5 BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi 2.1.1 Definisi
Mood dapat didefinisikan sebagai emosi atau perasaan yang meresap dan berkelanjutan yang mempengaruhi perilaku seseorang dan mewarnai persepsinya tentang keberadaan di dunia. Gangguan mood yang disebut juga dengan gangguan afektif merupakan kategori penting dari penyakit psikiatri yang terdiri dari gangguan depresi, gangguan bipolar, dysthymia dan cyclothymia (Sadock et al., 2015). Depresi adalah gangguan mental yang paling umum di lingkungan masyarakat dan merupakan penyebab utama disabilitas di seluruh dunia (NICE, 2018).
Depresi adalah gangguan mental yang umumnya ditandai dengan penurunan mood, penarikan diri dari kehidupan sosial, serta perasaan bersalah yang dapat terjadi pada semua kelompok usia (Surya Dewi et al., 2019). Depresi mengacu pada berbagai masalah kesehatan mental yang ditandai dengan tidak adanya pengaruh positif dalam diri, seperti kehilangan minat dan kegembiraan dalam melakukan aktivitas, selain itu ditandai juga dengan suasana hati yang buruk dan berbagai gejala emosional, kognitif, fisik dan perilaku yang terkait (NICE, 2018). Depresi adalah penyakit yang ditandai dengan hilangnya minat dalam aktivitas yang biasanya dinikmati seseorang dan kesedihan yang terus-menerus sering disertai dengan ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari (Razzak et al.,
2019). Orang dengan penyakit depresi tidak mengalami gejala yang sama. Tingkat keparahan, frekuensi dan durasi gejala akan bervariasi tergantung pada individu dan penyakitnya (National Institute of Mental Health, 2017).
2.1.2 Epidemiologi
Depresi merupakan penyakit yang umum dijumpai di seluruh dunia, dengan perkiraan populasi yang terkena sebesar 3,8%, termasuk 5,0% di antaranya adalah orang dewasa dan 5,7% di antaranya adalah orang yang berusia lebih dari 60 tahun.
Sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi. Depresi dapat menyebabkan orang yang terkena sangat menderita dan tidak mampu untuk melakukan aktivitas sehari – hari. Dampak terburuk dari depresi adalah dapat mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun (World Health Organization, 2021).
Di Indonesia, depresi menduduki peringkat pertama gangguan jiwa dalam tiga dekade. Depresi dapat dialami oleh berbagai seluruh kelompok usia. Menurut Riskesdas, pada tahun 2018 depresi mulai terjadi sejak rentang usia remaja (15 – 24 tahun) dengan prevalensi sebesar 6,2%. Angka kejadian depresi cenderung meningkat seiring dengan pertambahan usia (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019).
(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019)
Gambar 2.1 Prevalensi Depresi menurut Kelompok Usia 2.1.3 Etiologi
Depresi merupakan penyakit multifaktorial dengan faktor – faktor risiko yang saling berinteraksi (Marwick & Birrell, 2013).
(Marwick & Birrell, 2013)
Gambar 2.2 Bagan Sederhana Etiologi Gangguan Mood 2.1.3.1 Genetik
Risiko genetik kemungkinan disebabkan oleh berbagai gen dengan efek kecil pada individu. Beberapa pengaruh genetik hanya dapat bermanifestasi dalam keadaan lingkungan tertentu. Sebagai contoh, alel dari gen pengangkut serotonin dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi hanya pada orang-orang yang mengalami peristiwa hidup merugikan. Pada orang yang memiliki alel tersebut namun tidak mengalami peristiwa hidup merugikan maka tidak terjadi peningkatan risiko depresi (Marwick & Birrell, 2013).
Data keluarga menunjukkan bahwa jika salah satu orang tua memiliki gangguan mood, seorang anak akan memiliki risiko antara 10 - 25 % untuk mengalami gangguan mood. Jika kedua orang tua memiliki gangguan mood, risiko ini kira-kira akan menjadi dua kali lipat. Semakin banyak anggota keluarga yang
terkena, semakin besar risikonya bagi seorang anak. Risikonya lebih besar jika anggota keluarga yang terkena adalah kerabat dekat daripada kerabat yang lebih jauh (Sadock et al., 2015).
