HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN SUASANA BELAJAR DALAM KELUARGA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP BOPKRI 2 YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2011/2012
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
ADINA BR DEPARI NIM : 081414041
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN SUASANA BELAJAR DALAM KELUARGA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP BOPKRI 2 YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2011/2012
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Matematika
Oleh :
ADINA BR DEPARI
NIM : 081414041
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
KUPERSEMBAHKAN KARYA INI UNTUK :
+Tuhan Yesus Kristus + pelindung dan penolongku
Bunda Maria, Santo Fransiskus Asisi dan Semua Orang Kudus di Surga.
Kedua Orangtuaku yang tercinta, Kakak dan abang serta semua keponakanku yang membuatku selalu bersemangat.
Sr.Fidelia, Sr.Leonarda, Sr.Roberta, Sr.Bernadette, Sr.Kornelia, serta semua suster Fransiskanes Santa Elisabeth di Komunitas Arumdalu Yogyakarta.
Semua teman-temanku
Ika, Nenek, Mami, Mita, Laras, Puput, Lala, Tiwi, Yoha, Novi, Siska, Fili, dan Desi.
Paramita Jati, Mulai dari PPL sampai skripsi paling banyak membantu penulis...
Almamaterku, Universitas Sanata Dharma, tempatku menuntut ilmu……..
v
MOTTO
Ketika e gkau sa gat e gi gi ka sesu
atu dan berusaha untuk
mendapatkannya, maka seluruh jagad raya akan bersatu padu
e ba tu u
Setiap hari Tuhan memberi kita matahari. Jika kita perhatikan, kita
selalu mengalami saat-saat magis. Bisa saja saat kita bersembunyi dalam
keheningan sesudah makan siang, saat memotong kayu, saat menggayung air,
saat memandang bunga atau burung di udara, atau dalam seribu satu hal yang
nampaknya biasa saja. Tapi, saat itu memungkinkan kita menciptakan
mukjizat.
Betapa malangnya orang yang takut mengambil resiko. Mungkin ia
takkan pernah kecewa atau menderita seperti orang yang mengejar impiannya.
Tapi pada suatu titik ketika ia menoleh kebelakang—ia akan menyesali bahwa
telah menyia-nyiakan semua karunia Tuhan dalam hidup dan saat-saat magis
telah berlalu.
Benar, kita akan mengalami masa-masa sulit dan kekecewaan, namun
semua itu hanya sementara, tidak meninggalkan bekas yang kekal. Dan suatu
hari kelak, kita akan menoleh dan memandang perjalanan yang telah kita
tempuh, penuh kebanggan.
Saduran dari buku “By the River Piedra I Sat Down And Wept”
Karangan Paulo Coelho
viii ABSTRAK
Adina Br Depari (2012). Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Suasana Belajar dalam Keluarga terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Bopkri 2 Yogakarta Tahun Ajaran 2011/2012. Program Studi Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara: (1) kecerdasan emosi dengan hasil belajar matematika siswa, (2) suasana belajar dalam keluarga dengan hasil belajar matematika siswa, (3) kecerdasan emosi dan suasana belajar dalam keluarga dengan hasil belajar matematika siswa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosi siswa, suasana belajar dalam keluarga siswa dan hasil belajar matematika siswa.
Penelitian dilakukan dari bulan Mei sampai Juni 2012. Sampel penelitian berjumlah 15 orang siswa. Data kecerdasan emosi dan data suasana belajar dalam keluarga dikumpulkan dengan metode non tes yang berbentuk kuesioner. Data hasil belajar matematika dikumpulkan dengan menggunakan metode tes. Teknik analisis data penelitian menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Karl Pearson dan teknik korelasi ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) ada hubungan yang positif dan signifikan antara kecerdasan em baikosi siswa dengan hasil belajar matematika siswa ( sebesar 0,551 dan =2,378 > =2,131), (2) ada hubungan positif dan signifikan antara suasana belajar dalam keluarga dengan hasil belajar matematika siswa ( = 0,541 dan =2,319 > =2,131), (3) ada hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan emosi dan suasana belajar dalam keluarga secara bersama-sama terhadap hasil belajar matematika siswa ( = 0,628 dan =3,913 > =3,68).
ix
ABSTRACT
Adina Br Depari (2012). The Relationship between Emotional Intelligence and Learning Conditional in the Family Against the Results of Learning Math Grade VII Bopkri 2 Junior High School Yogyakarta Year 2011/2012. Education of Mathematics and Natural Sciences, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
This research aims to find out if there is a positive and significant relationship between: (1) emotional intelligence with the results of learning math students, (2) learning conditional in the family with the results of learning math students, (3) emotional intelligence and learning conditional in the family with the results of learning math students. This research aims also to find out emotional intelligence level, learning conditional in the family level and the results of learning math students level.
The research was conducted from May to June 2012. The samples were 15 students. Emotional intelligence data and learning conditional in the family data gathered with testing methods in the form of a questionnaire. Results of the data collected with learn math using the method test. Research data analysis techniques using the technique of correlation of Product Moment of Karl Pearson and multiple correlation techniques.
The result of the study indicates that: (1) there is a positive and significant relationship between emotional intelligence with the results of learning math students ( = 0,551 and =2,378 > =2,131), (2) there is a positive and significant relationship between learning conditional in the family with the results of learning math students ( = 0,541 and = > = 2,319 2,131), (3) there is a positive and significant relationship between emotional intelligence and learning conditional in the family together against the results of learning math students ( = and = 0,628 3,913 > = 3,68).
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmatNya
yang besar, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini. Semua usaha
yang penulis lakukan ini tidak akan berhasil tanpa doa, bimbingan, bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
dengan rendah hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Aufridus Atmadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Dr. Marcellinus Andy Rudhito, S.Pd. selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Bapak Drs. Th. Sugiarto, M.T selaku Dosen Pembimbing yang telah
banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, dukungan dan
mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. St. Suwarsono, Bapak Drs. Sukardjono, M.Pd. dan Bapak
Drs. Th. Sugiarto, M.T selaku dosen penguji skripsi
6. Seluruh staf dosen JPMIPA Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas
kebaikan, bimbingan dan ilmu yang telah diberikan.
7. Ibu Dra.Yetti Yuliati Soebari, selaku Kepala Sekolah SMP Bopkri 2
Yogyakarta sudah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
xi
8. Bapak Drs.Yulius selaku guru mata pelajaran Matematika Kelas VII SMP
Bopkri 2 Yogyakarta, yang sudah memberikan kesempatan dan arahan
kepada penulis dalam melakukan penelitian ini hingga selesai dengan baik.
9. Siswa-siswi Kelas VII A dan VII B SMP Bopkri 2 Yogyakarta yang telah
bersedia bekerja sama dengan penulis untuk melakukan tes penelitian.
10.Seluruh staf Sekretariat JPMIPA, staf Perpustakaan dan karyawan
Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran proses
belajar penulis selama ini.
11.Kedua orangtuaku, kakak dan abang. Terimakasih atas semua kebaikan
yang kuterima.
12.Teman-teman Pendidikan Matematika Angkatan 2008 yang menjadi teman
‘seperjuangan’.
13.Semua pihak yang telah membantu dan memberi dukungan baik langsung
atau tidak langsung yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik sangat
diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga
skripsi ini berguna bagi semua pihak yang memerlukannya.
