SKRIPSI
ANALISIS PENERAPAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU
LINTAS
OLEH
LISA YUSNITA B 111 14 402
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2018
i
HALAMAN JUDUL
ANALISIS PENERAPAN PRINSIP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU
LINTAS
SKRIPSI
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam pada Departemen Hukum Pidana
Program Studi Ilmu Hukum
Disusun dan diajukan oleh :
LISA YUSNITA B111 14 402
Kepada
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
iii
iv
v
vi ABSTRAK
LISA YUSNITA (B111 14 402), Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas, (dibimbing oleh Slamet Sampurno selaku Pembimbing I dan Nur Azisa selaku Pembimbing II).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui eksistensi kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia serta untuk mengetahui dampak penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas.
Penelitian ini dilaksanakan di Polrestabes Makassar dengan menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara. Data Primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif serta disajikan secaraa dekriptif.
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah (1) Perkembangan hukum pidana saat ini menunjukkan adanya kecenderungan pergeseran paradigma pemidanaan dalam sistem hukum pidana, yaitu dari konsep criminal justice ke konsep restorative justice. Meskipun sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur restorative justice namum implementasinya sudah terlihat dalam beberapa peraturan perundang- undangan.; (2) Prinsip restorative justice tidak dapat diterapkan dalam suatu penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas karena belum ada peraturan yang bisa dijadikan acuan dalam penerapan tersebut serta tindak pidana lalu lintas merupakan delik biasa yang merupakan kewajiban negara untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam sistem peradilan pidana.
vii ABSTRACT
LISA YUSNITA (B111 14 402), Analysis of Implementation of Restorative Justice Principle in the Settlement of Traffic Crime Case (guided by Slamet Sampurno as First Counselor and Nur Azisa as Second Counselor).
This study aims to determine the existence of restorative justice position in the criminal justice system in Indonesia and to know the impact of applying the principle of restorative justice in the settlement of criminal cases of traffic.
This research was conducted in Polrestabes Makassar by using data collecting technique that is interview. Primary data and secondary data obtained then processed and analyzed qualitatively and presented descriptively.
The results obtained from this study are (1) The current development of criminal law shows a tendency to shift the criminal justice paradigm in the criminal justice system, from the concept of criminal justice to the concept of restorative justice. Although until now there is no special regulation that regulates restorative justice but its implementation has been seen in several laws and regulations; (2) The principle of restorative justice can not be applied in a settlement of criminal offense cases because there is no regulation that can be used as a reference in the application and the traffic offense is a normal offense which is the obligation of the state to resolve it in accordance with the rules applicable in the judicial system criminal.
viii KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah Penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga, yang telah memberikan Penulis kesehatan dan kekuatan sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Shalawat dan salam tidak lupa Penulis ucapkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, Nabi termulia yang telah menunjukkan jalan keselamatan dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Semoga Allah SWT menjadikan keluarga dan para sahabat beliau yang senantiasa menjaga amanah sebagai umat pilihan dan ahli surga.
Skripsi ini Penulis persembahkan kepada kedua orang tua Penulis yakni, Ayahanda tercinta SAPPE dan Ibunda tercinta NURLINA yang rela berkorban apapun dan bekerja sangat keras demi kebahagiaan Penulis, yang telah memberikan kasih sayang melimpah dan doa yang tiada putusnya, serta senantiasa memberikan nasehat demi kesuksesan Penulis. Selain itu, Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada adik satu-satunya yakni MUH. RIFKI yang telah memberikan dukungan, menghibur dan menyemangati penulis.
ix Pada kesempatan ini pula dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, dan segenap jajarannya.
2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.
3. Prof. Dr. Andi Muhammad Sofyan, S.H.,M.H dan Dr.
Haeranah, S.H.,M.H selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., DFM selaku Pembimbing I dan Dr. Nur Azisa, S.H., M.H selaku Pembimbing II, terima kasih untuk saran, petunjuk serta bimbingannya kepada Penulis.
5. Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si., Dr. Haeranah, S.H., M.H., dan Dr. Audyna Mayasari Muin, S.H., M.H., CLA., selaku Dosen Penguji, terima kasih atas masukan yang diberikan.
6. Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., selaku Penasehat Akademik (PA) Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
7. Dosen-Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tak bisa Penulis sebutkan namanya satu persatu. Penulis berterima kasih karena telah memberikan dan mengajarkan ilmu
x yang sangat bermanfaat untuk membangun kualitas penulis sebagai seorang sarjana hukum.
8. Seluruh civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, terkhusus untuk Staf Tata Usaha (Pak Usman, Pak Roni, Ibu Lina, Pak Minggu, Pak Ramalang, Pak Bunga dan Pak Budi) dan Staf Ruang Baca, terima kasih atas kerja kerasnya dalam menjalankan tugas, sehingga penulis tidak terkendala dalam hal administrasi persuratan dan lainnya.
9. Para pegawai dan polisi Polrestabes Makassar terkhusus untuk Unit Kecelakaan Lalu Lintas Satuan Lalu Lintas (bapak Aiptu Sumadi) serta Bagian SUMDA dan Bagian Hukum. Terima kasih tak terhingga untuk sambutannya yang hangat dan bantuannya selama Penulis melakukan penelitian.
10. Sahabat terbaikku “Kelelawar Betina” Rahmi Wahyuni ZG, S.H, Nurul Fadillah, S.H, Ira Pratiwi, S.H, dan Siti Hardianti, S.H, terima kasih tak terhingga untuk kebersamaan, canda tawa, nasehat, dan bantuannya selama ini. Thank you for everything.