2.1.3.2 Pola asuh awal
Perpisahan orang tua, seperti perceraian selama masa kanak – kanak meningkatkan risiko depresi, hal ini dapat disebabkan akibat kehilangan sosok orang tua atau gangguan pengasuhan anak. Selain itu, gangguan pengasuhan pada masa kanak – kanak lainnya, seperti penelantaran, kekerasan fisik, dan seksual juga meningkatkan risiko terjadinya depresi dan gangguan jiwa lainnya (Marwick &
Birrell, 2013).
2.1.3.3 Kepribadian
Genetik dan pola asuh awal akan membentuk kepribadian seseorang, sehingga tidak mengherankan bahwa beberapa ciri kepribadian dikaitkan dengan peningkatan risiko gangguan mood (Marwick & Birrell, 2013).
2.1.3.4 Stres akut
Peristiwa kehidupan yang merugikan merupakan hal yang umum pada awal terjadinya episode depresi, seperti peristiwa kehilangan, penghinaan, putusnya suatu hubungan (Marwick & Birrell, 2013).
2.1.3.5 Stres kronik
Efek psikologis dan fisiologis dari stres kronis dapat membuat seseorang rentan terhadap depresi dan juga mengurangi kemampuan mereka untuk mengatasi peristiwa kehidupan (Marwick & Birrell, 2013).
2.1.3.6 Neurobiologi
Terdapat kemungkinan bahwa gangguan mood disebabkan oleh komunikasi yang tidak berfungsi antara beberapa daerah otak yang terlibat dalam regulasi emosi. Dua kelainan utama yang diidentifikasi dalam depresi adalah aktivitas berlebih dari aksis hipotalamus – hipofisis – adrenal (HPA) dan defisiensi monoamine (noradrenaline, serotonin, dopamine) (Marwick & Birrell, 2013).
2.1.3.6.1 Amin biogenik
Neurotransmitter yang paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood adalah norepinephrin dan serotonin. Berdasar studi menunjukkan penurunan sensitifitas dari reseptor β-adrenergik. Selain itu, terjadi peningkatan aktivasi pada presinaps reseptor β2 yang menyebabkan pelepasan norepinephrin berkurang.
Presinaps reseptor β2 juga terletak pada neuron serotonergik yang juga meregulasi pelepasan serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter amin biogenic yang paling sering dikaitkan dengan depresi. Penurunan serotonin dapat memicu depresi, bahkan beberapa pasien dengan bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah di cairan serebrospinal (CSF) dan pada lokasi uptake serotonin di trombosit (Sadock et al., 2015).
Meskipun norephinephrin dan serotonin merupakan amin biogenic yang paling sering berkaitan dengan depresi, dopamin juga berperan dalam patofisiologi depresi. Teori terbaru tentang dopamine dan depresi adalah terjadi disfungsi pada jalur mesolimbik dopamine dan penurunan aktivitas reseptor dopamine D1 (Sadock et al., 2015).
2.1.3.6.2 Gangguan neurotransmiter lainnya
Asetilkolin (ACh) dapat ditemukan dalam neuron yang terdistribusi pada korteks serebral. Kolin merupakan prekursor dari asetilkolin (ACh). Pada subjek yang mengalami depresi, agonis kolinergik mampu memperparah keadaan depresi.
Agonis kolinergik dapat memicu perubahan aktivitas hypothalamus – pituitary – adrenal (HPA) dan tidur (Sadock et al., 2015).
Asam γ-Aminobutirat (GABA) memiliki efek inhibisi pada jalur ascending monoamine, terutama pada sistem mesokortikal dan mesolimbic. Pada depresi terjadi penurunan jumlah GABA di dalam plasma, CSF, dan otak. Asam amino glutamate dan glyserin merupakan neurotransmitter eksitator dan inhibitor yang utama dalam CNS. Glutamate dan glysin terikat pada reseptor N-methyl-D- aspartate (NMDA) dan stimulasi glutamatergic yang berlebih dapat mengakibatkan neurotoksik. Reseptor NMDA banyak terdapat pada hippocampus (Sadock et al., 2015).