Penulis
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
xiii
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Kecerdasan Emosi ... 9
B. Suasana Belajar Dalam Keluarga ... 21
C. Hasil Belajar Matematika ... 32
D. Kerangka Berpikir ... 36
E. Hipotesis ... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 42
A. Jenis Penelitian ... 42
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 42
D. Populasi dan Sampel Penelitian ... 43
E. Variabel Penelitian ... 44
F. Bentuk Data ... 45
G. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian ... 46
H. Keabsahan Data ... 54
I. Metode Analisis Data ... 58
BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN, TABULASI DATA, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 66
xiv
B. Tabulasi Data dan Deskripsi Data Penelitian ... 71
C. Analisis Data ... 77
D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 84
E. Kelemahan Penelitian ... 90
BAB V. PENUTUP... 91
A. Kesimpulan ... 91
B. Saran ... 94
Daftar Pustaka ... 95
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Kisi-kisi Tes Hasil Belajar Matematika ... 47
Tabel 3.2 : Skor Pernyataan Kuesioner ... 51
Tabel 3.3 : Kisi-kisi Kuesioner Kecerdasan Emosi ... 52
Tabel 3.4 : Kisi-kisi Kuesioner Suasana Belajar Dalam Keluarga ... 53
Tabel 3.5 : Interpretasi Koefisien Nilai r ... 63
Tabel 4.1 : Waktu Pengambilan Data ... 67
Tabel 4.2 : Hasil Uji Validitas Variabel Kecedasan Emosi... 67
Tabel 4.3 : Hasil Uji Validitas Suasana Belajar Dalam Keluarga ... 68
Tabel 4.4 : Hasil Uji Validitas Tes Hasil Belajar Matematika ... 69
Tabel 4.5 : Hasil Uji Reliabilitas Variabel Penelitian ... 70
Tabel 4.6 : Interpretasi Reliabilitas ... 70
Tabel 4.7: Penilaian Acuan Patokan (PAP) Tipe II ... 71
Tabel 4.8 : Kriteria Data Variabel Kecerdasan Emosi ... 72
Tabel 4.9 : Distribusi Frekuensi Variabel Kecerdasan Emosi ... 73
Tabel 4.10 : Kriteria Data Variabel Suasana Belajar Dalam Keluarga ... 74
Tabel 4.11 : Distribusi Frekuensi Suasana Belajar Dalam Keluarga ... 74
Tabel 4.12 : Kriteria Data Variabel Skor Hasil Belajar Matematika ... 75
Tabel 4.13 : Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Matematika ... 76
Tabel 4.14 : Mean, Median, Modus, dan Standar Deviasi ... .77
Tabel 4.15 : Hasil Uji Normalitas ... ...78
xvi
Tabel 4.17 : Rangkuman Kontribusi Variabel ... .82
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I Kuesioner ... 97
LAMPIRAN II Soal Tes Hasil Belajar Matematika ... 105
LAMPIRAN III Kunci Jawaban Hasil Belajar Matematika ... 111
LAMPIRAN IV Skor Variabel , , ... 125
LAMPIRAN V Hasil Uji Validitas ... 132
LAMPIRAN VI Hasil Uji Realibilitas ... 150
LAMPIRAN VII Hasil Uji Normalitas ... 159
LAMPIRAN VIII Hasil Uji Korelasi ... 160
LAMPIRAN IX Kontribusi Antar Variabel ... 163
LAMPIRAN X Mean, Median, Modus ... 167
LAMPIRAN XI Contoh Hasil Jawaban Siswa ... 170
LAMPIRAN XII Foto Penelitian ... 198
LAMPIRAN XIII Surat Administrasi Penelitian ... 201
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Siswa sekolah menengah pertama (SMP) dalam rentang usia 13-16 tahun
adalah masa remaja awal. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa ini seorang anak akan
mengalami perubahan besar baik dalam hal fisik maupun psikologis. Pada
masa remaja, seorang anak juga semakin dituntut oleh keluarga, sekolah,
teman-teman sebaya dan masyarakat untuk memiliki tanggung jawab yang
besar dalam hal kepribadian, kemampuan sosial, hasil belajar yang baik, dan
prestasi di bidang akademis maupun non akademis. Dalam hal ini, kualitas
anak dilihat dari hasil belajar di sekolah.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar anak, yaitu faktor
eksternal dan internal (Roestiyah, 1982:159). Faktor eksternal, yaitu faktor
yang berasal dari luar diri anak, meliputi: faktor lingkungan keluarga; sekolah;
masyarakat; cuaca; kebersihan rumah dan sebagainya. Faktor internal adalah
faktor yang timbul dari dalam diri anak itu sendiri, meliputi: kemampuan atau
kecerdasan; rasa aman; motivasi belajar; bakat; dan sebagainya.
Pendampingan yang serius dari keluarga pada anak di akhir masa
kanak-kanak sangat penting, terutama untuk mendampingi anak dalam
perkembangan emosinya dan dengan memberikan suasana belajar yang
orangtua hanya mengharapkan hasil tanpa memperhatikan prosesnya. Proses
yang dimaksud disini adalah, bagaimana seorang anak diperlakukan, dididik
dan diberi fasilitas yang mendukung ketika belajar. Banyak orang tua
menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah, karena
menganggap bahwa sekolah bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
pendidikan anak, baik pendidikan intelegensia maupun kepribadian. Masih
banyak orang tua kurang sadar, bahwa faktor keluarga sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan belajar anak,
Dari faktor internal kita melihat bahwa faktor kecerdasan menjadi hal
yang penting untuk menentukan hasil belajar seseorang. Faktor kecerdasan
intelektual sangat penting dalam pencapaian hasil belajar yang baik bagi
seorang anak. Banyak orang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar
yang tinggi diperlukan kecerdasan intelektual (IQ) yang juga tinggi.
Kecerdasan intelektual merupakan kemampuan yang dapat mempermudah
seorang siswa mengikuti pelajaran dan tentu saja akan menghasilkan prestasi
belajar yang optimal. Umumnya orang yang memiliki kecerdasan intelektual
rendah memang akan sulit mengikuti pelajaran di kelas. Siswa pintar dengan
prestasi bagus dan nilai raport tinggi, selalu diidentikkan dengan siswa yang
memiliki kecerdasan intelektual tinggi.
Berdasarkan pengalaman penulis sewaktu mengikuti Program
Pengalaman Lapangan (PPL) di sekolah, penulis melihat bahwa pendapat
tentang nilai yang tinggi identik dengan kecerdasan intelektual tinggi tidak
dari beberapa siswa yang selalu mengganggu efektifitas proses belajar
mengajar di kelas. Hal tersebut terjadi karena diantara siswa ada yang suka
membuat gaduh suasana kelas ketika belajar dan ada juga yang menyita waktu
belajar karena harus diberikan ujian ulang karena nilai ujiannya rendah. Guru
matematika di kelas tersebut menyatakan, bahwa siswa tersebut sebenarnya
bukanlah murid yang berintelegensia rendah meskipun selama ini nilai
matematikanya buruk. Bahkan bisa dikatakan siswa tersebut cerdas bila diukur
dari hasil tes intelegensia, dimana hasil tes intelegensia siswa tersebut bahkan
lebih tinggi dari beberapa teman-teman sekelasnya yang memiliki nilai
matematika yang lebih tinggi dari dia. Menurut guru matematika tersebut,
siswa itu memiliki masalah pribadi dan keluarga yang berimbas pada
ketidakstabilan emosinya.
Orang yang memiliki intelegensi tinggi tetapi tidak diimbangi dengan
emosi yang stabil cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan,
terlalu kritis, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit
mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung
dengan rendahnya taraf kecerdasan emosionalnya, maka orang-orang seperti
ini sering menjadi sumber masalah. Karena sifat-sifat di atas, bila seseorang
memiliki kecerdasan intelektual tinggi namun taraf kecerdasan emosinya
rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit
bergaul, mudah frustrasi, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka
dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stress
Kondisi sebaliknya dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf
kecerdasan intelektual rata-rata namun memiliki kecerdasan emosi yang
tinggi. Kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya
adalah kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) (Goleman 2000:44).