So lucky to have you, Guys.. nomu nomu gomawo.. Saranghae..
11. Keluarga besar UKM Karate-Do Universitas Hasanuddin.
Kepada Sensei-sensei (Sensei Budi, Sensei Oceng), Senior- senior (Nurchalis, S.H., M.H., Anugrah Ryandra Fahlevi, S.H., Ahmad Arida Putra, S.IP, Nurul Istya Magfirah, S.Ft, Wahyudin Anwar, S.IP), dan teman-teman Bushido VIII (Puput
xi Purnamasari Naufal, Ulfa Laila Nisrina, Wahyuni Fadliah Thahar, S.Ft, Aisyah Arung Qalam dan kakak Abdul Azis, S.I.P), teman- teman Badan Pengurus Tahun 2016 dan Tahun 2017 dan seluruh keluarga besar Karate-Do Gojukai se-Universitas Hasanuddin. Terima kasih untuk kebersamaan, semangat, nasehat, dan dukungan yang diberikan kepada Penulis.
12. Kakak-Kakak dan teman terbaikku “Zonk” (Kak Hasruddin HS, S.H, Kak Siti Nurkholisah, S.H, Kak Abdul Muhaimin Mulsin Rahim, S.H, Kak Fitriani Ali, S.H, Jemmi, S.H) dan teman-teman
“Liburan” (Kak Agus Salim, S.H, Anugrah, S.H, Adik Dahlia).
Terima kasih untuk kebersamaan, semangat, dukungan nasehat yang diberikan kepada penulis.
13. Keluarga besar Klinik Hukum Universitas Hasanuddin Kepada Ibu Birkah Latif, S.H., M.H., LLM., Pak Maskun, S.H., LLM., Pak Ahmad, S.H., M.H., Pak Dr. Kahar Lahae, S.H., M.H, khususnya Klinik Hukum Anti Korupsi (Kak Iqbal Latief, S.H, Kak Reynaldi, S.H, Kak Feiby Valentive, S.H, Rezky Amalia, Ningsih, S.H, Hardianti) dan Klinik Hukum Pidana (Kak Julandi, Anita Natsir, S.H, Andi Syamsinar, S.H, Nurhaeria, Ahmad Nugraha Abrar, S.H, Nirwana Nur Rahmat, S.H, Nurul Afiah Idrus, S.H, Nurul Fitrah Sappe, S.H, Nur Aryastuti, S.H, Hartina, S.H, Wahyuni, S.H, Risnayanti, S.H). Terima kasih telah membuat pengalaman
xii yang luar biasa dan perjalanan yang menyenangkan dengan Penulis.
14. CNBLUE (Jung Yong Hwa, Lee Jong Hyun, Kang Min Hyuk, Lee Jung Shin) dan Running Man (Song Ji Hyo, Lee Kwang Soo, Kim Jong Kook, Yoo Jae Suk, Haha, Ji Seok Jin, Kang Gary, Jeon So Min, Yang Se Chan), terima kasih telah menghibur hari- hari Penulis selama 8 tahun terakhir termasuk disaat-saat yang sulit dalam penyusunan skripsi ini. Jinjjaa Gumawoyo Oppadeul, Eonnideul..
15. Keluarga besar UKM Renang Universitas Hasanuddin, terkhusus untuk angkatan 15 “BISA”.
16. Keluarga besar LKMP Universitas Hasanuddin.
17. Teman-teman KKN Gel. 96 Kecamatan Mattirobulu Kabupaten Pinrang, terkhusus untuk teman-teman seposko Desa Padaelo (Wiwi Narty BA, Suci Ananda Mansyur, Nurrahma, Agus Siswoyo)
18. Teman-teman seperjuangan “Hukum G” (Ghina, Ayu, Dila, Eki, Tuti,
19. Teman-teman seperjuangan DIPLOMASI 2014 yang tak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih banyak atas bantuan, dukungan dan kebersamaannya. Diplomasi is the best.
xiii 20. Keluarga Besar SDN 1 Mattirowalie, SMPN 1 Marioriwawo, SMAN Model 1 Marioriwawo (SMAN 5 Soppeng), atas segala dukungan dan kebersamaan selama ini.
21. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan di Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Harapan Penulis pada akhirnya, semoga Skripsi ini dapat Penulis pertanggungjawabkan dan memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana. Skripsi ini tentunya tidak luput dari kekurangan sehingga Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran dari semua pihak agar menjadi bahan pembelajaran bagi Penulis.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Makassar, Mei 2018
Penulis
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
SURAT PERNYATAAN... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Kegunaan Penelitian ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Restorative Justice ... 7
1. Sejarah Munculnya Restorative Justice ... 7
2. Pengertian Restorative Justice ... 9
3. Prinsip Restorative Justice ... 14
4. Bentuk Restorative Justice ... 16
5. Tujuan Restorative Justice ... 19
6. Dasar Hukum Pelaksanaan Restorative Justice Di Indonesia ... 22
B. Tindak Pidana ... 26
1. Pengertian Tindak Pidana ... 26
2. Jenis Tindak Pidana ... 29
xv
3. Pidana dan Pemidanaan ... 31
C. Lalu Lintas ... 34
1. Pengertian Lalu Lintas ... 34
2. Kecelakaan Lalu Lintas ... 34
3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas ... 36
4. Ketentuan Pidana Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Kerugian Tanpa Korban Jiwa ... 39
5. Ketentuan Pidana Terhadap Kecelakaan Lalu Lintas yang Menimbulkan Korban Jiwa ... 43
6. Jenis pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Lalu Lintas ... 46
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ... 47
B. Jenis dan Sumber Data ... 47
C. Teknik Pengumpulan Data ... 47
D. Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Eksistensi Kedudukan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia ... 49
B. Dampak Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas ... 60
1. Dasar Pelaksanaan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas ... 60
2. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas Di Polrestabes Makassar ... 67
3. Contoh Kasus ... 71
4. Dampak Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas ... 79
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 83
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 85
xvi DAFTAR TABEL
Tabel 1 ... 70
xvii DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ... 73
Gambar 2 ... 74
Gambar 3 ... 76
Gambar 4 ... 78
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sempurna yang memiliki akal, hasrat dan keinginan selalu menciptakan hal-hal baru yang pastinya berguna bagi kehidupannya. Salah satu ciptaan manusia yang mengalami perubahan drastis dari waktu ke waktu adalah sarana transportasi.
