• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Jepang memiliki sejarah yang cukup panjang berkaitan dengan praktik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Jepang memiliki sejarah yang cukup panjang berkaitan dengan praktik"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang memiliki sejarah yang cukup panjang berkaitan dengan praktik homoseksual dalam masyarakatnya. Melihat dari catatan sejarahnya homoseksualitas di Jepang telah terlihat sejak abad ke-8 Masehi. Homoseksualitas di Jepang terus ada dalam masyarakatnya dan terlihat dalam kehidupan mereka dan karya-karya sastra yang muncul dari waktu ke waktu. Membicarakan tentang homoseksualitas akan selalu bersentuhan dengan terminologi queer. Terminologi

“queer” beberapa waktu belakangan ini digunakan secara berbeda dalam beberapa hal. Ada yang menggunakan terminologi ini sebagai payung besar pengidentifikasian terhadap masalah seksual yang termarginalkan secara kultural, adapula yang menggunakannya untuk mendeskripsikan lahirnya model teori yang merupakan pengembangan dari studi gay dan lesbian yang lebih tradisional.

Queer juga sering digunakan untuk menyebut homoseksual (Jagose, 1996:1)..

Perkembangan penelitian yang pesat dengan berpusat pada studi gay dan lesbian di tahun 1990an membuat terminologi “queer” semakin sering dipakai. Ini terlihat dengan munculnya jurnal-jurnal yang secara khusus membahas mengenai studi gay dan lesbian, namun juga secara berkala juga mengeluarkan edisi khusus mengenai teori queer (Jagose, 1996:2). Queer merupakan produk dari kebudayaan tertentu dan tekanan teoritikal yang meningkatkan terjadinya debat terstruktur (di

(2)

dalam dan di luar akademi pendidikan) mengenai pertanyaan tentang identitas gay dan lesbian.

Teori mengenai queer telah dikemukakan oleh banyak ahli, di antaranya Judith Butler (Gender Trouble, 1990), Eve Kosofsky Sedgwick (Epistemology of the Closet, 1990; Between Men: English Literature and Male Homosocial Desire, 1985), dan Michel Foucault (The History of Sexuality: An Introduction, 1978).

Masing-masing ahli ini memiliki pandangannya sendiri-sendiri mengenai queer.

Sedikit berbeda dengan peneliti lainnya, Eve Kosofsky Sedgwick dalam tulisannya lebih banyak membicarakan tentang homoseksualisme, seperti yang terlihat dalam kedua bukunya tersebut. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pemikiran dari Eve Kosofsky Sedgwick mengenai queer yang terdapat dalam bukunya Between Man: English Literature and Male Homosocial Desire. Buku ini membahas lebih dalam mengenai homososial yang diartikan sebagai ikatan sosial antara orang dengan jenis kelamin yang sama. Sedgwick menggunakan kata “desire” atau “hasrat” bukannya “love” atau “cinta” untuk menandai tekanan erotis. Ini dikarenakan dalam kritik sastra dan wacana sejenisnya “love” lebih mudah digunakan untuk menunjukkan suatu emosi tertentu sedangkan “desire” digunakan untuk menamai sebuah struktur. Tambah lagi dalam Between Men “desire” oleh Sedgwick digunakan sebagai analogi dari istilah psikoanalisis “libido” (Sedgwick, 1985:2). Sedgwick menyebutkan dalam Male Homosocial Desire biasanya dikaitkan dengan pola pertemanan antar laki- laki, mentorship, entitlement, persaingan antara homoseksualitas dan heteroseksual dalam hubungan yang intim dan adanya pergeseran hubungan di

(3)

dalamnya (Sedgwick, 1985: 1). Selain itu, hubungan dengan perempuan dan sistem gender juga termasuk sebagai satu kesatuan yang utuh di dalamnya. Objek utama dalam teori ini untuk menjelajahi bagaimana bentuk dari seksualitas dan apa yang termasuk dalam seksualitas.

Queer tidak hanya merupakan fenomena yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari, queer juga dapat kita temui dalam karya-karya sastra. Penulis-penulis di Eropa dan Amerika sejak beberapa tahun yang lalu telah memasukkan tema queer ke dalam karya-karya mereka. Salah satu di antaranya adalah penulis Oscar Wilde yang menulis novel The Picture of Dorian Gray1. Novel ini menceritakan tentang Dorian, seorang pemuda tampan yang menyadari ketampanannya yang pada akhirnya justru menjadi racun bagi dirinya sendiri. Di Jepang sendiri tema queer sudah terlihat pada karya sastra yang ditulis pada abad ke-8, yaitu pada Genji Monogatari yang ditulis oleh seorang penulis perempuan bernama Murasaki Shikibu. Di dalam karya ini diceritakan mengenai kedekatan hubungan antara tokoh Genji dengan anak laki-laki yang jadi pesuruhnya, walaupun hal tersebut tidak diceritakan secara gamblang. Cerita mengenai hubungan sesama jenis juga terdapat dalam Man’yooshuu (kumpulan puisi) yang ditulis pada abad 8 di mana salah satu syairnya menggambarkan hubungan homoseksual (Leupp, 1995: 32).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hal-hal yang berhubungan dengan homoseksualitas bukanlah hal yang baru lagi di Jepang. Untuk menyebut

1Dalam penelitian James Raeside The Spirits is Willing, but the Fesh is Strong: Mishima Yukio’s

“Kinjiki” and Oscar Wilde. Comparative Literature Studies, Vol 36, No. 1 (1-23)

(4)

hal yang berhubungan dengan homoseksualitas dikenal istilah nanshoku (male eros). Istilah ini merujuk pada praktik homoseksual yang terkonstruksi pada masa pra-modern Jepang. Kata nanshoku ditulis dengan karakter “laki-laki” dan

“warna” yang menunjukkan arti “erotisisme dan hubungan seksual antar laki-laki”