Berdasarkan pemahaman dan pengalaman tersebut penulis tertarik
meneliti hubungan antara kecerdasan emosional dan hasil belajar matematika
siswa, serta hubungan antara suasana belajar dalam keluarga dengan hasil
belajar matematika siswa.
Pada penelitian ini penulis mengunakan populasi siswa SMP Bopkri 2
Yogyakarta. Alasannya adalah karena jumlah siswa di kelas maksimal 20
orang perkelas, jumlah yang efektif untuk sampel yang dibutuhkan agar
pengamatan atau observasi terhadap karakter siswa lebih akurat. Penulis juga
mengamati bahwa karakteristik siswa pada waktu pelajaran matematika di
kelas sangat beragam karena para siswa juga berasal dari berbagai latar
belakang keluarga yang berbeda. Keberagaman karakter siswa dan latar
belakang siswa yang berbeda sangat penting bagi peneliti untuk
mengumpulkan data.
Untuk melihat hubungan antara kecerdasan emosi dan suasana belajar
dalam keluarga terhadap hasil belajar siswa, khususnya hasil belajar
matematika, maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk
Keluarga terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Bopkri 2
Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat
dikemukakan rumusan masalah berikut:
1. Bagaimana keadaan tingkat kecerdasan emosi siswa, suasana belajar
dalam keluarga siswa dan hasil belajar siswa kelas VII di SMP Bopkri 2
Yogyakarta?
2. Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan hasil belajar
matematika pada siswa kelas VII di SMP Bopkri 2 Yogyakarta?
3. Apakah ada hubungan antara suasana belajar dalam keluarga dengan hasil
belajar matematika pada siswa kelas VII di SMP Bopkri 2 Yogyakarta?
4. Apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dan suasana belajar dalam
keluarga secara bersama-sama terhadap hasil belajar matematika pada
siswa kelas VII di SMP Bopkri 2 Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dan
suasana belajar dalam keluarga terhadap hasil belajar matematika siswa,
khususnya hasil belajar matematika siswa kelas VII SMP Bopkri 2
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi beberapa pihak, antara lain :
1. Bagi Siswa :
Penelitian ini diharapkan :
a. Dapat membangun karakter siswa yang lebih paham untuk mengelola
dan mengontrol emosinya sendiri menjadi lebih positif, serta siswa
dapat termotivasi untuk lebih meningkatkan hasil belajarnya,
khususnya hasil belajar matematika.
b. Dapat memotivasi siswa untuk membentuk dan menemukan suasana
belajar yang ideal dalam keluarga.
c. Dapat menjadi masukan bagi siswa untuk mengembangkan diri dan
kehidupan yang lebih baik
2. Manfaat Bagi Sekolah dan Dunia Pendidikan:
Penelitian ini diharapkan :
a. Dapat memberi wawasan yang lebih luas bagi guru untuk selalu
memperhatikan dan meningkatkan aspek-aspek lain pada siswa selain
aspek kecerdasan intelektual, ketika melakukan proses belajar
mengajar di kelas.
b. Dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada para
konselor sekolah dan guru dalam upaya membimbing dan memotivasi
siswa remaja untuk menggali kecerdasan emosi yang dimilikinya guna
lebih meningkatkan hasil belajar, khususnya hasil belajar matematika.
kepada keluarga, agar membantu anak menciptakan suasana belajar
kondusif, guna membantu anak dalam melakukan aktifitas belajar di
rumah.
3. Manfaat Bagi Peneliti :
Penelitian ini diharapkan :
a. Dapat membantu peneliti mengoreksi diri sendiri untuk lebih melihat
potensi kecerdasan emosi dan lingkup keluarga serta pengaruhnya
dalam diri peneliti pribadi.
b. Dapat mempersiapkan peneliti menjadi guru yang lebih memahami
dan mengembangkan kemampuan siswa bukan hanya dari segi
intelektual tapi juga dari lingkup keluarga dan faktor emosionalnya.
c. Memberikan sumbangan pikiran dalam rangka penanaman ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan studi matematika.
E. Batasan Istilah
Agar tidak terjadi kesalahpahaman, penyimpangan, penafsiran yang
tidak tepat dan agar dapat mencapai tujuan penelitian, maka masalah
penelitian dibatasi pada hal-hal berikut.
1. Kecerdasan Emosi
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosi adalah
kemampuan siswa untuk mengenali perasaan-perasaan sendiri,
mengendalikan perasaan, memotivasi diri, mengelola perasaan sendiri,
2. Keluarga
Dalam penelitian ini keluarga adalah tempat dimana seorang anak
menjalani hidupnya sehari-hari bersama orang tua dan saudara-saudarinya
di rumah.
3. Hasil belajar
Dalam penelitian ini hasil belajar adalah hasil yang diperoleh siswa dalam
proses belajar matematika setelah mengikuti pelajaran di sekolah
menengah pertama yang diukur dengan test atau evaluasi matematika yang
disusun oleh peneliti.
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian Emosi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), emosi berarti
luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, yang
berhubungan dengan keadaan serta reaksi psikologis dan fisiologis seperti
kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan dan keberanian yang bersifat
subjektif.
Kata emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu dari akar kata emovere,
yang berarti menggerakkan dan bergerak menjauh. Pengertian ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal yang mutlak
dalam emosi. Disini emosi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak
atau rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan
secara berangsur-angsur oleh evolusi (Goleman, 1997:7).
Paul Ekman dari University Of California (dalam Goleman,
1997:412), menggolongkan beberapa emosi sebagai emosi besar atau
emosi primer, yaitu emosi yang paling biasa muncul pada seorang
manusia. Emosi ini disebut emosi primer karena emosi ini bersifat
universal artinya bisa dikenal oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia meski
hanya dari ekspresi wajah seseorang, termasuk bangsa-bangsa buta huruf
terjadi pada diri seorang berkaitan dengan amarah, sedih, takut, terkejut,
malu dan cinta seperti yang diuraikan berikut ini.
a. Amarah
Suatu sikap yang muncul karena sesuatu yang terjadi tidak sesuai
dengan keinginan. Golongan emosi yang ditimbulkan adalah beringas,
benci, kesal hati, tersinggung, jengkel, muak, dan bermusuhan.
b. Kesedihan
Sikap yang timbul karena rasa susah atau pilu hati, biasanya muncul
karena rasa kehilangan atau peristiwa duka. Golongan emosi yang
ditimbulkan adalah pedih, sedih, muram, melankolis, mengasihani diri
sendiri, kesepian, ditolak, putus asa, atau depresi berat.
c. Rasa Takut
Reaksi awal yang muncul dari ingatan-ingatan yang kurang
menyenangkan. Golongan emosi yang ditimbulkan adalah cemas,
gugup, khawatir, was-was, waspada, tidak tenang, ngeri, takut sekali,
kecut, fobia dan panik.
d. Kenikmatan
Sikap yang timbul karena rasa puas dan nyaman. Golongan emosi yang
ditimbulkan adalah bahagia, gembira, ringan, riang, senang, terhibur,
bangga, kenikmatan inderawi, takjub, dan terpesona.
e. Cinta
Sikap positif yang muncul karena rasa dikasihi dan mengasihi terhadap
adalah penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa
dekat, bakti, hormat, kasmaran dan kasih.
f. Terkejut
Reaksi yang muncul akibat sesuatu yang terjadi di luar batas perkiraan.
Golongan emosi yang muncul adalah takjub, terpana, terperanjat dan
kaget.
g. Malu
Reaksi yang muncul karena merasa tidak enak hati, segan atau karena
suatu perbuatan kurang baik diketahui orang lain. Golongan emosi
yang muncul adalah rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, hina, aib
dan hati hancur lebur.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa emosi
adalah suatu reaksi yang muncul dalam diri individu yang dipicu oleh
suatu keadaan, dimana reaksi tersebut melibatkan aspek biologis dan
psikologis pada diri individu.