Transportasi berkembang sesuai dengan medan. Transportasi masa kini yang lebih mengandalkan mesin membuat jarak tidak lagi menjadi hambatan dan waktu lebih dapat diefisienkan. Semua itu membuat kehidupan manusia lebih mudah.
Menyadari pentingnya peranan transportasi khususnya transportasi darat di negara kita, perlu diatur mengenai bagaimana dapat dijaminnya lalu lintas yang aman, tertib, lancar dan efisien guna menjamin kelancaran berbagai aktifitas menuju terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut, negara telah mengeluarkan aturan yang mengatur tentang lalu lintas di jalan raya yang dituangkan dalam Undang- Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) yang menggantikan Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Namun tak bisa dipungkiri adanya masalah-masalah yang terus bermunculan, seperti pelanggaran - pelanggaran yang terjadi di dalam lalu
2 lintas baik berupa pelanggaran rambu-rambu lalu lintas bahkan hingga kecelakaan lalu lintas yang disebabkan karena unsur kelalaian maupun perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para pengguna jalan raya yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak (tidak hanya satu pihak saja) bahkan hingga korban meninggal dunia.
Masalah lalu lintas merupakan masalah yang dihadapi oleh negara- negara yang maju dan juga negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Namun, di Indonesia, permasalahan yang sering dijumpai pada masa sekarang menjadi lebih parah dan lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya, baik mencakup kecelakaan, kemacetan dan polusi udara serta pelanggaran lalu lintas.49
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) merupakan alat negara yang berperan dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Oleh karena itu, Polri dituntut untuk terus berkembang menjadi lebih profesional dan lebih dekat dengan masyarakat. Kedudukan Polri dalam organisasi negara memiliki pengaruh dominan dalam penyelenggaraan kepolisian secara proporsional dan profesional yang merupakan syarat pendukung terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).50
49 Arif Budiarto dan Mahmudal, 2007, Rekayasa Lalu Lintas, UNS Press, Solo, hlm. 3.
50 Sadjijono, 2008, Seri hukum Kepolisian, Polri dan Good Governance, Laksbang Mediatama, Surabaya, hlm. 22.
3 Dengan demikian, maka dalam penanggulangan kecelakaan berlalu lintas, Polri selaku pihak yang bertanggung jawab, dengan cara yang profesional, tentunya akan berupaya untuk mendamaikan para pihak yang mengalami kecelakaan. Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan memang merupakan dimensi baru yang sementara ini dikaji dari aspek teoretis dan praktik.
Pada awalnya penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum yang salah satunya permasalahan lalu lintas hanya diselesaikan oleh pihak-pihak yang bersangkutan saja. Namun dengan adanya eksistensi negara, maka dengan itu negaralah yang mengambil alih untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Di Indonesia, hal tersebut juga yang kemudian tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ke-3 dikatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum berarti negara yang berdiri di atas hukum dimana dapat menjamin keadilan bagi warga negaranya.
Namun kemudian muncul beberapa pendapat bahwa hukum pidana secara represif dirasakan tidak menyelesaikan persoalan dalam sistem hukum peradilan pidana. Mengingat hukum bukan hanya tentang prosedur formal dan apa yang tersurat saja, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana mencapai tujuan dari proses hukum, yaitu keadilan.
Agar hukum dapat menjadi alat untuk mencapai keadilan, acuannya bukan semata-mata pada aspek legal formal, melainkan nurani dan moral
4 kemanusiaan. Upaya penyelesaian masalah di luar pengadilan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana nantinya diharapkan menjadi dasar pertimbangan dalam proses pemeriksaan pelaku tindak pidana di pengadilan dalam penjatuhan sanksi pidananya oleh hakim/majelis hakim. Oleh karena itu, adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan secara non penal atau mediasi penal atau lebih dikenal lagi dengan istilah mediasi pidana dengan menggunakan konsep restorative justice mendapatkan perhatian dari kalangan hukum.
Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat merekomendasikan konflik mereka. Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling terkena pengaruh (korban), pelaku dan “kepentingan komunitas” mereka dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka.
Restorative justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka, daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Restorative justice juga mengupayakan untuk me-restore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.