2.1.3.6.3 Second Messengers dan Kaskade Intraselular
Pengikatan neurotransmitter dan reseptor postsinaptik memicu proses kaskade yang dimediasi oleh sistem second messenger. Reseptor pada membrane berinteraksi dengan lingkungan intraselular melalui guanine nucleotide-binding protein (G protein). Protein G terhubung dengan berbagai enzim intraselular yang meregulasi pemanfaatan energi dan pembentukan second messengers. Second messengers meregulasi fungsi saluran ion membran. Banyak bukti menunjukaan bahwa obat penstabil mood bekerja pada G protein atau second messengers lainnya.
Peningkatan aktivitas HPA adalah ciri khas respons stres mamalia dan salah satu hubungan paling jelas antara depresi dan biologi stres kronis (Sadock et al., 2015).
2.1.4 Diagnosis
Episode depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan bipolar. Apabila episode depresi berdiri sendiri maka disebut dengan depresi mayor atau depresi unipolar. Gejala depresi terjadi minimal dua minggu dan terjadi perubahan derajat fungsi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).
Kriteria diagnosis menurut ICD-10 dan PPDGJ-III : Gejala utama :
1. Afek depresi
2. Kehilangan kegembiraan dan minat 3. Mudah lelah dan menurunnya aktivitas, Gejala penyerta lainnya :
1. Tidur terganggu
2. Berkurangnya nafsu makan
3. Perhatian serta konsentrasi berkurang
4. Pandangan terhadap masa depan pesimis dan suram 5. Pemikiran tentang rasa tidak berguna dan bersalah 6. Rasa percaya diri dan harga diri yang berkurang
7. Pemikiran atau perbuatan untuk membahayakan diri ataupun bunuh diri Untuk penegakkan diagnosis episode depresi diperlukan periode sekurang - kurangnya selama 2 minggu, namun periode lebih singkat dapat dibenarkan apabila terdapat gejala yang beratnya luar biasa dan berlangsung dengan cepat.
a. Pedoman diagnostik depresi ringan
1. Minimal terdapat 2 dan 3 gejala utama.
2. Ditambah minimal 2 gejala lainnya.
3. Tidak boleh terdapat gejala berat diantara seluruh episode berlangsung minimal 2 minggu.
4. Kesulitan dalam pekerjaan serta aktivitas sosial yang biasa dilakukannya hanya sedikit.
b. Pedoman diagnostik depresi sedang 1. Minimal terdapat 2 dan 3 gejala utama.
2. Ditambah minimal 3 atau 4 gejala lainnya.
3. Lamanya episode berlangsung minimal 2 minggu.
4. Dalam melakukan pekerjaan, urusan rumah tangga, dan aktivitas sosial mengalami kesulitan nyata
c. Pedoman diagnostik depresi berat tanpa psikotik 1. Terdapat 3 gejala utama
2. Ditambah minimal 4 gejala lainnya dan diantaranya berintensitas berat 3. Apabila terdapat gejala penting (seperti retardasi psikomotor), maka
pasien mungkin tidak mampu atau tidak bisa melaporkan gejala secara rinci. Dengan begitu, penilaian secara menyeluruh terhadap depresi berat dibenarkan.
4. Pasien sangat tidak mungkin mampu melakukan pekerjaan, urusan rumah tangga, dan aktivitas sosial, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
d. Pedoman diagnostik depresi berat dengan psikotik
Depresi berat yang memenuhi kriteria di atas disertai halusinasi, waham atau stupor depresi.
2.1.5 Pengukuran
Pada penelitian ini menggunakan Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang dibuat oleh Beck. Sampai saat ini, BDI-II menjadi salah satu alat ukur yang paling sering digunakan untuk menilai gejala depresi dan tingkat keparahannya pada remaja dan dewasa(García-Batista et al., 2018). BDI-II merupakan alat ukur yang telah tervalidasi, murah, dan cepat sehingga memberikan cara yang efisien untuk menilai depresi baik dalam lingkungan klinis atau non-klinis dan memiliki beberapa keuntungan bagi peneliti yang tertarik untuk menilai gejala depresi (Hailu Gebrie, 2018). BDI-II juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, serta validitas dan reliabilitasnya telah diuji dalam berbagai konteks budaya (Hassan et al., 2021).
