8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sampah
Undang-undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah menjelaskan bahwa sampah merupakan sisa sehari-hari manusia dan atau proses alam yang berbentuk padat [5]. Menurut [6] Sampah adalah barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi bagi sebagian orang masih bisa dipakai jika dikelola dengan prosedur yang benar.
Sampah terbagi menjadi beberapa jenis yaitu organik dan anorganik. Sampah organik terdiri dari tumbuhan dan kotoran hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau dari masyarakat seperti sisa sayur dan yang lainnya, serta mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan sampah anorganik tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium.
Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Contoh sampah anorganik misalnya berupa botol, tas plastik. Sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi sampah anorganik dengan jalan melakukan pengelolan sampah [7].
Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Menurut undang-undang Nomor 18 Tahun 2008, pengelolaan sampah didefinisikan sebagai proses perubahan bentuk sampah dengan mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah. Sedangkan menurut [8], pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah sampah, disamping memanfaatkan nilai yang masih terkandung dalam sampah dapat dilakukan berupa pengomposan, daur ulang (recycling), pembakaran (insinersi) dan lain-lain. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengelolaan sampah yang dianggap sebagai penghambat sistem adalah
9
penyebaran dan kepadatan penduduk, sosial ekonomi, dan karakteristik lingkungan fisik, sikap, perilaku serta budaya yang ada di masyarakat [9].
2.2 Konsep Pengelolaan Sampah
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), yang dimaksud dengan sampah adalah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah yang dimaksud dalam UUPS meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Untuk dapat mewujudkan kegiatan-kegiatan ini, masyarakat dan para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya diharapkan dapat menggunakan bahan yang menimbulkan sampah sedikit mungkin, dapat digunakan kembali, dapat didaur ulang, dan mudah diurai oleh proses alam. Penanganan sampah yang dimaksud dalam UUPS adalah kegiatan yang diawali dengan pemilahan dalam bentuk pengelompokkan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan sifat sampah.
Langkah selanjutnya adalah pengumpulan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara, dan pengangkutan sampah dari tempat penampungan sampah sementara menuju ke tempat pemrosesan akhir. Kemudian sampah yang telah terkumpul di tempat pemrosesan akhir dikelola dengan cara mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah dan/atau diproses untuk mengembalikan hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.
Secara umum pengelolaan sampah di perkotaan dilakukan melalui 3 tahapan kegiatan, yakni pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. (Alfiandra, 2009) menggambarkan secara sederhana tahapan-tahapan dari proses kegiatan dalam pengelolaan sampah sebagai berikut:
a) Pengumpulan, diartikan sebagai pengelolaan sampah dari tempat asalnya sampai ke tempat pembuangan sementara sebelum menuju tahapan berikutnya.
10
Pada tahapan ini digunakan sarana bantuan berupa tong sampah, bak sampah, gerobak dorong, atau tempat pembuangan sementara. Untuk melakukan pengumpulan, umumnya melibatkan sejumlah tenaga yang mengumpulkan sampah setiap periode waktu tertentu;
b) Pengangkutan, yaitu mengangkut sampah dengan menggunakan sarana bantuan berupa alat transportasi tertentu ke tempat pembuangan akhir/pengolahan. Pada tahapan ini juga melibatkan tenaga yang pada periode waktu tertentu mengangkut sampah dari tempat pembuangan sementara ke tempat pembuangan akhir (TPA);
c) Pembuangan akhir, dimana sampah akan mengalami pemrosesan baik secara fisik, kimia maupun biologis hingga tuntas penyelesaian seluruh proses.
Departemen Pekerjaan Umum (2007) menjelaskan bahwa prinsip 3R dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Prinsip pertama adalah reduce atau reduksi sampah, yaitu upaya untuk mengurangi timbulan sampah di lingkungan sumber dan bahkan dapat dilakukan sejak sebelum sampah dihasilkan. Setiap sumber dapat melakukan upaya reduksi sampah dengan cara mengubah pola hidup konsumtif, yaitu perubahan kebiasaan dari yang boros dan menghasilkan banyak sampah menjadi hemat/efisien dan hanya menghasilkan sedikit sampah;
b) Prinsip kedua adalah reuse yang berarti menggunakan kembali bahan atau material agar tidak menjadi sampah (tanpa melalui proses pengolahan), seperti menggunakan kertas bolak balik, menggunakan kembali botol bekas minuman untuk tempat air, dan lain-lain. Dengan demikian reuse dapat memperpanjang usia penggunaan barang melalui perawatan dan pemanfaatan kembali barang secara langsung;
c) Prinsip ketiga adalah recycle yang berarti mendaur ulang suatu bahan yang sudah tidak berguna menjadi bahan lain atau barang yang baru setelah melalui proses pengolahan. Beberapa sampah dapat didaur ulang secara langsung oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi dan alat yang sederhana, seperti
11
mengolah sisa kain perca menjadi selimut, kain lap, keset kaki dan sebagainya, atau sampah dapur yang berupa sisa-sisa makanan untuk dijadikan kompos.