2. Pengertian Kecerdasan Emosi
Orang yang pertama kali mengungkapkan adanya kecerdasan lain
selain kecerdasan intelektual adalah Howard Gardner. Dalam bukunya
yang berjudul Frames of Mind yang diterbitkan tahun 1983, Gardner
secara tegas menolak cara berpikir yang telah meresap kuat dalam
masyarakat yang menyatakan bahwa seseorang itu cerdas atau tidak,
memang terlahir demikian, tak ada banyak hal yang bisa dibuat untuk
kesuksesan seseorang. Gardner menyebut cara berpikir tersebut adalah
"cara berpikir IQ", karena menempatkan kecerdasan intelektual sebagai
yang utama dalam hidup seseorang (dalam Goleman, 1997:48).
Selanjutnya Gardner menyatakan bahwa bukan hanya satu jenis
kecerdasan yang menjadi penentu kesuksesan seseorang, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu
linguistik, matematika atau logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal
dan intrapersonal. Spektrum Kecerdasan dengan tujuh varietas utama ini
dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel
Goleman disebut sebagai kecerdasan emosi (Goleman, 1997:50).
Pencipta istilah kecerdasan emosi, Peter Salovey dan Jack Mayer
(dalam Stein dan Book, 2004:30) mendefinisikan kecerdasan emosi
sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan
membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan
dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam.
Menurut Reuven Bar (dalam Stein dan Book, 2004:30), kecerdasan
emosi adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non
kognitif yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhasil
mengatasi tuntutan dan tekanan dari lingkungan tempat dia hidup.
Selanjutnya, menurut Goleman kecerdasan emosi adalah kemampuan
seseorang untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi
frustrasi, mengatur dan menyelaraskan emosi dengan inteligensi; menjaga
diri, pengendalian diri, empati dan keterampilan sosial. Goleman
menambahkan kecerdasan emosi merupakan sisi lain dari kecerdasan
kognitif yang berperan dalam aktivitas manusia yang meliputi kesadaran
diri dan kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri
serta empati dan kecakapan sosial (Goleman, 1997:45).
Kecerdasan emosi lebih ditujukan kepada upaya mengenali,
memahami dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat dan upaya
untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk
memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan
antar manusia. Kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia, dari
pengalaman masa kecil hingga dewasa. Kecerdasan emosi ternyata juga
dapat dipelajari, sifatnya tidak tetap, dan selalu ada kemungkinan untuk
berubah.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosi adalah keterampilan untuk mengenali dan mengelola
semua perasaan yang timbul dari diri sendiri dan orang lain serta
mengaplikasikannya dengan tepat dengan cara dan waktu yang tepat untuk
kemudian menghasilkan hal-hal positif bagi diri sendiri dan orang lain.
3. Jenis-jenis Kecerdasan Emosi
Setiap individu memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda.
Goleman (1997:315) mengemukakan bahwa setiap individu memiliki
kecerdasan emosi tinggi atau rendah. Orang yang memiliki kecerdasan
rendah. Goleman memberikan spesifikasi dari dua jenis kecerdasan
tersebut dengan indikator sebagai berikut :
a. Kecerdasan emosi tinggi adalah orang yang mampu mengendalikan
perasaan marah, tidak agresif dan memiliki kesabaran, memikirkan
akibat sebelum bertindak, berusaha mempunyai daya tahan untuk
mencapai tujuan hidupnya, menyadari perasaan diri sendiri dan orang
lain serta berempati pada orang lain. Orang dengan kecerdasan emosi
tinggi juga dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif, memiliki
konsep diri yang positif, mudah menjalin persahabatan dengan semua
orang, mahir dalam berkomunikasi, dan dapat menyelesaikan konflik
sosial secara damai.
b. Kecerdasan emosi rendah adalah orang yang bertindak mengikuti
perasaan tanpa memikirkan akibatnya. Pemarah, bertindak agresif dan
tidak sabar, memiliki tujuan hidup dan cita-cita yang tidak jelas,
mudah putus asa, kurang peka terhadap perasaan diri sendiri dan orang
lain, tidak dapat mengendalikan mood atau perasaan negatif. Memiliki
konsep diri yang negatif, tidak mampu menjalin persahabatan yang
baik dengan orang lain, tidak mampu berkomunikasi dengan baik, dan
menyelesaikan konflik dengan kekerasan.
Biasanya anak-anak yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi
akan nampak bahagia pada raut wajahnya dan jadi anak yang disenangi
diantara teman-temannya karena sikapnya yang percaya diri dan pandai
sebaliknya, selalu mempunyai masalah dengan dirinya sendiri dan orang
lain. Hal ini kelihatan dari sikapnya yang kaku dan nampak tertekan,
karena memiliki banyak penilaian-penilaian negatif pada dirinya sendiri
dan pada orang lain dan lingkungan sekitarnya.
4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosi
Salovey (dalam Goleman 1997:57) membagi kecerdasan emosi ke
dalam lima ciri-ciri utama, yaitu :
a. Pengenalan Diri
Pengenalan diri atau mengenali emosi diri sendiri adalah suatu
kemampuan untuk mencermati dan menguasai perasaan sendiri. Orang
yang mempunyai kemampuan mengenali diri serta mengenal emosi
diri sendiri adalah orang yang mempunyai keyakinan tinggi akan
perasaannya dan handal dalam mengambil keputusan yang tepat dalam
hidupnya.
Goleman (1997) menyatakan bahwa pengenalan diri merupakan
karakter dari orang yang tahu dan sadar diri sewaktu suatu perasaan
terjadi. Diperlukan pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar
pengenalan terhadap diri semakin matang. Pengenalan diri merupakan
ketrampilan dasar utama yang akan menumbuhkan tiga kecakapan
emosi berikut :
1) Menilai diri secara akurat, yaitu mengetahui kelebihan dan
2) Kesadaran emosi, yaitu tahu dan sadar pengaruh emosi pada diri
dan orang lain, dan menggunakannya untuk membuat keputusan.
3) Percaya diri, yaitu memiliki harga diri dan kemampuan sendiri.
b. Pengendalian Diri
Pengendalian diri adalah kemampuan mengatur diri dan
mengelola kondisi, impuls, dan sumber daya diri sendiri (Goleman,
1997).
Berdasarkan pengertian diatas, dapat diartikan bahwa
pengendalian diri adalah kemampuan mengelola emosi dan menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga dapat bangkit
dengan cepat jika mengalami masalah berat dalam hidupnya.
Pengendalian diri merupakan ketrampilan emosi yang tercakup dalam
kecakapan emosi berikut :
1) Sabar, yaitu mengelola emosi dengan efektif.
2) Inovasi, yaitu : bersikap terbuka terhadap gagasan dan informasi
terkini.
3) Kehati-hatian, yaitu : dapat diandalkan dan bertanggungjawab
dalam setiap tindakannya.
4) Dapat dipercaya, yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas.
5) Adaptabilitas, yaitu : keluwesan dalam menangani perubahan dan
c. Memotivasi Diri
Memotivasi diri adalah kemampuan untuk menyemangati,
mendorong, mengendalikan dan menguasai diri sendiri untuk
mencapai suatu tujuan. Kemampuan untuk melakukan hal ini hanya
bisa dimiliki oleh orang yang berpikiran positif dan selalu mengajak
diri berbahagia atas apapun yang terjadi.
Motivasi adalah kemampuan emosi untuk mengantar seseorang
untuk meraih sasaran (Goleman, 1997). Menata emosi berarti
memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi.
Motivasi diri merupakan ketrampilan emosi yang tercakup dalam
kecakapan emosi berikut :
1) Optimis, yaitu : melihat kesempatan baik dalam setiap peristiwa,
serta gigih dalam mencapai tujuan meski banyak halangan.
