis

Berdasarkan tujuan penelitian diperoleh dua hipotesis yaitu: H1: Kecemasan berpengaruh terhadap efektivitas komunikasi dan H2: Cultural intelligence berpengaruh sebagai variable moderating dalam hubungan kecemasan dan efektivitas komunikasi.

4.5.1 Uji Hipotesis 1

Korelasi parsial pada hipotesis 1 digunakan metode uji t-test dengan persamaan hubungan menggunakan analisis regresi sebagai berikut:

Tabel 4.12 Koefisien Uji 1

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 34,706 1,471 23,589 ,000

Kecemasan -,142 ,134 -,137 -1,055 ,296

a. Dependent Variable: Efektivitas komunikasi

(51)

50

Berdasarkan hasil pengujian regresi pada Tabel 4.12 diperoleh persamaan sebagai berikut:

Y = B + βX + e e = √1 − 𝑅2

e = √1 − 0,019 = √0,981 = 0,990 Y = 34,706 - 0,142X + 0,990

Persamaan regresi diperoleh konstanta sebesar 34,706 menyatakan bahwa, apabila variabel independen yaitu faktor kecemasan konstan (bernilai nol) maka nilai variabel dependen (efektivitas komunikasi) adalah sebesar 34,706. Variabel kecemasan (X) mempunyai koefisien regresi sebesar - 0,142. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu satuan nilai internal kecemasan (X), maka tingkat efektivitas komunikasi akan mengalami penurunan sebesar 14,2%. Arah koefisien yang negatif menunjukkan adanya pengaruh berlawanan. Ini berarti bahwa semakin besar nilai kecemasan, maka semakin rendah efektivitas komunikasi yang dihasilkan.

Uji hipotesis pengaruh variabel kecemasan terhadap efektivitas komunikasi dilakukan dengan membandingkan 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 yang diperoleh pada Tabel 4.10, pada kolom t dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 yang didapat dari

(52)

51

distribusi t. Apabila 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒, maka H0 ditolak.

Dengan tingkat alpha 0,025 dan derajat bebas sebesar 59, diperoleh nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sebesar 2,009. Hasil perhitungan diperoleh nilai t pada variabel kecemasan (X) sebesar -1,055. Maka dapat disimpulkan bahwa 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 < 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒. Berdasarkan pada analisis tersebut H0

diterima dan H1 ditolak yang berarti koefisien regresi variabel kecemasan (X) secara parsial tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas komunikasi (Y).

Tabel 4.13

Model Summary Hipotesis 1

Perhitungan Tabel 4.13 diperoleh nilai Adjusted R Square ketika penggunaan variabel laten kecemasan sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan 2% faktor efektivitas komunikasi dapat dijelaskan oleh faktor kecemasan sedangkan 98% dipengaruhi oleh faktor lain.

(53)

52 4.6.1 Uji Hipotesis 2

Kontribusi variabel moderating cultural intelligence dinalaisis menggunakan uji hipotesis 2 sebagai berikut:

Tabel 4.14 Koefisien Uji 2

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 32,837 1,464 22,422 ,000

Kecemasan -1,091 ,406 -1,105 -2,689 ,010 Moderating

(Kecemasan * Cultural Intelligence)

,026 ,009 1,157 2,813 ,007

Uji hipotesis pengaruh variabel kecemasan terhadap efektivitas komunikasi dengan cultural intelligence sebagai variabel moderating dilakukan dengan membandingkan 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 yang diperoleh pada Tabel 4.13, pada kolom t dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 yang didapat dari distribusi t. Apabila 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒, maka H0 ditolak.

Dengan tingkat alpha 0,025 dan derajat bebas sebesar 49, diperoleh nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sebesar 2,009. Hasil perhitungan diperoleh nilai t pada hasil analisis moderating sebesar 2,813. Maka dapat disimpulkan bahwa 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒. Berdasarkan pada analisis

(54)

53

tersebut H0 ditolak dan H2 diterima yang berarti koefisien regresi variabel kecemasan (X) dengan cultural intelligence sebagai variabel moderaing memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektivitas komunikasi (Y).

Tabel 4.15

Analisis Perbandingan Moderasi Cultural Intelligence

X -> Y X + Z -> Y

−𝒕𝒄𝒐𝒖𝒏𝒕 -1,055 -3,922

> <

−𝒕𝒕𝒂𝒃𝒍𝒆 -2,009 -2,009

Tidak signifikan

Signifikan

Korelasi determinasi dilakukan untuk menguji kontribusi cultural intelligence terhadap efektivitas komunikasi dengan membandingkan pada model summary persamaan 1.

R2 X -> Y 0,019

<

R2 X + Z -> Y 0,186

Berdasarkan hasil perbandingan korelasi determinasi, cultural intelligence memperkuat pengaruh kecemasan terhadap efektivitas

(55)

54

komunikasi. Kontribusi cultural intelligence menghasilkan dampak faktor 18,6% pada pengaruh efektivitas komunikasi dibandingkan sebelumnya 81,6%.

Tabel 4.16 Uji Hipotesis Z – Y

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B

Std.

Error Beta

1 (Constant) 24,599 3,852 6,387 ,000

Cultural Intelligence

,201 ,086 ,320 2,340 ,023

a. Dependent Variable: Efektivitas Komunikasi

Uji hipotesis pengaruh variabel cultural intelligence terhadap efektivitas komunikasi dilakukan dengan membandingkan 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 yang diperoleh pada Tabel 4.15, pada kolom t dengan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 yang didapat dari distribusi t. Apabila 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒, maka H0 ditolak.

Dengan tingkat alpha 0,025 dan derajat bebas sebesar 59, diperoleh nilai 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒 sebesar 2,009. Hasil perhitungan diperoleh nilai t pada variabel cultural intelligence (Z) sebesar 2,340. Maka dapat disimpulkan bahwa 𝑡𝑐𝑜𝑢𝑛𝑡 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒. Berdasarkan pada analisis tersebut H0 ditolak yang berarti koefisien

Referensi

Dokumen terkait

Berkesempatan menjadi mahasiswa Manajemen Pemasaran UNAIR tidak di sia-siakan oleh Dewi, ia banyak mendapat ilmu tentang manajemen keuangan, salah satunya adalah strategi

Hacking Aplikasi dan Sistem Linux 1 Iwan Setiawan &lt;stwn@jogja.linux.or.id&gt; Kelompok Pengguna Linux Indonesia (KPLI) Jogjakarta http://jogja.linux.or.id

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) Strategi bauran pemasaran yang dilakukan rumah makan mie lethek Mbah Mendes Jl. Sarirejo, Depok Maguwoharjo Sleman,

Konsep Korean fashion film digunakan sebagai media dalam menyampaikan pesan di balik desain koleksi reuni yang dipadukan dengan ciri khas dari Youngwoong.. Youngwoong

37-48 PERAN PAKLOBUTRAZOL TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN DAN FISIOLOGI LATEKS BEBERAPA KLON KARET (The Role of Paclobutrazol Toward Plant Growth and Latex Physiology

Syukur Alhamdulillah, senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidup dan melengkapi dengan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

Pada dasarnya survei berguna untuk mengetahui apa yang ada tanpa mempertanyakan mengapa hal itu ada”.Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti melakukan penelitian

Pengunpulan data dalam ekripsi ini dil-akuken dengan studi kepustakaan yaltu dengan membaca kedua bahan hukurr yang ada, baik bahan hukun prlmer mauFun