Anak dalam konteks perundang-undangan di Indonesia mempunyai batasan umur yang berbeda-beda. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Convention on the Right of the Child (CRC) atau Konvensi Hak Anak (KHA) menetapkan anak adalah orang yang berada di bawah umur 18 tahun termasuk anak dalam kandungan juga yang sudah menikah.1
Dalam hukum Perdata, ketentuan belum dewasa adalah belum berumur 21 tahun dan belum pernah kawin.2 Menurut UU No 3 tahun
1Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 Tentang Konvensi Hak-Hak Anak Pasal 1. Lihat juga Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak- Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), 40.
2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) Bab XV Pasal 330 dinyatakan ‚Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa.‛
Menurut konsep hukum Perdata Pendewasaan ada 2 macam, yaitu: pendewasaan penuh dan pendewasaan untuk beberapa perbuatan hukum tertentu
1997 tentang Pengadilan Anak dinyatakan bahwa anak nakal adalah yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah. UU No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ini juga sudah mengalami reformasi menjadi Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Menurut Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Dengan demikian, MK memutuskan bahwa batas terendah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Umur 12 tahun lebih
(terbatas). Keduanya harus memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Untuk pendewasaan penuh syaratnya telah berumur 20 tahun penuh. Sedangkan untuk pendewasaan terbatas syaratnya ialah sudah berumur 18 tahun penuh (pasal 421 dan 426 KUHPerdata).
Untuk pendewasaan penuh, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Presiden RI dilampiri dengan akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Presiden setelah mendengar pertimbangan Mahkamah Agung, memberikan keputusannya. Akibat hukum adanya pernyataan pendewasaan penuh ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa, tetapi bila ingin melangsungkan perkawinan ijin orang tua tetap diperlukan.
Untuk pendewasaan terbatas, prosedurnya ialah yang bersangkutan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang dilampiri akta kelahiran atau surat bukti lainnya. Pengadilan setelah mendengar keterangan orang tua atau wali yang bersangkutan, memberikan ketetapan pernyataan dewasa dalam perbuatan-perbuatan hukum tertentu saja sesuai dengan yang dimohonkan, misalnya perbuatan mengurus dan menjalankan perusahaan, membuat surat wasiat. Akibat hukum pernyataan dewasa terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Dalam UU perkawinan No. 1 tahun 1974, diatur tentang batasan umur seorang anak diantaranya: izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2), umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 2), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, berada didalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1), anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.3
Undang-Undang tentang sistem peradilan pidana anak yang baru disahkan dengan Nomor 11 tahun 2012 menyatakan bahwa ‚Anak yang Berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana‛.4 Dalam Undang-Undang ini juga dinyatakan bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan apabila anak telah berumur 14 tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 tahun atau lebih.5
Dalam Rancangan Undang-Undang KUHP juga diatur batasan seorang anak melakukan tindak pidana yaitu pada pasal 113. Dalam pasal ini diatur bahwa anak yang belum mencapai umur 12 tahun apabila melakukan tindak pidana maka tidak dapat dipertanggung jawabkan. Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 tahun dan 18 tahun yang melakukan tindak pidana.6
Istilah Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH)7 muncul dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung, Jaksa
3 Batas Usia Anak Dapat Dipidana Naik, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d669dccee142/batas-usia-anak-dapat-dipidana-naik, Terbit Online 25 Februari 2011 (Diakses pada 19 Oktober 2012).
4Ketentuan ini disahkan oleh Dewan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 3 Juli 2012 dan kemudian disahkan dan ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Juli 2012 dan dimasukkan dalam Lembar Negara Republik Indonesia No 153, 2012. Bab 1 Pasal 1 ayat 3.
5
Undang-Undang No 11 Th 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 32.
6Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab Keempat Pidana dan Tindakan Bagi Anak Pasal 113 ayat (1) dan (2).
7Bab 1 Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ‚Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Ketentuan ayat ini mengubah Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Bab 1 Pasal 1 ayat 2, yang menyatakan ‚Anak Nakal adalah: anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. - Bab 1 Pasal 1 ayat 3 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Agung, Kepala Kepolisian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tentang Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, yang ditandatangani pada tanggal 22 Desember 2009. Penggunaan istilah ini sesuai dengan semangat menerapkan keadilan restoratif yang melindungi hak dan kepentingan anak.8
Kelompok Kerja Akses Terhadap Keadilan Bappenas meyakini bahwa akses terhadap keadilan hanya dapat dicapai apabila inisiatif pemberdayaan hukum juga mengikutsertakan anak. Setiap anak harus diberikan pengetahuan dan pemahaman mengenai hak-haknya yang dilindungi hukum. Pemenuhan hak-hak anak juga harus didapatkan dari lingkungan sosialnya. Satu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap keadilan bagi anak justru sering datang dari masyarakat itu sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan aparat penegak hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan hukum.9
2. Anak menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam yang dimaksud dengan anak adalah yang belum mencapai dewasa (bulu>gh). Pengertian bulu>gh dapat ditentukan dengan tanda-tanda alami atau dengan umur. Ada beberapa perbedaan pendapat ulama tentang tanda-tanda alami seperti:
- Menurut Hanafiyah: seorang anak dikatakan mencapai dewasa (bulu>gh) jika mengalami ihtila>m bagi laki-laki (maksud dari ihtila>m adalah keluarnya air mani ketika tidur atau ketika bangun)
berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana (terdakwa/ tersangka)‛.