(Leupp, 1995: 7). Nanshoku juga mendeskripsikan mengenai pasangan yang terlibat dalam tindakan homoseksual, tergantung pada beberapa faktor seperti faktor usia (peran mereka sebagai junior atau senior), status dan konteks di mana tindakan tersebut dilakukan (McLelland, 2000: 7). Pada masa Edo (1600-1868), di mana pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer (samurai), hubungan percintaan antara laki-laki merupakan hal yang umum. Pada masa ini juga terdapat tempat pelacuran yang ditujukan untuk laki-laki dengan para pelacur yang semuanya adalah laki-laki. Pada masa Edo ini pula terdapat beberapa karya sastra yang bercerita tentang hubungan percintaan sesama jenis, penulis yang menulis dengan tema queer antara lain Ihara Saikaku dan Takizawa Bakin. Ihara Saikaku terkenal dengan bukunya berjudul Nanshoku no Okagami (The Great Mirror of Male Love). Buku ini berisi cerita-cerita mengenai percintaan di antara para samurai. Penulis-penulis lain setelah Ihara Saikaku yang mengusung tema queer dalam karyanya antara lain Natsume Soseki dan Mori Ogai. Natsume Soseki dengan karyanya Nowaki dan Mori Ogai dengan karyanya Vita Sexualis sama-sama mengusung tema queer dan homososial di dalamnya. Selain kedua sastrawan tersebut, nama Mishima Yukio terkenal sebagai sastrawan Jepang pasca Perang Dunia IIa yang membawa tema queer dalam karyanya, ini terlihat dalam

(5)

dua karyanya Kamen no Kokuhaku (Confession of a Mask, 1949) dan Kinjiki (Forbidden Colors, 1951-1953).

Mishima Yukio yang memiliki nama asli Hiraoka Kimitake dilahirkan di Tokyo pada 14 Januari 1925. Ayah dari Mishima Yukio berprofesi sebagai wakil direktur Biro Perikanan dari Kementrian Pertanian, ibunya memiliki latar belakang keluarga pendidik dan sarjana Konfusian dan memiliki pemahaman yang baik mengenai kesusastraan. Karya fiksinya yang pertama ditulis saat dia berusia dua belas tahun dan menarik perhatian editor Bungei-Bunka (Seni dan Budaya) yang mengundangnya untuk menulis di majalah tersebut. Saat itulah untuk pertama kalinya dia menerbitkan karyanya di bawah nama pena, Mishima Yukio.

Walaupun Mishima telah memperoleh pengakuan atas karya sastranya, ayahnya justru memandang rendah hal tersebut. Tahun 1941, saat Mishima berusia 16 tahun, ayahnya mengirimkan surat padanya yang berisikan tentang kesanksiannya terhadap tulisan Mishima yang telah mendapat pujian dari beberapa penulis lain.

Tahun 1944 Mishima Yukio masuk ke Universitas Tokyo dan mengambil jurusan hukum Jerman. Namun beberapa saat kemudian perang meletus dan pada Februari 1945 Mishima menerima panggilan wajib militer. Dia tidak masuk ke dalam militer karena tidak memenuhi syarat fisik dan ditugaskan untuk bekerja di pabrik pesawat. Setelah menempuh beberapa tahun, bulan November 1947 Mishima lulus dari universitas.

Karya pertama Mishima yang memperoleh kesuksesan adalah karyanya yang berjudul Kamen no Kokuhaku (Confession of a Mask) yang diterbitkan tahun 1949. Karya-karya Mishima berikutnya juga mendapatkan respon baik dari media

(6)

di Jepang, karya-karya tersebut antara lain Ai no Kawaki (Thirst of Love, 1950), Kinjiki (Forbidden Colors I, 1951), Higyo (Forbidden Colors II, 1953), Shiosai (The Sound of Waves, 1954), Kinkakuji (The Temple of Golden Pavillion, 1956) (Keene, 1995: 1). Karya-karya ini juga dikenal di dunia internasional setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Selain bergelut dengan dunia tulis- menulis, Mishima juga memiliki ketertarikan dengan dunia bela diri, yang nantinya justru menjadi obsesinya. Sejak tahun 1955 secara rutin Mishima melakukan body building yang membawanya mempelajari karate dan kendo serta Bushido. Di tahun-tahun berikutnya Mishima mencela pengaruh Barat terhadap berbagai sendi kehidupan di Jepang, dia menjadi tertarik dengan gerakan ultra- nasionalis yang ingin mempertahankan budaya tradisional Jepang dari pengaruh asing. Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengasosiasikan nama Mishima Yukio dengan pergerakan militer. Tahun 1967, Mishima berpartisipasi dalam kamp pelatihan dasar Satuan Bela Diri Militer. Di tahun berikutnya dia membentuk pasukan militernya sendiri, Shield Society (Tate no Kai), yang sering ditafsirkan sebagai gerakan militer golongan kanan 2 . Namun, Mishima mengatakan gerakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan tradisi etis para samurai di Jepang. Di sela-sela kesibukannya dengan Shield Society, tahun 1969 Mishima menerbitkan volume pertama dari dua karya terakhirnya, Hoojoo no Umi (The Sea of Fertility), di tahun yang sama dia juga menulis naskah drama.

Walaupun dia menekuni dua bidang yang berbeda, sastra dan militer, Mishima

2Nina Conyetz, The Ethics of Aesthetic in Japanese Cinema and Literature: Polygraphic Desire hal. 110

(7)

Yukio tidak pernah mencampuradukkan kedua hal ini. Baginya sastra tidak cocok bagi orang-orang militer, hal ini membuat para anggota Shield Society tidak akrab dengan karya-karya sastra Mishima Yukio. Pada tanggal 25 November 1970, setelah menyerahkan naskah terakhir dari Hoojoo no Umi, Mishima Yukio dan para anggota Shield Society memasuki kantor pusat Jieitai (Japanese Self Defense Force) dan menemui komandannya, Letnan Jenderal Kanetoshi Mashita. Setelah berhasil menemui Letnan Jenderal Kanetoshi Mashita, Mishima dan ketiga anak buahnya menawan Mashita di dalam kantornya. Selagi menawan Mashita, Mishima mengumpulkan para anggota Jieitai di halaman kantor. Dari balkon kantor Mashita, Mishima melakukan orasi selama sepuluh menit mengenai pandangan politiknya. Setelah selesai berorasi, dia kembali ke dalam kantor, duduk di lantai dan melakukan seppuku3. Mishima memotong perutnya dengan pisau selebar tujuh belas senti kemudian ritual ini diakhiri dengan anak buah Mishima yang memenggal lehernya. Donald Keene4 dalam tulisannya untuk The Paris Review mengatakan Mishima Yukio telah merencanakan bunuh dirinya

3 Disebut juga dengan hara-kiri, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “memotong perut”.

Ritual ini dilakukan oleh laki-laki dari kelas samurai pada masa feudal Jepang dengan memotong perutnya menggunakan pedang pendek. Kematian yang datang perlahan dan menyakitkan ini merupakan cara yang efektif dalam menunjukkan keberanian, self-control dan keputusan bulat dari sang samurai dalam membuktikan kesungguhannya. Ritual seppuku dilakukan seorang samurai sebagai bentuk loyalitasnya pada atasannya, atau sebagai bentuk protes akan kebijakan pemerintah, atau sebagai bentuk penebusan kesalahan. (sumber: http://www.britannica.com/topic/seppuku, diakses pada 24 Januari 2016, 16.16)

4 Seorang professor berkebangsaan Amerika dengan keahlian di kesusastraan Jepang. Dia banyak menulis buku mengenai sastra dan budaya Jepang. Pada tahun 2011 Keene resmi berganti kewarganegaraan menjadi kewarganegaraan Jepang. Diakses dari http://www.keenecenter.org/Donald_Keene.html, diakses pada 19 Januari 2016, 15.22

(8)

tersebut dengan sebelumnya merekrut tiga orang anak buahnya untuk membantunya melaksanakan seppuku.