Kuesioner Beck Depression Inventory-II (BDI-II) yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia merupakan suatu kuesioner screening yang valid serta reliabel untuk mengukur depresi di Indonesia dengan nilai cronbach`s alpha sebesar 0,90 . Kuesioner ini terdiri dari 21 pertanyaan (Ginting et al., 2013).
Kuesioner ini merupakan instrumen pengukuran mandiri yang terdiri atas 21 pertanyaan (Silva et al., 2017). Pertanyaan dalam BDI-II mengacu pada kriteria diagnostic yang berada di Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders (DSM). Pokok-pokok pertanyaan akan dijumlahkan untuk memperoleh skor total, skor total yang semakin tinggi menunjukkan level depresi yang lebih tinggi (García- Batista et al., 2018). Penilaian mengacu pada kriteria dengan skor 0-13
menunjukkan rentang normal, 14-19 depresi ringan, 20-28 depresi sedang dan 29- 63 depresi berat (Hailu Gebrie, 2018).
2.1.6 Depresi pada Mahasiswa Kedokteran yang Menjalani Tugas Akhir Fakultas kedokteran dikenal sebagai fakultas dengan kegiatan perkuliahan yang padat dan beban tugas yang tinggi sehingga mampu memberikan dampak pada kesehatan fisik dan juga psikologis (Surya Dewi et al., 2019). Studi kedokteran merupakan suatu fase yang sangat menuntut dimana terdapat tekanan dalam materi dan jam pembelajaran. Selain itu terdapat tekanan lain dalam kehidupan seperti masalah keuangan, kurangnya waktu luang dibanding dengan rekan mereka, dan perlu membuat pilihan karir di akhir masa studi (Cuttilan et al., 2016). Terutama pada masa pandemi COVID-19 saat ini yang menjadi permasalahan masalah kesehatan umum yang berisiko untuk memberikan dampak kesehatan fisik maupun mental (Halperin et al., 2021).
Sumber stres mahasiswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu stresor akademis dan non akademis. Stresor akademis yang umumnya dialami mahasiswa adalah jumlah mata pelajaran, jam pembelajaran yang panjang, seringnya ujian, dan persaingan nilai. Sedangkan, stresor non akademis yang pada umumnya dialami mahasiswa adalah ekspektasi orang tua yang tinggi, adaptasi dengan lingkungan baru, manajemen waktu, berkurangnya waktu rekreasi, jauh dari rumah, kondisi kesehatan, dan rendahnya kualitas makanan (Faizah et al., 2021). Menurut Halperin (2021) penyebab stres bagi mahasiswa kedokteran diantaranya adalah beban kerja akademik, persaingan dengan teman sebaya, konflik dalam keluarga, dan kesulitan finansial. Menurut penelitian Olum, Ronald et al (2020) secara keseluruhan, 21,5%
mahasiswa kedokteran mengalami depresi. Distribusi regional menunjukkan frekuensi depresi pada mahasiswa fakultas kedokteran yang tinggi di Timur Tengah dengan prevalensi (31,8%), diikuti oleh Amerika Utara dengan insiden (30,3%), Asia (30,1%), Amerika Selatan (26,8%), dan Eropa (20%). Menurut systematic review dan meta-analysis perkiraan frekuensi depresi pada mahasiswa kedokteran di seluruh dunia adalah 27,2% (Mirza et al., 2021a).
Tugas akhir merupakan salah satu tugas yang dapat membebani mahasiswa.
