• Tidak ada hasil yang ditemukan

Arah Kebijakan Restorative Justice sebagai Penanggulangan Kejahatan

Masalah perlindungan anak yang semakin mendapat perhatian publik menjadikan Indonesia sangat aktif dalam mempromosikan realisasi hak-hak anak dan perlindungan anak. Tonggak kebijakan perlindungan anak merupakan upaya untuk meningkatkan perkembangan, perlindungan, keselamatan dan kesejahteraan anak-anak, serta penetapan sasaran yang jelas dalam mengurangi kekerasan, dan eksploitasi terhadap anak-anak.1

1Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) 2008 tentang program kolaborasi antara UNICEF dan Pemerintah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Indonesia (RPJMN) 2010-2014 menggarisbawahi beberapa masalah yang mengkhawatirkan. Hampir setengah (44 persen) dari anak-anak Indonesia yang berusia antara 13 sampai 18 tahun tidak bersekolah. Sebagian anak-anak (22 persen) yang lulus Sekolah Dasar, tidak melanjutkan ke Sekolah Menegah Pertama. Sekitar tiga juta anak terlibat dalam sektor pekerjaan berbahaya. Antara 80.000 hingga 100.000 perempuan dan anak di Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual atau diperdagangkan untuk tujuan tersebut setiap tahun. Sekitar 30 persen perempuan korban eksploitasi seksual yang bekerja sebagai pekerja seks merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun, bahkanditemukan yang semuda 10 tahun.Sekitar 12 persen anak perempuan Indonesia dipaksa menikah pada usia 15 tahun atau di bawahnya. RPJMN juga menyoroti angka hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan (KPP) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 yang memperkirakan bahwa minimal ada 3 juta perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan setiap tahun. Sedangkan

Banyak teori ditawarkan dalam upaya memahami sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan anak. Salah satu teori yang mengetengahkan sebab-sebab terjadinya perilaku kenakalan anak adalah Teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi. Hirschi melandaskan pada pertanyaan berbeda dalam mengetengahkan penjelasan mengapa anak-anak terlibat kenakalan. Pakar kriminologi anak pada lazimnya bertanya ‚mengapa seorang anak melakukan kejahatan?‛, sementara Hirschi berangkat dari pertanyaan dasar ‚mengapa seorang anak patuh norma‛. Pijakan dasar bukan pada perilaku penyimpangan anak melainkan pada kepatuhan anak pada norma. Hirschi menyimpulkan ‚semakin anak terikat dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya terlibat kenakalan, sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya lemah maka anak akan bebas melakukan kenakalan‛.

Menurut Paulus Hadisuprapto bila pintu masuk seorang anak melakukan kejahatan adalah lemah atau terputusnya ikatan sosial anak maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh norma (melakukan kenakalan). Bila hal ini ditanggapi secara tidak proposional maka besar kemungkinan anak akan mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masa datang. Hal inilah yang rasanya perlu diperhatikan dan memperoleh perhatian sebagai salah satu upaya perlindungan hukum anak-anak yang bermasalah dengan hukum.2

Dalam hal ini perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana sama pentingnya dengan perlindungan anak sebagai korban. Perbuatan anak yang melanggar hukum sekiranya dapat dipertimbangkan dan diperhatikan rasa keadilannya yang berpedoman pada hak-hak asasi manusia terutama pada anak-anak. Hal ini sangat penting untuk memberikan gambaran terhadap peradilan pidana anak yang harus

data yang dikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20.000 perempuan dan anak korban kekerasan yang menerima bantuan medis, hukum dan sosial yang layak. Santi Kusumaningrum, dkk, ‚Membangun Sistem Perlindungan Sosial untuk Anak di Indonesia‛, Pusat Kajian Perlindungan Anak (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI bekerjasama dengan Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia Bank Dunia), 2011, 4.

