• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

SENOPATI BANTUL PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2013 Christiana Putri Mahardika

118114063

INTISARI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Pengobatan pasien TB terdiri dari Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) dan obat lain yang penggunaannya dilakukan pada waktu bersamaan, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan pasien, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medik pasien dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi pustaka.

Terdapat 83 kasus pasien TB, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur anak 0-14 tahun (79,5%), pasien perempuan (53%) dan pasien tuberkulosis kategori 1 (97,6%). Pada keseluruhan peresepan pasien menggunakan OAT golongan I lini pertama dengan jenis obat yang paling sering digunakan adalah isoniazid (31,1%), rifampicin (31,1%), dan pyrazinamid (31,1%). Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid (78,3%) dan rute pemberian obat yang paling banyak diberikan adalah secara per oral (99,7%). Pada penelitian ini, keseluruhan peresepan pasien mengalami interaksi obat dengan jenis interaksi terbanyak adalah interaksi farmakokinetik (66,%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah signifikan (6 kasus).

(2)

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Therapy of TB patients consists of Anti-Tuberculosis Drugs (OAT) and other drug use is done at the same time, so there is the possibility of drug interactions. This research is aimed to investigate the characteristics of the patient, the overview patterns of tuberculosis patient prescription, to identify potential drug interactions and evaluate the clinical significance level of the drugs interaction of Tuberculosis Prescription in Outpatient Unit of Panembahan Senopati Hospital Bantul on October to December 2013. This research is a descriptive observational with cross-sectional retrospective study design.

There are 83 cases of TB patients, with most cases in the age group 0-14 years (79,5%), female patients (53%) and tuberculosis patient with category 1 (97.6%). In the overall patient prescription use OAT group I first line with the type most commonly used drugs are isoniazid (31.1%), rifampicin (31.1%), and pyrazinamid (31.1%). The most used of drugs combination are isoniazid, rifampicin, and pyrazinamid (78.3%) and the most route of administration drugs is per oral (99.7%). In this research, the overall prescribing patients have drug interactions with most types of interaction is pharmacokinetic interaction (66,7%). The most category clinical significance of drug interactions in patient prescriptions is significant (6 cases).

(3)

i

STUDI PUSTAKA INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN TUBERKULOSIS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN

SENOPATI BANTUL PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Christiana Putri Mahardika

NIM : 118114063

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)
(7)

v

(8)

vi

“Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruslamat semua manusia,

terutama mereka yang percaya”

1 Timotius 4:10

Kupersembahkan untuk: Yesus Kristus yang selalu ku andalkan Papi dan mami beserta keluarga yang selalu ada disaat senang maupun susah

(9)

vii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat

dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis Di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode

Oktober-Desember 2013” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana farmasi di

Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Proses penyusunan skripsi ini banyak

mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penyusun ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma yang telah membimbing dan memberi arahan selama penulis menjadi

mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana

yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang telah

membimbing selama proses penyusunan skripsi

4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang

telah membimbing selama proses penyusunan skripsi

5. Ibu Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt dan Ibu Dita Maria Virginia M.Sc., Apt

selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran untuk

(10)
(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

1. Mycobacterium Tuberculosis ... 8

2. Etiologi ... 8

3. Patogenesis ... 10

(12)

x

5. Kategori pasien tuberkulosis ... 11

6. Diagnosis pasien tuberkulosis ... 12

B. Pengobatan Tuberkulosis ... 16

1. Prinsip pengobatan ... 16

2. Strategi pengobatan ... 17

C. Interaksi Obat ... 23

1. Jenis interaksi obat ... 24

2. Kategori signifikansi klinis interaksi obat ... 30

D. Keterangan Empiris ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian ... 35

B. Variabel Dan Definisi Operasional ... 35

C. Subyek Dan Bahan Penelitian ... 37

D. Alat Atau Instrumen Penelitian ... 37

E. Tata Cara Penelitian ... 38

F. Tata Cara Analisis ... 39

G. Penyajian Hasil ... 41

H. Keterbatasan Penelitian ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Karakteristik Pasien Tuberkulosis ... 43

1. Umur pasien tuberkulosis ... 43

2. Jenis kelamin pasien tuberkulosis ... 46

3. Kategori pasien tuberkulosis ... 47

B. Gambaran Pola Peresepan Pada Pasien Tuberkulosis ... 49

1. Gambaran pola peresepan secara umum ... 49

2. Gambaran pola peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis ... 54

C. Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis ... 61

(13)