- Bab 1 Pasal 1 ayat 4 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ‚Dan anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak korban dan anak saksi, anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana‛.
- Bab 1 Pasal 1 ayat 5 Undang-undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ‚Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang disebut dengan anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat atau dialami sendiri‛.
8DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, 9.
dan bisa menghamili wanita10; sedangkan perempuan dikatakan dewasa jika sudah mengalami haid dan hamil. Batas umur dikatakan dewasa seorang anak menurut Hanafiyah adalah 12 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan.
- Menurut Mazhab Malikiyah: tanda alami seorang anak mencapai dewasa adalah haid dan hamil khusus untuk perempuan; sedangkan keluarnya air mani, tumbuhnya rambut disekitar kemaluan, berubahnya bau badan dan pecahnya suara adalah tanda alami kedewasaan yang dimiliki baik laki-laki dan perempuan. Batas umur dikatakan dewasa seorang anak menurut Malikiyah adalah 18 tahun.
- Menurut Mazhab Syafi`iyyah: seorang anak dikatakan dewasa apabila sudah mencapai umur 15 tahun.11
Dalam Islam seorang anak pada dasarnya tidak bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukannya. Hal ini disebabkan anak belum dibebani dengan tanggung jawab dan tidak dibebani hukum karena belum dewasa.
10Dalil ayat al-Qur’an yang menunjukkan bulu>gh adalah surat an-Nūr ayat 59
‚Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur ba>ligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛
Dalil dari khabar yang menunjukkan bulu>gh
ىهخحي ىخح يبصنا ٍع آُي تثلاث ٍع ىهقنا عفز Qalam (pencatat dosa) diangkat (maksudnya: tidak dihitung melakukan dosa) dari tiga orang salah satuya antara lain anak kecil sampai ia dewasa (ba>ligh).
11Dalil atau bukti yang mengatakan bahwa batasan umur anak mencapai dewasa 15 tahun adalah khabar Ibn Umar
سًع ٍبا سبخ :
يَصجي ىهف تُس سشع عبزأ ٍبا اَأٔ دحأ وٕي ىهسٔ ّيهع الله ىهص يبُنا ىهع جضسع
جغهب يَآزٔ يَشاجأف تُس ةسشع سًخ ٍبا اَأٔ قدُخنا وٕي ّيهع جضسعٔ جغهب يَسي ىنٔ ‚Ibn Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya menyertai dalam perang Uhud, pada ketika itu, Ibn Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tersebut.‛ Wahbah Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2005), juz 6, 4472-4474.
Sikap ar-rushd/ cakap bertindak hukum juga dipertimbangkan untuk menentukan kedewasaan seorang anak. Para ulama berbeda pendapat tentang cakap bertindak hukum yang di dasarkan kepada kecerdikan seseorang sebagai berikut :
- Jumhu>r Fuqaha>’ (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) berpendapat bahwa seorang anak sudah memiliki kecerdasan apabila seorang anak telah mengerti cara melipat gandakan harta kekayaan, mampu mengambil kemaslahatan dari harta kekayaan itu dan tidak menggunakan uang tersebut untuk sesuatu yang sia-sia;
- Sebagian ulama lainnya seperti Imam Syafi’i berpendapat seorang anak sudah memiliki kecerdasan apabila ia telah dapat melaksanakan ajaran agamanya dengan baik dan dapat menjaga hartanya serta menjauhi perbuatan maksiat yang dilarang oleh agama dan mampu untuk bersikap adil.12
Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang anak tidak cakap bertindak hukum jika ada sifat bodoh dalam dirinya. Kebanyak dari Ulama>’ berpendapat bahwa anak kecil membawa pengaruh terhadap tidak cakapnya seorang anak bertindak hukum. Hal ini disebabkan karena masih berstatus anak kecil yang mengakibatkan gugurnya pertanggung jawaban dari perbuatannya.
Jika terjadi anak berhadapan dengan hukum tentu saja tidak dapat dibiarkan begitu saja, jelas ada resiko yang harus ditanggung oleh anak dan keluarganya. Letak seorang anak kurang sempurna dikenai hukum, maksudnya adalah status anak ketika berhadapan dengan hukum hanya dibebankan sebagian/ setengah dari pertanggung jawaban orang dewasa, maka seorang anak tidak pantas ditetapkan kewajiban-kewajiban kepadanya.13