• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA

ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM

TESIS

Diajukan Kepada Sekolah Pascasarjana Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama Bidang Hukum Islam

Oleh:

Chindya Pratisti Puspa Devi 10.2.00.0.01.01.0389

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD

KONSENTRASI HUKUM ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014 M/ 1435 H

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, syukur yang tak terhingga atas segala petunjuk dan kemurahan-Nya tesis yang berjudul Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam ini bisa terselesaikan. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk sang junjungan, Nabi Muhammad yang memberi jalan penerangan melalui dakwah dan pendidikan.

Atas terselesaikannya tesis ini, penulis banyak berhutang budi kepada beberapa pihak yang telah membantu, baik moral maupun material. Kepada mereka, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya dan berdoa semoga Allah Ta’ala memberikan balasan yang tinggi serta menjadi nilai amal yang baik di sisi-Nya.

Ucapan terima kasih dan penghargaan tersebut penulis sampaikan kepada yang terhormat Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing yang telah sabar memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA dan Prof. Azyumardi Azra, MA sebagai Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para deputi yang telah menyiapkan sarana, fasilitas, dan memberikan kebijakan-kebijakan untuk memacu berkembangnya suasana akademik di Sekolah Pascasarjana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada tim penjamin mutu, Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Yusuf Rahman, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf, MA, Prof. Murodi, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, dan Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA yang telah memberikan masukan dan kritikan melalui beberapa ujian work in progress (WIP).

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam membantu penyelesaian penelitian ini, seperti petugas perpustakaan Sekolah Pascasarjana, Pak Roviq yang telah membantu penulis dalam mencari buku-buku yang diperlukan, petugas akademik di sekretariat Sekolah Pascasarjana yang telah membantu memberikan informasi, Mba Ima, Mas Adam, keluarga Bapak Sugiarto dan anak-anaknya serta kawan-kawan diskusi yang banyak memberikan inspirasi dalam penulisan tesis, Zuhriyah Hidayati, Ali Syukron, Rosdelima, Zaura, Pipit, Riri, dan teman-teman seangkatan lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu-satu.

(4)

Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada Unit Penanganan Permasalahan Perempuan dan Anak (UP2A) di KAPOLRES Bekasi Ibu AKP Tri Murti Rahayu beserta jajaran, UP2A Polresta Cikarang Bpk Sumantri, SH beserta jajaran, Balai Pemasyarakatan Kelas II Bogor, Ibu Darmalinggawati, Bc.IP. SH. MH. M.Si, Ibu Teolina, Ibu Heidy Manurung, S.Pd beserta jajaran, Pengadilan Negeri Bekasi dan Hakim Anak Bpk Bambang Budi Mursitoh, SH atas waktu dan informasinya dalam membantu penulis menyelesaikan penelitian tesis ini.

Terakhir namun teristimewa, ucapan terima kasih penulis kepada suami tercinta, H. Aminuddin Lc, M.Si atas semua cinta, tanggung jawab, kesabaran, dan semuanya yang diberikan kepada penulis, terima kasih telah menjadi terlalu baik untuk penulis. Untuk orang tua penulis, Ayahanda Djati Pratisto, SE dan Ibunda Hadiatty Tjatur Dewi, SE, penulis sampaikan salam ta’zhim yang tertinggi atas semua doa dan ridhonya hingga akhirnya penulis merampungkan sekolah ini. Untuk adik-adikku, Chandyka dan Chendy terus semangat belajar dan pantang menyerah untuk mencapai cita-cita. Akhirnya, tulisan ini penulis persembahkan untuk putra tersayang, Muhammad Alvaro Asyraf Pasya, Muhammad seorang pemimpin yang mulia.

Sebagai hasil karya penelitian, tesis ini dipastikan banyak kekurangan dan sarat dengan kelemahan dikarenakan kedangkalan penalaran penulis dan kurangnya informasi serta referensi. Oleh karena itu, penulis berharap ada masukan dan kritik yang membangun dan bisa memperbaiki sehingga penelitian bisa diperbaiki dan disempurnakan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh sesama dan kemajuan bangsa dan negara.

Jakarta, 28 April 2014 Penulis,

Chindya Pratisti Puspa Devi

(5)

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Chindya Pratisti Puspa Devi

NIM : 10.2.00.0.01.01.0389

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 24 September 1987

Alamat : Perumahan Duren Jaya Jl Eboni 3 Blok C No 409 Bekasi Timur 17111

menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis berjudul RESTORATIVE JUSTICE PADA HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM adalah karya asli penulis, kecuali kutipan-kutipan yang jelas sumbernya. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan di dalamnya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Jika kemudian hari karya ini terbukti bukan hasil karya penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa paksaan dari siapapun.

Jakarta, 28 April 2014

(6)
(7)

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Tesis yang berjudul: Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam, disusun oleh Chindya Pratisti Puspa Devi NIM 10.2.00.0.01.01.0389 telah dinyatakan lulus pada ujian Pendahuluan yang diselengarakan pada hari/tanggal Selasa, 15 April 2014.

Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji sehingga disetujui untuk diajukan ke Ujian Promosi.

Jakarta, 28 April 2014

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Prof. Dr. Suwito, MA (Ketua Sidang/ merangkap

Penguji)

2. Prof. Dr. Abdul Mujib, MSi (Penguji 1) 3. Dr. H.M Asrorun Ni’am, MA (Penguji 2) 4. Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, MSPD (Pembimbing/ merangkap Penguji)

(8)
(9)

ABSTRAK

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kebijakan aparat penegak hukum dalam hal penanganan masalah kenakalan anak dengan mengedepankan keadilan restoratif telah membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa tindak pidana. Pemberian hukuman ta‘zi>r pada tindak pidana ringan terhadap anak -pelaku tindak pidana- dengan pengampunan dan pemberian hukuman minimum mengandung banyak unsur keadilan. Konsep ini sejalan dengan prinsip-prinsip restorative justice.

Penelitian ini mendukung pernyataan Nawal H. Ammar (2001) dan Mutaz M. Qafisheh (2012) yang mengatakan bahwa keadilan restoratif bertujuan untuk mendamaikan pihak yang berkonflik. Jika pelanggar bisa direhabilitasi dengan langkah-langkah lain yang lebih baik maka hukuman harus dihindari. Dalam hukuman ta‘zi>r, pengampunan dan pemberian hukuman minimum merupakan sistem peradilan pidana Islam yang dapat merubah sistem pidana dari retributif menjadi restoratif. Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross (1975), John Rawls (1980) dan Kathleen Daly (2001) yang menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban, ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan kesalahan dan sanksi pidana bertujuan untuk memberikan penderitaan kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya.

Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis dalam penyajian datanya. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan jenis-jenis sumber data yang diperlukan. Sumber data diperoleh melalui wawancara dan observasi dengan instansi hukum terkait yang menangani perkara tindak pidana anak seperti Kepolisian, Petugas Peneliti Kemasyarakatan (Bapas) dan Hakim Anak.

(10)
(11)

ABSTRACT

This study concluded that the policy of law enforcement officers in the handling of child delinquency problem by promoting restorative justice have built joint participation among the offender, the victim and the public in solving an incident of criminal acts. Establishes punishment ta'zi>r on minor criminal child with forgiveness and minimum sentencing contained many elements of justice. This concept is in line with the principles of restorative justice.

This study support the statement of Nawal H. Ammar (2001) and Mutaz M. Qafisheh (2012) which states that restorative justice aims to reconcile the conflicting parties. If offenders can be rehabilitated with the other steps are better than the punishment should be avoided. In ta‘zir , remission and the minimum punishment is a criminal justice system of Islam that can change retributive punishment to be restorative. This study rejects the notion of Alf Ross (1975), John Rawls (1980) and Kathleen Daly (2001) which state that the punishment is needed to defend the victim, the imposition of punishment directed at the suffering of the people who make mistake and aims to provide criminal sanction for offender suffering as a result of his action that he felt.