Penelitian ini akan menggunakan novel Kinjiki yang ditulis oleh Mishima Yukio pada tahun 1951 sampai 1953 sebagai objek material penelitian. Karya Mishima Kamen no Kokuhaku oleh dunia internasional dipandang sebagai karya sastra dengan tema homoseksual, demikian pula dengan Kinjiki. Tema ini yang menjadi perhatian penulis untuk melakukan penelitian. Novel Kinjiki menceritakan tentang seorang penulis laki-laki berusia enam puluhan tahun bernama Hinoki Shunsuke. Shunsuke tidak pernah sukses dalam menjalin percintaan dengan perempuan, tiga kali dia kawin cerai dengan istri-istrinya dan berulang kali gagal menjalin hubungan asmara dengan perempuan lain. Setelah sekian kalinya gagal akhirnya Shunsuke menjalin hubungan dengan seorang perempuan muda bernama Yasuko. Saat Shunsuke menyusul Yasuko di Izu dia mendapati Yasuko sedang bersama seorang pemuda yang sangat tampan.

Shunsuke merasa cemburu dengan keindahan tubuh dan ketampanan pemuda itu.

Shunsuke mengetahui bahwa Yasuko telah dijodohkan dengan pemuda yang bernama Minami Yuichi itu. Namun Yuichi mengatakan pada Shunsuke dia tidak dapat menikahi Yasuko dikarenakan dia seorang gay. Shunsuke membuat rencana untuk memanfaatkan Yuichi untuk membalaskan sakit hatinya pada para perempuan dan rasa irinya akan ketampanan Yuichi membuatnya berjanji akan mengajari Yuichi bagaimana mencintai perempuan. Dia mengangkat Yuichi menjadi anak asuhnya dan mendorong Yuichi untuk menikah dengan Yasuko.

(9)

Setelah menikah dengan Yasuko hubungan Yuichi dan Shunsuke semakin dekat. Di pesta pernikahannya Yuichi dikenalkan oleh Shunsuke pada Nyonya Kaburagi dan seorang perempuan bernama Kyoko. Kedua perempuan paruh baya ini menaruh ketertarikan pada Yuichi, dan itu sesuai dengan harapan Shunsuke.

Selain menjalani kehidupannya sebagai seorang suami, Yuichi juga sering berkunjung ke sebuah bar gay bernama Rudon. Di sana dia bertemu dengan para gay lainnya dan dia menjadi idola di Rudon karena ketampanannya. Yuichi merahasiakan pernikahannya pada orang-orang di Rudon walaupun pada akhirnya hal itu diketahui semua orang. Dia juga merahasiakan orientasi seksualnya sebagai seorang gay dari keluarganya, serta Nyonya Kaburagi dan Kyoko. Suatu saat kemudian ibu Yuichi dan Yasuko mengetahui perihal Yuichi dan Rudon, dan hal itu ditolak mentah-mentah oleh Yuichi. Shunsuke meminta bantuan Nyonya Kaburagi untuk melindungi Yuichi dengan mengatakan pada Yasuko dan ibu Yuichi dirinya berselingkuh dengan Yuichi. Nyonya Kaburagi juga mengatakan telah ada beberapa perempuan yang mengugurkan kandungannya setelah berhubungan dengan Yuichi. Dengan pernyataan itu kecurigaan akan diri Yuichi sebagai seorang homoseksual lepas dari benak ibu Yuichi.

Novel ini diakhiri dengan bunuh diri yang dilakukan Shunsuke dengan meminum Pavinal dalam dosis besar saat Yuichi sedang berkunjung di rumahnya.

Dia meninggalkan pesan untuk Yuichi bahwa dia telah menyiapkan hadiah untuk Yuichi. Hadiah itu berupa surat wasiat yang menyatakan seluruh aset dan properti serta harta milik Shunsuke sejumlah nominal sepuluh juta yen menjadi milik Yuichi. Yuichi yang pada awalnya hendak mengembalikan uang 500.000 yen

(10)

yang dipinjam dulu merasa dirinya semakin terikat oleh uang sepuluh juta yen yang diberikan Shunsuke padanya sebagai tanda cinta Shunsuke.

Adanya tema homoseksualisme dalam novel Kinjiki tidak serta merta membuat cerita berputar di sekitar petualangan cinta Yuichi dengan pasangan homoseksualnya saja, namun juga menceritakan hubungan yang dijalinnya dengan ayah angkat sekaligus mentornya, Shunsuke Hinoki. Pertemuan mereka pertama kali dijembatani oleh Yasuko yang pada saat itu dicintai Shunsuke, yang pada saat bersamaan Yasuko telah menjadi tunangan dari Yuichi. Hubungan Yuichi dan Shunsuke dijalin dari persaingan yang dirasakan oleh Shunsuke yang merasa iri dengan segala sesuatu dalam diri Yuichi, hingga hubungan ini berkembang ke arah pertemanan dan mentoring, yaitu saat Shunsuke berjanji akan membantu kebutuhan finansial Yuichi dan mengajarinya cara memperlakukan perempuan.