xi

2. Proporsi interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) dengan obat lain pada peresepan pasien ... 63

3. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien ... 65

4. Distribusi kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien ... 67

5. Mekanisme dan efek interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Dengan obat lain ... 71

D. Ringkasan Pembahasan ... 89

1. Karakteristik pasien tuberkulosis ... 89

2. Gambaran pola peresepan pada pasien tuberkulosis ... 90

3. Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 99

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang tuberkulosis ... 14

Tabel II. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ... 19

Table III. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 1 ... 20

Tabel IV. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 2 ... 21

Tabel V. Dosis OAT pada anak ... 22

Tabel VI. Dosis OAT FDC sisipan ... 23

Tabel VII. Distribusi jumlah obat tiap peresepan pasien ... 51

Tabel VIII.Distribusi cara pemberian OAT dan obat lain pada peresepan pasien ... 53

Tabel IX. Distribusi jumlah OAT pada tiap peresepan pasien ... 56

Tabel X. Distribusi jenis OAT pada tiap peresepan ... 57

Tabel XI. Distribusi kombinasi OAT pada tiap peresepan ... 59

Tabel XII.Distribusi cara pemberian OAT pada tiap peresepan ... 60

Tabel XIII.Distribusi kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan ... 68

Tabel XIV. Mekanisme dan efek interaksi obat antar OAT ... 72

Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat antara OAT dengan obat lain ... 74

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa... 13

Gambar 2. Alur tatalaksana pasien tuberkulosis anak ... 22

Gambar 3. Diagram distribusi umur pasien tuberkulosis ... 44

Gambar 4. Diagram distribusi kelompok umur anak pasien tuberkulosis ... 45

Gambar 5. Diagram distribusi jenis kelamin pasien ... 47

Gambar 6. Diagram distribusi ketegori pasien ... 48

Gambar 7. Diagram proporsi OAT dan obat lain ... 50

Gambar 8. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien ... 62

Gambar 9. Diagaram proporsi interaksi antar OAT dan antara OAT dengan obat lain pada peresepan pasien ... 64

Gambar 10.Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien ... 65

Gambar 11.Diagram proporsi interaksi farmakokinetik ... 66

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Alat atau instrumen pengambilan data penelitian peresepan obat pada pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 ... 99

Lampiran 2: Data peresepan obat pada pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 ... 100

Lampiran 3: Surat izin penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan

(17)

xv

INTISARI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pengobatan pasien TB terdiri dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain yang penggunaannya dilakukan pada waktu bersamaan, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan pasien, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medik pasien dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi pustaka.

Terdapat 83 kasus pasien TB, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur anak 0-14 tahun (79,5%), pasien perempuan (53%) dan pasien tuberkulosis kategori 1 (97,6%). Pada keseluruhan peresepan pasien menggunakan OAT golongan I lini pertama dengan jenis obat yang paling sering digunakan adalah isoniazid (31,1%), rifampicin (31,1%), dan pyrazinamid (31,1%). Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid (78,3%) dan rute pemberian obat yang paling banyak diberikan adalah secara per oral (99,7%). Pada penelitian ini, keseluruhan peresepan pasien mengalami interaksi obat dengan jenis interaksi terbanyak adalah interaksi farmakokinetik (66,%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah signifikan (6 kasus).

(18)

xvi

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Therapy of TB patients consists of Anti-Tuberculosis Drugs (OAT) and other drug use is done at the same time, so there is the possibility of drug interactions. This research is aimed to investigate the characteristics of the patient, the overview patterns of tuberculosis patient prescription, to identify potential drug interactions and evaluate the clinical significance level of the drugs interaction of Tuberculosis Prescription in Outpatient Unit of Panembahan Senopati Hospital Bantul on October to December 2013. This research is a descriptive observational with cross-sectional retrospective study design.

There are 83 cases of TB patients, with most cases in the age group 0-14 years (79,5%), female patients (53%) and tuberculosis patient with category 1 (97.6%). In the overall patient prescription use OAT group I first line with the type most commonly used drugs are isoniazid (31.1%), rifampicin (31.1%), and pyrazinamid (31.1%). The most used of drugs combination are isoniazid, rifampicin, and pyrazinamid (78.3%) and the most route of administration drugs is per oral (99.7%). In this research, the overall prescribing patients have drug interactions with most types of interaction is pharmacokinetic interaction (66,7%). The most category clinical significance of drug interactions in patient prescriptions is significant (6 cases).

(19)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium Tuberculosis

menyerang paru, namun juga dapat mengenai organ tubuh lainnya (Departemen

Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi oleh

kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, pernah terdapat 9 juta pasien

tuberkulosis baru dan 3 juta kematian akibat tuberkulosis yang terjadi di dunia.