This research is a qualitative research methods with normative juridical approach in presenting descriptive analytical data. Methods of data collection in this study using literature study, interview and observations according to the type of data source types required. Sources of data obtained through interviews and observations with the relevant legal agencies that handle criminal cases children as police officers and judges child social researcher.

(12)
(13)

خطلاخ ضخهًنا ِزٓن خساسذنا ٌأ خسبٍس ؽبجػ ربفَإ ٌَٕبقنا ًف ميبؼزنا غي خهكشي حُٕج لبفؽلأا ٍي للاخ غٍجشر خناذؼنا خٍحنبظزنا ذق ذُث خكسبشًنا ٍٍث ًَبجنا خٍحؼنأ غًزجًنأ ًف مح خهكشًنا ٍي لبًػلأا خٍياشجلإا . شٌضؼزنا ىهػ مفطنا ًَبجنا خٍئبُج حشٍقح ٌاشفغنبث ةبقؼنأ ذحنا ًَدلأا ٍي ىكحنا ذق ذهًزحا ذٌذؼنا ٍي شطبُػ خناذؼنا . ازْٔ ىشبًزٌ غي ئدبجي خناذؼنا خٍحنبظزنا . ىػذر ِزْ خساسذنا ٍي خحط دبَبٍث ٍٍضحبجنا Nawal H Ammar (2001) ٔ Mutaz M. Qafisheh (2012) ًهػ ٌأ فذْ خناذؼنا خٍحنبظزنا قٍفٕزهن ٍٍث فاشؽلأا خػصبُزًنا . ارإ ٌبك تكرشي ىئاشجنا ُّكًًٌ حدبػإ مٍْأر غي بْشٍغ ٍي مؼفأ دإطخنا ٍئ ىص ةبقؼنا تجٌ ّجُجر . ًف شٌضؼزنا , ٌإف ٌاشفغنا ٔ ذحنا ىَدلأا ةبقؼهن ْٕ وبظَ خناذؼنا وبظُهن ًئبُجنا ًيلاسلإا يزنا ُّكًٌ شٍٍغر خثٕقؼنا ٍي خثٕقػ صبظقنا ًنإ خثٕقؼنا خٍحنبظزنا . ِزْ خساسذنا غفشر حشكف John Rawls (1980), Alf Ross (1975) ٔ Kathleen Daly (2001) ٌٍزنا ٌٕظُر ىهػ ٌأ خثٕقؼنا غفُر عبفذن خٍحؼنا عشف خثٕقػ حبَبؼي طبُنا دبثٕقػٔ خٍئبُج ىهػ ٍٍئطخًنا فذٓر عشفن ىٍٓهػ حبَبؼًنا بَٓٔشؼشٍف خجٍزَ ىٓربفشظزن . وذخزسٌ تربكنا تٍنبسأ شحجنا ًػُٕنا جُٓنبث يسبٍؼًنا فطًٕنا ًفطٕنبث ًهٍهحزنا ًف عشػ دبَبٍجنا . تٍنبسأ غًج دبَبٍجنا ًف ِزْ خساسذنا واذخزسبث خقٌشؽ ،شجػ ٔ خؼجاشي دبٍثدلأا ، ،دلاثبقًنأ خظحلاًنأ بقفٔ عإَلأ سدبظي دبَبٍجنا خيصلانا . ىر لٕظح سدبظي دبَبٍجنا بٍٓهػ ٍي للاخ دلاثبقًنا ٔ دبظحلاًنا غي دبٓجنا خٍََٕبقنا دار خهظنا ًزنا ميبؼزر غي بٌبؼقنا خٍئبُجنا مضي ؽبجػ خؽششنا ٔ ؽبجػ سبحثأ مفطنا (Bapas) ًػبقنأ مفطهن .

(14)
(15)

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin dalam disertasi ini mengacu pada pedoman ALA-LC Romanization Tables

A. Huruf Arab-Latin Huruf Arab Huruf Latin ﺍ ’ ﺏ B ﺕ T ﺙ Th ﺝ J ﺡ ḥ ﺥ Kh ﺩ D ﺫ Dh ﺭ R ﺯ Z ﺱ S ﺵ Sh ﺹ ṣ ﺽ ḍ ﻁ ṭ ﻅ ẓ ﻉ ‘ ﻍ Gh ﻑ F ﻕ Q ﻙ K ﻝ L ﻡ M ﻥ N ﻭ W ﻫ H ﺀ ’ ﻱ Y

(16)

Huruf (ﺓ) ta> marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat nakirah (indefinite) dan ma’rifah (definite) dilambangkan denggan hukum [h].

ةلاص S}ala>h

ةلاسرلا al-risa>lah

Huruf (ﺓ) tā marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat berfrasa adjektiva (tarkīb waṣfi) dilambakan dengan huruf [h].

ةيهبلاةلاسرلا al-risa>lah al-bahi>yah ةحلاصلاةءرملا al-mar‘ah al-s}a>lih}ah

Huruf (ﺓ) tā marbūṭah dalam kata benda atau kata sifat majemuk (tarkīb iḍāfi) ditambahkan dengan huruf [t]

ةسردملاةرادا Ida>rat al-madrasah ةرادلإاةعاق Qa>‘at al-ida>rah B. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Rangkap Vokal Panjang -- َ -= a و َ---= au ﺎ->- = a> -- ِ -= i ي َ---= ay ي َ---= a> -- ُ -=u و َ---= u> C. Kata Sandang رمقلا al-Qamar حبصلا Al-S}ubh} رصعلاو wa al-‘as}r

(17)

D. Shaddah atau Tashdīd

مّلعت ta‘allam

ّححلا Al-h}ajj

مّعن Nu‘‘ima

Maddah

Maddah atau vokal panjang yang panjangnya berupa harkat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :

Harkat dan Huruf Huruf dan Tanda

ﺂ a>

ي--- i>

(18)
(19)

DAFTAR SINGKATAN

ABH : Anak Berhadapan Dengan Hukum ADR : Alternative Dispute Resolution Anirat : Pencurian dengan Pemberatan Bapas : Balai Pemasyarakatan

BKA : Bimbingan Klien Anak BHT : Berkuatan Hukum Tetap

CRC : Convention on the Right of the Child Curas : Pencurian/ Perampukan dengan Kekerasan FGC : Family Group Conferencing

Gakum : Penegakan Hukum JPU : Jaksa Penuntut Umum

Kabareskrim : Kepala Badan Reserse dan Kriminal KHA : Konvensi Hak Anak

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Lapas : Lembaga Pemasyarakatan Litmas : Penelitian Masyarakat

LPAS : Lembaga Penempatan Anak Sementara LPKA : Lembaga Pembinaan Khusus Anak

LPKS : Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial OVA : Offender Victim Arrangement

PH : Penasehat Hukum

PK : Pembimbing Kemasyarakatan Rutan : Rumah Tahanan

SP3 : Surat Perhentian Penyidik Perkara

SPDP : Surat Pemberitahuan Dimualainya Penyidikan SKB : Surat Keputusan Bersama

TR : Telegram Rahasia

UP2A : Unit Perlindungan Perempuan dan Anak UUPA : Undang-Undang Perlindungan Anak VOM : Victim Offender Mediation

(20)
(21)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... v

PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN\ ... vii

ABSTRAK ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xix

DAFTAR ISI ... xxi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Signifikasi Penelitian... 12

E. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 13

F. Metode penelitian ... 16

G. Sistematika pembahasan ... 18

BAB II: TEORI RETRIBUTIVE JUSTICE, RESTORATIVE JUSTICE DAN TA‘ZI>R DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ANAK A. Definisi Anak dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)... 21