Menurut penelitian Faizah et al (2021) mahasiswa tahun ke-V mengalami gejala depresi tingkat sedang terbanyak yang disebabkan karena mahasiswa tingkat akhir memiliki tuntutan untuk menyelesaikan tugas akhir. Banyak mahasiswa yang mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan masa studi oleh karena mahasiswa tersebut tidak dapat menyelesaikan tugas akhir tepat waktu (Fikry & Khairani, 2017). Terdapat berbagai kendala dalam menyusun tugas akhir, diantaranya kesulitan menentukan judul, kurangnya optimisme akibat hambatan yang ditemui, merasa jenuh saat pengerjaan tugas akhir, serta terdapat pandangan negatif terhadap tugas akhir yang menganggap bahwa tugas akhir merupakan tugas yang berat. Hal – hal tersebut dapat menimbulkan depresi akibat stres dan kecemasan yang ditangguhkan (Surya Dewi et al., 2019). Selain itu, salah satu permasalahan yang dapat ditemui saat pengerjaan tugas akhir adalah permasalahan dengan dosen pembimbing, yaitu adanya kesulitan dalam menyesuaikan waktu dan respon balasan yang lama (Sawitri & Widiasavitri, 2021). Mahasiswa pun sering merasa cemas saat melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing. Hal - hal tersebut dapat menyebabkan mahasiswa merasa takut, tegang, dan stress (Apriliyani &
Maryoto, 2020). Hasil penelitian Dewi et al (2019) pada 80 orang mahasiswa Fakultas Kedokteran yang menyusun tugas akhir menunjukkan bahwa 22 orang (27.50%) mengalami depresi ringan, serta sebanyak 9 orang (11.25%) mengalami depresi sedang.
2.1.7 Mekanisme Koping terhadap Depresi
Coping merupakan suatu mekanisme yang dilakukan oleh individu untuk mengatasi tuntutan yang dihadapi, baik tuntutan internal maupun eksternal yang mengganggu dan membebani. Sumberdaya coping yang dimiliki individu akan memengaruhi strategi coping yang dilakukan untuk menghadapi permasalahan (Maryam, 2017).
Mekanisme koping dapat dibagi menjadi dua, yaitu adaptif dan maladaptif.
Mekanisme koping adaptif dapat membantu memperoleh kesejahteraan dan kesehatan mental yang kuat contoh dari pendekatan ini seperti berdoa, membaca kitab suci, berolahraga, meditasi, mendengarkan musik, serta bersosialisasi dengan keluarga dan teman. Sebaliknya, pada mekanisme koping maladaptif dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik, contoh mekanisme koping maladaptif seperti merokok, meminum alkohol, penggunaan narkotika, makan berlebihan dan kebiasaan buruk lainnya. Oleh karena itu, koping adaptif berkontribusi pada solusi jangka panjang yang berkelanjutan untuk mengatasi masalah, sedangkan koping maladaptif merupakan mekanisme disfungsional dalam solusi jangka Panjang (Costescu et al., 2021). Perbedaan koping adaptif-maladaptif ini berfokus pada orientasi mendekati atau menjauhi stresor dan dengan demikian tumpang tindih dengan perbedaan antara koping yang berfokus pada masalah dan berfokus pada
emosi. Koping adaptif terdiri dari semua strategi yang berfokus pada masalah (misalnya, koping aktif) dan semua strategi pendekatan emosional (misalnya, reframing positif). Koping maladaptif terdiri dari strategi koping penghindaran emosional (misalnya, penolakan) yang ditujukan untuk melarikan diri dari perasaan tertekan (Ewert et al., 2021). Berdasar studi, pada 508 mahasiswa menunjukkan bahwa mekanisme koping maladaptif merupakan prediktor utama terjadinya permasalahan emosional, seperti stres, kecemasan, dan depresi (Costescu et al., 2021). Selain itu, bukti menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda lebih mungkin untuk terlibat dalam strategi koping maladaptif dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (Pickens et al., 2019).
Menurut penelitian Sawitri (2021) pada mahasiswa yang sedang menyusun tugas akhir didapatkan subjek melakukan tindakan strategi coping. Bentuk strategi pertama yang dilakukan oleh subjek adalah dengan melakukan pengalihan untuk mengalihkan pikiran dari situasi yang dapat menimbulkan stres, aktivitas yang dilakukan seperti menonton film, window shopping, mendengarkan musik, bermain game online, masak, meditasi, dan olahraga. Bentuk strategi coping kedua dengan melakukan penyelesaian masalah. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan pertimbangan, menyusun alternatif penyelesaian masalah, meminta pendapat dari orang terdekat, dan mengambil serta melakukan keputusan.