2.3 Plastik
Plastik adalah salah satu jenis makromolekul yang dibentuk dengan proses penggabungan beberapa molekul sederhana melalui proses kimia menjadi molekul besar, proses ini disebut polimerisasi. Plastik dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu thermoplastic dan thermosetting. Thermoplastic adalah plastik yang jika dipanaskan dalam temperatur tertentu, akan mencair dan dapat dibentuk kembali menjadi bentuk yang diinginkan. Sedangkan thermosetting adalah plastik yang jika telah dibuat dalam bentuk padat, tidak dapat dicairkan kembali dengan cara dipanaskan [10].
Berdasarkan sifat kedua kelompok plastik tersebut, thermoplastic adalah jenis plastik yang memungkinkan untuk didaur ulang. Jenis plastik yang dapat didaur ulang dibagi menjadi 7 (tujuh) berdasarkan kode, yaitu:
1) Polyethylene Terephthalate (PET, PETE) PET transparan, jernih, dan kuat.
Biasanya dipergunakan sebagai botol minuman tetapi tidak untuk air hangat atau panas.
2) High Density Polyethylene (HDPE). HDPE dapat digunakan untuk membuat berbagai macam tipe botol. Hasil daur ulangnya dapat digunakan sebagai kemasan produk non-pangan seperti shampo, kondisioner, pipa, ember, dll.
3) Polyvinyl Chloride (PVC) memiliki karakter fisik yang stabil dan tahan terhadap bahan kimia, pengaruh cuaca, aliran, dan sifat elektrik. Bahan ini paling sulit untuk didaur ulang dan biasa digunakan untuk pipa dan kontruksi bangunan.
4) Low Density Polyethylene (LDPE) biasa disebut kantong gula pasir banyak dipakai untuk tutup plastik, kantong/tas kresek dan plastik tipis lainnya. Sifat mekanis jenis LDPE ini adalah kuat, tembus pandang biasa dipakai untuk tempat makanan dan botol-botol yang lembek (madu, mustard).
12
5) Polystyrene (PS) biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum yang sekali pakai, tempat kaset CD, karton tempat telor, dll.
6) Polypropylene (PP) yaitu jenis plastik memiliki logo daur ulang dengan angka 5 di tengahnya, serta tulisan PP di bawah segitiga. Karakteristik adalah biasa botol transparan yang tidak jernih atau berawang.
7) Other Plastik yang menggunakan kode ini terbuat dari resin yang tidak termasuk enam golongan yang lainnya, atau terbuat dari lebih dari satu jenis resin dan digunakan dalam kombinasi multi-layer.
2.4 Paving Block
Paving block merupakan material sebagai penutup atau pengerasan permukaan tanah.
Sebagai bahan penutup atau pengerasan permukaan tanah, paving block sangat luas penggunaannya, mulai perkerasan jalan seperti trotoar, areal parkiran, jalanan pemukimam atau komplek perumahan, taman, dan lain-lain [11]. Paving block banyak digunakan karena dapat menahan beban dalam batasan tertentu dan mudah dalam pekerjaan pemasangan. Sedangkan menurut (SNI-03-0691-1989) paving block adalah suatu komposisi bahan bangunan yang dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidraulis sejenis, air, dan agrerat dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata beton.
Paving block mempunyai banyak keuntungan antara lain mudah dalam pemasangan dan pemeliharaan, dapat diproduksi secara mekanis, semi mekanis, manual serta ukuran lebih terjamin dan tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, tidak mudah terpengaruh cuaca dan lain-lain. Struktur paving block ini sudah mengalami perubahan yang cukup signifikan, pada awalnya paving block hanya berbentuk persegi panjang namun sekarang sudah banyak variasi pembuatan paving block mulai dari dekopave, diamond, interpave, dogbone, siera, quatro, dan lain-lain.