B. Konsep Retributive Justice dalam Hukum Pidana ... 26

C. Restorative Justice sebagai Paradigma Keadilan yang Demokratis dan Manusiawi ... 29

D. Pemberian Hukuman Ta‘zi>r Terhadap Pelaku Tindak Pidana dalam Hukum Pidana Islam ... 50

BAB III: KEBIJAKAN HUKUM DALAM MENGEMBANGKAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA ANAK INDONESIA DAN ISLAM A. Arah Kebijakan Restorative Justice sebagai Penanggulangan Kejahatan ... 57

B. Efektifitas Implementasi Restorative Justice dalam perubahan sikap mental, prilaku, dan menjauhi tindak kiriminal terhadap anak ... 86

(22)

C. Hambatan dan Kendala dalam menerapkan konsep Restorative Justice ... 90 D. Restorative Justice dan Ta‘zi>r sebagai Praktek Keadilan dalam

Hukum Pidana Anak ... 92 BAB IV: PELAKSANAAN RESTORATIVE JUSTICE DAN

TA‘ZI>R DALAM PENANGANAN KASUS TINDAK PIDANA ANAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Penyelesaian Kasus Pembunuhan pada Tindak Pidana Anak... 97 B. Penyelesaian Kasus Pencurian pada Tindak Pidana Anak ... 111 C. Penyelesaian Kasus Penipuan dan Penggelapan pada Tindak Pidana Anak ... 123 D. Penyelesaian Kasus Asusila pada Tindak Pidana Anak ... 128 E. Ringkasan Perbandingan Antar Kasus Pelaku Tindak Pidana

Anak... 138 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 145 B. Saran ... 148 DAFTAR PUSTAKA ... 151 GLOSSARIUM ... 165 INDEX ... 179 BIODATA ... 185

(23)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Konsep keadilan restoratif bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum atau yang biasa disingkat menjadi ABH sudah cukup popular di kalangan dunia akademik. Wacana mengenai keadilan restoratif bagi ABH juga menjadi perbincangan hangat di kalangan pakar dan praktisi hukum baik di level legislatif maupun eksekutif. Keadilan restoratif secara filosofis adalah peradilan yang ramah bagi anak karena tidak menciderai atau merampas hak-hak anak ketika berkonflik atau berhadapan dengan hukum. Ironisnya justru di level masyarakat umum dan terutama di kalangan pelaku maupun korban ABH, wacana mengenai keadilan restoratif belum banyak dikenal. Mereka bukan saja tidak mengetahui persoalan keadilan restoratif, namun juga sebagian besar dari mereka tidak mengetahui hak-hak mereka, baik dalam konteks korban maupun pelaku di hadapan hukum.1

Perhatian khusus terhadap proses keadilan restoratif di kalangan anak sangat diperlukan. Pendekatan keseimbangan yang mendasar juga harus dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi atas dasar tanggung jawab untuk memulihkan kerugian korban sebagai konsekuensi tindak pidana, merehabilitasi dan mereintegrasi pelaku serta memperkuat sistem keselamatan dan mengamankan masyarakat.

Masa remaja membutuhkan bimbingan serta perhatian dan bukan diisolasi. Remaja memiliki keterikatan dengan lingkungan khusus seperti sekolah, lapangan kerja, kehidupan agama dan sebagainya. Memutuskan koneksi dengan lingkungan tersebut karena kecurigaan, kekhawatiran atau ketakutan terhadap remaja kriminal disertai dengan pendekatan retributif untuk memidana dan

1Sofian Munawar Asgart, dkk, ‚Keadilan Restoratif Bagi Anak Berhadapan

Dengan Hukum (Kasus Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan)‛, Laporan Penelitian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2011, https://www.academia.edu/4453465/YLBHI_Keadilan_Restoratif_bagi_Anak_yang_ Bermasalah_dengan_Hukum_ABH_Laporan_Penelitian_2011_ (Diakses pada 19 Oktober 2012).

(24)

menerapkan tindakan, justru akan memicu timbulnya perbuatan kriminal dan kekerasan selanjutnya.2

Persoalan tersisihnya rasa keadilan dalam masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan anak memang selalu muncul ke permukaan dengan jenis dan pelaku yang berbeda.3 Jalan menuju kebijakan dekriminalisasi anak harus dilakukan dan menjadi sebuah prioritas utama. Hal ini bisa dilakukan bila kita mengembangkan apa yang disebut sebagai juvenile justice system, yakni konsep rehabilitasi mental dengan meletakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia, jaminan kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta partisipasi masyarakat dalam mencari jalan keadilan bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum.4

Aparat penegak hukum yang terlalu berlebihan dalam menjalankan prinsip proposionalitas dalam penanganan permasalahan hukum terhadap anak di bawah umur terlihat dari kasus ditangkap dan ditahannya 10 orang anak yang sedang bermain monopoli bertaruh dengan uang yang dituduh telah melakukan perjudian dan hakim mengadili mereka dengan pasal 303 KUHP mengisyaratkan sebagai mata pencaharian alias pekerjaan.5 Begitu juga kasus AAL yang

2

Muladi, Pendekatan Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana

dan Implementasinya Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Semarang, November

2013), 27.

3

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan

Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 2.

4

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 17.

5 Kompas, 31 juli 2009,

http://megapolitan.kompas.com/read/2009/07/31/18511995/Janggal.

Pengadilan.Anak.Bawah.Umur.di.PN.Tangerang. (Diakses pada 16 Oktober 2012). Lihat juga Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 7. Menurut pengakuan kesepuluh anak tersebut, mereka sedang bermain sejenis permainan tradisional yang oleh masyarakat sekitar diberi nama ‚macan buram‛, permainan tebak-tebakan menggunakan koin. Kadangkala permainan ini juga menggunakan hadiah uang bagi yang tebakannya tepat atas gambar koin yang muncul. Inilah alasan polisi menetapkan permainan tersebut sebagai tindak pencurian. Menurut Hadi Supeno, polisi telah melanggar prinsip proporsionalitas dalam proses penghukuman. Hal ini dikarenakan apa yang dilakukan oleh anak-anak hanyalah permainan, memanfaatkan waktu luang. Mereka adalah anak-anak yang gagal mengakses aneka permainan anak elite dan mahal, seperti Kidzania atau Dunia Fantasi Ancol, atau bahkan lapangan sepak bola, basket, bulu tangkis dan juga ruang publik lainnya. Perlakuan aparat kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan negeri jelas sebuah tindakan pidana. Menurut Hadi proses hukum kepada anak-anak merupakan full pidana karena mereka telah menjalani proses peradilan panjang dari bulan Mei hingga Juli 2009 (ditangkap, disidik, ditahan 29

(25)

dituduh mencuri sandal jepit milik seorang anggota polisi. Hal ini terjadi dikarenakan semua perkara pidana yang ditangani polisi dan jaksa harus bermuara pada pengadilan. Keadaan seperti ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, karena aparat terlalu bertindak legalistik.6

Dalam Undang-Undang No 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak masih diberlakukan hukum peninggalan belanda yang bersifat retributif dimana setiap perbuatan kejahatan anak harus dihukum dan harus diadakan penumpasan/ pemberatasan/ penindasan setelah kejahatan terjadi.7 Oleh karena itu perlu adanya kajian ulang tentang

Undang-undang peradilan anak, karena anak adalah generasi penerus bangsa. Merupakan kewajiban semua pihak, khususnya Negara untuk mempersiapkan dan melindungi masa depan mereka, sehingga regenerasi dapat berjalan dengan baik.