Oleh karena itu, penulis akan membahas mengenai “Analisis Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Penyelesaian Perkara
5 Tindak Pidana Lalu Lintas” untuk mengakaji dan meneliti sejauhmana prinsip restorative justice diterapkan atau dipakai dalam penyelesaian kasus, khususnya tindak pidana lalu lintas. Seperti yang telah dipaparkan di atas, prinsip restorative justice merupakan salah satu cara penyelesaian hukum yang dinilai efektif oleh beberapa kalangan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah eksistensi kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan di Indonesia ?
2. Bagaimanakah dampak penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai, yaitu:
1. Untuk mengetahui eksistensi restorative justice dalam sistem peradilan di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dampak penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini terbagi dua, antara lain:
1. Penelitian ini secara teoritis berguna sebagai pengembangan ilmu hukum pidana khususnya tentang penyelesaian kasus
6 tindak pidana lalu lintas dengan menggunakan prinsip restorative justice.
2. Penelitian ini secara praktis dapat memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan dalam penyelesaian kasus tindak pidana lalu lintas dengan menggunakan prinsip restorative justice serta menjadi referensi bagi mahasiswa fakultas hukum, aparat penegak hukum, maupun masyarakat.
7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Restorative Justice
1. Sejarah Munculnya Restorative Justice
Restorative justice menurut Bagir Manan adalah konsep yang berawal dari Negara-negara yang mempergunakan bahasa Inggris, seperti Canada, Australia, New Zealand, dan Inggris.
Dengan tetap menyebut Restorative justice diharapkan rasa bahasa yang terkandung dalam bahasa asli akan serta merta berpengaruh pada pola pikir kita. Restorative justice dapat dipadankan artinya dengan keadilan restoratif. Pada dasarnya Restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud menemukan jalan menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang, misalnya antara kepentingan pelaku dan korban serta masyarakat.51
Restorative Justice diakui oleh dunia Internasional yaitu pada tahun 2000 dihasilkan United Nation, Basic Principles On the Use Of Restoratif Justice Programmes In Criminal Matters yang berisi sejumlah prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan restorative justice.52 Restorative Justice telah
51 Bagir Manan, 2008, Restorative Justice (suatu perkenalan), Perum Percetakan Negara RI, Jakarta., hlm.3.
52 United Nation, 2000, Basic Principles On The Use Of Restorative Justice Programmes In Criminal Matters, ECOSOC, yang ditelusuri melalui internet
8 diupayakan diterapkan di berbagai Negara di dunia seperti di United Kingdom, Austria, Finlandia, Jerman, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Afrika Selatan, Gambia, Jamaika dan Kolombia.
Konsep restorative justice atau keadilan restoratif telah muncul lebih dari dua puluh tahun yang lalu sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana anak. Kelompok Kerja Peradilan Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan restorative justice sebagai suatu proses semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu duduk bersama-sama untuk memecahkan masalah dan memikirkan bagaimana mengatasi akibat pada masa yang akan datang. Proses ini pada dasarnya dilakukan melalui diskresi (kebijakan) dan diversi (pengalihan dari proses pengadilan pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah). Penyelesaian melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi Indonesia, bahkan hukum adat di Indonesia tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dan perdata, semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan keseimbangan atau pemulihan keadaan.53
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes, sejarah munculnya restorative justice adalah sebagai berikut:
https://www.un.org/ruleoflaw/blog/document/basic-principles-on-the-use-of-restorative- justice-programmes-in-criminal-matters/
53 Barda Nawawi Arief, Makalah Seminar Nasional Pendekatan Non Penal Dalam Penangulangan Kejahatan: Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Graha Santika Hotel, Semarang, 2 September 1996, hlm. 2.
9
“In many countries, dissatisfaction and frustration with the formal justice system or a resurging interest in preserving and strengthening customary law and traditional justice practices have led to calls for alternative responses to crime and social disorder. Many of these alternatives provide the parties involved, and offen also surrounding community an opportunity to participate in resolving conflict and addressing its consequences. Restorative justice programmes are based on the belief that parties to a confict ought to be actively involved in resolving it and mitigating its negative consequences they are also based, in some instances, on a will to return to local decision-making and community building. These approaches are also seen as means to encourage the peaceful expression of conflict, to promote tolerance and inclusiveness, build respect for diversity and promote responsible community practis.”54 (Terjemahan bebas dari penulis : Di berbagai Negara, ketidakpuasan dan frustasi dengan sistem peradilan formal atau kepentingan dalam melestarikan dan memperkuat hukum adat dan praktek peradilan tradisional telah menyebabkan panggilan untuk respon alternatif untuk kejahatan dan kekacauan sosial. Banyak alternatif ini menyediakan pihak yang terlibat, dan sering juga masyarakat sekitar, kesempatan untuk berpatisipasi dalam menyelesaikan konflik dan menangani konsekuensinya. Program keadilan restoratif didasarkan pada keyakinan bahwa pihak yang berkonflik harus terlibat aktif dalam menyelesaikan dan mengurangi konsekuensi negatif. Keadilan restoratf juga didasarkan, dalam beberapa kasus, pada keinginan untuk kembali ke pengambilan keputusan dan masyarakat setempat. Pendekatan ini juga dilihat sebagai sarana untuk mendorong ekspresi damai konflik, untuk mempromosikan toleransi dan inklusivitas, membangun penghargaan atas keragaman dan menerapkan praktik masyarakat yang bertanggung jawab) 2. Pengertian Restorative Justice
Restorative justice adalah sebuah konsep pemikiran dimana sistem peradilan pidana dititikberatkan pada pemulihan dengan melibatkan masyarakat dan korban secara aktif. Ada banyak ahli
54 United Nations Office on Drugs and Crime, 2006, Handbook on Restorative Justice Programmes, United Nation, New York.
10 yang memberikan defenisi mengenai restorative justice baik secara langsung maupun melalui ciri-ciri yang menjelaskan bagaimana yang dimaksud dengan restorative justice.