2Paulus Hadisuprapto, ‚Peradilan Restoratif: Model Alternatif Perlindungan Hukum Anak Dalam Perspektif Hukum Nasional dan Internasional‛ di dalam Hukum Pidana dalam Perspektif Editor Agustinus Pohan, Topo Santoso, Martin Moerings (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), 255, http://media.leidenuniv.nl/legacy/hukum-pidana-criminal-law.pdf (Diakses pada 17 Februari 2014).

menggunakan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dan asas diversi.3

Menurut Dewi dan Syukur prinsip dalam keadilan restoratif yaitu:

1) membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban dan masyarakat sebagai ‚stakeholders‛ yang bekerja bersama dan berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution);

2) mendorong pelaku/ anak bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang telah menimbulkan kerugian pada korban dan membangun tanggung jawab untuk tidak mengulangi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya;

3) menempatkan peristiwa atau tindak pidana bukan sebagai pelanggaran antar indvidu, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang);

4) mendorong untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara yang lebih informal dan personal daripada penyelesaian dengan cara formal di pengadilan dan inpersonal.4

Perbedaan mendasar restorative justice dengan peradilan menurut hukum acara KUHAPidana antara lain terlihat pada matrik dibawah ini5:

3Keadilan Restoratif adalah konsep pidana yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dibandingkan memilih untuk menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Asas diversi lebih mengupayakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak harus selalu dibawa ke proses pemidanaan secara formal dan penyelesaiannya dapat ditempuh di luar pengadilan dengan asas kekeluargaan. Kompasiana, ‚RUU Peradilan Pidana Anak Lebih Manusiawi Bukan Upaya Meringankan Hukuman‛, http://hukum.kompasiana.com/2012/07/02/ruu-peradilan-pidana-anak-lebih-manusiawi-bukan-upaya-meringankan-hukuman/, terbit online 02 Juli 2012 (diakses pada 21 November 2013).

4DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia (Depok: Indie Publishing, 2011), 32.

5Kuat Puji Prayitno, ‚Restorative Justice Untuk Peradilan di Indonesia‛, Jurnal Dinamika Hukum Vol 12 No 3 (September 2012), 416, http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH2012/JDHSeptember201 2/3.pdf. (Diakses pada 22 Februari 2014).

Matrik 3. Perbedaan KUHAP dan Restorative Justice

No KUHAP Restorative Justice

1 Mendasarkan pada kejahatan yang dilakukan;

Menunujuk pada kekeliruan yang disebabkan karena pelanggaran; 2 Menempatkan korban dalam

kedudukan yang sentral; Menempatkan korban pada posisi yang sekunder; 3 Tujuannya berpusat pada

gagasan bagaimana

menghukum yang bersalah dengan adil;

Dasar tujuannya memberi

kepuasan yang dialami para pihak yang terlibat dalam pelanggaran; 4 Retributive justice System; Restorative Justice System; 5 Result in prison for the

accused; Dialogue, Negotiation and Resolution; 6 Ditentukan oleh professional

hukum.

Ditentukan oleh para pihak

dalam conferencing/

musyawarah.

1. Dasar Hukum perundang-undangan yang mengatur Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH)

Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai tatanan pemidanaan terhadap anak, namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak dari asas dan sistem pemenjaraan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan disertai dengan lembaga ‚rumah penjara‛ secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial.

Untuk melaksanakan peradilan pidana anak yang didasarkan pada konsep keadilan restoratif ada beberapa dasar hukum dan kebijakan penegak hukum yang digunakan sebagai pedoman untuk menindak pelaku anak. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang Anak Berhadapan dengan Hukum diantaranya diatur pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 B ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam Pasal 28H ayat 2 dinyatakan bahwa setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.6

Ketika seorang anak melakukan tindakan pidana, ada beberapa kewajiban yang harus diperhatikan demi kesejahteraan anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak. Usaha kesejahteraan anak harus dilakukan oleh Pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan kesejahteraan ini dilaksanakan baik di dalam panti maupun di luar panti. Dalam hal ini pemerintah (para penegak hukum) wajib mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat.7 Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang Kemasyarakatan menyatakan bahwa Sistem Pemasyarakatan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan menghindari pengulangan tindak pidana sehingga dapat diterima kembali di masyarakat.8

Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 Pasal 16, 17, 18 tentang Perlindungan hukum bagi anak yang didasari oleh empat prinsip utama yaitu non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang serta partisipasi anak. Perlindungan bagi anak ini dimaksudkan agar anak terhindar dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat anak.9

6Lihat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 perubahan kedua Bab XA Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (2).