Demikian juga pada kasus kematian wanita akibat tuberkolosis, diperkirakan

jumlahnya melebihi kematian karena kehamilan, persalinan ataupun nifas

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Di Indonesia, tuberkulosis merupakan salah satu masalah utama kesehatan

masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di

dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah

pasien tuberkulosis didunia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Pada tahun 2006, kasus baru tuberkulosis di Indonesia berjumlah >600.000 dan

sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55

tahun). Angka kematian karena tuberkulosis berjumlah sekitar 300 orang per hari

dan terjadi >100.000 kematian per tahun (Saptawati dkk, 2012). Kasus

(20)

Senopati Bantul. Dari data yang diambil pada tahun 2011 oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten Bantul, di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul,

kasus tuberkulosis mencapai angka 2.098 kasus dan masuk dalam distribusi 10

besar penyakit di instalasi rawat jalan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2012).

Kuman Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebabkan penyakit didasarkan pada

kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit. Sumber

penularan Mycobacterium Tuberculosis yaitu melalui batuk atau bersin dari seseorang

dengan BTA (Basil Tahan Asam) positif. Kuman Mycobacterium Tuberculosis akan

tersebar di udara dalam bentuk droplet dan terhirup ke dalam saluran pernafasan.

Melalui saluran pernafasan kuman Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebar dari

paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran

limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Risiko terinfeksi tuberkulosis berasal dari faktor ekternal dan internal.

Faktor eksternal berasal dari faktor lingkungan yang tidak sehat serta pemukiman

padat dan kumuh. Sedangkan faktor internal berasal dari tubuh penderita itu

sendiri yang bisa disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh,

kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain

sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Interaksi obat adalah efek obat yang dihasilkan dari pemberian dua obat

atau lebih yang diberikan pada waktu bersamaan sehingga keefektifan atau

toksisitas suatu obat dapat berubah (Kumar dkk, 2011). Obat tuberkulosis terdiri

(21)

waktu bersamaan. Banyaknya jenis obat yang digunakan pada waktu bersamaan,

sangat potensial menyebabkan terjadinya interaksi obat. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan Hasanmihardja dkk. (2007) pada pasien tuberkulosis paru anak

yang mendapat terapi kombinasi obat tuberkulosis paru rifampicin dan isoniazid,

terjadi interaksi obat yang signifikan secara klinis sebesar 157 pasien atau 87,71%

dari keseluruhan pasien anak yang terdiagnosa tuberkulosis paru di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 2003

(Hasanmihardja dkk, 2007).

Farmasis sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan memiliki

kewajiban berperan aktif dalam pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis.

Fokus farmasis pada penderita tuberkulosis adalah terapi yang digunakan selama

pengobatan tuberkulosis seperti penggunaan obat yang baik dan benar,

kemungkinan terjadinya interaksi atau kemungkinan efek samping yang timbul

pada obat tuberkulosis yang digunakan (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, 2005). Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi

respon tubuh terhadap pengobatan yang dapat menimbulkan risiko terhadap

kesehatan pasien dan meyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan

pasien (Soherwardi, 2012).

Berdasarkan survei pada bulan November 2013 yang dilakukan peneliti,

di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul belum pernah

dilakukan penelitian serta dibutuhkannya kajian mengenai interaksi obat pada

peresepan pasien tuberkulosis oleh apoteker di rumah sakit. Sehingga, hasil

(22)

tersebut sebagai upaya pencegahan terjadinya interaksi obat pada pengobatan

pasien tuberkulosis.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka penelitian “Studi Pustaka Interaksi

Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD

Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013” perlu dilakukan.

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat

dirumuskan permasalahan seperti di bawah ini.

a. Seperti apa karakteristik pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013

yang meliputi umur, jenis kelamin dan kategori pasien tuberkulosis?

b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013 meliputi jumlah, golongan, jenis, dan cara

pemberian obat?

c. Seperti apa interaksi obat yang terjadi, yang terdiri dari interaksi

farmakokinetik dan farmakodinamik pada peresepan pasien tuberkulosis

yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara OAT dengan obat lain dan

persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka?

d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang terjadi pada

(23)

Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013 berdasarkan studi

pustaka?

2. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian mengenai tuberkulosis yang pernah

dilakukan sebelumnya sejauh penelusuran penulis. Penelitian Lusiana (2007)

dengan penelitian “Penatalaksanaan Penyakit Tuberkulosis Paru Di Puskesmas

Temanggung Periode Januari-Desember 2005”. Pada penelitian tersebut penderita

tuberkulosis terbanyak adalah usia anak dari 0-14 tahun dan jenis kelamin

terbanyak adalah laki-laki. Penelitian Utomowati (2007) dengan penelitian

“Kerasionalan Pengobatan Pada Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di

Instalasi Rawat Jalan RS Bethesda Yogyakarta 2005”. Pada penelitian tersebut

gambaran penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) menggunakan

OAT-kombipak dan OAT-FDC. Penelitian Hasanmihardja (2007) dengan penelitian

“Interaksi Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Anak Rawat Jalan Di RSUD Prof.

Margono Soekarno Tahun 2003. Pada penelitian ini terdapat interaksi obat yang

signifikan secara klinis antara rifampicin dan isoniazid sebesar 157 pasien atau

87,71% dari keseluruhan pasien anak yang terdiagnosa tuberkulosis paru di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun

2003. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di atas

adalah terletak pada subyek penelitian, tempat penelitian, jenis interaksi dan

signifikansi klinis interaksi obat. Subyek penelitian pada penelitian ini yaitu

semua pasien pada semua umur di instalasi rawat jalan. Tempat penelitian di

(24)

data penelitian pada bulan Oktober-Desember tahun 2013. Penelitian ini juga

terfokus pada jenis interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik serta

kategori signifikansi klinis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka.

Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian penyakit

tuberkulosis. Berdasarkan data-data tersebut penelitian mengenai “Studi Pustaka

Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis Di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” belum

pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang

interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul yang dikaji berdasarkan studi

pustaka.

b. Secara praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

mengembangkan pelayanan farmasi klinik di RSUD Panembahan Senopati

dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, khususnya yang

berkaitan dengan aspek interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis.

B. Tujuan Penelitian 1. Umum

Mengetahui interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien

tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

(25)

2. Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013

yang meliputi umur, jenis kelamin dan kategori pasien tuberkulosis.

b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013 yang meliputi meliputi jumlah, golongan, jenis,

dan cara pemberian obat.

c. Mengetahui interaksi obat yang terjadi, yang terdiri dari interaksi

farmakokinetik dan farmakodinamik pada peresepan pasien tuberkulosis

yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara OAT dengan obat lain dan

persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka.

d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat yang terjadi pada

peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan

Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013 berdasarkan studi

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis 1. Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar menyerang paru-paru

namun juga dapat menyerang organ lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan

basil gram positif, berbentuk batang, dan dinding sel terdiri dari asam lemak dan

lipid. Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pada

pengecatan Ziehl Neelsen, Mycobacterium tuberculosis mengikat warna pertama

namun tidak luntur oleh alkohol asam 3%, sehingga tidak mampu mengikat warna

kedua. Oleh karena itu Mycobacterium tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan

Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati pada paparan matahari

langsung, namun dapat bertahan hidup di tempat gelap dan lembab. Dalam tubuh

manusia, Mycobacterium tuberculosis dapat bersifat dormant atau dapat tertidur lama

selama beberapa tahun di dalam jaringan tubuh (Pieters dan McKinney, 2013).

2. Etiologi

a. Infeksi primer. Infeksi primer merupakan infeksi yang terjadi saat seseorang

terpapar pertama kali Mycobacterium tuberculosis. Droplet yang terhirup

berukuran sangat kecil dan masuk melalui saluran pernafasan hingga sampai

(27)

di alveolus. Proses infeksi dimulai ketika Mycobacterium tuberculosis

berhasil berkembang dan mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran

limfe akan membawa Mycobacterium tuberculosis ke kelenjar limfe yang

berada di sekitar hilus paru dan membentuk kompleks primer. Terjadinya

infeksi sampai pembentukan kompleks primer berlangsung sekitar 4-6

minggu. Terjadinya infeksi dapat dibuktikan dengan melalui perubahan pada

reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Hardjoeno, 2007).

Keberlanjutan infeksi primer akan bergantung pada jumlah

Mycobacterium tuberculosis yang masuk dan besarnya respon daya tahan

tubuh (imunitas selular). Pada umumnya daya tahan tubuh dapat

menghentikan perkembangan Mycobacterium tuberculosis. Namun, beberapa

Mycobacterium tuberculosis akan menetap dan bersifat dormant. Ketika daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan Mycobacterium

tuberculosis, maka dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi

penderita tuberkulosis. Waktu yang diperlukan Mycobacterium tuberculosis

untuk meginfeksi seseorang sampai menjadi sakit disebut masa inkubasi, yang

diperkirakan sekitar 6 bulan (Hardjoeno, 2007).

b. Infeksi pasca primer (post primary). Infeksi pasca primer (post primary)

terjadi beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya infeksi primer. Hal ini

dapat diakibatkan adanya penurunan daya tahan tubuh akibat suatu penyakit

(28)

primary) adalah terjadinya kerusakan paru yang luas dengan tanda terjadinya

kavitas atau efusi pleura (Hardjoeno, 2007).

