• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Implementasi Restorative Justice dalam perubahan sikap mental, prilaku, dan menjauhi tindak kiriminal terhadap anak

Konsep pemidanaan berdasarkan restorative justice merupakan konsep pemasyarakatan yang dikaitkan dengan konsep hukum ‚pengayoman‛. Menurut Sahardjo penjatuhan pidana hendaknya memperhatikan tujuan yang bersifat mendidik dan tidak hanya diarahkan agar mereka bertaubat semata khususnya tindak kejahatan dimana ‚kerusakan‛ yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut masih bisa di restorasi.6

Hal diatas sejalan dengan penelitian T. Caputo dan M. Vallee. Penelitian ini menyatakan bahwa orang-orang yang bekerja sama dengan anak-anak dan remaja dalam mencegah kejahatan mereka dengan mengembangkan alternatif berbasis masyarakat menyadari bahwa mereka harus dipahami secara holistik, sehingga upaya penegakan hukum yang sedang berlangsung diusahakan untuk memberikan hukuman dimaksudkan atas dasar pendidikan dan bukan pembalasan.7

5Hasil Wawancara Pribadi dengan Bpk Sumantri, SH bagian penanganan permasalahan anak dan perempuan POLRESTA CIKARANG dan AKP Tri Mutri Rahayu bagian penanganan permasalahan anak dan perempuan di KAPOLRES Bekasi pada Maret 2013.

6 Heru Susetyo, ‚Laporan Tim Pengkajian Hukum Tentang Sistem Pembinaan Narapidana Berdasarkan Prinsip Restorative Justice‛, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, (2012), 15, http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj_2012_-_7.pdf (Di akses pada 20 Desember 2013).

7Tullio Caputo and Michel Vallee, ‚A Comparative Analysis of Youth Justice Approaches‛ (Centre for Initiatives on Children, Youth and Community

Menurut Ketua MA M. Hatta Ali penerapan restorative justice harus dilakukan sejak tahap penyidikan sampai pelaksanaan putusan pengadilan sehingga substansi hukum harus mampu memberikan peluang penerapan penyelesaian yang mengandung keadilan restoratif baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pelaksanaan putusan.8 Penyidik dan Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai andil besar untuk mendamaikan kedua belah pihak (pelaku dan korban) dengan melakukan pendekatan keadilan restoratif sehingga proses penyidikan bisa dihentikan dan tidak dilanjutkan ke persidangan. Bagi anak sistem peradilan merupakan suatu keadaan yang menakutkan. Proses peradilan merupakan proses yang tidak dikenal dan tidak biasa bagi anak sehingga proses peradilan menimbulkan stress dan trauma pada anak.9

Dari sisi anak (pelaku), upaya restorative justice ini dinilai lebih positif karena mereka merasa dilindungi dan dihargai. Melalui penyuluhan dan bimbingan yang intensif dan hati-hati dari Bapas, anak-anak pelaku kejahatan ini menyadari serta menerima diri mereka sebagai pihak yang bersalah, untuk kemudian tidak mengulangi kejahatan di kemudian hari. Tentu saja ini berbeda ketika yang diberlakukan adalah upaya retributive justice. Upaya ini dianggap si pelaku –yang pada kasus-kasus tertentu juga menjadi korban—sebagai bentuk hukuman semata. Kalaupun dalam penjara mereka mendapat bimbingan, tetap saja bimbingan tersebut berada dalam lingkup hukuman.

Bapas selalu berusaha untuk membimbing klien anak dengan cara memotivasi dan memberikan arahan yang bijak dan baik dengan pendekatan agama, pendidikan budi pekerti, pendidikan formal ataupun pendidikan keterampilan kerja agar anak pelaku tindak pidana dapat merubah prilaku dan kebiasaannya yang buruk untuk menjadi lebih baik. Hal ini dimaksudkan agar anak dapat memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta dapat bersikap optimis akan masa depannya serta mampu berintegrasi dengan baik di

http://www.children.gov.on.ca/htdocs/English/topics/youthandthelaw/roots/volume4/ comparative_analysis.aspx (Accessed January 9, 2013).

8 https://www.mahkamahagung.go.id/rnews.asp?bid=3842 Implementasi Paradigma Restorative Justicedalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. (Diakses pada 08 Februari 2014).