Anak-anak tidak seharusnya dihadapkan pada sistem peradilan jika ada yang lebih baik demi kepentingan terbaik bagi anak untuk menangani perbuatan anak yang melanggar hukum.8 Untuk melindungi

anak nakal dari tindakan yang menghambat perkembangannya maka perlu dibuat hukum pidana dan hukum acara pidana yang khusus.9

hari, dan diadili sebanyak 3 kali persidangan), memang keputusan PN Tangerang adalah mengembalikan anak-anak kepada orang tua mereka, tetapi bunyi putusan lain (vonis) menyatakan bahwa anak-anak bersalah.

6 Ezra Sihite, Kompas, 06 januari

2012http://www.beritasatu.com/mobile/nasional/24715-kasus-sandal-bukti-mendesaknya-aturan-sistem-peradilan-anak.html. (Diakses pada 16 Oktober 2012).

7Paulus Hadisuprapto pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang

Kriminologi menyatakan ‚Meskipun UU no 3 Th 1997 tentang Pengadilan Anak secara normatif sedikit banyak telah memberikan rambu-rambu penanganan anak pelaku delinkuen, ternyata dalam pelaksanaanya tidak terwujud. Penanganan anak justru cenderung membekaskan stigma negatif pada diri anak dan pada mengakibatkan pada anak-anak itu untuk mengulangi perbuatannya lagi di masa yang datang.‛ Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum UNDIP Semarang dengan judul ‚Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang‛ pada tanggal 18 Februari 2006, http://eprints.undip.ac.id/336/1/Paulus_Hadisuprapto.pdf.

8 DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes and Special

Children’s Court in Indonesia‛, 1, http://www.general-files.org/go/139189414500 (accessed October 30, 2013).

9Ainal Mardiah, Mohd. Din, Riza Nizarli, ‚Mediasi Penal sebagai Alternatif

Model Keadilan Restoratif dalam Pengadilan Anak‛, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syia Kuala vol. 1, no. 1, (Agustus 2012), 3,

(26)

Dengan adanya UU Sistem Peradilan Anak yang baru, seharusnya anak-anak yang tersangkut hukum tidak dijebloskan ke penjara, namun bisa dibina di panti, pemondokan atau asrama khusus.

Beragam tindak kejahatan yang dilakukan anak seharusnya dipandang sebagai bukan suatu ‛kejahatan murni‛ melainkan suatu bentuk kenakalan remaja, karena perbuatan yang dilakukan oleh anak tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan oleh anak itu secara mandiri. Dalam banyak kasus, tampak jelas bahwa anak sebagai pelaku kejahatan seringkali juga sekaligus sebagai korban. Anak yang menjadi pelaku kejahatan seringkali menjadi korban lingkungannya, korban ketidakberdayaan, dan korban dari sebuah sistem yang mengabaikannya.10 Hal ini sesuai dengan pendapat Patton yang menyatakan bahwa kekhususan dalam penanganan masalah kenakalan anak sangat dibutuhkan karena anak sebagai pelaku bukanlah sebagai pelaku murni akan tetapi juga sebagai korban. Anak-anak merupakan individu yang dapat dibentuk dan dibina sehingga bisa menjadi anggota masyarakat yang produktif.11

Kebanyakan kasus yang terjadi pada anak-anak yang berhadapan dengan hukum disebabkan karena orang tua atau wali gagal dalam mendidik dan mengajarkan mereka, karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya.12 Anak-anak membutuhkan perlindungan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak baik sebelum maupun setelah kelahirannya.13 Begitu juga dalam kasus anak di Indonesia, meningkatnya berbagai bentuk pengabaian dan pelanggaran hak anak di Indonesia, menunjukkan bahwa negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua telah gagal

http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmih/images/Jurnal/2012/Agustus/MEDIASI%20P ENAL%20SEBAGAI%20ALTERNATIF.pdf (diakses pada 3 Maret 2013).

10Sofian Munawar Asgart, dkk, ‚Keadilan Restoratif Bagi Anak Berhadapan

Dengan Hukum (Kasus Jakarta, Surabaya, Denpasar dan Medan)‛.

11William Wesley Patton, ‚Contemporary Juvenile Justice System And

Juvenile Detention Alternatives‛ Juvenile Justice System,

.http://education.stateuniversity.com/pages/2141/- (accessed Oktober 17, 2012).

12Rolando V. Del Carmen and Chald R. Trulson, Juvenile Justice: The

System, Process and Law (Thomson: Wadsworth, 2006), 22.

13Santi Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial

untuk Anak di Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia, 2011), 3.

(27)

menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka dalam memberikan perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak anak di Indonesia.14

Dalam hal ini peradilan yang tepat untuk pelaku pidana anak seharusnya adalah model keadilan restoratif yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan terjaga.15 Penanganan ABH melalui pendekatan keadilan restoratif dapat menjadi alternatif. Hal ini sejalan dengan prinsip yang termuat dalam Konvensi Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) yang telah diratifikasi melalui Keppres No.36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak dan kemudian dikukuhkan lagi dengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam kedua peraturan itu tampak jelas adanya upaya untuk melindungi ABH khususnya menyangkut prinsip The Best Interest of The Child. Oleh karena itu pemidanaan terhadap anak harus dijadikan sebagai langkah akhir (ultimatum remedium).

Penyelesaian perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus lebih mementingkan kepada masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada pelaku pidana anak. Oleh karena itu hakim harus sadar bahwa hal terpenting bagi anak adalah bukan apakah anak tersebut harus dihukum, melainkan tindakan yang bagaimana yang harus diambil untuk mendidik anak itu.

Pada dasarnya sistem peradilan pidana di Indonesia seperti peradilan pidana pada umumnya di negara-negara lain, bersifat retributif yang menitik beratkan pada penghukuman pelaku (retributive punishment). Orientasi penghukuman ini bertujuan untuk melakukan pembalasan dan pemenuhan tuntutan kemarahan publik akibat perbuatan pelaku. Alternatif dari retributive punishment ini adalah gagasan yang menekankan pentingnya solusi untuk memperbaiki keadaan, merekonsiliasi para pihak dan mengembalikan harmoni pada masyarakat dan tetap menuntut pertanggung jawaban pelaku. Teori ini dikenal sebagai restorative justice atau keadilan restoratif.16

14Komisi Nasional Perlindungan Anak, ‛Menggugat Peran Negara,

Pemerintah, Masyarakat Dan Orang Tua Dalam Menjaga Dan Melindungi Anak‛, 21 Desember 2011, http://komnaspa.wordpress.com/2011/12/21/catatan-akhir-tahun-2011-komisi-nasional-perlindungan-anak/(Diakses pada 19 Oktober 2012).

15Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, 193.

16DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, ‚Kata Sambutan Mas Achmad

(28)

Dalam aturannya, hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja (daadstrafrecht), karena menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan. Hukum pidana juga tidak benar jika hanya memperhatikan si pelaku saja (daderstrafrecht), karena akan timbul kesan memanjakan penjahat dan kurang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan korban tindak pidana.17 Alternatif keadilan retributif mengasumsikan bahwa

perdamaian tidak akan pernah dapat tercapai dengan melakukan tindakan-tindakan pembalasan sehingga tindakan pemaafan dan pengampunan dilibatkan dalam menyediakan proses penyehatan yang sangat diperlukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.18

Konvensi Negara-negara di dunia mencerminkan paradigma baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative Justice (keadilan restoratif) adalah alternatif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif.19 Di banyak negara

konsep restorative justice menjadi satu dari sejumlah pendekatan penting dalam kejahatan dan keadilan yang secara terus menerus dipertimbangkan di sistem peradilan dan undang-undang.20

Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat.21 PBB

Institutefor Conflict Resolution‛, dalam buku Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok: Indie Publishing, 2011), xxiii.

17Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban

Dalam Bidang Hukum Pidana Formil,

http://eprints.undip.ac.id/35224/3/HasilPenelitian.pdf (diakses pada 10 Maret 2013).

18Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), 65.

19 DS.Dewi, ‚Restorative Justice Diversionary Schemes and Special

Children’s Court in Indonesia‛, 4.

20Marlina, Peradilan Pidana anak di Indonesia- Pengembangan Konsep

Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 196.

(29)

juga telah mengesahkan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar tentang penggunaan program restorative justice dalam masalah pidana.22

Pada keadilan restoratif perbaikan keadilan ditegaskan kembali dengan nilai kebersamaan dalam proses bilateral, berbeda dengan keadilan retributif yang mengacu pada perbaikan keadilan melalui pemaksaan sepihak. Konsep keadilan restoratif dimana semua pihak baik korban atau pelaku memiliki suara dalam dialog terbuka untuk menegaskan kembali keputusan hukuman terbaik.23

Penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif tidak berlaku untuk semua jenis tidak pidana. Selandia Baru, Kanada, Filipina, dan Inggris lebih menerapkannya pada kasus-kasus pidana yang dilakukan anak-anak. Adapun Afrika Selatan pernah menerapkan konsep keadilan restoratif untuk aksi kekerasan pada rezim apartheid. Di Indonesia, konsep keadilan restoratif, telah diterapkan oleh sejumlah hakim yang berpikiran maju. Dalam sebuah kasus tindak asusila di Langkat Sumatera Utara, terdakwa dan korban sama-sama masih di bawah umur. Hakim mencoba mendengar korban, pelaku, kepala desa, dan kepala sekolah. Kepala desa tidak berkeberatan pelaku dikembalikan ke masyarakat karena selama ini juga berkelakuan baik. Putusan ini adalah salah satu putusan mediasi penal yang menunjukkan hakim menerapkan prinsip-prinsip keadilan restoratif dengan mendengar semua pihak yang terkait.24

Meskipun istilah atau kalimat restorative justice tidak digunakan di dalam hukum Islam, tetapi dengan melihat filosofi dan prinsip-prinsip yang mendasari hukuman dalam Islam ditambah dengan adanya alternatif untuk hukuman asli yang diajukan oleh yurisprudensi, dapat disimpulkan bahwa keadilan restoratif ada

22Daniel W. Van Ness, ‚An Overview of Restorative Justice Around the

World‛, International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice, (Bangkok, Thailand, 22 April 2005), 1,

http://www.icclr.law.ubc.ca/publications/reports/11_un/dan%20van%20ness%20fina l%20paper.pdf (accessed February 21, 2013).

23Michael Wenzel, Tyler G. Okimoto, Norman T. Feather, Michael J.

Platow, ‚Retributive and Restorative Justice‛, Law and Human Behavior issue 5 vol 32 (Published online: October 24, 2007 ), 385,

http://eresources.pnri.go.id:2058/docview/204150778/abstract/14066C48066625370 D7/2?accountid=25704 (accessed March 12, 2013).

24 Muhammad Yasin, dkk, ‚Keadilan Restoratif Dimulai dari Perkara Anak‛

Buletin Media Informasi Hukum dan Peradilan Komisi Yudisial Vol 4 No 4(Januari-Februari 2012), 17, http://www.komisiyudisial.go.id/files/Buletin/buletin-januari-februari-2012.pdf (Diakses pada 8 Februari 2014).

(30)

sebagai aturan dalam hukum Islam. Sistem peradilan Islam bisa menjadi bagian dari upaya untuk mengembangkan standar keadilan restoratif karena ketentuan hukum Islam hampir semua berbentuk alternatif yang dikenal dalam sistem keadilan restoratif. 25

Dalam pelaksanaan hukum pidana, Ulama-Ulama dahulu banyak memahaminya lewat pendekatan jawa>bir. Sebagian Ulama yang lain ada yang memandang bahwa pelaksanaan hukum pidana disamping mengandung unsur jawa>bir juga mengandung unsur zawa>jir. Jawa>bir artinya hukuman itu dilaksanakan dengan tujuan agar pelaku kejahatan/ terpidana merasa kapok tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan pihak lain yang berniat jahat merasa takut sehingga mengurungkan niat jahatnya tersebut.

Menurut Ibrahim Hosen, dalam rangka pembaharuan hukum Islam, khususnya di bidang hukum pidana, kita dapat berpedoman dan menerapkan teori zawa>jir. Atas dasar ini pelaku kejahatan dapat dikenakan hukuman apa saja, asal dengan hukuman itu dapat dijamin bahwa yang bersangkutan akan kapok dan tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan teori zawa>jir ini pemberian hukuman tidak harus persis seperti apa yang ditegaskan oleh nas}, namun tidak berarti kita meninggalkan nas}. Hukuman yang ditetapkan oleh nas} tetap berlaku dan dianggap sebagai hukuman maksimal. Teori zawa>jir dalam pelaksanaan hukuman ini sebagai cerminan pendekatan ta’a>quli> dalam memahami nas}.26

Dalam hal ini terdapat kesalahan bahwa hukum pidana Islam hanya bertujuan untuk membalas (retributive justice) karena orang hanya teringat dengan qis}a>s} saja. Padahal hukuman dalam hukum pidana Islam bertujuan untuk menegakkan keadilan (lebih tampak pada hukuman qis}a>s} – diyat), membuat jera pelaku/ prevensi khusus (lebih nampak pada hukuman hudu>d), memberi pencegahan secara umum/ prevensi general, dan memperbaiki pelaku (lebih tampak pada hukuman ta‘zi>r).27

25Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A

Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences vol 7 issue 1 (January-June 2012), 503,

http://www.sascv.org/ijcjs/pdfs/mutazaicjs2012istissue.pdf (accessed February 25, 2013).

26Ibrahim Hosen, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: CV

Putra Harapan, 1990), 127.

27Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Gema Insani,

(31)

Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga dinyatakan bahwa tujuan pemidanaan dimaksudkan untuk mencegah dilakukannya lagi tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.28

Yurispudensi pidana Islam dan keadilan restoratif umum meskipun datang dari dua tradisi berbeda tetapi keduanya menekankan martabat individu dan peluang dukungan untuk rehabilitasi dan penyembuhan bagi semua pihak yang terkena kejahatan. Dalam hukum, keterlibatan masyarakat dan korban untuk menetapkan suatu hukuman sangat dibutuhkan guna mendapatkan kata sepakat dan kepuasan korban serta keputusan terbaik bagi pelaku dapat tercapai.29

Dalam hukum Islam jenis hukuman yang tidak terdapat di dalam ketentuan nas} disebut dengan jari>mah ta‘zi>r. Ulama sepakat bahwa ta‘zi>r dapat diterapkan pada setiap pelanggaran yang tidak ada hukuman h}ad dan kafarah-nya meskipun dalam pelanggaran atas hak-hak Allah seperti makan pada waktu siang di bulan ramadhan tanpa alasan yang jelas, meninggalkan s}alat, riba; ataupun dalam pelanggaran atas hak adami> seperti berkhalwat, mencuri suatu barang yang tidak mencapai nis}a>b, mencuri suatu barang yang tidak berada pada tempat yang terjaga, melakukan penipuan, dan sebagainya yang merupakan pelanggaran ringan. 30

Menurut mazhab Hanafi, penetapan sanksi ta‘zi>r diserahkan kepada U>lil ‘Amr termasuk batas minimal dan maksimalnya. Di kalangan mazhab Maliki penetapan sanksi ta‘zi>r disesuaikan dengan kondisi pelakunya. Menurut mazhab Syafi’i>, ta‘zi>r pada prinsipnya

28Buku I RKUHP Bab III Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Bagian Kesatu

Pemidanaan Paragraf I Tujuan Pemidanaan Pasal 54.