2) Komitmen, yaitu setia dan menyesuaikan diri dengan keputusan
yang diambil.
3) Inisiatif, yaitu selalu siap memanfaatkan kesempatan.
4) Dorongan berprestasi, yaitu : semangat untuk mencapai standar
keberhasilan.
d. Empati
Empati adalah suatu kepedulian dan kemampuan untuk
merasakan apa yang dirasakan orang lain, biasanya muncul ketika
orang lain merasakan penderitaan atau kesusahan. Menurut Goleman,
dan diri sendiri adalah orang yang menderita penyakit aleksitimia.
Ketidakmampuan dalam merasakan perasaan orang lain adalah
kekurangan utama dalam kecerdasan emosi dan cacat yang
menyedihkan sebagai seorang manusia, karena setiap hubungan yang
merupakan akar kepedulian berasal dari penyesuaian emosi (Goleman,
1997:135).
Empati adalah ketrampilan dasar untuk semua kecakapan sosial
yang penting untuk hidup dalam masyarakat dan untuk bekerja.
Empati merupakan ketrampilan emosi yang tercakup dalam kecakapan
emosi berikut:
1) Memahami orang lain, yaitu merasakan perasaan atau penderitaan
orang lain, mengerti cara pandang orang lain dan menunjukkan
minat afektif terhadap kepentingan mereka.
2) Mengatasi keragaman, yaitu membangun pergaulan yang baik
dengan bermacam-macam latar belakang orang lain.
3) Mengembangkan orang lain, yaitu mengindera kebutuhan orang
lain untuk berkembang dan meningkatkan kemampuan mereka.
e. Ketrampilan Sosial
Suatu hubungan tanpa komunikasi, misalnya bahasa isyarat atau
percakapan langsung dengan tatap muka serta bahasa tubuh, maka
tidak akan ada suatu hubungan yang interpersonal.
Keterampilan sosial adalah kemampuan membina hubungan atau
yang menunjang popularitas (Goleman, 1997:59). Ketrampilan sosial
sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain.
Ketrampilan sosial merupakan ketrampilan emosi yang tercakup dalam
kecakapan emosi berikut :
1) Kepemimpinan, yaitu menjadi pemandu dan pemimpin.
2) Organisasi, yaitu menciptakan sinergi dalam kerjasama meraih
sasaran kelompok.
3) Membangun ikatan, yaitu menumbuhkan hubungan dengan orang
lain.
4) Komunikasi, yaitu menyampaikan pesan secara efektif. 5. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Goleman (1997) mengemukakan bahwa terdapat empat faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi, yaitu :
a. Pengalaman
Kecerdasan emosi dapat meningkat sepanjang perjalanan hidup
individu. Ketika individu belajar untuk menangani suasana hati,
menangani emosi yang sulit, maka semakin cerdaslah emosi individu.
b. Usia
Semakin tua usia individu maka pada umumnya kecerdasan emosinya
akan lebih baik dibanding dengan usia yang lebih muda. Hal ini
dipengaruhi proses belajar yang dialami oleh individu seiring dengan
c. Jenis kelamin
Tidak ada perbedaan antara kemampuan pria dan wanita dalam
meningkatkan kecerdasan emosinya. Tetapi rata-rata wanita memiliki
keterampilan emosi yang lebih baik dibandingkan dengan pria.
d. Jabatan
Umumnya orang yang punya jabatan akan dengan sendirinya belajar
mengelola kecerdasan emosinya, baik dengan cara mempelajari atau
melatihnya, agar dapat menjalin hubungan dengan orang lain secara
lancar, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani
perselisihan yang muncul dalam kelompok. Sehingga mampu
merumuskan suara kolektif untuk meraih sasaran (Goleman 1997:166).
Goleman memaparkan hasil yang diperoleh dari anak yang telah
diberi program mengelola emosi (Goleman,1997:269).
a. Lebih peka terhadap perasaan orang lain dan
b. Lebih memahami akibat-akibat dari tindak tanduk mereka
c. Meningkatnya kemampuan untuk memanfaatkan situasi pergaulan,
merencanakan tindakan yang tepat dan punya harga diri yang tinggi
d. Lebih peduli pada lingkungan sosialnya
e. Lebih mampu mengatasi transisi di sekolah menengah
f. Berkurangnya sifat antisosial, mencelakakan diri sendiri dan perbuatan
tak pantas.
g. Meningkatnya kendali diri, kesadaran sosial, dan pembuatan keputusan
h. Meningkatnya keterampilan untuk belajar bagaimana caranya belajar.
Menurut John Gottman dan Joan Declaire (2008:42), anak yang
mampu mengendalikan emosinya akan tumbuh menjadi pribadi yang
mengagumkan, punya harga diri yang tinggi, percaya diri, mampu
menyelesaikan masalah-masalahnya dan mampu belajar dengan baik, yang
pada akhirnya membawa anak mendapatkan hasil belajar yang lebih baik
B. Suasana Belajar Dalam Keluarga 1. Pengertian Keluarga
Keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri anak. Hal ini
disebabkan karena keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang anak
yang memberi kontribusi inti dalam hidupnya sebelum sekolah formal atau
lingkungan masyarakat. Semua interaksi yang terjadi antara anak dan
orang tua dalam keluarga akan memiliki makna bagi kehidupan anak
untuk selanjutnya.
Setiap keluarga memiliki kekhasan masing-masing dalam cara
mendidik dan menanamkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan hidup.
Semua hal tersebut secara tidak sadar akan mempengaruhi pembentukan
kepribadian dan semangat hidup seorang anak. Keluarga yang berhasil
akan memberi pengaruh positif bagi kehidupan anak, sedangkan keluarga
yang gagal atau keluarga yang penuh konflik dan tidak bahagia akan
Gottman mendefinisikan keluarga sebagai sekumpulan orang yang
hidup bersama, dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan
batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan
saling menyerahkan diri (Gottman, 2008:142).
Selanjutnya, Kartini Kartono mendefinisikan keluarga sebagai
lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat anak belajar dan
menyatakan diri sebagai mahluk sosial. Dalam sebuah keluarga umumnya
seorang anak berada dalam interaksi yang intim. Keluarga memberikan
dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan anak
(Kartono, 1992:19). Fungsi keluarga bagi seorang anak adalah memberi
contoh rasa memiliki, memberikan model-model peran dan mengajarkan
kemampuan-kemampuan berkomunikasi, serta memenuhi kebutuhan
psikologi dan emosional untuk menunjang mewujudkan potensi seorang
anak.
Dari penjabaran tersebut dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah
kesatuan antara ayah, ibu, dan anak, dan menjadi tempat pertama seorang
anak memperoleh pendidikan, bimbingan dan kasih sayang dan yang kelak
akan menjadi bekal dalam hidupnya.
2. Pengertian Suasana Belajar Dalam Keluarga
Belajar dapat dilakukan dimana saja. Demikian juga ketika berada di
rumah atau dalam keluarga belajar dapat dilakukan di ruang tamu, di
lantai, di taman, di halaman, atau dimana saja. Belajar juga bisa dilakukan
berjalan. Semua tergantung dari kebiasaan atau situasi keluarga dimana
anak tinggal.
Tempat atau cara belajar memang bisa beragam, tetapi kenyamanan
dan kualitas hasil belajar yang menjadi tujuan belajar sering menjadi
kurang maksimal. Tempat yang nyaman dan suasana belajar yang kondusif
menjadi faktor pendukung hasil belajar yang baik bagi seorang anak.
Menurut Winkel, lingkungan belajar adalah keseluruhan situasi atau
keadaan yang melingkupi siswa atau keadaan yang dengan kehadirannya
memberikan pengaruh pada perkembangan siswa (Winkel, 1989:108).