2.2 Kecerdasan Emosional (EQ) 2.2.1 Definisi
Emosi dianggap memiliki peran penting dalam kehidupan kita. Meskipun tidak selalu sadar akan emosi, manusia sering merasakannya, dan emosi tersebut
dapat dimanipulasi untuk mencapai tujuan tertentu dan mendorong kita untuk melakukan beberapa tindakan impulsif. Orang sering ingin menyembunyikan emosi karena berbagai alasan berdasarkan nilai individu dan norma budaya. Orang juga biasanya percaya bahwa mereka perlu mengendalikan emosi mereka agar dapat diterima, masuk akal, berkinerja lebih baik, dan menjalani kehidupan yang sukses. Meskipun demikian, memahami dan mengelola emosi dengan tepat jauh lebih sulit karena kita sering kali tidak menyadari bahkan tidak memahami emosi kita dengan baik (Edara, 2021).
Kecerdasan emosional merupakan parameter penting yang memengaruhi segala aspek kehidupan seseorang dan membentuk persepsi, memproses, meregulasi dan mengelola emosi pada diri dan orang lain. Kecerdasan emosional dapat ditingkatkan melalui Pendidikan (Kousha et al., 2018). Kecerdasan emosional didefinisikan sebagai kapasitas untuk menjelaskan tentang emosi, dan penggunaan emosi untuk meningkatkan pemikiran. Kecerdasan emosional dikaitkan dengan pemecahan masalah interpersonal dan peningkatan hubungan sosial (BL & HR, 2020). Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu dalam mengelola emosi untuk dapat bereaksi dan bersikap sesuai dengan situasi yang dihadapi dan merupakan dasar bagi individu dalam menghadapi tekanan (Fitriah, 2019).
2.2.2 Peran Kecerdasan Emosional
Saat ini, kecerdasan dianggap sebagai salah satu kualitas kepribadian yang paling diinginkan dalam masyarakat (Manoranjan, 2019). Selama hidup, emosi menentukan motivasi, keputusan, dan tindakan seseorang dalam hubungan pribadi atau di tempat kerja karena kekuatan tersebut, emosi secara langsung atau tidak
langsung menentukan keberhasilan seseorang (Ana, 2021). Kecerdasan emosional merupakan komponen yang tidak kalah penting dalam perkembangan individu.
Menurut Vanessa S.Petersen, terdapat hubungan positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi akademik. Kecerdasan emosional dan kecerdasan kognitif memberikan kontribusi yang sama terhadap perkembangan dan keberhasilan manusia dalam hidupnya. Siswa, yang tingkat kecerdasan emosionalnya bervariasi dari rata-rata hingga di atas rata-rata, masing-masing menerima nilai yang lebih tinggi dalam proses pembelajaran. Akibatnya, pembentukan kecerdasan emosional dalam proses pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi keberhasilan belajar siswa (Mukhametzyanova et al., 2017).
Kecerdasan emosional akan memberikan kesehatan mental, kinerja, dan keterampilan kepemimpinan yang lebih baik. Siswa dengan tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi mampu memahami dan mengendalikan emosi mereka dengan lebih baik dan dapat membantu mereka untuk mengembangkan motivasi diri, keterampilan komunikasi yang efektif, adaptasi pribadi dan sosial yang lebih baik (Roy et al., 2016). Kemampuan untuk beradaptasi dengan situasi sosial yang berbeda dan membuat keputusan terbaik dalam situasi tersebut merupakan ukuran kecerdasan emosional seseorang (Stevens et al., 2019).
Dalam dunia kedokteran, profesi yang sangat berkaitan dengan interaksi manusia, kecerdasan emosional merupakan suatu hal yang sangat penting. Empati dan kasih sayang selalu menjadi kebajikan yang diinginkan dalam diri seorang dokter. Kecerdasan emosional tidak hanya penting untuk memberikan perawatan
klinis yang baik, tetapi juga penting untuk mengelola semua interaksi manusia yang terjadi sebagai bagian dari proses perawatan medis. Penting juga untuk berkomunikasi secara efektif dengan kerabat, teman, dan keluarga pasien yang dirawat. Oleh karena itu, perlu ditanamkan keterampilan kecerdasan emosional sebagai bagian dari pendidikan kedokteran dalam menciptakan dokter yang peka dan berempati (Sundararajan & Gopichandran, 2018).