Hubungan semacam ini termasuk dalam hubungan homososial seperti yang dikemukakan oleh Eve Sedgwick mengenai Male Homosocial Desire. Mishima Yukio menggunakan terminologi “nanshokuka” untuk menunjukkan kaum homoseksual yang ada dalam novel Kinjiki, di mana istilah ini sudah tidak dipakai lagi oleh para penulis Jepang pada masa tersebut5. Penggunaan istilah nanshoku dan nanshokuka oleh Mishima Yukio menunjukkan tidak sekedar adanya praktik homoseksual di dalam masyarakat Jepang, namun adanya struktur dalam praktik homoseksual tersebut yang sekaligus membentuk ikatan homososial di antara pelakunya. Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana hubungan homososial yang ada dalam novel Kinjiki penulis akan menjelaskan juga mengenai nanshoku dan

5McLelland, 2005: 25-27, Leupp, 1995: 7, Vincent, 2012: 195

(11)

konsep amae yang ada dalam masyarakat Jepang yang turut membentuk terjadi hubungan homososial tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Novel Kinjiki yang diakui oleh Mishima Yukio sebagai karya dengan tema homoseksual juga memiliki sisi di luar hubungan homoseksual antara Yuichi dengan para laki-laki yang ditemuinya. Hubungan yang terjalin antara Yuichi dan Shunsuke dengan para perempuan yang ada di antara mereka; Yasuko, Nyonya Kaburagi, Kyoko, mengisyaratkan adanya sebuah hubungan homososial antara Yuichi (homoseksual) dengan Shunsuke (heteroseksual). Male Homosocial Desire tidak ekuivalen dengan homoseksualitas, walaupun tidak mengingkari adanya kemungkinan muncul hasrat seksual di dalamnya. Laki-laki yang memiliki ketertarikan dengan laki-laki lain tidak serta-merta dikategorikan sebagai homoseksual. Hal ini terlihat dalam hubungan antara Shunsuke dan Yuichi.

Menggunakan teori mengenai Male Homosocial Desire dari Eve Kosofsky Sedgwick, tradisi tentang nanshoku dan konsep amae penulis akan melihat bagaimana pola hubungan Male Homosocial Desire yang ada dalam novel Kinjiki karya Mishima Yukio ini.

Berdasarkan rumusan pertanyaan di atas, maka pertanyaan penelitian yang diambil adalah:

1. Bagaimana nanshoku dan amae yang ada dalam masyarakat Jepang?

(12)

2. Bagaimana Male Homosocial Desire yang terlihat di dalam Kinjiki?

3. Mengapa Mishima Yukio memunculkan narasi Male Homosocial Desire dalam Kinjiki?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sosial antara tokoh- tokoh yang ada dalam novel Kinjiki karya Mishima Yukio dilihat dari perspektif teori Male Homosocial Desire yang dikemukakan oleh Eve Kosofsky Sedgwick.

Male Homosocial Desire yang ada dalam masyarakat Jepang memiliki perbedaan dengan yang ada dalam masyarakat di Barat. Hal ini akan terlihat dari sejarah hubungan sosial antar laki-laki di Jepang serta konsep mengenai amae yang turut membentuk struktur hubungan homososial tersebut. Selanjutnya akan diketahui apa yang melatarbelakangi Mishima Yukio dalam memunculkan narasi Male Homosocial Desire dalam novel ini.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat teoritis dan manfaat praktis bagi yang membacanya. Manfaat teoritis dihubungkan dengan perspektif Male Homosocial Desire yang diusung oleh Eve Kosofsky Sedgwick yang menyatakan tentang hubungan sosial antar laki-laki dapat didasarkan atas hasrat seksual di antara mereka ataupun tanpa dilandasi hasrat seksual di antara para laki-laki

(13)

tersebut. Manfaat praktis yang diharapkan penulis adalah pembaca mendapat pengetahuan mengenai ikatan homososial antar laki-laki yang ada di Jepang dan latar belakang sejarah dan budaya yang ada di dalamnya, yang kemudian dihubungkan dengan ikatan homososial yang ada di dalam novel Kinjiki.

1.5 Tinjauan Pustaka

Tulisan oleh James Raeside dalam jurnal Comparative Literature Studies, volume 36 yang berjudul The Spirit is willing, but the Flesh is Strong: Mishima Yukio’s “Kinjiki” and Oscar Wilde menggunakan novel Kinjiki sebagai objek material penelitiannya. Tulisan ini membandingkan tulisan Mishima Yukio dalam Kinjiki dengan karya dari penyair Inggris, Oscar Wilde. Salah satu bagiannya membandingkan bagian dalam cerita Kinjiki, di mana tokoh Hinoki Shunsuke mengagumi sosok tubuh Minami Yuichi yang digambarkan sebagai tubuh yang indah bagai pahatan patung Yunani. Saat memandangi tubuh Yuichi diawal perjumpaannya, Shunsuke memikirkan tentang Walter Pater, tentang karya percintaan Pater berjudul “Amis dan Amile”. James Reaside juga mengaitkan adegan tersebut dengan seni Yunani Kuno dan kisah dari awal abad Renaissance.

Selanjutnya James Reaside membandingkan Kinjiki dengan novel Oscar Wilde,

“The Picture of Dorian Gray”. James Reaside menjelaskan bahwa dalam “The Picture of Dorian Gray” memiliki paralelisme dengan Kinjiki, yaitu tokoh Dorian Gray juga merupakan sosok pemuda yang tampan yang pada akhirnya menjadikan dirinya berbahaya. Penelitian ini membandingkan antara Kinjiki dengan The

(14)

Picture of Dorian Gray untuk melihat keterkaitan kedua karya ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Kinjiki banyak terpengaruh oleh karya Wilde, di mana karakter dalam Kinjiki juga merupakan karakter yang dimiliki oleh Wilde.

Penelitian berikutnya dengan judul The Fluctuating Role of Male Homosocial Desire in Coetzee’s Disgrace ditulis oleh Aijaz Ahmed Gujjar Rukhma Aijaz Hamid Farahmandian dari Universiti Putra Malaysia yang dimuat dalam jurnal International J. Soc. Sci. & Education edisi 4 tahun 2004. Penelitian ini menggunakan novel dari Coetzee berjudul Disgrace sebagai objek material penelitian. Objek formal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Male Homosocial Desire dari Eve Kosofsky Sedgwick. Penelitian ini melihat bagaimana hubungan homososial antara tokoh-tokoh laki-laki dalam karya serta cinta segitiga antara tokoh David Lurie, Melanie dan Ryan. Penelitian ini menyelidiki mengenai homososialitas maskulin tokoh David Lurie dalam hubungannya laki-laki yang ada di lingkungan urban dan pinggiran dari sudut pandang yang berbeda. Penelitian ini bermaksud untuk menunjukkan efek dari kurangnya Male Homosocial Desire dari seseorang dalam tindak tanduk sosialnya.

Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Jack Stoneman yang diterbitkan dalam jurnal Japanese Language and Literature, volume 43, No.