Lingkungan belajar yang dimaksud Winkel disini adalah sekolah,
masyarakat dan keluarga.
Dalam keluarga, anak menghabiskan waktu relatif lebih lama
daripada di tempat lain. Keluarga juga dapat menjadi tempat belajar yang
paling potensial dan penting bagi anak, dimana anak bisa belajar dengan
kualitas lebih baik dengan dibimbing dan dimotivasi oleh seluruh anggota
keluarga didukung oleh suasana yang nyaman dan kondusif .
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suasana belajar
dalam keluarga berarti keseluruhan keadaan situasi dan kondisi atau
kejadian-kejadian yang terjadi ketika anak belajar dalam keluarga yang
memberikan pengaruh baik positif maupun negatif bagi perkembangan
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Suasana Belajar Dalam Keluarga
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi suasana belajar anak
dalam keluarga. Menurut Abu Ahmad (1982:86), faktor-faktor yang
mempengaruhi suasana belajar anak ketika dalam keluarga atau di rumah
adalah :
a. Keadaan Sosial Ekonomi Keluarga
Keadaan sosial ekonomi keluarga menjadi hal penting yang
memberi pengaruh terhadap suasana belajar anak dalam keluarga,
karena anak membutuhkan biaya untuk belajar. Keluarga yang
mempunyai status sosial ekonomi yang baik, akan dapat dengan
mudah memenuhi semua fasilitas belajar anak, namun tidak sedikit
juga keluarga yang tidak mampu memenuhi fasilitas atau biaya belajar
bagi anak, akibat keadaan ekonomi yang tidak memungkinkan.
Pada umumnya biaya sekolah diperoleh anak dari orangtua
walaupun sebagian anak ada yang mencari sendiri biaya sekolahnya,
baik dengan bekerja paruh waktu ataupun dengan bantuan beasiswa
dari sekolah. Banyak siswa yang sekolahnya terbengkalai dan
nilai-nilainya anjlok atau bahkan berhenti sekolah karena masalah biaya.
Namun, banyak juga anak yang berasal dari keluarga kaya dengan
uang berlebihan justru gagal dalam studi. Hal ini karena anak tersebut
menyalahgunakan uang yang diterima. Maka dalam hal, ini masalah
sosial ekonomi tergantung pada sejauh mana pengertian orangtua
bagaimana anak memanfaatkan biaya dan fasilitas yang diberikan
kepadanya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fasilitas adalah segala
sesuatu yang memudahkan (2001:123). Dengan pengertian tersebut,
dapat didefinisikan bahwa fasilitas adalah segala sesuatu yang ada
yang dapat mempermudah pencapaian suatu tujuan. Fasilitas dalam
keluarga yang disediakan orang tua bagi anaknya adalah untuk
menunjang kelancaran belajar. Dengan adanya fasilitas belajar tersebut
anak diharapkan dapat belajar dengan baik dalam keluarga, karena
fasilitas tersebut berfungsi untuk meningkatkan proses belajar anak.
Ada beberapa fasilitas yang dibutuhkan anak dalam belajar yang
diharapkan dapat dipenuhi oleh keluarga sebagai fasilitas atau sarana
untuk mendukung kegiatan belajar anak. Fasilitas belajar atau sarana
belajar tersebut diantaranya adalah buku referensi, alat-alat tulis, kursi
atau meja, dan komputer.
1) Buku Referensi
Buku referensi adalah media tradisional untuk menunjang
dan membantu proses belajar siswa. Dalam penelitian ini penulis
membatasi buku referensi sebagai buku paket yang berbentuk non
elektronik. Buku referensi sebagai buku teks menjadi sumber ilmu
pengetahuan yang dapat dimanfaatkan siswa untuk memahami,
Siswa yang tidak memiliki buku referensi memang masih
bisa memanfaatkan buku catatan. Namun hal itu tetap saja
menghambat siswa dalam proses pembelajaran, karena dalam buku
referensi materi dimuat dengan lebih lengkap dan terperinci.
2) Alat-alat Tulis
Alat-alat tulis adalah perlengkapan yang menjadi hal pokok
bagi anak untuk belajar. Alat tulis yang harus dimiliki seorang anak
adalah pulpen, pensil, penggaris, buku, dan penghapus.
Tanpa alat tulis tersebut anak memang masih bisa belajar,
tetapi tidak akan bisa belajar dengan efektif dan maksimal karena
kurangnya media atau alat yang bisa dipergunakan. Maka alat-alat
tulis tersebut sangat bermanfaat dan mendukung bagi proses
belajar anak.
3) Ruang Belajar
a) Tempat Belajar
Tempat yang nyaman dan kondusif menjadi salah satu
faktor pendukung hasil belajar yang baik bagi seorang anak.
Maka dapat diartikan bahwa ruang belajar adalah ruangan yang
digunakan oleh siswa agar dapat belajar dengan baik dan lebih
berkonsentrasi.
b) Perabotan Belajar
Kursi, meja dan perabotan lainnya seperti rak buku adalah
tanpa kursi atau meja atau perabotan lainnya, seorang anak
tetap bisa melaksanakan proses belajar di rumah dengan
memanfaatkan kamar tidur atau ruang lain, dengan cara duduk
di lantai atau berbaring di kasur.
Namun, belajar sambil berbaring atau duduk ditikar atau
dilantai kurang memberi kenyamanan pada anak dan tidak
mendukung proses belajar. Anak akan cepat mengantuk jika
belajar sambil berbaring dikasur dan badan akan cepat lelah
jika belajar sambil duduk dilantai atau ditikar. Kenyamanan
anak dalam belajar akan mempengaruhi konsentrasi belajar
anak.
c) Penerangan
Penerangan adalah pencahayaan yang baik yang
dibutuhkan anak untuk belajar di rumah. Penerangan atau
listrik sangat dibutuhkan seorang anak sewaktu belajar
terutama di malam hari, dan pada siang atau sore hari, anak
juga sangat membutuhkan cahaya untuk belajar.
Anak masih bisa belajar tanpa penerangan listrik yaitu
dengan menggunakan lilin atau obor dan yang lainnya. Namun
tetap saja hasilnya kurang maksimal, karena suasana belajar
dengan penerangan yang buram atau remang-remang membuat
gairah belajar anak turun dan akibatnya juga kurang baik bagi
d) Ventilasi
Ventilasi adalah sarana atau celah yang berfungsi untuk
menghasilkan sirkulasi udara yang dibutuhkan untuk
kenyamanan belajar.
4) Komputer dan Jaringan Internet
Bagi seorang siswa sekolah menengah pertama, komputer
dan jaringan internet mungkin belum menjadi hal yang mutlak
diperlukan. Namun pada jaman sekarang komputer menjadi alat
belajar yang sudah biasa dipergunakan di sekolah menengah
pertama, dan bahkan anak sekolah dasar juga sudah memakainya.
Penggunaan komputer dan jaringan internet secara efektif
oleh anak, dapat menambah wawasan dan pengetahuannya.
5) Media Massa
Media massa adalah sarana penunjang yang dibutuhkan anak
untuk menambah wawasannya dan meningkatkan pengetahuan
umum anak di luar pelajaran yang diperoleh di sekolah. Media
massa yang dimaksud disini adalah koran, majalah, televisi dan
radio.
b. Suasana Keluarga.
Suasana keluarga adalah situasi dan kondisi dalam rumah atau
keluarga, pada saat anak sedang belajar. Suasana keluarga yang
anak untuk belajar. Suasana kondusif tersebut akan memberi motivasi
dan semangat bagi anak untuk belajar.