2.2.3 Pengukuran Kecerdasan Emosional
Pada penelitian ini, menggunakan.Trait Emotional Intelligence Questionnaire - Short Form (TEIQue-SF). Kuesioner TEIQue-SF dikembangkan oleh K.V Petrides, PhD. Petrides mendefinisikan empat faktor dalam kusioner TEIQue - SF , yaitu well being (perasaan terkait kesejahteraan berdasarkan pencapaian, harga diri, dan harapan), self control (mengatur dan memiliki kendali atas emosi, impuls, dan stres), emotionality (kemampuan untuk merasakan, mengekspresikan, dan terhubung dengan emosi dalam diri sendiri dan orang lain, yang dapat digunakan dalam menciptakan hubungan interpersonal yang sukses), dan sociability (menjadi asertif dan sadar secara sosial, mengelola emosi orang lain, dan efektif dalam komunikasi dan partisipasi dalam situasi sosial) (Feher et al., 2019).
Kuesioner ini mengandung 30 pokok pertanyaan yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional yang mengacu berdasar TEIQue - Full Form (Manoranjan, 2019). Jawaban kuesioner TEIQue-SF merupakan rating scale yang memiliki skala 1 sampai dengan 7. Skor total yang tinggi menunjukkan bahwa subjek memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi dan berlaku sebaliknya. Penilaian mengacu pada kriteria dengan skor kurang dari 53
menunjukkan rendah, 54-77 sedang, 78– 101 di atas rata-rata, 102 – 125 tinggi, lebih dari 126 sangat tinggi (Aithal et al., 2016). Kuesioner ini telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan digunakan oleh Hasnah (2018) serta telah lulus uji validitas dan nilai cronbach`s alpha sebesar 0,781 yang memiliki reliabilitas tinggi.
2.3 Hubungan antara Kecerdasan Emosional dengan Depresi
Penggunaan emosi yang cerdas dianggap penting untuk kesehatan fisik dan adaptasi psikologis seseorang. Kecerdasan emosional merupakan faktor risiko potensial atau faktor pelindung kesehatan mental dan fisik (Zoromba et al., 2015).
Pada gangguan depresi mayor (MDD) terdapat gangguan dalam kemampuan untuk menerjemahkan stimulus emosional dan status mental (Fernández-Berrocal &
Extremera, 2016). Berdasar penelitian Strawn dan Searight (2020) komponen kecerdasan emosional yang sangat berkaitan adalah kemampuan untuk mengelola emosi diri. Kemampuan membaca status emosional dan mengelola emosi diri secara bersamaan dapat meningkatkan proteksi dan mengurangi perkembangan stres psikologis. Ketika kecerdasan emosional (EQ) meningkat, kesejahteraan subjektif individu meningkat dan tekanan psikologis menurun. Artinya, kemampuan untuk optimis, penuh harapan, dan puas dalam hidup meningkat dengan peningkatan kecerdasan emosional. Sebaliknya, dengan defisit kecerdasan emosional, seseorang pasti akan menghadapi gejala tertekan dan depresi (Edara, 2021).
Kecerdasan emosional yang baik mampu mengurangi agresi. Jika emosi berhasil dikelola maka individu mampu untuk melepas kecemasan, menghibur diri sendiri saat sedih, dan bangkit kembali dengan cepat. Sebaliknya, individu yang
.kurang mampu dalam mengelola emosi, maka akan terus melawan perasaan sedih atau melarikan diri pada suatu hal yang negatif (Fitriah, 2019).
Seseorang yang mampu menggunakan kecerdasan emosional dengan baik mudah menciptakan coping yang baik. Selain itu, kecerdasan emosional juga dapat mengontrol emosi diri ketika menghadapi tekanan yang dapat membuat mereka stres (Margolang & Kolopaking, 2019). Individu dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih mampu untuk beradaptasi dengan sumber stres , sehingga lebih memiliki motivasi yang tinggi untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi (Suardiantari & Rustika, 2019).