2, Oktober 2009 dengan judul Between Monks: Saigyoo’s Shukke, Male Homosocial Desire and Japanese Poetry. Penelitian ini membahas mengenai puisi (uta) yang ditulis oleh seorang shukke (orang yang keluar dari rumah untuk menjalani kehidupan sebagai biksu Budha) bernama Saigyoo yang hidup pada

(15)

tahun 1118-1190. Saigyoo yang pada awalnya merupakan seorang samurai memutuskan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang biksu untuk menghindari hubungan homoseksual yang ada dalam lingkup istana masa pemerintahan Kaisar Toba. Oleh Jack Stoneman, penelitian ini dikatakan menawarkan lebih banyak pemahaman dari keberagaman hasrat yang mendorong seorang laki-laki menjadi biksu Budha dengan meneliti bagian dari catatan puitis yang ditinggalkan oleh Saigyoo. Untuk meneliti hal tersebut James Stoneman menggunakan Male Homosocial Desire dari Eve Kosofsky Sedgwick sebagai objek formal penelitian. Penelitian ini menganalisis puisi-puisi yang berkaitan dengan shukke yang dilakukan oleh Saigyoo, yang oleh penulisnya dikatakan akan memperluas pemahaman pembacanya akan bersatunya hasrat seksual, sosial dan religious dalam retorik puisi Jepang di abad ke-12.

Penelitian Junko Saeki dengan judul From Nanshoku to Homosexuality: A Comparative Study of Mishima Yukio’s Confessions of a Mask membahas mengenai nanshoku atau tradisi percintaan sesama laki-laki di Jepang. Junko menjelaskan bahwa nanshoku tradisional pada masa Jepang pra-modern dianggap sebagai suatu hal yang dapat ditoleransi bahkan menyebar di kalangan masyarakat Jepang pada masa tersebut. Namun tokoh ”Aku” dalam novel Confession of a Mask memandang hubungan sesama laki-laki ini sebagai suatu hal yang berdosa dan memalukan (Junko, 1997: 127). Junko membandingkan nanshoku yang ada dalam Confession of a Mask dengan homoseksualitas yang ada dalam novel Boys on the Rock karya John Fox. Junko membandingkan tokoh “Aku” dalam Confession of a Mask dengan tokoh Billy dalam Boys on the Rock dengan

(16)

menekankan pada aspek modernisasi dan Westernisasi atas seksualitas penulis novel-novel tersebut, termasuk di dalamnya mengenai karakter “Aku” yang merepresentasikan perpaduan karakter dari eleman asli dan elemen eksogen percintaan antara laki-laki di Jepang yang telah termodernisasi.

Analisis maskulinitas dan homosocial desire yang dilakukan Beth Kramer pada novel A Man of the People dan The Quiet American menunjukkan peran perempuan dalam erotic triangle yang dikemukakan oleh Rene Girard yang digunakan oleh Sedgwick dalam Between Men dan adanya pandangan yang berbeda dari kondisi kolonial dan pasca kolonial menggunakan hasrat yang tertriangulasi (triangulated desire). Penelitian Kramer yang berjudul

“Postcolonial Triangles”: An Analysis of Masculinity and Homosocial Desire in Achebe’s A Man of the People and Grenee’s The Quiet American menunjukkan ikatan homososial dalam kedua novel tersebut dan membahas mengenai maskulinitas dan cinta segitiga yang ada di dalamnya. Kramer mengatakan pempublikasian homoseksual yang telah difeminisasikan merupakan cara dari negara untuk “memaskulinkan” laki-laki homoseksual dan mempromosikan imej dominan dari heteroseksual yang diasosiasikan dengan maskulinitas dan kekuatan (2008: 8). Dia juga menambahkan tentang ikatan homososial antara laki-laki merefleksikan pertarungan di antara mereka untuk memiliki imej maskulin yang berakar dari kontrol patriarkal. Di bagian berikutnya Kramer menjabarkan mengenai dua sifat dasar cinta segitiga yang ada dalam objek penelitiannya. Cinta segitiga dalam kedua novel ini erat kaitannya dengan perlakuan terhadap tokoh perempuan. Tokoh perempuan di dalam kedua novel ini digambarkan sebagai

(17)

sosok yang lemah kondisi fisiknya, lemah dalam intelegensi dan kekuasaan. Dia menyatakan dirinya menyaksikan bagaimana cinta segitiga muncul sebagai pelukisan kolonial dan pasca kolonial, dan di saat yang sama memperkuat strukturnya sekaligus menunjukkan kelemahannya (2008: 12). Kramer berpendapat bahwa novel pasca perang, pasca kolonial mungkin dipaksa untuk menggunakan hasrat dalam model triangular karena hal tersebut memotret baik struktur kuasa dari kolonialisme dan ancaman revolusi dari struktur tersebut.

Kedua novel yang digunakan objek penelitian juga memperkuat argumen bahwa kontrol terhadap gender berkaitan dengan struktur politik.

Penelitian oleh James Raeside menggunakan objek material novel Kinjiki yang akan penulis gunakan juga dalam penelitian ini. James Raeside menggunakan Kinjiki untuk dibandingkan dengan karya dari Oscar Wilde, penulis akan membahas Kinjiki dilihat dari Male Homosocial Desire yang ada di dalamnya. Penelitian kedua dan ketiga menggunakan objek formal Male Homosocial Desire dari Eve Kosofsky Sedgwick. Penulis juga menggunakan objek formal yang sama, namun selain membahas mengenai Male Homosocial Desire di dalam karya, penulis akan melihat latar historis dari adanya desire di antara laki-laki Jepang dan latar belakang pengarang memasukkan unsur Male Homosocial Desire dalam karyanya.

(18)

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Male Homosocial Desire dan Ikatan Antara Laki-laki

Eve Kosofsky Sedgwick dalam bukunya Between Man: English Literature and Male Homosocial Desire membahas mengenai hubungan sosial di antara orang-orang dengan jenis kelamin yang sama atau yang olehnya disebut dengan homosocial desire. Sedgwick berargumen bahwa kontinum pada struktur rangkaian kesatuan dari homosocial desire pada hubungan antar laki-laki berkaitan erat dengan pola yang muncul pada pertemanan, mentorship, pelabelan atau penyebutan antar satu sama lain (entitlement), persaingan, dan hetero dan homoseksualitas pada laki-laki (Sedgwick, 1985: 1). Pola hubungan ini bersifat intim, dengan hanya melibatkan laki-laki yang ada dalam hubungan ini tanpa mengaitkannya dengan hubungan mereka dengan perempuan (Sedgwick, 1985: 1).