Dukungan dari ayah, ibu serta dari saudara lain sangat
dibutuhkan seorang anak ketika belajar. Sedangkan keluarga yang
terpecah atau tidak harmonis akan memunculkan suasana dalam
keluarga yang tegang, kaku dan penuh konflik. Hal ini membuat anak
tidak betah dan tidak bersemangat untuk belajar.
c. Sikap dan Kebiasaan-kebiasaan Orangtua
Proses belajar, dapat dilaksanakan seorang anak di sekolah atau
di rumah. Jika di sekolah guru memegang peranan penting dalam
proses belajar anak, maka di rumah orangtua bertanggung jawab
terhadap kegiatan belajar anak. Komunikasi yang baik antara anak dan
orangtua dapat menimbulkan ikatan yang baik antara anak dan
orangtua serta meningkatkan minat belajar anak karena merasa dicintai
dan diperhatikan.
Orang tua yang membiasakan anaknya untuk belajar dengan pola
yang baik akan membantu anak dalam proses belajar. Demikian juga
sikap orangtua yang memperhatikan dan selalu memberi dukungan
belajar kepada anak dengan penuh kasih sayang akan memotivasi
anak untuk belajar. Adapun bentuk perhatian dan bimbingan yang
dapat dilakukan orangtua terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk:
1) Menyediakan fasilitas belajar dan kebutuhan sekolah anak.
3) Menemani atau mengawasi anak ketika belajar.
4) Mengingatkan anak akan prioritas belajar dalam hidupnya.
5) Mengikuti perkembangan hasil belajar anak dari nilai-nilai ulangan
anak.
6) Membantu anak dalam kesulitan belajar.
7) Menyediakan waktu bagi anak sebagai ungkapan kasih sayang,
dengan memberi dorongan dan perhatian kepada anak.
Menurut Winkel (1989:108), suasana belajar dalam keluarga
dipengaruhi oleh faktor sosio ekonomis dan sosio kultural yang dijabarkan
sebagi berikut :
a. Keadaan Sosio Ekonomi
Keadaan sosio ekonomi adalah taraf kemampuan finansial
keluarga yang dapat berarti baik, cukup atau kurang. Pada keadaan ini
tergantung sejauh mana keluarga dapat memenuhi fasilitas atau sarana
belajar bagi anak dalam keluarga.
Namun, menurut Winkel keadaan ekonomi tersebut bisa
menguntungkan sekaligus menghambat untuk belajar. Anak yang
berada dalam taraf sosio ekonomi tinggi lebih terdukung untuk belajar
karena semua fasilitas dan kebutuhannya sudah dipenuhi, namun ada
juga yang menjadi malas untuk belajar karena merasa semua
kebutuhannya sudah dipenuhi dan jaminan masa depannya sudah ada.
Sedangkan anak yang berada pada taraf sosio ekonomi rendah, yang
karena keinginannya untuk maju dan mendapatkan hidup lebih layak.
Menurut Winkel, hal tersebut dikaitkan dengan sikap anak sendiri
dalam menghadapi keadaan tersebut.
b. Keadaan Sosio Kultural
Keadaan sosio kultural adalah taraf kebudayan yang dimiliki
keluarga, dapat tinggi, tengahan atau rendah. Keadaan ini tergantung
pada pandangan keluarga tentang pendidikan dan corak hubungan atau
pergaulan antara anak dan orangtua. Anak yang berada pada keluarga
dengan taraf kebudayaan tinggi akan lebih beruntung, karena orangtua
sudah mengetahui manfaat pendidikan dan punya pengalaman pribadi
tentang belajar, maka orangtua akan mendampingi dan melayani anak
yang membutuhkan bantuan dalam belajar. Tentu saja hal ini akan
memberi semangat bagi anak untuk belajar di rumah. Sebaliknya siswa
yang berada dalam keluarga dengan taraf kebudayaan rendah akan
menemukan banyak pertentangan antara kebiasaan-kebiasaan di rumah
dan tuntutan-tuntutan belajar di sekolah.
Namun hasil belajar suasana belajar dalam keluarga tetap
tergantung pada sikap anak dalam menghadapi perbedaan tersebut
serta bagaimana orangtua serta anggota keluarga lain ikut membantu
dan mendorong anak untuk belajar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa suasana belajar dalam keluarga sangat
mempengaruhi hasil belajar bagi anak, dimana suasana belajar kondusif,
menjadikan suasana belajar dalam keluarga yang ideal bagi seorang anak
untuk mencapai hasil maksimal.
C. Hasil Belajar Matematika
1. Pengertian Hasil Belajar Matematika
Dalam proses belajar mengajar, sasaran utama yang diharapkan
adalah tercapainya hasil belajar. Hasil belajar yang diberikan guru dapat
berupa angka atau nilai yang beragam, sesuai dengan kemampuan siswa
yang bersangkutan. Nilai tersebut menjadi menjadi gambaran hasil belajar
yang diperoleh siswa. Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar. Kemampuan tersebut
meliputi kemampuan dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik
(Sudjana, 1989:22).
Ranah kognitif adalah hasil belajar yang menunjuk kepada
perkembangan fungsi intelektual, meliputi pengetahuan, pemahaman,
penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.
Ranah afektif adalah hasil belajar yang menunjuk kepada
perkembangan mental siswa yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara berhubungan dengan orang lain, meliputi aspek
penerimaan, penilaian, jawaban atau reaksi, organisasi dan pembentukan
Ranah psikomotorik adalah hasil belajar yang menunjuk kepada
perkembangan ketrampilan fisik siswa, yaitu persepsi, kesiapan, dan
kreativitas.
Pada masyarakat modern seperti sekarang ini, hasil belajar seorang
siswa menjadi hal yang sangat penting. Hasil belajar yang baik dianggap
sebagai cermin pengetahuan seorang anak. Dengan hasil belajar yang baik,
maka seorang siswa dianggap berhasil mengikuti proses belajar mengajar,
dapat diandalkan dan memiliki pengetahuan serta kemampuan yang baik
dalam pelajaran tersebut.
Siswa yang memiliki hasil belajar yang baik, akan selalu dicari dan
diutamakan oleh orang banyak, dan diyakini memiliki masa depan lebih
baik dari pada anak yang memiliki hasil belajar yang kurang baik. Maka
dengan alasan tersebut, setiap siswa berusaha untuk memiliki hasil belajar
yang baik.
Dalam pelajaran matematika, hasil belajar ditandai dengan
perubahan tingkah laku yang diarahkan pada pemahaman konsep-konsep
dalam matematika, termasuk didalamnya konsep-konsep dari materi yang
diberikan oleh guru. Konsep-konsep tersebut diharapkan dapat
mengarahkan anak untuk berpikir lebih matematis, logis dan selalu
percaya diri karena matematika yang memang selalu mengajarkan ilmu
yang pasti kepada siswa.
Maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah
tes yang diberikan guru. Disini, hasil matematika yang baik indikatornya
adalah jika seorang siswa kelas VII mampu menyelesaikan soal atau tes
matematika dengan baik dari materi yang telah dipelajari sampai kelas VII.
Seorang siswa hanya akan mampu menyelesaikan soal atau tes
matematika, jika sudah menguasai materi yang diujikan tersebut.
Hasil belajar matematika ini adalah gambaran dari usaha anak
setelah mengikuti proses belajar mengajar, serta menjadi tolak ukur bagi
guru untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa terhadap pelajaran
yang telah diterima oleh siswa.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Matematika
Menurut Winkel (1987:82) ada beberapa faktor yang mempengaruhi
hasil belajar siswa, yaitu :
a. Pribadi siswa, yang mencakup hal-hal seperti taraf intelegensi, daya
kreatifitas, kemampuan berbahasa, kecepatan belajar, kadar motivasi
belajar, sikap terhadap tugas belajar, minat dalam belajar, perasaan
dalam belajar dan kondisi mental dan fisik.
b. Pribadi Guru, yaitu yang mencakup hal-hal seperti sifat kepribadian
guru, penghayatan nilai-nilai kehidupan, daya kreativaitas, motivasi
kerja, gaya mengajar dan penguasaan materi dari seorang guru.
c. Struktur jaringan hubungan sosial yaitu yang mencakup keluarga,
status sosial, suasana dalam kelas dan interaksi antara siswa dan guru.
d. Sekolah sebagai institusi pendidikan, yaitu yang mencakup hal-hal
e. Faktor-faktor situasional, yaitu yang mencakup hal-hal keadaan sosial
ekonomi siswa.