29Susan C. Hascall, ‛Restorative Justice in Islam: Should Qis}a>s} be

Considered a Form of Restorative Justice‛, Berkeley Journal of Middle Eastern and

Islamic Law no 11 (2012), 2,

http://works.bepress.com/cgi/viewcontent.cgi?article=1005&context=susan_hascall (accessed February 25, 2013).

30Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa adilatuhjuz 7, (Beirut: Dār al-Fikr

(32)

diserahkan kepada U>lil ‘Amr baik tentang jenisnya maupun tentang kadarnya dan disesuaikan dengan perbedaan jarimahnya. Menurut mazhab Hanbali, hukuman ta‘zi>r diserahkan kepada U>lil ‘Amr untuk ditetapkan sesuai dengan jari>mah dan keadaan pelakunya.31

Pemberian hukuman ta‘zi>r adalah sebagai peringatan yang bersifat mendidik karena tujuan hukum pada umumnya adalah menegakkan keadilan sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman pada masyarakat. Oleh karena itu putusan hakim seharusnya mengandung rasa keadilan dan didasarkan pada pertimbangan akal sehat dan keyakinan untuk mewujudkan mas}lahah agar dipatuhi oleh masyarakat.

Islam mengedepankan pandangan realistis terhadap hak-hak manusia dalam penetapan syariatnya, selaras dengan fitrah kemanusiaan, dan gambarannya bersifat tetap. 32 Menurut Ibnu

Khaldun, meskipun syariat menentukan sanksi-sanksi untuk tindak pidana, tetapi syariat tidak menentukan secara khusus sarana-sarana yang dapat digunakan untuk menahan pelaku dan membawanya untuk diadili. Hal itu terletak pada kekuasaan politik untuk mengadakannya sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jadi prosedur-prosedur penyidikan dan penuntutannya dianggap dalam wilayah politik (siya>sah) atau dari kekuasaan yang diserahi.33

Dalam hukum Islam anak-anak diberikan kebebasan dan belum dibebani oleh tanggungjawab akan hukum. Dalam hadits diriwayatkan ‚Telah menceritakan kepadaku Husyaim, katanya: telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ali r.a ia berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : Diangkat pembebanan hukuman dari tiga jenis orang: anak kecil sampai ia baligh, orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sembuh. (HR Ahmad).34

Hukum Islam yang sangat memperhatikan dan mengedepankan pandangan realistis terhadap hak-hak manusia terdapat kesamaan dengan hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi tampaknya aparat yang menindak perkara hukum anak di Indonesia terlalu bertindak legalistik, sehingga secara yuridis normatif perkara pidana sekecil

31

Nurrohman, Hukum Pidana Islam (Bandung: Pustaka al-Kasyaf, 2007), 101.

32Muh{ammad Ah{mad Mufti> dan Sa>mi> S{a>lih{ Waki>l, H{uqu>q Insa>n fi>

al-Fikr as-Siya>si> al-Gharbi> wa ash-Shar’i> al-Isla>mi>(Beirut: Da>r an-Nahd{ah al-Islami>yah, 1992), 21.

33Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, 58.

(33)

apapun harus tetap diproses di pengadilan. Hal seperti ini mengusik rasa keadilan masyarakat.

Dari pemaparan diatas penulis ingin membahas bagaimana kebijakan dan implementasi restorative justice dalam kasus tindak pidana anak di Indonesia kemudian melihatnya menurut Hukum Islam. Pertanyaan penting yang akan dibahas diantaranya adalah apakah konsep keadilan restoratif dapat dipraktekan pada pelaku tindak pidana anak dan apakah konsep ta‘zi>r dalam hukum Islam yang memberi pencegahan dan memperbaiki pelaku kejahatan sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif serta bisa menjadi sebuah praktek keadilan bagi anak pelaku tindak pidana. Oleh karena itu penulis ingin mengkaji lebih dalam dan menjadikannya sebuah tesis dengan judul ‚Restorative Justice Pada Hukum Pidana Anak Indonesia Dalam Perspektif Hukum Islam‛.

B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan masalah-masalah yang ada dalam latar belakang penelitian ini, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut:

1. Penerapan Keadilan Restoratif pada kasus pidana anak sebagai konsep peradilan yang ramah bagi anak dan melihat kepentingan terbaik bagi anak.

2. Relevansi pemberian hukuman ta‘zi>r dan restorative justice terhadap pelaku tindak pidana anak sebagai konsep keadilan bagi anak.

3. Konsep ta‘zi>r dan restorative justice dalam pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana anak sebagai pendidikan dan bukan sebagai pembalasan.

4. Kebijakan dan Implementasi Restorative Justice pada kasus pidana anak dalam perspektif hukum Islam.

5. Restorative Justice pada hukum pidana anak Indonesia dalam perspektif hukum Islam.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah diuraikan diatas maka rumusan permasalahan yang akan di bahas adalah sebagai berikut :

‚Bagaimana Kebijakan dan Implementasi Restorative Justice pada Hukum Pidana Anak di Indonesia dalam perspektif Hukum Islam?

(34)

3. Pembatasan Masalah

Penelitian ini membahas pada permasalahan kebijakan dan implementasi Restorative Justice terhadap pelaku tindak pidana anak perspektif hukum Islam. Penelitian ini dibatasi pada pelaku tindak pidana anak di Indonesia khususnya di daerah sekitar Bekasi yang berada dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor Periode 2011-2013.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini secara umum untuk melakukan perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Secara rincinya sesuai dengan permasalahan diatas maka tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui konsep kebijakan dan implementasi restorative justice pada kasus-kasus pidana terhadap anak di Bekasi.

2. Untuk mengetahui konsep restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana khususnya dalam perkara anak menurut hukum Islam.

D. Signifikasi Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat:

a. Memberikan pemahaman terhadap konsep restorative justice menurut hukum pidana positif Indonesia dan hukum Islam serta penerapan dalam sistem peradilan pidana khususnya pidana anak sehingga menjadi tambahan pengetahuan dan perbandingan serta memberikan masukan evaluasi khususnya dalam tata cara penyelesaian perkara pidana anak di Indonesia. b. Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan agar dapat

menciptakan unifikasi dibidang hukum pidana khususnya pidana anak untuk menuju kodifikasi hukum hingga dapat mewujudkan hukum pidana anak yang sesuai dengan syariat Islam di Indonesia.

(35)

E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Diantara tulisan yang ditemukan mengkaji tentang konsep restorative justice adalah tulisan Braithwaite yang menyatakan bahwa dalam proses keadilan restoratif dapat mengembalikan korban, pelaku, dan masyarakat menjadi lebih baik daripada yang ada dalam praktek peradilan pidana. Dikatakan bahwa sistem keadilan restoratif juga dapat mencegah, melumpuhkan, dan merehabilitasi lebih efektif daripada sistem hukuman.35

Penelitian yang dilakukan oleh OJJDP (Office of Juvenile Justiceand Deliquency Prevention) menunjukkan bahwa keadilan retributif hanya fokus pada dendam publik dan penyediaan hukuman melalui proses yang berlawanan. Adapun keadilan restoratif berkaitan dengan hubungan yang lebih luas antara pelaku, korban, dan masyarakat, serta memberikan prioritas untuk memperbaiki kerusakan atau kerugian yang ditanggung korban dan masyarakat korban. Keadilan restoratif berbeda dari keadilan retributif dalam pandangannya tentang kejahatan sebagai lebih dari sekedar pelanggaran hukum karena fungsi yang paling penting dari keadilan adalah untuk memastikan bahwa bahaya ini diperbaiki.36

Gordon Bazemore menyatakan bahwa wawasan terpenting dari pendekatan restoratif adalah bahwa praktek, program, dan proses yang terbaik adalah memenuhi kebutuhan korban dan pelaku. Oleh karena itu keadilan restoratif memiliki potensi untuk meningkatkan status program reparatif. Keadilan restoratif dan ‚keseimbangan‛ adalah sebuah model intervensi untuk menempatkan korban dalam misi direstrukturisasi.37

Ted Gordon Lewis menunjukkan bahwa inti dari filosofi restoratif adalah cara di mana masyarakat, korban, dan pelaku harus mendapat perhatian yang seimbang dalam menanggapi setiap kejahatan. Dibutuhkan peran aktif dan kerjasama yang nyata antara

35 John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation,

(Oxford: University Press, 2002).