Homosocial desire dikatakan sebagai sebuah ungkapan, di mana istilah

“homosocial” biasa digunakan dalam bidang sejarah dan ilmu sosial dengan diartikan sebagai ikatan sosial antara orang dengan jenis kelamin yang sama. Kata ini dibentuk sebagai analogi dari “homoseksual” dan secara jelas ditujukan untuk membedakannya dengan “homoseksual” (Sedgwick, 2001: 3). Homosocial dalam faktanya dapat dikatakan sebagai “male bonding” atau “ikatan antar laki-laki”.

Hubungan ini berada di antara rasa cinta yang intim dan aliansi pertahanan terhadap perempuan (Vincent, 2012:4). Sebagaimana telah disebutkan pada bagian latar belakang, Sedgwick menggunakan kata “desire” atau “hasrat” dan bukannya “love” atau “cinta” karena “desire” lebih memiliki penekanan makna

(19)

erotis di dalamnya. Hal ini juga dikarenakan “love” dalam sastra digunakan untuk menamai sebuah emosi tertentu, sedangkan “desire” digunakan untuk menamai struktur. Istilah “desire” oleh Sedgwick digunakan sebagai analogi dari istilah psikoanalisis “libido” (Sedgwick, 1985:2). Istilah “libido” yang Sedgwick gunakan di sini tidak digunakan sebagai penunjuk sebuah kondisi atau emosi tertentu, melainkan sebagai kekuatan afektif atau tindakan sosial, perekat yang membentuk suatu hubungan yang penting (Hamid Farahmandian, 2014: 898).

Sedgwick juga menjelaskan tentang spektrum dari homosocial desire dalam hubungan antar laki-laki di mana spektrum ini perbedaan antara homoseksual dan homophobia. Dia juga menjelaskan tentang struktur berkelanjutan (kontinum) antara homososial dan perilaku homoseksual, yang merujuk kepada struktur sosial laki-laki dan hubungan-hubungan yang dapat jatuh pada bagian manapun dari spektrum (Stoneman, 2009: 426). Walaupun

“homosociality” merujuk pada hubungan antar laki-laki dengan struktur sosial laki-laki yang ketat dan tidak berhubungan dengan hasrat homoseksual atau perilaku homoseksual, hal ini tidak menghindari kemungkinan bahwa dalam

“homosociality” akan muncul hasrat seksual (Stoneman, 2009: 426). Vincent mengelaborasi pernyatan Sedgwick dengan menyebutkan adanya dua kontinum dalam Male Homosocial Desire yaitu kontinum “men-loving-men” (laki-laki yang mencintai laki-laki) dan “men-promoting-the-interest-of-men” (laki-laki yang menyatakan ketertarikannya pada sesama laki-laki) di mana di dalamnya dapat terdapat hasrat (desire) seksual maupun tidak seksual yang memiliki batas yang tidak terlihat (Vincent, 2012: 3).

(20)

Istilah homososial sendiri tidak bisa lepas dari homophobia, yaitu ketakutan dan kebencian pada homoseksualitas. Untuk mengembalikan

“homosocial” kembali pada orbit “desire”, Sedgwick membuat hipotesis akan ketidakputusan kontinum antara homososial dan homoseksual. Sedgwick juga menambahkan bahwa ketidakputusan antara kontinum ini tidak terjadi secara genetik, di mana dia tidak membahas mengenai hasrat homoseksual dari genitalnya sebagai akar dari bentuk lain male homosociality, namun lebih pada strategi untuk mengeneralisasikan dan menandai perbedaan historis dari struktur hubungan laki-laki dengan laki-laki (Sedgwick, 1985: 2, Vincent, 2012: 12).

Dengan demikian male homosocial tidak bertujuan untuk menyortir siapa yang gay dan siapa yang tidak, namun lebih untuk melihat struktur yang ada di dalam hubungan tersebut.

Sedgwick juga membicarakan mengenai lingkungan sosial di mana antara laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dalam memperoleh kekuasaan, yang di dalamnya terdapat perbedaan gender dalam struktur dan konstitusi seksualitas.

Hubungan “homosocial” perempuan dikatakan lebih bersifat emosional, sedangkan “homosocial” laki-laki cenderung berkaitan dengan kepercayaan, terikat dengan rasionalitas dan lebih memiliki tujuan intelektual (Sedwigck, 1985:

2). Sedgwick menyebutkan bahwa struktur patriarki yang ada di masyarakat mendorong adanya “heteroseksualitas wajib” (obligatory heterosexuality) yang dibangun di atas sistem kekeluargaan dengan dominasi laki-laki. Melihat dari sejarahnya, selama berabad-abad lamanya patriarki telah menekan homoseksualitas. Masyarakat dibentuk menjadi homophobia dengan menolak

(21)

adanya hubungan sesama jenis. Pernyataan Gayle Rubin yang dikutip dalam buku Sedgwick mengatakan hal yang menekan homoseksual adalah produk yang sama dari sistem yang melakukan tekanan pada perempuan (Sedwigck, 1985: 3).

Oposisi diakritikal antara “homososial” dan “homoseksual” nampaknya lebih menyeluruh dan pembagiannya lebih jelas pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Sedgwick, 1985: 2). Ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih memperhatikan hubungan homososial pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Ditambahkan pula oleh Sedgwick, apabila penggunaan istilah

“homososial” apabila dilekatkan pada ikatan hubungan antar perempuan maka hal ini tidak perlu dianggap sebagai sebuah dikotomi tertentu seperti pada fenomena yang muncul pada pemberian istilah homoseksual. Istilah “homososial” ini dapat dipakai untuk mewakili kontinum secara keseluruhan (1985: 3).

Kesatuan makna antara kontinum “women loving women” (perempuan yang mencintai perempuan) dengan “women promoting the interest of women”

(perempuan yang menunjukkan ketertarikannya pada perempuan lain) dapat memiliki cakupan yang luas hingga lingkup yang berhubungan dengan erotisme, hubungan sosial, hubungan kekeluargaan, ekonomi, dan pandangan politik.

Namun hal ini tidak akan cukup menyolok untuk dipahami oleh lingkungan sekitarnya, terutama apabila hubungan ini tidak menunjukkan perbedaan yang kontras dengan hubungan yang sama yang ada di antara laki-laki (Sedgwick, 1985: 3). Dengan kata lain, hubungan sejenis antar perempuan cenderung tidak terlihat atau terkamuflase dibandingkan dengan hubungan sejenis pada laki-laki.