Menurut A. Tabrani Rusyan (1994:81), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil belajar, yaitu:
a. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam anak yang
meliputi kondisi psikologis anak. Faktor-faktor tersebut adalah:
1) Kecerdasan
2) Bakat
3) Motivasi Belajar
4) Emosi
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor yang datang dari luar diri si anak, yang
meliputi:
1) Faktor sosial yang terdiri atas lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan masyarakat, dan lingkungan kelompok.
2) Faktor budaya, seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi
dan kesenian.
3) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar dan
iklim.
4) Faktor lingkungan spiritual.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa hasil belajar
diri siswa (faktor internal) maupun dari luar diri siswa (faktor eksternal).
Setelah memahami dan mengetahui faktor-faktor tersebut, maka guru dan
siswa serta semua yang terlibat dalam kegiatan belajar, dapat lebih
memprioritaskan pengembangan terhadap faktor-faktor tersebut untuk
meningkatkan hasil belajar matematika.
Penelitian ini akan dibatasi dengan meneliti kecerdasan emosi dan
suasana belajar dalam keluarga serta hubungannya dengan hasil belajar
matematika.
D. Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini penulis ingin membuktikan bahwa ada hubungan
antara kecerdasan emosi dan suasana belajar dalam keluarga terhadap hasil
belajar matematika, dengan kata lain kecerdasan emosi dan suasana belajar
dalam keluarga seorang anak akan berpengaruh terhadap hasil belajar
matematika siswa. Hal ini berdasarkan kerangka berpikir sebagai berikut:
1. Hubungan Positif antara Kecerdasan Emosi dengan Hasil Belajar Matematika.
Hubungan antara kecerdasan emosi dengan hasil belajar siswa akan
dilihat menurut ciri-ciri kecerdasan emosi menurut Salovey dalam
Goleman (1997:57).
a. Pengenalan Diri
Orang yang mempunyai pengenalan diri atau kemampuan mengenali
perasaannya dan handal dalam mengambil keputusan yang tepat dalam
hidupnya. Siswa yang mempunyai kesadaran diri tinggi akan
mengenali kemampuannya sendiri serta mengetahui apa yang dia
inginkan. Dengan itu, maka siswa yang dengan kesadaran diri tinggi
sadar akan kekurangan dan kelebihannya sendiri, dan akan belajar
lebih giat dan berulang-ulang jika belum menguasai pelajaran.
b. Pengendalian Diri.
Seorang siswa tentu akan mempunyai banyak masalah dalam
kehidupan mereka sebagai remaja, baik dari keluarga maupun sekolah
dan teman sebaya. Siswa yang memiliki kemampuan untuk mengelola
emosi mampu menangani perasaannya agar dapat terungkap dengan
tepat, sehingga dapat bangkit dengan cepat jika mengalami masalah
berat dalam hidupnya. Tidak memendam kemarahan berlarut-larut
terhadap suatu persoalan, namun tetap fokus dan konsentrasi pada
pelajaran karena melihat prioritas yang lebih utama dalam suatu
peristiwa.
c. Memotivasi Diri
Motivator terbaik adalah diri sendiri. Ketika mengalami kejatuhan,
seorang siswa membutuhkan dorongan dan dukungan dari banyak
pihak. Namun, pada dasarnya siswa mampu bangkit kembali ketika
sudah memahami dan mengerti tujuannya mengerjakan sesuatu.
mendorong, mengendalikan dan menguasi diri sendiri untuk mencapai
suatu tujuan atau prestasi.
d. Empati
Dengan empati seorang siswa akan cepat beradaptasi dengan
lingkungan sekolah, peka terhadap situasi. Khususnya ketika belajar
dapat menciptakan suasana belajar yang efektif karena siswa mampu
bersikap menyenangkan bagi guru dan teman-temannya, bertanya pada
saat dan cara yang tepat kepada guru dan teman, dan mau menjelaskan
kepada teman jika sudah tahu.
e. Keterampilan Sosial.
Perasaan senang dan bersahabat yang diperoleh dari kelas sewaktu
belajar dapat meningkatkan semangat dan minat belajar seorang siswa
dan tentunya akan menunjang hasil belajar siswa.
Orang yang mengalami gangguan emosi dan tidak mampu
mengendalikan emosinya akan berdampak terhadap aktifitas mental dan
kognitif. Murid-murid yang cemas, marah atau depresi mengalami
kesulitan belajar dan mengalami kesukaran dalam menyerap informasi
dengan benar dan efesien, serta tidak bisa berkonsentrasi (Goleman,
1997:110).
Kecemasan merontokkan nalar dan menghambat kinerja akademis,
dengan kata lain semakin rendah kecerdasan emosi seseorang, semakin
indeks prestasi kumulatifat atau tes prestasi akademik (Goleman,
1997:117)
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa kecerdasan emosi dapat
memacu semangat siswa untuk belajar, serta membuat siswa lebih
konsentrasi dan akhirnya membuat siswa lebih cepat memahami pelajaran.
2. Hubungan Positif antara Suasana Belajar dalam Keluarga dengan Hasil Belajar Matematika.
Suasana belajar dalam keluarga sangat menentukan faktor
keberhasilan seorang anak. Keluarga adalah pondasi seorang anak untuk
kehidupan selanjutnya. Berbekal dari pendidikan dan suasana belajar
dalam keluarga, seorang anak melanjutkan pendidikan di sekolah untuk
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Kemampuan
seorang anak dalam menerima pelajaran dan pendidikan disekolah
tentunya sangat ditentukan oleh suasana belajar dalam keluarga.
Suasana belajar dalam keluarga yang kondusif akan membantu siswa
dalam mencapai hasil belajar matematika yang baik. Perhatian dan
pendampingan orangtua dan anggota keluarga lain sangat membantu siswa
lebih giat belajar karena merasa nyaman dan dicintai.
Menurut Peterson dan Loeber (dalam Syah 1995:153), lingkungan
keluarga yang mempunyai fasilitas yang lengkap akan mendukung siswa
dapat belajar optimal, sehingga hasil belajar yang dicapai siswa juga akan
Menurut Goleman, pada masa kanak-kanak dan awal masa remaja
dalam hidup, adalah masa perkembangan otak yang sangat pesat bagi
seorang anak. Ketegangan hebat dalam keluarga atau perlakuan buruk dari
orang tua dalam keluarga, akan merusak pusat-pusat belajar di otak, dan
dengan demikian akan merusak kecerdasan seorang anak. Berdasarkan
hasil sebuah survey, anak-anak yang diperlakukan dengan buruk dan
ditelantarkan oleh orangtuanya akan selalu merasa cemas, tidak punya
perhatian, dan tidak punya perasaan, kadang-kadang-kadang agresif,
kadang-kadang menarik diri, tidak mampu berkonsentrasi pada pelajaran,
tidak mampu memotivasi diri untuk belajar dan menyelesaikan masalah,
serta memiliki rasio tinggal kelas sebesar 65 persen (Goleman, 1997:277).
Dari kerangka berpikir diatas, dapat digambarkan skema pemikiran
dalam penelitian ini untuk menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosi
dan suasana belajar dalam keluarga terhadap hasil belajar