7Lihat Undang-Undang No 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Bab IV Usaha Kesejahteraan Anak Pasal 11.

8Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Kemasyarakatan.

9 Dalam Pasal 16 dinyatakan bahwa ‚(1) setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (2) setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (3) penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Isi Pasal 17 adalah ‚ (1) setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum; (2) setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Undang-undang tentang Peradilan Anak No 3 Tahun 1997 masih menganut pendekatan penghukuman (retributive) dan belum sepenuhnya menganut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Dalam UU ini belum sepenuhnya bertujuan untuk memberikan perlindungan secara khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam pelaksanaan UU ini, anak diposisikan sebagai objek dan perlakuan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan anak. UU No 3 Th 1997 ini sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Oleh karena itu perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga Negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Penyusunan Undang-Undang No 11 Tahun 2011 ini merupakan penggantian terhadap UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.10

Dalam Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Anak yang baru No 11 Tahun 2012 dinyatakan bahwa dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun harus diajukan ke sidang pengadilan anak.11 Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan dalam undang-undang. Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai

Isi Pasal 18 menyatakan bahwa ‚ Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

10 Penjelasan atas Undang-Undang RI No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, http://ngada.org/uu11-2012pjl.htm (Diakses pada 19 Februari 2014).

11Bab 3 Pasal 20 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sesuai dengan asas praduga tidak bersalah, seorang anak yang sedang dalam proses peradilan tetap dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Anak yang sudah kawin dan belum berumur 18 tahun tetap diberikan hak dan kewajiban keperdataan sebagai orang dewasa.

tindakan.12 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi anak dan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan hakim untuk tidak menjatuhkan pidana. Tindakan terhadap pelaku anak harus didasarkan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.13

Dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. 14 Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif.15

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, ketika menangani perkara anak -anak korban dan anak saksi- aparat penegak hukum seperti lembaga pemasyarakatan, penyidik, penuntut umum, hakim, advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terjaga dan terpelihara. Hal ini sejalan dengan

12Bab 5 Pasal 69 ayat 1 dan 2 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan catatan hukumonline, dalam pembahasan UU Sistem Peradilan Anak ini terungkap adanya usulan dari PBB, melalui lembaga Unicef, untuk menaikkan tanggung jawab pidana ke usia 14 hingga 18 tahun. Dalam hal ini pemerintah dan DPR bergeming dengan tetap memasukkan usia 12 hingga 18 tahun ke dalam undang-undang. Akhirnya, sebagai jalan tengah, dimasukkan Pasal 69 ayat (2) ke undang-undang ini.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt522dd6efdb3fa/pakar--tanggung-jawab-pidana-tak-bisa-dialihkan terbit online 9 September 2013, (diakses pada 26 September 2013).

13 Lihat Undang-Undang No 11 Tahun 2012 Bab 5 Pasal 70 Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

14Pasal 81 ayat 5 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

15 Pasal 5 ayat 1 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penyelesaian perkara terhadap Anak yang Berhadapan Hukum (ABH) dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif sejalan dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan/Hukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) yang menyatakan bahwa untuk memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia diperlukan langkah-langkah yang mencakup perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain untuk mencegah segala bentuk tindak penyiksaan baik jasmaniah maupun rohaniah.