(22)

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Male Homosocial Desire berkaitan dengan persaingan dan mentorship antar laki-laki yang menunjukkan bahwa ada tujuan edukatif di hubungan tersebut. Sedgwick menjabarkan penelitian yang dilakukan oleh K. J. Dover6 mengenai homoseksualitas di Yunani, di mana homoseksualitas laki-laki oleh Dover dikatakan menyebarluas dan sangat mempengaruhi kebudayaan yang ada (Sedgwick, 1985: 4). Dari penelitian Dover menunjukkan bahwa upaya laki-laki yang lebih tua untuk mendapatkan remaja laki-laki distereotipkan dengan percintaan heteroseksual, di mana remaja laki-laki menjadi pihak yang pasif. Saat remaja laki-laki ini beranjak dewasa, peran pasifnya turut berubah. Hubungan percintaan tersebut juga memiliki fungsi edukasi. Bersamaan dengan komponen erotis percintaan, di dalamnya juga terdapat ikatan mentoring.

Sedgwick mengatakan terdapat hubungan asimetris antara hubungan yang cenderung berkelanjutan dari homososial perempuan dan ikatan homoseksual dengan hubungan yang secara radikal tidak berkelanjutan antara homososial laki- laki dan ikatan homoseksual dalam masyarakat kita saat ini (Sedgwick, 1985: 4-5).

Hal ini juga berkaitan dengan perbedaan perempuan dan laki-laki dalam mengakses kekuasaan di masyarakat. Untuk mengetahui hal tersebut kita dapat melihat dari kesejarahan perbedaan bentuk homososial pada laki-laki dan perempuan.

6 Seorang akademisi dan peneliti karya sastra Inggris klasik. Dia menulis Greek Homosexuality pada tahun 1980

(23)

Penelitian Sedgwick dalam Between Men bertujuan untuk meneliti bentuk dari seksualitas dan apa yang termasuk dalam seksualitas; di mana keduanya tergantung dan dipengaruhi oleh hubungan kesejarahan kekuasaan. Dalam masyarakat yang terdapat perbedaan dalam mengakses kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, di dalamnya terdapat perbedaan gender seperti juga dalam struktur dan konstitusi dari seksualitas (Sedwigck, 2001: 4).

1.6.2 Homophobia dalam Masyarakat Heteroseksual

Mengutip dari Heidi Hartamnn7, Sedgwick menyebut sistem patriarki sebagai hubungan antara laki-laki memiliki dasar material dan walaupun berupa hierarki. Hal ini memunculkan saling ketergantungan dan solidaritas di antara laki-laki yang membuat mereka dapat mendominasi perempuan (1985: 3). Bagi laki-laki, patriarki merupakan analogi dari feminisme, yang melibatkan hubungan sosial di antara laki-laki di mana laki-laki yang berposisi jauh dari struktur patriarki merupakan orang yang paling homophobia. Seperti yang telah diterangkan di atas, homophobia merupakan rasa benci dan takut akan homoseksualitas (Sedgwick, 1985: 1).

Struktur patriarki menyarankan bahwa “obligatory heterosexuality”

(heteroseksualitas wajib) dibangun dalam sistem kekeluargaan dengan dominasi laki-laki atau bahwa homophobia merupakan sebuah konsekuensi yang penting dalam suatu institusi patriarki sebagaimana pernikahan heteroseksual (Sedgwick,

7 Sebagaimana yang dikutip oleh Sedgwick dari The Unhappy Mariage of Marxism and Feminism:

Toward a More Progressive Union dalam Women and Revolution, hal. 1-41

(24)

1985: 3). Sulit untuk membayangkan suatu sistem patriarki tanpa adanya homophobia di dalamnya. Hal ini dikarenakan sebagian pelaku patriarki memiliki homophobia secara struktur. Oleh karena itu, patriarki membutuhkan homophobia secara struktur (Sedgwick, 1985: 4). Melihat dari sejarahnya, selama berabad- abad lamanya patriarki telah menekan homoseksual. Masyarakat dibentuk menjadi homophobia yang menolak adanya hubungan sesama jenis.

Sedgwick berargumen adanya kesamaan antara homosocial desire (yang diterima secara sosial) dan homoseksualitas (yang dikecam secara sosial) yang terletak pada akar homophobia. Dia melihat tegangan ini sebagai suatu misoginis (kebencian pada perempuan) terhadap tingkat pertarungan patriarki dengan dunia homososial yang secara otomatis menyingkirkan perempuan dari kekuasaan patriarkal. Dengan demikian homoseksualitas dan homophobia diletakkan dalam dinamika hubungan sosial yang lebih luas (Leer, 1989: 588). Sedgwick menunjukkan bahwa bagaimana hubungan yang ada di antara laki-laki jauh lebih kompleks dari sekedar yang ditunjukkan oleh terma “homoseksual” dan

“homophobia” dan dia juga menunjukkan bahwa kategori-kategori tersebut merupakan konstruksi sejarah (Leer, 1989: 588).

1.6.3 Hubungan Sosial Antara Laki-laki dan Perempuan

Hubungan antara laki-laki membentuk suatu hubungan segitiga yang melibatkan dua orang laki-laki dan seorang perempuan, walaupun keberadaan perempuan dalam segitiga hubungan ini berfungsi sebagai objek dari hasrat.

Persaingan antara laki-laki dimediasi oleh perempuan yang menjadi pusatnya.

(25)

Tidak hanya itu, hasrat yang ditunjukkan oleh laki-laki pada perempuan terkadang muncul dan diperkuat oleh kecemburuan dan pengenalan yang mengalir di antara laki-laki dalam hubungan tersebut.

Pada bagian ini Sedgwick membahas mengenai diagram segitiga dari Rene Girard8 yang menunjukkan struktur kekuasaan yang dibentuk dari hubungan persaingan antara dua anggota dalam segitiga erotis. Dalam persaingan erotis ini ikatan yang menghubungkan dua rival sama intensnya dan memiliki pengaruh yang sama besarnya dengan hubungan antara rival tersebut dengan yang dicintainya. Ikatan antara rival dalam segitiga erotis menjadi semakin kuat, bahkan lebih daripada ikatan antara rival dengan yang dicintai.