Restorative justice atau keadilan restoratif adalah keadilan yang berupaya mengembalikan keadaan pada kondisi semula, menguntungkan dan memenangkan semua pihak, dan tidak terkungkung pada mekanisme hukum yang kaku dan prosedural.55
Menurut Howard Zehr (dalam bukunya The Little Book of Restorative Justice):
“Restorative justice is a process to involve to the extent possible, those who have a stake in a spesific offense and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, in order to heal and put things as right as possible.”56
Menurut Howard, Restorative justice memandang bahwa:57 a. Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan
hubungan antarwarga masyarakat.
b. Pelanggaran menciptakan kewajiban.
c. Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat di dalam suatu upaya untuk meletakkan segala sesuatunya secara benar.
55 Musakkir, “Kajian Sosiologi Hukum Terhadap Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Vol.19, Nomor 3 September 2011, hlm.214- 215.
56 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana, Jakarta, hlm.247.
57 Ibid, hlm.249-250.
11 d. Fokus sentralnya: para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya (baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggung jawab untuk memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah dari pelaku, permohonan maaf dan rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi).
Dalam Jurnal Ilmu Hukum “Amanna Gappa” Vol. 19, oleh Musakkir, Dignan menyatakan bahwa :
“Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and confilct that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals adn community groups.
Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and confict, with balanced focus on the person harmed, the person causing the harm, and the affected community.” 58
Sedangkan Tony F. Marshall menyatakan bahwa
“Restorative justice is a process where by parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.”59 Marshall memandang keadilan restoratif sebagai proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama- sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang.
58 Musakkir, Op.Cit. hlm.214
59 Marlina, 2010, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum Pidana, USU Press, Medan, hlm. 28.
12 Umbreit menjelaskan bahwa Restorative justice is a “victim- centered response to crime that allows the victim, the offender, their families, and respresentatives of the community to address the harm cause by crime”. (Keadilan restoratif adalah sebuah
“tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusat pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibat oleh tindak pidana”.60
Marlina dalam bukunya tentang Peradilan Pidana Anak Di Indonesia menyatakan bahwa:
“Restorative justice merupakan proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara. Dalam pertemuan tersebut mediator memberikan kesempatan kepada pihak pelaku untuk memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya mengenai tindakan yang telah dilakukannya.”61
Djoko Prakoso dalam bukunya Kedudukan Justisiable di dalam KUHAP menyatakan bahwa:
“Restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan daripada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka
60 Nur Azisa, 2016, Nilai Keadilan Terhadap Jaminan Kompensasi Bagi Korban Kejahatan (Sebuah Kajian Filosofis-Normatif), Pustaka Pena Press, Makassar, hlm. 45.
61 Marlina, 2009, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, hlm. 180.
13 perbuat dengan meminta maaf, membayar biaya pengobatan, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat.”62
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum pada Bab I bagian C (pengertian) poin 8 dituliskan bahwa keadilan restoratif adalah suatu penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindakan pidana untuk secara bersama- sama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula.
Selain restorative justice, dikenal pula istilah mediasi penal.
Mediasi penal ini pada dasarnya merupakan penerapan dari prinsip keadilan restoratif. Mediasi penal merupakan penyelesaian perkara pidana dengan sarana mediasi melalui musyawarah dengan bantuan mediator yang netral, dihadiri oleh korban dan pelaku baik secara sendiri-sendiri maupun beserta keluarga dan perwakilan masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dll), yang dilakukan secara sukarela, dengan tujuan pemulihan bagi korban, pelaku dan lingkungan masyarakat.63
62 Djoko Prakoso, 1986, Kedudukan Justisiable di dalam KUHAP, Ghalia Inonesia, Jakarta, hlm. 84.
63 Barda Nawawi Arief, 2008, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, Pustaka Magister, Semarang.
14 Dengan demikian dari pendapat para sarjana hukum tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa bekerjanya hukum pidana tidak dapat menghilangkan sebab-sebab tindak pidana yang terjadi melainkan penanggulangan sesuatu gejala. Restorative justice adalah bentuk resolusi konflik dan berusaha untuk membuat jelas bagi si pelanggar bahwa perilaku tidak mengampuni (menyambut), pada saat yang sama sebagai yang mendukung dan menghormati individu. Dari defenisi tersebut juga dapat disimpulkan bahwa penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan mengunakan restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan antara pihak yang berpekara, dengan kepentingan masa depan.
3. Prinsip Restorative Justice
Restorative justice mengandung prinsip – prinsip dasar meliputi :
a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana.
b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.
15 c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Menurut Liebmann prinsip dasar restorative justice sebagai berikut:64
a. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban b. Pelaku pelanggaran bertanggung jawab atas apa yang
dilakukan
c. Dialog antar korban dan pelaku untuk mencapai pemahaman
d. Adanya upaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang ditimbulkan
e. Pelaku pelanggaran harus sadar tentang bagaimana cara menghindari kejahatan di msa depan
f. Masyarakat turut membantu dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun pelaku.
Prinsip pelaksanaan restorative justice juga tertuang dalam peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum pada II bagian B (arah kebijakan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum) poin 1.