36 OJJDP (Office of Juvenile Justiceand Deliquency Prevention),‚Balanced

and Restorative Justice for Juveniles A Framework for Juvenile Justice in the 21st Century‛, Balanced and Restorative Justice Project University of Minnesota, August, 1997. (Shay Bilchik as the Administrator Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention.)

37Gordon Bazemore, ‚Crime Victims and Restorative Justice in Juvenile

Courts: Judges as Obstacle or Leader?‛, Western Criminology Review, 1998, http://wcr.sonoma.edu/v1n1/bazemore.html.

(36)

para penegak hukum, LSM dan masyarakat dalam mengatasi permasalahan dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.38

Van Ness menyatakan bahwa pelaku dan korban yang berpartisipasi melalui pendekatan keadilan restoratif dalam menyelesaikan permasalahan tindak pidananya cenderung lebih tinggi tingkat kepuasannya dibandingkan dengan diselesaikan melalui proses pengadilan. Hal ini disebabkan karena pelaku, korban dan masyarakat berpartisipasi bersama-sama secara aktif dalam penyelesaian masalah-masalah yang timbul dari suatu kejahatan untuk mencapai hasil yang restoratif.39

Menurut Darrell James Fox, dibutuhkan pendekatan yang lebih untuk mengatasi kebutuhan anak-anak meliputi baik hukum dan kesejahteraan. Konsep restorative justice membuktikan bahwa antara korban dan pelaku mencapai tingkat kepuasan yang baik, tingkat kepatuhan yang tinggi dan pengurangan tingkat kenakalan.40

Penelitian Jeff Latimer, Craig Dowden and Danielle Muise menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pendekatan tradisional nonrestorative, keadilan restorative ditemukan lebih berhasil dalam mencapai tujuan. Program keadilan restoratif adalah metode yang lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan pelaku dengan restitusi, dan mengurangi residivisme pelanggar.41

Hadi Supeno menyatakan bahwa model keadilan restorative lebih pada upaya pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Kajian ini lebih menekankan pada aspek perlindungan pidana anak yang dinyatakan dalam tulisannya bahwa sudah saatnya menghentikan

38Sejak didirikan pada tahun 1999, Barron County Restorative Justice

Programs (BCRJP), dalam kemitraan dengan pemerintah berbasis lembaga di Barron County, Wisconsin, telah menunjukkan manfaat yang lebih besar mengintegrasikan layanan berbasis masyarakat dengan sistem peradilan anak, BCRJP telah menghasilkan sejumlah manfaat, antara lain: kejahatan dan residivisme telah menurun, Ted Gordon Lewis, ‚A Partnership Model for Balancing Community and Government Resources for Juvenile Justice Service‛, Journal of Juvenile Justice, Vol 1 Issue 1, Fall 2011.

39Daniel W. Van Ness, ‚An Overview of Restorative Justice Around the

World‛, International Journal Workshop Enhancing Criminal Justice Reform Including Restorative Justice (Bangkok. Thailand, 22 April 2005).

40Darrell James Fox, ‚Restorative Justice The Current Use of Family Group

Conferencing in the British Youth Justice System‛, IUC Journal of Social Work Theory and Practice, issues 10, 2004/2005.

41Jeff Latimer, Craig Dowden and Danielle Muise, ‚The Effectiveness of

(37)

kriminalisasi anak dengan cara membangun sistem peradilan anak dengan semangat melindungi dan bukan mengadili.42

Marlina memaparkan tentang peradilan pidana anak di Indonesia dengan menawarkan konsep diversi dan restorative justice yang merupakan proses penyelesaian perkara di luar sistem peradilan untuk mencapai kesepakatan dan penyelesaian dengan mengutamakan perbaikan, perdamaian, pemulihan dan perlindungan.43

Mutaz M. Qafisheh menjelaskan bahwa keadilan restorative bukanlah suatu hal yang baru dalam sistem peradilan pidana Islam. Dalam hal ini ditemukan bahwa hukum Islam dianut hampir semua berbentuk mekanisme restoratif, seperti adanya kompensasi, konsiliasi dan pengampunan. Hal ini membuktikan bahwa hukuman yang berat dianggap sebagai pencegahan bukan dianggap sebagai hukuman yang sebenarnya untuk pelaksanaan.44

Nawal H. Ammar menyatakan bahwa pemberiaan maaf dan peringanan hukuman terhadap pelaku tindak pidana dengan pengampunan dari pihak korban serta penyesalan dari pelaku menghapuskan hukuman berat bagi pelaku. Pemaafan dan perdamaian merupakan konsep restorative justice dalam Islam yang paling cocok untuk mengubah keadilan dalam sistem peradilan pidana dari retributive menjadi restorative.45

Penelitian ini menolak pendapat Alf Ross dan John Rawls yang menyatakan bahwa hukuman ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang melakukan kejahatan. 46 Dalam pemberian hukuman, orang yang melakukan kejahatan harus menderita/ mendapatkan hukuman sebanding dengan apa yang dia lakukan dan beratnya hukuman yang diberikan harus sesuai dengan perbuatannya.47

42Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan

Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010).

43Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Pengembangan Konsep

Diversi dan Restorative Justice (Bandung: PT Refika Aditama, 2009).

44Mutaz M. Qafisheh, ‚Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A

Contribution to the Global System‛, International Journal of Criminal Justice Sciences Vol 7 Issue 1 January – June 2012.

45Nawal H. Ammar, ‚Restorative Justice in Islam: Theory and Practice ‚,

The spiritual Roots of Restorative justice, edited by Michael L. Hadley (Albany: State University of New York Press, 2001).

46 Alf Ross, On Guilty, Responsibility and Punishment, Steven and Sons

Ltd., London, 1975.

47 Richard A. Posner, Retribution and Related Concepts of Punishment, The

(38)

Penelitian ini juga menolak pendapat Kathleen Daly yang menyatakan bahwa hukuman diperlukan untuk membela korban agar pelaku bertekad menebus kesalahan dengan menjatuhkannya hukuman. Daly mengemukakan bahwa hukuman merupakan pengenaan penderitaan kepada pelaku. Daly juga menambahkan bahwa keadilan restoratif terlalu banyak memberikan janji kepada masyarakat.48

Dari berbagai penelitian tersebut diatas, peneliti belum menemukan penelitian yang berkaitan tentang kebijakan dan implementasi restorative justice terhadap pelaku pidana anak Indonesia dalam perspektif Hukum Islam.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian lapangan (field research) dan juga dilengkapi dengan penelitian kepustakaan (library research). Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang mempunyai tipe yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dalam penyajian datanya. Peneliti mencoba menggambarkan dan menganalisa data mulai dari tahap pengumpulan, penyusunan data kemudian dianalisis dan diinterpretasi terhadap data tersebut.49

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka, wawancara, dan observasi sesuai dengan jenis-jenis sumber data yang diperlukan. Metode pengumpulan data primer dengan metode wawancara dan juga dengan cara membandingkan beberapa pendapat tentang teori hukuman restorative justice dalam sistem peradilan pidana, dikaji dengan melakukan kritik konstruktif kemudian ditinjau dari perspektif hukum Islam. Penulis juga mengungkap keterkaitan sistem restorative justice yang berlaku di Indonesia terhadap pelaku pidana anak berdasarkan

48Kathleen Dally, ‚Restorative Justice: The Real Story‛, School of

Criminology and Criminal Justice, Griffith University, Brisbane, Queensland,

Australia (Version Revised, 12 July 2001)

http://www.griffith.edu.au/__data/assets/pdf_file/0011/50321/kdpaper12.pdf.

49Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito,

(39)

undangan yang berlaku lalu dianalisa latar belakang teori hukuman dari sistem peradilan tersebut. Dalam hal ini penulis menganalisa pendapat aparat penegak hukum tentang sistem restorative justice pada peradilan anak lalu dibandingkan dengan teori hukuman perspektif hukum Islam. Adapun studi pustaka dilakukan terhadap data sekunder yang diperoleh dengan mempelajari peraturan perundang undangan, literatur, hasil penelitian serta dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan obyek penelitian.50

2. Sumber Data dan Metode Analisis Data a. Sumber Data

1) Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi dengan instansi hukum terkait yang menangani perkara tindak pidana anak seperti Kepolisian, Petugas Peneliti Kemasyarakatan (Bapas) dan Hakim Anak. Selain menggunakan data primer, penelitian ini juga menggunakan bahan hukum primer yang terdiri dari: KUHP (Kitab undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU RI No 3 Th.1997), Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU RI No 11 Th.2012) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (No 23 Th. 2002).

2) Data Sekunder data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang membahas tentang hukum pidana anak serta jurnal-jurnal ilmiah.

b. Metode Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian kualitatif maka data yang diperoleh dari usulan penelitian tersebut akan disajikan secara deskriptif dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis kasus per-kasus dengan pendekatan undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak dan peradilan anak kemudian dijelaskan dalam perspektif hukum Islam sehingga menghasilkan laporan penelitian

50Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna

yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan hukum. Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum Islam- Hukum Barat) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 77.

(40)

yang bersifat deskriptif analitis.51 Semua teknis analisis data kualitatif berkaitan erat dengan metode pengumpulan data yaitu observasi dan wawancara ataupun focus group discussion.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I : Bab pertama adalah bab Pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, penelitian terdahulu yang relevan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II : Bab ini membahas tentang definisi anak dan anak yang berkonflik dengan hukum serta wacana konsep retributive versus restorative justice dan konsep ta‘zi>r dalam menetapkan putusan hukuman yang diberikan kepada pelaku anak yang melakukan tindak kriminal, variasi penerapan restorative justice, perkembangan dan pelaksanaan restorative justice di Indonesia, serta membahas tentang pemberian hukuman ta‘zi>r terhadap pelaku tindak pidana dalam hukum Islam.

Bab III: Bab ini berisi arah kebijakan restorative justice untuk anak yang terpidana sesuai dengan hukum positif di Indonesia, serta menjelaskan sistem restorative justice sebagai penanggulangan tindak kejahatan pidana atas anak dan dijelaskan tentang efektivitas implementasi restorative justice atas pelaku tindak kriminal anak dalam perubahan sikap mental, prilaku dan menjauhi pengulangan tindak kriminal. Dalam bab ini juga dijelaskan hambatan dan kendala dalam menerapkan konsep restorative justice, dan juga dijelaskan tentang konsep restorative justice dan ta‘zi>r sebagai praktek keadilan dalam hukum pidana.

Bab IV:Bab ini menguraikan tentang kasus-kasus yang termasuk kedalam pidana anak, dianalisa dan dijelaskan bagaimana kasus tersebut dapat diselesaikan dengan konsep restorative justice menurut hukum positif di Indonesia dan menurut hukum Islam.

51Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif untuk

menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 107.

(41)

Bab V : Dalam bab ini berisi suatu kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan dan tujuan penelitian pada bab-bab sebelumnya, serta saran-saran atau rekomendasi-rekomendasi terkait dengan judul penelitian.

(42)
(43)

BAB II

TEORI RETRIBUTIVE JUSTICE, RESTORATIVE JUSTICE DAN TA‘ZI>R DALAM SISTEM HUKUM PIDANA ANAK

Dunia hukum dalam beberapa tahun ini telah mengalami reformasi cara pandang dalam penanganan anak yang melakukan kenakalan dan perbuatan melanggar hukum. Banyak negara yang mulai meninggalkan mekanisme peradilan anak yang bersifat retributif. Hal ini disebabkan oleh kegagalan sistem tersebut untuk memperbaiki tingkah laku dan mengurangi tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Pakar hukum dan pembuat kebijakan mulai memikirkan alternatif solusi yang lebih tepat dalam penanganan anak dengan memberikan perhatian lebih untuk melibatkan mereka secara langsung (reintegrasi dan rehabilitasi). Dalam bab ini dijelaskan tentang definisi anak, anak yang berkonflik dengan hukum dan juga dijelaskan konsep retributif dalam hukum pidana positif, restoratif menurut hukum pidana positif dan Islam serta pemberian hukuman ta’zi>r terhadap pelaku tindak pidana dalam hukum Islam.

A. Definisi Anak dan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) 1. Anak menurut Undang-Undang di Indonesia

Anak dalam konteks perundang-undangan di Indonesia mempunyai batasan umur yang berbeda-beda. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak (KHA) menetapkan anak adalah orang yang berada di bawah umur 18 tahun termasuk anak dalam kandungan juga yang sudah menikah.1

Dalam hukum Perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.2 Menurut UU No 3 tahun

1Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak

Pasal 1. Lihat juga Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak- Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 40.

2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor

Indonesie) Bab XV Pasal 330 dinyatakan ‚Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.‛

Menurut konsep hukum Perdata Pendewasaan ada 2 macam, yaitu: pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu

(44)

1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak nakal adalah yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini juga sudah mengalami reformasi menjadi Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dengan demikian, MK memutuskan bahwa batas terendah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Umur 12 tahun lebih

(terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).

Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa, tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.

Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Dalam UU perkawinan No. 1 tahun 1974, diatur tentang batasan umur seorang anak diantaranya: izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2), umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).

Gambar

Tabel  di  bawah  ini  adalah  beberapa  data  tentang  putusan  diskresi  kepolisian  terhadap  anak  yang  berhadapan  dengan  hukum  dengan  bantuan  pengawasan  dan  pengayoman  dari  Bapas  terhadap  anak  pelaku  tindak  pidana  dengan  menggunakan

Referensi

Dokumen terkait

The main objectives of the research are to know whether: (1) internet materials are more effective than textbook ones in teaching writing for the fourth semester students

Direktif Sangat baik nilai oleh responden sebanyak 15 orang atau 50 % Konsulatif Sangat baik 46,47, Partisipatif Sangat baik 50, Delegatif di nilai Sangat baik

Rekapitulasi Nilai Perdagangan Saham Berdasarkan Tipe Investor

Carding adalah pembobolan kartu kredit ataupun digital kredit dan digunakan untuk membeli dengan menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang lain yang dapat

Uji yang dilakukan di labotatorium adalah uji Mekanika Tanah dengan mengambil sampel tanah di lokasi saluran, uji yang dilakukan adalah uji sifat fisik tanah dan uji kuat

(1) Kesimpulan dari pengujian-pengujian yang telah dilakukan dalam penelitian tersebut untuk pengujian pertama bahwa pada periode 2001-2003, fenomena day of the week

Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi fokus penelitian dalam skripsi ini adalah Strategi Guru pendidikan Agama Islam mengatasi Perilaku

Dengan memahami isi MSDS, perusahaan akan mendapatkan manfaat tentang bagaimana cara yang aman untuk penanganan bahan, dan dapat melakukan tindakan untuk menghindari kecelakaan