Dari pembacaannya atas Girard, Sedgwick menemukan bahwa dalam tradisi Eropa, hubungan cinta segitiga ini melibatkan ikatan “persaingan” antara laki-laki dalam memperebutkan perempuan. Selanjutnya disebutkan juga bahwa dalam masyarakat yang didominasi oleh laki-laki terdapat hubungan khusus antara male homosocial desire (termasuk di dalamnya homoseksualisme) dan struktur untuk mengatur dan mentransmisikan kekuasaan patriarki, yaitu suatu hubungan yang didirikan pada keselarasan struktural yang melekat dan berpotensi aktif (Sedwigck, 1985: 25). Apabila melihat dari latar kesejarahannya, hubungan khusus semacam ini mungkin merupakan bentuk dari ideologi homophobia, ideologi homoseksualitas, atau terbentuk dari struktur antara kedua hal tersebut.

8 Seorang ahli teori dari Perancis yang membahas mengenai diagram segitiga dua laki-laki dan seorang perempuan dalam bukunya Deceit, Desire and Novel: Self and Other in Literary Structure pada tahun 1972

(26)

Sedgwick dengan cermat meneliti tentang dinamika homoerotisme antara laki-laki dalam naskah teoritikalnya. Dengan melihat dari hubungan cuckolding, dia melokasikan hierarki di mana laki-laki yang mencari kepemimpinan dan dominasi dari laki-laki lain melalui perempuan membentuk ikatan sosial yang besar dan termasuk dalam heteroseksualitas. “To cuckold” secara definisi merupakan tindakan seksual yang dilakukan pada laki-laki oleh laki-laki lain (Sedgwick, 1985: 49). Posisi sentralnya mengartikan bahwa lakon yang menekankan cinta heteroseksual utamanya digunakan sebagai strategi dari homosocial desire. Sedgwick menambahkan bahwa hubungan heteroseksual pria dalam karya (dia mencontohkan pada soneta Shakespeare) sebagai raison d'etre dari suatu ikatan utama antara laki-laki; dan bahwa ikatan ini, jika berhasil dicapai, tidak merugikan “maskulinitas”, justru akan menentukan maskulinitas itu sendiri (1985: 50).

Ikatan dalam to cuckold berbeda dengan bentuk hubungan homoseksualitas di mana terdapat pihak “aktif” dan pihak “pasif”. Perbedaan kekuasaan terdapat pada perbedaan di mana orang yang melakukan to cuckold tidak menyadari dia terlibat dalam hubungan tersebut. Dalam artian seorang laki- laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain tidak mengetahui bahwa laki-laki tersebut juga mengadakan hubungan heteroseksual dengan perempuan. Secara jelasnya, “to cuckold” berbeda dari hubungan seksual dalam ikatan homososial laki-laki yang melibakan perempuan. Hal ini ditunjukkan pula dalam soneta Shakespeare, yang menunjukkan jalan heteroseksual menuju kepuasaan homososial sebagai jalan yang licin dan berbahaya, walaupun untuk

(27)

sebagian besar laki-laki (setidaknya di beberapa kebudayaan) hal ini adalah suatu hal yang wajib (Sedgwick, 1984: 228-229). Sedgwick juga menambahkan bahwa keterikatan laki-laki dengan perempuan digunakan sebagai instrumen hubungan yang akan mengikatnya dengan laki-laki lain (Sedgwick, 1984: 229).

1.7 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahapan, yaitu tahapan pengumpulan data, tahap klasifikasi data, tahap pemilihan data, tahap analisis data dan tahap pembuatan kesimpulan. Data primer yang digunakan adalah novel Kinjiki sebagai objek material dan data sekunder adalah Male Homosocial Desire dari Eve Kosofsky Sedgwick, nanshoku dan amae yang ada di dalam masyarakat Jepang serta dari buku-buku dan jurnal-jurnal yang relevan.

Tahapan pertama yang dilakukan adalah menentukan korpus data, yaitu novel Kinjiki, setelahnya dilakukan pembacaan terhadap korpus data untuk mendapatkan data yang sesuai. Tahap berikutnya adalah melakukan klasifikasi terhadap data- data yang telah dikumpulkan. Klasifikasi ini antara lain dengan memisahkan mana data yang menunjukkan adanya Male Homosocial Desire, mana data yang menunjukkan adalah hubungan cinta segitiga dan seterusnya. Dari data-data yang telah diklasifikasikan ini selanjutnya akan dilakukan pemilihan terhadap data-data yang ada, dengan tujuan agar tidak terjadi perulangan data saat melakukan pembahasan. Data-data yang telah diklasifikan dan dipilih ini akan dianalisis

(28)

menggunakan data sekunder Male Homosocial Desire. Hasil yang didapat dari analisis data akan disimpulkan sebagai hasil akhir penelitian.

1.8 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi dalam empat bab penulisan. Bab I merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II akan menjabarkan mengenai nanshoku (male eros) dalam hubungannya untuk mengetahui bagaimana kesejarahan homososial antar laki-laki di Jepang.

Untuk mendukung data mengenai homososial antara laki-laki di Jepang dibahas pula mengenai amae dalam masyarakat Jepang yang turut membentuk dependencey satu sama lainnya. Bab III akan membahas mengenai nanshoku serta Male Homosocial Desire yang di dalamnya dibahas juga mengenai erotic triangle dan to cuckold dalam novel Kinjiki serta membahas pula mengenai ideologi Mishima Yukio dalam memunculkan narasi Male Homosocial Desire dalam Kinjiki. Bab IV merupakan bab kesimpulan hasil penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Padang lawas tidak ditemukan kendala dalam penerapan sistem peradilan pidana sesuai dengan hukum di Indonesia karena pada saat membuat berita acara pemeriksaan (BAP)

Dari analisa yang dilakukan pada model rantai di atas didapatkan hasil tegangan Von Mises yang terbesar pada daerah antara sambungan rantai sebesar 6,81 x 10 8 Pa

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan melalui observasi data awal dan wawancara langsung dengan guru di SD Mattoangin 2 Kecamatan Mariso Kota Makassar, bahwa

penting dari itu adalah bagaimana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat itu di tuntut untuk menanggapi dan memecahkan

Pada pembelajaran perbaikan siklus I dengan menggunakan lembar observasi diperoleh data bahwa: (1) Penjelasan materi sangat cepat sehingga kurang dimengerti siswa,

yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi: (1) per siapan media tanam, tanah sebagai media tanam diper oleh dar i lokasi 1 kebun, diber sihkan dan dimasukkan ke

Akuntansi sektor publik menurut Abdul Halim (2011) adalah akuntansi yang bertujuan untuk menghasilkan suatu laporan keuangan sektor publik sehingga pihak-pihak yang

Fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antioksidan paling tinggi daripada fraksi heksana, fraksi butanol, fraksi etanol, fraksi akuades, dan Ekstrak etanol lamun