64 Heru Susetyo dkk, 2013, Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hlm. 10-11.
16 Secara umum, prinsip-prinsip yang dimuat dalam keadilan restoratif meliputi sebagai berikut :65
a. Membuat pelanggar bertanggung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya;
b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya, disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
c. Melibatkan para korban, orang tua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya;
d. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;
e. Menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal.
4. Bentuk Restorative Justice
Adapun bentuk – bentuk restorative justice yang ada dan digunakan sampai saat ini adalah :
a. Victim Offender Mediation (VOM)66
Mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation) atau disebut dialog/pertemuan/rekonsiliasi pelaku-korban biasanya dilakukan pertemuan antara pelaku dan korban,
65 Musakkir, Op.Cit, hlm. 214.
66 Yuniar Ariefianto, 2014, “Penerapan Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Lalu Lintas”, Tesis, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 16.
17 yang menghadirkan mediator terlatih. Dalam area perkara pidana, model atau teknik ini digunakan baik kasus-kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara, maupun kasus-kasus serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses penyembuhan yang lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku. Data internasional menunjukkan bahwa teknik ini berhasil diterapkan di Australia, New Zealand, Kanada, dan Belanda dalam berbagai konteks, yang meliputi sistem peradilan dalam pelanggaran kecelakaan lalu lintas.
b. Family Grup Conferencing (FGC)67
Pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing) merupakan lingkaran partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku-korban, yaitu menambah orang yang dikaitkan dengan pihak-pihak utama, seperti melibatkan teman, keluarga, dan profesional.Teknik ini merupakan sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan anak dan pelanggaran lalu lintas, seperti di Kolumbia, Australia dan·New Zealand.
c. Restorative Conferencing (CR)68
Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan partisipan yang lebih luas ketimbang
67 Ibid.
68 Ibid.
18 mediasi pelaku-korban, sebagai respon terhadap pelanggaran lalu lintas. Teknik ini bersifat volunter (sukarela), yang terdiri atas pelaku, korban, keluarga para pihak dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti kerugian). Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana, tetapi biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa yurisdiksi, polisi telah mengembangkan program ini sebagai alternatif untuk penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan formal pidana.
d. Community Restorative Boards (CRB)69
CRB merupakan suatu panel atau lembaga yang terdiri dari orang-orang yang telah terlatih untuk bernegoisasi dalam menyelesaikan masalah. Di sini korban bertemu dengan pelakudan dengan panelis untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tersebut tidak dicapai kesepakatan maka panel tersebut akan melimpahkannya pada pengadilan atau polisi. Hal ini sering terjadi di Inggris dan di Wales.
69 Zevanya Simanungkalit, 2016, “Analisis Hukum Terhadap Penerapan Restorative Justice Dalam Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Kasus Di Polrestabes Kota Makassar”, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, hlm. 17.
19 e. Restorative Circles70
Merupakan suatu forum yang terdiri dari keluarga dan teman-teman untuk mendukung narapidana agar dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Sistem ini banyak digunakan di Hawaii.
5. Tujuan Restorative Justice
Howadr zehr mengutip Susan Sharpe restorative justice programs aim to:71
a. Put key decisions into the hand of those most affected by crime
b. Make justice more healing and ideally, more transformative
c. Reduce the likelihood of future offence Achieving these goals requires that:
a. Victims are involved in the process and come out of it satisfied
b. Offenders understand how their actions have effected other people and take responsibility for those actions c. Outcomes help to repair the harms done and address the
reasons for the offense (spesific plans are tailored to the victim‟s and the offender‟s needs)
d. Victim and offender both gain a sense of „closure‟ and both are reintegrated into the community.
Dalam bahasa Indonesia berarti, program restorative justice bertujuan untuk :
a. Meletakkan keputusan kepada pihak-pihak yang paling terlibat dalam perkara pidana
70Ibid, hlm. 18.
71 Achmad Ali, Op.Cit., hlm.248.
20 b. Memfokuskan hukum lebih pada pemulihan, dan
idealnya serta lebih berkembangnya hukum
c. Mengurangi kemungkinan permusuhan atau masalah lain di masa depan
Maka untuk tercapainya keberhasilan yang diinginkan, hal- hal yang perlu dilakukan adalah :
a. Korban dilibatkan secara langsung dalam proses agar tercapai hasil yang memuaskan
b. Pelaku menyadari akibat dari perbuatannya terhadap orang lain dan bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya
c. Perbaikan terhadap kerugian lebih cepat, dengan memerhatikan kehendak korban dan pelaku
d. Korban dan pelaku mengakhiri secara langsung permasalahan yang terjadi dan pengembalian kepada masyarakat dapat dilakukan lebih efektif.
James Dignan mengutip Wright bahwa tujuan utama keadilan restoratif adalah pemulihan sedangkan tujuan kedua adalah ganti rugi. Hal ini berarti bahwa proses penanggulangan tindak pidana melalui pendekatan restoratif adalah suatu proses penyelesaian tindak pidana, yang bertujuan untuk memulihkan keadaan yang di dalamnya termasuk ganti rugi terhadap korban
21 melalui cara yang disepakati oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.72
Tujuan restorative justice dapat dilihat dari tujuan diversi, Menurut Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 ayat (7) Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara tindak pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dari definisi tersebut maka jelas bahwa dalam penerapannya diversi menggunakan prinsip restorative justice yang artinya tujuan dari diversi sama dengan apa yang hendak dicapai melalui restorative justice.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tujuan diversi yaitu :
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak
f. Anak yang dimaksud pada pasal di atas adalah anak yang berhadapan dengan hukum.