Dalam pembuatan paving block dikenal dengan dua metode, yaitu metode konvensional (manual) dan metode mekanis. Metode konvensional adalah metode yang paling banyak digunakan oleh masyarakat karena lebih mudah dan tidak
13
memerlukan biaya yang terlalu tinggi. Alat ini masih menggunakan tenaga manusia (manual) dalam proses pemadatan sehingga kekompakan paving block yang dihasilkan bergantung pada tenaga orang yang memadatkannya. Mutu paving block yang dihasilkan dengan metode ini biasanya masuk ke dalam kelas mutu C dan D. Sementara itu, metode mekanis atau biasa disebut dengan metode press, menggunakan alat alat press paving yang harganya cukup mahal sehingga hanya biaya digunakan oleh pabrik dengan skala sedang atau besar. Namun demikian, mutu paving block yang dihasulkan dengan metode ini lebih baik, yaitu antara mutu C hingga mutu A [12].
Berdasarkan SNI 03-0691-1996 persyaratan ketebalan paving block adalah sebagai berikut:
1. Ketebalan 6 cm
Untuk beban lalu lintas ringan yang frekuensinya terbatas, misalnya pejalan kaki, sepeda motor.
2. Ketebalan 8 cm
Untuk beban lalu lintas berat yang padat frekuensinya, misalnya sedan, pick up, bus, dan truck.
3. Ketebalan 10 cm atau lebih
Untuk beban lalu lintas super berat misalnya crane, loader.
Klasifikasi paving block (bata beton) dibedakan menurut kelas penggunaannya sebagai berikut:
Tabel 2. 1 Kekuatan fisik paving block [13]
Mutu Kegunaan Kuat Tekan (MPA)
Rata-rata Min
A Perkerasan Jalan 40 35
B Tempat Parkir Mobil 20 17,0
C Pejalan Kaki 15 12,5
D Taman Kota 10 8,5
Bentuk paving block secara garis besar terbagi atas dua macam, yaitu paving block bentuk segi empat dan paving block bentuk segi banyak. Dalam hal pemakaian dari
14
bentuk paving block itu sendiri dapat disesuaikan dengan keperluan. Baik keperluan konstruksi perkerasan pada jalan dengan lalulintas sedang sampai berat (contohnya : jalan raya, kawasan industri, jalan umum, trotoar, dan lainnya), karenanya dalam penggunaan paving block bentuk hexagon lebih cocok. Penggunaan paving block berbentuk hexagon cukup banyak dikalangan masyarakat dikarenakan cara pemasangan yang relatif lebih mudah, tidak memerlukan keahlian khusus dan tidak memakan waktu yang terlalu lama. Paving ini biasanya digunakan untuk areal halaman rumah, trotoar, plaza, tempat parkir dan jalan lingkungan karena memiliki karisma yang cantik [12].
Berdasarkan jurnal [4] rancangan yang digunakan dalam pembuatan paving block yaitu digunakan campuran bahan dengan komposisi semen : plastik : oli = 400 gram : 1100 gram : 200 ml. Berdasarkan rancangan komposisi tersebut bahwa hasil kuat tekan paving block yaitu 18,21 MPa. Hal ini sesuai dengan SNI 03-0691-1996 standar mutu B yaitu digunakan untuk pelataran parkir. Dalam penelitian [14], rancangan yang digunakan untuk pembuatan paving block yaitu 60 : 40 = plastik (75 gram) : pasir (75 gram). Berdasarkan rancangan komposisi tersebut bahwa hasil kuat tekan paving block yaitu 17,0 MPa. Hal ini sesuai dengan SNI 03-0691-1996 standar mutu C yaitu digunakan untuk pejalan kaki. Sedangkan pada penelitian [15] rancangan yang digunakan dalam pembuatan paving block yaitu 7 : 3 = plastik PET (1120 gram) : pasir (480) dengan bahan tambahan oli sebanyak 200 ml dan batu kerikil 500 gram.
Berdasarkan rancangan komposisi tersebut bahwa hasil kuat tekan paving block yaitu 17,99 MPa. Hal ini sesuai dengan SNI 03-0691-1996 standar mutu B yaitu digunakan untuk pelataran parkir.