Rancangan Undang-Undang KUHPidana Pasal 54 bahwa pemidanaan bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, membina pelaku tindak pidana, menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan di masyarakat, membebaskan rasa bersalah pada terpidana, memaafkan terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendakan martabat manusia.16

Dalam RUU KUHPidana juga dijelaskan tentang pedoman pemidanaan. Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat, motif dan tujuan melakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana, riwayat hidup dan keadaan sosial pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku, ` pengaruh tindak pidana terhadap korban, pemaafan dari korban / keluarganya serta pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.17

16Lihat RUU KUHPidana 2013 Bab 3 Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Pasal 54 Tujuam Pemidanaan. Lihat Juga Apong Herlina ‚Mengakomodir Hak Anak Dalam KUHP‛, Lembaga Advokasi dan Pemberdayaan Anak (Aliansi Nasional Reformasi KUHP).

17

Bagan 1: Sistem Peradilan Pidana Anak Sesuai dengan UU No 11 Tahun 2012

Anak yang Berkonflik dengan Hukum: adalah Anak yang berusia 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

Penyidik (Kepolisian) – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)

Penuntut Umum – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)

Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang berusia di bawah 12 tahun diserahkan kembali kepada orang tua/ wali/ orang tua asuh atau

mengikutsertakan dalam program pendidikan, pembinaan selama 6 bulan

Pengadilan Pidana Anak – BAPAS (Balai Pemasyarakatan)

Terhadap Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan : -diserahkan kembali kepada orang tua/ wali/ -

-Perawatan di rumah sakit jiwa

-Perawatan di LPKS (Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial) -Kewajiban mengikuti pendidikan formal atau pelatihan yang diadakan pemerintah atau badan swasta

-Pencabutan surat izin mengemudi

-Perbaikan akibat tindak pidana

Terhadap Anak yang dikenakan sanksi pidana penjara/ kurungan di LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak):

-Apabila perbuatan anak membahayakan

masyarakat,

- Pidana penjara bagi anak ½ dari pidana dewasa

- Pembinaan di LPKA sampai anak berumur 18 tahun

Terhadap Anak yang dikenakan sanksi pidana bersyarat berupa denda atau pengawasan dapat kembali ke masyarakat.

Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja.

2. Penyelesaian Sengketa Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) Perlindungan anak dan akses keadilan bagi anak adalah bagian dari implementasi nilai-nilai hak asasi manusia.18 Pemenjaraan pada pelaku tindak pidana anak pada dasarnya tidak menyebabkan anak lebih baik. Di dalam penjara, anak memperoleh pengalaman dan pembelajaran kriminal lain, terlebih jika penghuni penjara anak lebih banyak penghuni orang dewasa. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan jika LP Anak didominasi napi dewasa dengan kasus narkoba.

Pemenjaraan yang bersifat retributif lebih menekankan anak menjadi jera jelaslah tidak akan merubah sikap dan perilaku anak ke arah yang lebih baik dan tidak menimbulkan kesadaran anak akan perilakunya. Oleh karenanya intervensi lembaga sosial (pemerintah maupun swasta) semakin dibutuhkan untuk membina sosial psikologis anak. Konsekuensinya Lembaga sosial yang ada di masyarakat perlu siap menangani anak berkonflik hukum.19

Consedine memaparkan beberapa fakta menarik tentang peradilan pidana yang menghukum pelaku dalam penjara. Salah satu fakta yang ada di dalam penjara dan secara umum berlaku di semua Negara kebanyakan adalah orang miskin dan lemah yang menghuni penjara.20 Hal ini juga telah diteliti di Indonesia, menurut Data

18Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak- Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, 116.

19Alit Kurniasari dkk, Studi Penanganan Anak Berkonflik Hukum (Hasil penelitian Puslitbang Kessos, Departemen Sosial RI, 2007), 118,

http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/48df6bda92fc77fb5c4407e88859dc5a.pdf (diakses pada & Oktober 2013).

20Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime (Lyttelton: Ploughshares Publication, 1995), 30-39. Dikutip dari DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia. 22-23.