Menurut Eva Achjani Zulfa, tujuan pelaksanaan restorative justice ada dua yaitu:73
72 Nur Azisa, Op.Cit, hlm. 46.
73 Eva Achjani Zulfa, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Lubuk Agung, Bandung, hlm. 75.
22 a. Tujuan utama dari pelaksanaan restorative justice adalah terbukanya akses korban untuk menjadi salah satu pihak dalam menentukan penyelesaian akhir dari tindak pidana.
b. Tujuan lain yang diharapkan dari restorative justice adalah kerelaan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya.
6. Dasar Hukum Pelaksanaan Restorative Justice di Indonesia
Instrumen HAM Internasional :
a. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990
b. Beijing Rules, tanggal 29 November 1985 c. The Tokyo Rules, tanggal 14 Desember 1990
d. Riyadh Guidelines, tanggal 14 Desember 1990, dan Havana Rules, tanggal 14 Desember 1990
Perundang – Undangan :
a. UUD 1945, Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) b. UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak c. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
d. UU No. 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (Convention
23 against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment)
e. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia
f. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak g. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
h. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
i. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
j. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Diversi, Restorative Justice dan Mediasi)
k. Inpres Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang Berkeadilan
l. Peraturan Menteri Negara PP dan PA Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penanganan ABH
m. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148A/A/JA/12/2009, NO.B/45/XII/2009, NO.M.HH-08.HM.03.02 Tahun 2009,
24 NO.02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
n. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas Depkum HAM RI tentang Pembinaan Luar Lembaga bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum o. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI
Nomor: 12/PRS-2/KPTS/2009, Departemen Hukum dan HAM RI Nomor: M.HH.04.HM.03.02 Tahun 2009 Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor:
11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor:
06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor:
B/43/XII/2009 tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, tanggal 15 Desember 2009
p. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November 1987 tentang Tata Tertib Sidang Anak
q. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
r. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B53/E/11/1995, 9 November 1995 tentang Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
25 s. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/1/K/2005 tentang Kewajiban Setiap Pengadilan Negeri Mengadakan Ruang Sidang Khusus dan Ruang Tunggu Khusus untuk Anak yang akan Disidangkan
t. Himbauan Ketua Mahkamah Agung RI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
u. Surat Edaran Jampidum 28 Februari 2010 Nomor: B 363/E/EJP/02/2010 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum v. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) dan 3/2008 tentang Pembentukan RPK dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban TP
w. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskim POLRI, 16 November 2006 dan TR/395/VI/2008, 9 Juni 2008, tentang pelaksanaan diversi dan Restorative Justice dalam penanganan kasus anak pelaku dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau saksi
x. Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui
26 Alternatif Dispute Resolution (“ADR”) (“Surat Kapolri 8/2009”).
y. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
B. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu.74
Menurut Simons bahwa strafbaar feit (terjemahan harfiah:
peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum ang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung.
Kesalahan yang dimaksud Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus (sengaja) dan culpa late (alpa dan lalai). Dari rumus tersebut Simons mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act) – yang meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum perbuatan – dan pertanggungjawaban pidana (ciminal
74 Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1;Stelsel Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.67.
27 liability) – yang mencakup kesengajaan, kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.75
Van Hamel menguraikannya sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh undang-undang, melawan hukum, strafwaardig (patut atau bernilai untuk dipidana), dan dapat dicela karena kesalahan (en aan schuld te wijten). Kalau penulis tidak keliru, maka makna kesalahan (schuld) menurut Van Hamel lebih luas lagi dari pada pendapat Simons, karena meliputi kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab.
Sekaligus Van Hamel menyatakan bahwa istilah strafbaar feit tidak tepat, tetapi beliau menggunakan istilah strafwaardiig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana).76
Adapan dalam buku karya Lamintang, Strafbaar feit diartikan oleh Pompe sebagai :
“Suatu Pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.”77
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana memakai istilah yang berbeda yaitu delik. Delik adalah “suatu
75 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.224.
76 Ibid, hlm. 225.
77 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 34.
28 perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (pidana).”78
Amir Ilyas dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana:
Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjwaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan memberikan definisi mengenai strafbaarfeit dan delik yakni:
“Delik dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit terdiri tiga kata, yaitu straf, baar, feit. Yang masing-masing memiliki arti : Straf diartikan sebagai pidana dan hukum; Baar diartikan sebagai dapat dan boleh; Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Jadi istilah Strafbaarfeit adalah perisitiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman (pidana).”79
Selain istilah “strafbaar feit” dalam bahasa Belanda juga dipakai istilah lain yaitu “delict” yang berasal dari bahasa Latin
“delictum” dan dalam bahasa Indonesia dipakai istilah “delik”.
Dalam bahasa Indonesia dikenal juga dengan istilah lain yang ditemukan dalam beberapa buku dan undang-undang hukum pidana yaitu peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana.80
78 Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.
72.