9Hasil Wawancara Pribadi dengan AKP Tri Mutri Rahayu bagian penanganan permasalahan anak dan perempuan di KAPOLRES Bekasi pada 01 Maret 2013.

masyarakat. Pendekatan restoratif dipandang sebagai alat yang berharga dalam membantu anak-anak untuk memikirkan dan mengambil tanggung jawab untuk merubah perilaku mereka.

Perubahan mental dan prilaku yang dialami oleh anak pelaku tindak pidana dapat dilihat dari tidak adanya pengulangan kesalahan atau tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berakibat buruk kepada orang lain dan dirinya sendiri. Pada saat anak diberi putusan untuk dikembalikan kepada orang tua, anak tetap berada dibawah pengawasan Bapas, meskipun ada beberapa anak yang sudah dilakukan diversi dan mengulangi kesalahannya, hal ini disebabkan karena kurangnya pengawasan orang tua dan kembalinya anak ke pergaulan yang salah.10

Tabel di bawah ini adalah beberapa data tentang putusan diskresi kepolisian terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dengan bantuan pengawasan dan pengayoman dari Bapas terhadap anak pelaku tindak pidana dengan menggunakan konsep diversi dan pendekatan keadilan restoratif.

Tabel 1. Pemberian Diskresi oleh Kepolisian Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak (Bapas Bogor Th 2011-2013)

Undang-Undang 2011 2012 2013

Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 Th 2002 (Pasal 80-81)

4 4 7

Pasal 363 (Pencurian) 3 2 7

Pasal 351 (Penganiayaan) 2 3 1

Pasal 378 (Perbuatan Curang) - - 2

Pasal 480 (Pemudahan) - - 1

Pasal 359 (Menyebabkan Mati atau

Luka-luka karena Kealpaan) - - 1

Pasal 365 (Perampokan) - 2 -

Undang-Undang Darurat No 12 Th 1951 (Kepemilikan Senjata Tajam)

- 5 2

JUMLAH 9 16 21

10Hasil Wawancara Pribadi dengan Ibu Heidy Manurung, S.Pd bagian Badan Klien Anak (BKA) di Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Kelas II Bogor pada 02 September 2013.

Data di atas menunjukkan bahwa wacana mengenai keadilan restoratif diantara aparat penegak hukum semakin meningkat. Beberapa kebaikan dari sistem restorative justice diantaranya: bagi korban konsep ini lebih mampu memberi atau memenuhi lebih baik kebutuhan dan rasa puas dibandingkan dengan proses peradilan pidana biasa; bagi pelaku konsep ini memberi kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat daripada terus menerus dicaci; sedangkan bagi masyarakat menjadikan pelaku tidak berbahaya lagi.

Dalam konsep restorative justice system ada dua segi tindakan yang dapat dilakukan yaitu:

a) segi represif : dengan diterapkannya konsep restorative justice system, maka yang diutamakan adalah kepentingan pelaku, korban dan masyarakat. Tindakan represif yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah diberikannya fasilitas bagi pelaku untuk direhabilitasi, diberikannya kompensasi bagi korban sebagai permohonan maaf dari pelaku dan dijaminnya keamanan bagi masyarakat sendiri; b) segi preventif : dalam pelaksanaan atau praktek konsep restorative

justice system ini mengupayakan agar si pelaku dan korban saling bertemu di hadapan anggota masyarakat yang lain. Pelaku diharuskan untuk meminta maaf kepada korban dan masyarakat setempat. Setelah adanya kesepakatan dari anggota masyarakat maka dapat ditentukan hukuman untuk pelaku yang sesuai dengan perbuatannya. Hukuman terhadap pelaku dapat berupa rehabilitasi, atau kompensasi yaitu pelaku diwajibkan untuk membayar kerugian si korban, sehingga keseimbangan masyarakat pun tetap terjaga.

Dengan dihadapkannya si pelaku kepada masyarakat, pada prinsipnya konsep restorative justice system mempunyai tujuan agar si pelaku merasa malu untuk melakukan perbuatan kejahatan lagi, dan untuk anggota masyarakat pun otomatis akan merasa malu dalam melakukan kejahatan serupa.11 Dalam hal ini pendekatan restorative justice membawa partisipasi antara pelaku, korban dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana.

11Lihat Nuryana Sumekar ‚Restorative Justice System Sebagai Alternatif Penegakan Hukum Di Indonesia Dikaitkan Dengan UU No 3 Th 1997 Tentang Pengadilan Anak‛, Laporan Penelitian Universitas Padjajaran Bandung (2010).

C. Hambatan dan Kendala dalam menerapkan konsep Restorative