Dan beberapa fakta lainnya yang diungkapkan oleh consedine diantaranya: - penjara menyebabkan kenaikan tingkat kriminalitas karena penjara adalah

tempat utama untuk belajar segala jenis kejahatan, tempat untuk merekrut orang baru juga untuk merencanakan suatu tindak pidana;

- penjara menyebabkan tahanan menjadi brutal, khususnya bagi tahanan dalam jangka panjang yang seluruh tanggung jawab pribadinya tercabut. Tahanan hanya menjalankan apa yang diperintah hingga kehilangan kendali terhadap hidup mereka sendiri;

- penjara merusak hubungan. Secara otomatis penjara memisahkan tahanan dengan keluarganya hingga tidak bisa menjalin hubungan baik. Penjara tidak

Pusdatin Depsos (tahun 2003) menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi anak melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana diantaranya faktor kemiskinan yang menempati urutan tertinggi yaitu 29,35%.21 Faktor kemiskinan menjadi penyebab utama kriminalitas juga dinyatakan oleh Makmur dalam kegiatan Sosialisai Anak Berhadapan Dengan Hukum di PSMP Todopuli Makassar. Menurut Makmur persoalan yang paling besar dalam mengatasi permasalahan sosial adalah permasalahan anak, dan juga persoalan kemiskinan. Faktor kemiskinan mendorong anak melakukan berbagai tindakan kriminalitas. Persoalan utama seseorang melakukan tindak pidana karena mereka butuh makan, uang dan kehidupan.22

Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, penyelesaian dengan cara mediasi merupakan pilihan terbaik dalam menyelesaikan perkara ABH dibandingkan dengan memasukkan anak ke dalam

hanya merusak hubungan tahanan dan keluarganya tapi juga merusak hubungan keluarga dengan masyarakat akibat stigma negatif karena mempunyai anggota keluarga sebagai tahanan;

- penjara adalah tempat maraknya narkoba dan obat terlarang. Banyak tahanan yang sebelumnya bersih jadi mengenal dan memakai narkoba ketika di penjara; - efek jera penjara adalah sebuah mitos. Banyak hakim beralasan ketika

menjatuhkan putusan penjara agar pelaku pidana jera atau kapok untuk mengulangi perbuatan melanggar hukum. Ancaman ini hanya mitos karena walaupun ancaman hukuman tindak pidana terus ditingkatkan, angka kriminalitas tetap naik;

- penjara menyebabkan biaya tinggi. Biaya penyelenggaraan kehidupan dan pemeliharaan gedung penjara adalah mahal. Begitu banyak biaya yang harus dikeluarkan namun sedikit sekali yang digunakan untuk rehabilitasi atau pendidikan para tahanan.

21 Faktor kemiskinan menduduki urutan tertinggi penyebab seseorang (dewasa/ anak) melakukan tindak pidana, disusul oleh faktor lingkungan 18,07%, salah didik sebesar 11,3%, keluarga tidak harmonis sebesar 8,9% dan minimnya pendidikan agama 7,28%. Dengan demikian penyebab faktor eksternal seperti kemiskinan dan faktor lingkungan yang buruk pada anak nakal sampai melakukan tindak kriminal lebih menonjol dibandingkan faktor disharmonis keluarga. Yanuar Farida Wismayanti, ‚Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum‛, Jurnal Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Informasi Vol 12 No 03 (2007), 42,

http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/94184bf44dcc60197750f862750921c1.pd f(Diakses pada 8 Oktober 2013).

22 Makmur, ‚Anak Perlu Mendapat Perlindungan- Kenali, Pahami dan Lindungi‛, Organisasi Hukum dan Humas (Kementerian Sosial: Rabu, 28 April 2010), http://rehsos.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=print&sid=743 (Diakses pada 9 Oktober 2013).

penjara. Mediator wajib melihat dan menganalisis semua aspek yang melingkupi perkara tersebut secara komprehensif, tidak sekedar fakta hukum yang terjadi. Mediasi juga sering dikenal dengan istilah Victim Offender Mediation (VOM) dan merupakan salah satu bentuk keadilan restoratif.23

Dalam perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Ide dan prinsip dalam mediasi antara lain24: