1 BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut WHO (2012) angka kejadian kelainan pada tajam penglihatan dengan estimasi 285 juta populasi dunia, sebanyak 39 juta mengalami kebutaan dan 246 juta mengalami gangguan penglihatan kebutaan sehingga menurunkan kualitas hidup. Pusat data dan informasi Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa indra penglihatan adalah syarat penting dalam meningkatkan kualitas hidup karena berbagai informasi visual diserap oleh mata. Masalah penglihatan dan kebutaan dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup yang dapat dilihat dari penurunan kemampuan untuk bekerja, mengisi waktu luang atau melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu penyakit mata yang dapat mengganggu tajam penglihatan adalah pterygium (Sari & Hodmatua Siregar, 2022).
Pterygium adalah pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva bersifat degeneratif dan invasif. Biasanya pertumbuhan terjadi di celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Jika pterygium membesar dan meluas ke daerah pupil dapat mengganggu penglihatan (Rezvan et al., 2018). Pterygium adalah pertumbuhan fibrovaskular jinak dari konjungtiva yang biasanya meluas ke kornea yang berbentuk segitiga (Marcella, 2019)
Prevalensi pterygium di dunia bekisar antara 0,7-31% pada setiap daerah. Prevalensi pterygium di wilayah tropis lebih tinggi daripada daerah lain. Hal ini sesuai dengan distribusi pterygium di Cameron dan menunjukkan insiden geografis pterygium, meningkat saat mendekati khatulistiwa.
Peningkatan insiden pterygium telah diamati di daerah tropis dan di daerah khatulistiwa antara 30° LU dan 30° S. Pterygium lebih sering terjadi di daerah yang panas dan kering. Prevalensinya bisa setinggi 22% di daerah ekuator.
Indonesia sendiri dikenal sebagai “Zamrud Khatulistiwa”, negara yang melintasi garis khatulistiwa. Hal ini dibuktikan dengan angka kejadian pterygium, penyakit mata kedua yang paling umum setelah katarak. Menurut RISKESDAS tahun 2013, prevalensi pterygium nasional adalah sebesar 8,3%
dan Jawa Timur berada diurutan ke 9 dengan persentase sekitar 10%
(Kementrian Kesehatan RI, 2013; Muchtar & Triswanti, 2015)
Pterigium dibagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan tingkat invasi ke kornea dan pupil. Derajat 1 jika hanya terbatas pada limbus kornea, derajat 2 jika jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea, derajat ketiga jika pterygium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4mm), dan derajat keempat jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. Derajat pterygium akan berhubungan dengan tatalaksan yang akan diberikan.
Penatalaksanaan pterygium dapat dilakukan dengan tindakan non-operatif atau operatif tergantung dengan derajat pterygium yang dialami. Tindakan non
operatif adalah tindakan tanpa pembedahan dengan tujuan untuk membantu terapi, dalam hal ini yaitu penatalaksanaan medikamentosa untuk mengurangi gejala yang muncul. Tindakan non operatif dilakukan jika pterygium dengan derajat 1-2, dan tindakan operatif dilakukan dengan pterygium derajat 3-4 dan indikasi medis tertentu (Lestari et al., 2017; Marcella, 2019; Selviana &
Ibrahim, 2019).
Pemicu pterygium tidak hanya dari etiologinya saja, tetapi juga terdapat faktor risiko yang mempengaruhi usia, jenis kelamin, jenis pterygium, pekerjaan, dan jumlah mata yang terdiagnosis. Dalam hal ini peneliti berfokus pada usia dan jenis kelamin dikarenakan faktor tersebut merupakan non- modifable factor atau faktor yang tidak bisa kita kontrol (Johansson et al.,
2021; Muchtar & Triswanti, 2015).
Menurut Qadi et al (2021), pasien usia lebih dari 40 tahun lebih banyak mengalami pterygium daripada pasien berusia kurang dari 40 tahun, pasien dengan jenis kelamin laki-laki lebih banyak terkena pterygium daripada perempuan (Qadi et al., 2021). Hal ini juga sejalan dengan penelitian Rezvan et al (2018), menyebutkan bahwa pasien dengan usia lebih dewasa memiliki kejadian pterygium lebih tinggi daripada remaja dan anak-anak. (Pan et al., 2019a; Rezvan et al., 2018). Pada penelitian Pasaribu dan Utami, menyebutkan bahwa kejadian pterygium akan meningkan dengan bertambahnya usia, hal ini berhubungan dengan paparan yang lama dari sinar UV yang menyebabkan mutasi dari gen p53 (Pasaribu & Utami, 2021). Selain itu pada penelitian Hashemi et al. menyebutkan bahwa kejadian pterygium akan meningkat
dengan bertambahnya usia dikarenakan perubahan fisiologis dari mata, seperti permukaan mata yang lebih kering (Hashemi et al., 2017).
Menurut Rezvan et al (2018), laki-laki 1,3 kali lebih besar mengalami pterygium dari pada perempuan. Hal yang sama juga terdapat pada penelitian Pan, et al (2019) usia 70-79 tahun memikili nilai rasio odds (OR) sebesar OR
= 6,19 dalam menimbulkan pterygium dengan grade lebih dari 2. Nilai tersebut mengindikasikan bahwa orang dengan usia 70-79 tahun 6 kali beresiko terkena pterygium dengan grade lebih dari 2. Tentunya dengan tingginya grade ini akan menentukan tindakan yang akan dilakukan, yaitu tindakan operatif maupun non operatif (Pan et al., 2019; Rezvan et al., 2018). Hal tersebut dikarenakan laki-laki lebih banyak melakukan aktivitas diluar ruangan sehingga lebih banyak terpapar sinar UV yang merupakan etiologi utama dari pterygium (Agrasidi & Triningrat, 2018).
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif di RSU UMM ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif di RSU UMM.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor resiko pterygium yang paling berpengaruh antara jenis kelamin dan usia dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif di poli mata RSU UMM tahun 2021.
2. Untuk mengetahui angka kejadian pterygium operatif dan non operatif di poli mata RSU UMM berdasarkan usia tahun 2021.
3. Untuk mengetahui angka kejadian pterygium operatif dan non operatif di poli mata RSU UMM berdasarkan jenis kelamin tahun 2021.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Data hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif.
1.4.2 Manfaat Klinis
Data hasil penelitian memberikan informasi mengenai hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif.
1.4.3 Manfaat Masyarakat
Memberikan pengetahuan masyarakat mengenai hubungan usia dan jenis kelamin dengan kejadian pterygium operatif dan non operatif melalui sosialisasi sebagai bahan edukasi.