2.5 Kuat Tekan
Menurut SNI 03-1974-1990 kuat tekan beban beton adalah besarnya beban per satuan, yang menyebabkan benda uji beton hancur bila dibebani dengan gaya tekan tertentu, yang dihasilkan oleh mesin tekan. Penambahan serat plastik dan pozzoland dalam adukan paving block terbukti mampu meningkatkan kuat tekan dan ketahanan kejut
15
paving block [16]. Salah satu faktor yang mempengaruhi hasil dari kuat tekan adalah
campuran tersebut homogen saat penuangan di cetakan [17].
Pengujian kuat tekan paving block dilakukan dengan tujuan untuk melihat daya tahan paving block terhadap kuat tekan yang diberikan [12]. Sesuai standar SNI 03-1974- 1990, paving block akan dilakukan pengujian kuat tekan pada umur 28 hari. Pengujian kuat tekan paving block diuji menggunakan alat compression test. Pengujian kuat tekan dihentikan setelah jarum pada pembacaan alat tes berhenti. Hal ini menunjukan bahwa kuat tekan dari benda benda uji tersebut sudah maksimal. Adapun perhitungan kuat tekan dari benda uji dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:
𝐾𝑢𝑎𝑡 𝑇𝑒𝑘𝑎𝑛 =𝑃 𝐿 Keterangan:
P = beban tekan (N atau kN) L = Luas bidang tekan (mm2)
2.6 Konsep Kesediaan Membayar (Willingness To Pay)
Willingness to pay atau kesediaan membayar adalah nilai yang diberikan seorang pada keadaan baik atau jasa yang ingin mereka bayar untuk mendapatkan keadaan baik atau jasa tersebut. Tujuan dari willingness to pay ialah untuk mengetahui pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila ingin lingkungan menjadi baik. Secara umum, willingness to pay atau kemauan untuk membayar didefinisikan sebagai jumlah yang bersedia dibayarkan seorang konsumen untuk memperoleh suatu barang atau jasa. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan. WTP juga dapat diartikan jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu [18].
16
Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan willingness to pay untuk menghitung peningkatan atau kemunduran kondisi lingkungan, yaitu:
1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.
2. Menghitung pengurangan atau penambahan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya atau meningkatnya kualitas lingkungan.
3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.
2.7 Contigent Valuation Method (CVM)
Contigent valuation method (CVM) adalah salah satu metode dalam penilaian ekonomi terhadap barang dan jasa lingkungan. Menurut [18] Contigent Valuation Method (CVM) merupakan metode teknik survei untuk menyatakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki harga pasar seperti barang lingkungan.
Selain itu menurut [19] Contigent Valuation Method (CVM) menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat kesediaan untuk membayar (willingness to pay) dengan titik berat preferensi individu menilai barang yang penekanannya pada standar nilai uang. Dengan metode ini memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya.
Dengan demikian nilai ekonomi suatu benda publik dapat diukur melalui konsep WTP.
CVM merupakan alat yang penting dalam melakukan penilaian terhadap lingkungan karena pasar tidak dapat menilai semua barang lingkungan [20]. Terdapat enam tahapan dalam penerapan analisis Contigent Valuation Method (CVM). Tahapan- tahapan tersebut yaitu:
17 1. Pembangunan Hipotesis Pasar
Hipotesis pasar yang dimaksudkan disini ialah untuk memberikan gambaran kepada responden terhadap masalah yang sedang di hadapi. Responden diharapkan mampu mencermati masalah dengan baik sehingga mampu memberikan nilai WTP.
2. Mendapatkan Nilai WTP (Obtaning Bids)
Untuk memperoleh nilai tawaran WTP, dapat dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang sudah dipersiapkan. Untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden, dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
a. Bidding game
Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia membayar / menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point). Jika “ya” maka besarnya nilai uang diturunkan/dinaikkan sampai ke tingkat yang disepakati.
b. Closed-Ended Refrerendum
Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk memperoleh kualitas lingkungan tertentu apakah responden mau menerima atau tidak sejumlah uang tersebut sebagai kompensasi atau diterimanya penurunan nilai kualitas lingkungan.
c. Open-ended Question
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimal uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal uang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan.
Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai yang diberikan dan metode ini tidak menggunakan nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan timbul bias titik awal. Sementara kelemahan metode ini adalah kurangnya akurasi nilai yang diberikan dan terlalu besar variasinya.
18 d. Payment Card
Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan untuk menerima dimana responden tersebut dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Pada awalnya, metode ini dikembangkan untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk meningkatkan kualitas metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang lingkungan yang lain.
3. Menghitung Dugaan Rata-Rata Nilai WTP (Estimating Mean WTP)
Dalam penelitian ini, WTPi diduga dengan menggunakan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan Rata-rata WTP dihitung dengan rumus:
𝐸𝑊𝑇𝑃 =∑𝑖=1𝑛 wi 𝑛 Dimana:
EWTP : Dugaan rata-rata WTP Wi : Nilai WTP ke-i
n : Jumlah responden
I : Responden ke-i yang bersedia membayar (i= 1,2,3….,n) 4. Menduga Bid Curve
Sebuah kurva penawaran WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP sebagai variabel dependen dan variabel-variabel independen yang mempengaruhi nilai WTP tersebut.
5. Menjumlahkan Data (Agregating Data)
Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata–rata WTP dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai rata-rata WTP maka dapat diduga nilai total WTP dari masyarakat dengan menggunakan rumus:
19
TWTP = ∑𝑡=0𝑛 WTPi ni Dimana:
TWTP : Total WTP
WTPi : WTP individu sampel ke-i
ni : Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP i : Responden ke-i yang bersedia membayar (i= 1,2,3….,n) 6. Mengevaluasi Penggunaan CVM (Evaluating The CVM Exercise)
Tahap mengevaluasi penggunaan CVM, merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil.
Kelebihan pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan yaitu sebagai berikut:
a. Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, dan dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.
b. Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.
c. Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung.
d. Meskipun teknik dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian dari penelitian menggunkan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan dijabarkan.
2.8 Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Kesediaan Membayar
Berdasarkan penelitian [21] terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi besaran nilai kesediaan membayar (Willingness to Pay) yaitu sebagai berikut:
20 a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat berpengaruh untuk peningkatan pengelolaan sampah. Analisis pengaruh jenis kelamin terhadap pengelolaan sampah terpadu disebabkan oleh adanya perbedaan karakter personal yang dimiliki oleh laki–laki dan perempuan. Perempuan dianggap lebih bersedia untuk membayar dari pada laki-laki, karena secara tradisional itu adalah peran perempuan untuk membersihkan rumah dan membuang sampah, dianggap lebih memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam kebersihan. Sehingga akan lebih bersedia membayar karena nantinya kebersihan lingkungan akan lebih baik.
b. Usia
Usia berpengaruh terhadap karakter seseorang, mulai dari pola pikir, kedewasaan dalam bertindak, hingga tanggung jawab serta mengambil keputusan. Pola pikir dan kedewasaan dari tiap individu dapat mempengaruhi kemauan dan kedisiplinan dalam pengelolaan sampah. Tanggung jawab bisa mempengaruhi bagaimana keputusan individu untuk memiliki kebersihan lingkungan yang lebih baik. Semakin tinggi usia maka kematangan berpikir dan kebijaksanaan bertindak juga semakin baik. Sehingga tanggung jawab akan pengelolaan sampah yang lebih baik demi kebersihan dan kelestarian lingkungan akan semakin tinggi.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan menunjukan pendidikan formal yang sudah atau sedang ditempuh seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pemikiran wawasan serta pandanganya akan semakin luas sehingga dapat berfikir lebih cepat dan tepat. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pemahaman dan penilaian akan pentingnya lingkungan yang lebih baik. Hal ini karena fakta bahwa sebagai individu yang menerima pendidikan semakin tinggi, mereka cenderung untuk memahami perlunya pengelolaan sampah yang lebih baik. Pendidikan memiliki dampak positif dan signifikan terhadap pengelolaan sampah. Dengan demikian, semakin lama individu menghabiskan
21
waktu untuk menempuh pendidikan, semakin besar peluang untuk bersedia membayar lebih tinggi untuk pengelolaan limbah yang lebih baik.
d. Pekerjaan
Status pekerjaan berpengaruh dalam menentukan kesediaan membayar. Karena jika memiliki pekerjaan maka akan mempengaruhi pendapatan, yang merupakan fundamental utama untuk memutuskan bersedia membayar atau tidak. Responden yang bekerja memiliki peluang lebih tinggi untuk bersedia membayar pengelolaan sampah terpadu, karena memiliki pendapatan yang stabil. Sehingga orang yang mempunyai pekerjaan cenderung bersedia membayar lebih tinggi.