79 Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Rangkang Education Yogyakarta & PuKAP-Indonesia, Yogyakarta, hlm.19
80 Andi Sofyan dan Nur Azisa, 2016, Buku Ajar Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, hlm. 96
29 Dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.81
2. Jenis tindak pidana
Tindak Pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut.82
a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam Buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam Buku III;
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten);
c. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten);
d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis);
81 Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.18
82 Adami Chazawi, Op.Cit., hlm.121-122.
30 e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus;
f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus;
g. Dilihat dari subjek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu);
h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten);
i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten);
j. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak
31 pidana terhadap nyawa dan tubuhm terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya;
k. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten);
3. Pidana dan Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang artiya hukum.
Jadi pemidanaan bisa diartikan sebagai “penghukuman” atau pemberian hukuman. Tujuan pemidanaan sebenarnya bukan karena pelaku telah melakukan kejahatan melainkan agar pelaku tidak lagi melakukan kejahatan dengan kata lain untuk efek jera dan orang lain juga merasa takut untuk melakukan kejahatan.
Negara berkewajiban menjaga dan melindungi kepentingan hukum warga negaranya. Oleh karena itu, dalam rangka melaksanakan kewajibannya, negara melalui alat-alatnya diberi hak dan wewenang untuk mejatuhkan dan menjalankan pidana.
Dasar hak itu diberikan dan atau untuk kepentingan apa pidana perlu dijatuhkan, merupakan pertanyaan mendasar dalam teori pemidanaan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak ketika ia akan menarik dan menetapkan amar putusan ia terlebih dulu akan merenungkan dan mempertimbangkan benar
32 tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan yang demikian teori hukum pidana dapat membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana apakah berat atau ringan, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.83
Ada beberapa teori yang telah dirumuskan oleh para ahli mengenai pemidanaan dan tujuan sebenarnya untuk apa pemidanaan itu dijatuhkan. Menurut Adami teori pemidanaan dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yaitu :84
a. Teori Pembalasan atau Teori Absolute
Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan tindak pidana.
Penganjur teori ini antara lain Immanuel Kant yang mengatakan “Fiat Justitia ruat coelom” (walaupun kiamat, namun penjahat terakhir harus menjalankan pidananya).
Kant mendasarkan teorinya berdasarkan prinsip moral/etika. Penganjur lain adalah Hegel yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan, sedangkan kejahatan adalah merupakan tantangan kepada hukum dan keadilan. Karena itu,
83 Ibid, hlm. 157.
84 Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia – Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, hlm. 14.
33 menurutnya penjahat harus dilenyapkan.Menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran Tuhan karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.
b. Teori Tujuan atau Teori Relatif
Teori ini mendasarkan pandangan kepada maksud dari pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan.
Artinya, dipertimbangkan juga pencegahan untuk masa mendatang. Pengertian dalam teori tujuan ini berbeda sekali dengan teori pembalasan. Kalau dalam teori pembalasan itu tindakan pidana dihubungkan dengan kejahatan, maka pada teori tujuan ditujukan kepada hari- hari yang akan dating, yaitu dengan maksud mendidik orang yang telah berbuat jahat tadi, agar menjadi baik.
c. Teori Gabungan
Dasar pemikiran teori gabungan adalah bahwa pemidanaan bukan saja untuk masa lalu tetapi juga untuk masa yang akan dating, karenanya pemidanaan harus dapat memberi kepuasan bagi hakim, penjahat itu sendiri maupun kepada masyarakat.
34 C. Lalu Lintas
1. Pengertian Lalu Lintas
Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) didefinisikan sebagai gerak kendaraan dan orang diruang lalu lintas, sedang yang dimaksud dengan ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan atau fasilitas pendukung.
Operasi lalu lintas di jalan raya ada empat unsur yang saling terkait yaitu pengemudi, kendaraan, jalan, dan pejalan kaki.
Pemerintah mempunyai tujuan untuk mewujudkan lalu lintas dan angkutan jalan yang selamat, aman, cepat, lancar, tertib, dan teratur, nyaman dan efisien melalui menajemen lalu lintas dan rekayasa lalu lintas. Tata cara berlalu lintas dijalan diatur dengan peraturan perundangan menyangkut arah lalu lintas, prioritas menggunakan jalan, lajur lalu lintas, jalur lalu lintas dan pengendalian arus persimpangan.
2. Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan
35 atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda”.85
Perkara pidana lalu lintas adalah jenis perkara yang berkaitan dengan tidak dipenuhinya persyaratan untuk mengemudikan kendaraaan oleh pengemudi, pelanggaran terhadap ketentuan peraturan lalu lintas maupun yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang berakibat pada timbulnya korban baik luka-luka maupun meninggal dunia.86
Menurut UU LLAJ kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas tiga jenis yaitu:87
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
85 Pasal 1 ayat (24) Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
86 Kansil dan Christine, 1995, Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya, Rineka Cipta Jakarta, hlm. 41.
87 Pasal 229 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
36 3. Faktor Penyebab Kecelakaan Lalu Lintas
Kecelakaan Lalu Lintas dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.88
a. Faktor Manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas.
Sebagian besar kejadian kecelakaan diawali dengan pelanggaran rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran rambu-rambu lalu lintas ini bisa terjadi karena sengaja melanggar peraturan, ketidaktahuan atau tidak adanya kesadaran terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang diberlakukan dalam berkendara.
Lebih parahnya lagi, jika para pengendara pura- pura tidak tahu tentang peraturan berkendara dan berlalu lintas. Selain itu, manusia sebagai pengguna jalan raya sering lalai dalam memperhatikan keselamatan dirinya dan orang lain dalam berkendara. Bahkan, tak jarang ditemukan pengendara yang sengaja ugal-ugalan dalam mengendarai kendaraan.
88 Ibid.