e. Pendapatan Keluarga / Rumah Tangga
Variabel ini mengacu pada pendapatan uang bulanan rumah tangga. Ini termasuk pendapatan dari semua sumber yang masih tinggal dalam satu rumah tangga. Pendapatan merupakan fundamental dalam mengambil keputusan apalagi yang bersangkutan dengan kesediaan membayar. Pendapatan yang cukup bahkan berlebih menyebabkan orang memiliki kecenderungan untuk membayar karena sumber daya keuangan yang dimiliki cukup. Ada kesepakatan umum dalam literatur ekonomi lingkungan bahwa ada hubungan positif antara pendapatan dan permintaan untuk peningkatan kualitas lingkungan. Jadi semakin tinggi pendapatan maka permintaan untuk peningkatan kualitas lingkungan akan semakin tinggi.
2.9 Analisis Regresi
Analisis regresi adalah suatu model matematis yang dapat digunakan untuk mengetahui pola hubungan antara dua variabel atau lebih yaitu variabel bebas dan variabel terikat [22]. Variabel terikat adalah variabel yang nilai-nilainya bergantung pada variabel lainnya, biasanya disimbolkan dengan Y. Sedangkan variabel bebas adalah variabel yang nilai-nilainya tidak bergantung pada variabel lainnya, biasanya disimbolkan dengan X. Variabel ini digunakan untuk meramalkan atau menerangkan nilai dari
22
variabel yang lain. Untuk mempelajari hubungan-hubungan antara beberapa variabel, analisis regresi terdiri dari dua bentuk yaitu:
1. Analisis Regresi Sederhana
Regresi linier sederhana merupakan suatu prosedur untuk menunjukkan dua hubungan matematis dalam bentuk persamaan antara dua variabel, yaitu variabel X sebagai variabel bebas (variabel independent) dan variabel Y sebagai variabel terikat (variabel dependent). Bentuk umum dari persamaan linier sederhana adalah :
Y = a + bX Dimana :
Y = Variabel terikat
a = Parameter intersep (garis potong kurva terhadap sumbu Y) b = Koefisien regresi (kemiringan atau slop kurva linear) X = Variabel bebas
2. Analisis Regresi Berganda
Regresi linier berganda merupakan suatu linier yang menjelaskan ada tidaknya suatu hubungan fungsional dan meramalkan pengaruh dua variabel independent (X) atau lebih terhadap variabel dependent (Y). Dalam analisis berganda, akan digunakan X yang menggambarkan seluruh variabel yang termasuk di dalam analisa dan variabel dependent. Bentuk umum dari persamaan linier berganda adalah sebagai berikut :
Y = a0 + a1X1 + a2X2 + a3X3 +……..+akXk
Dimana :
Y = Variabel terikat a0 = Konstanta regresi a1, a2, a3 = Koefisien regresi X1, X2,X3 = Variabel bebas
23
Melalui analisis regresi ini diuji kebenaran hipotesis yang telah ditetapkan untuk kemudian diinterpretasikan hasilnya. Pengujian hipotesis adalah untuk menentukan apakah hipotesis diterima atau ditolak. Untuk menetukan hipotesis dilakukan dengan cara menggunakan bantuan distribusi sebagai berikut :
a. Uji Simultan Hipotesis (Uji F)
Pengujian secara simultan (Uji F) digunakan untuk mengetahui apakah variabel independent memiliki pengaruh tingkat signifikan secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependent. Pengujian menggunakan tingkat signifikansi sebesar 5% atau 0,05. Dasar pengambilan keputusan adalah dengan menggunakan angka probabilitas signifikansi, yaitu :
HO ditolak dan Ha diterima = p-value ≥ 0,05 maka tidak terjadi hubungan atau pengaruh antara variabel independent terhadap variabel dependent.
Ho diterima dan Ha ditolak = p-value ≤ 0,05 maka ada hubungan atau pengaruh antara variabel independent dengan variabel dependent.
b. Uji Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur seberapa besar kontribusi variabel independent terhadap variabel dependent. Adapun interpretasi koefisien determinasi sebagai berikut :
0,00 – 0,199 : sangat rendah
0,2 – 0,399 : rendah
0,4 – 0,599 : sedang
0,6 – 0,799 : kuat
0,9 – 1000 : sangat kuat