3. Patogenesis

Penyakit tuberkulosis dikendalikan oleh sistem imun selular. Saat adanya

infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, magrofag berperan sebagai agen efektor

utama dan limfosit T sebagai agen pendukung kekebalan. Magrofag dan limfosit T

akan berkerjasama untuk melakukan perlindungan tubuh terhadap Mycobacterium

tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis dapat masuk kedalam tubuh melalui tiga

jalur yaitu saluran pernafasan, saluran cerna dan melalui luka terbuka di kulit (Dipiro

et al, 2008).

Infeksi tuberkulosis terbanyak disebabkan adanya inhalasi pada jalur

tuberkel di aleveolar dari parenkim paru-paru dan mengakibatkan terjadinya proses

peradangan. Leukosit polimorfonuklear akan berusaha melawan Mycobacterium

tuberculosis, namun seringkali leukosit mengalami kegagalan dan akan digantikan

oleh makrofag. Alveoli yang terserang Mycobacterium tuberculosis akan mengalami

infiltrasi dan membentuk sel tuberkel epiteloid. Limfosit akan mengelilingi sel

tuberkel epiteloid dan proses nekrosis bagian sentral lesi akan mengalami pemadatan

yang disebut nekrosis kaseosa (Hardjoeno, 2007).

4. Manifestasi Klinis

Gejala tuberkulosis antara lain yaitu batuk lebih dari 3 minggu dengan atau

(29)

a. Batuk atau batuk darah. Batuk terjadi akibat adanya iritasi pada bronkus.

Keadaan dan kondisi bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka

kemungkinan terjadinya batuk setelah penyakit berkembang dalam jaringan,

timbul setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Sifat batuk dimulai

dari batuk kering dan berlanjut menjadi batuk berdahak yang mengadung

sputum didalamnya. Batuk akan berkembang ke batuk berdarah akibat

pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah pada penderita

tuberkulosis karena terjadi ulkus pada dinding bronkus.

b. Malaise. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang bersifat peradangan

menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, penurunan berat

badan, nyeri pada kepala, meriang, nyeri pada otot, dan sering berkeringat

pada malam hari. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan gejala ini

muncul dan hilang secara teratur.

c. Demam. Penderita tuberkulosis mengalami demam mulai dari 37,50C sampai

dengan 410C. Demam akan hilang dan muncul kembali sesuai daya tahan

tubuh penderita dan berat ringannya infeksi yang terjadi.

d. Nyeri dada. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai pada

bagian pleura sehingga menimbulkan pleuritis, yaitu terjadinya gesekan kedua

pleura sewaktu pasien menarik/melepas nafasnya (Sukandar dkk, 2009).

5. Kategori pasien tuberkulosis

Kategori pasien tuberkulosis terbagi menjadi dua kategori. Pasien

(30)

pasien tuberkulosis baru dengan BTA negatif namun memiliki foto toraks positif atau

pasien tuberkulosis ekstra paru. Pasien tuberkulosis kategori 2 adalah pasien

tuberkulosis yang telah diobati sebelumnya, namun mengalami kekambuhan,

pengobatan yang gagal atau pengobatan yang terputus (Dipiro et al, 2008).

6. Diagnosis tuberkulosis

a. Diagnosis pada pasien dewasa. Diagnosis pada suspek tuberkulosis dapat

ditegakkan dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak secara

mikroskopis. Penderita tuberkulosis harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam

waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu, pagi, sewaktu (SPS). Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS tersebut

BTA positif (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Jika hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan lebih lanjut yaitu

foto rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil foto rontgen

mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita

tuberkulosis BTA positif. Jika dalam rontgen tidak mendukung tuberkulosis

maka pemeriksaan lain dapat dilakukan. Alur diagnosis tuberkulosis pada

dewasa dapat dilihat pada Gambar 1 (Departemen Kesehatan Republik

(31)

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Suspek tuberkulosis

Pemeriksaan dahak mikroskopis, Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

(32)

b. Diagnosis pada pasien anak

Diagnosis untuk pasien tuberkulosis paling tepat dilakukan melalui

pemeriksaan BTA pada sputum. Namun pada anak-anak pemeriksaan BTA pada

sputum sulit dilakukan, sehingga diagnosis tuberkulosis pada anak didasarkan pada

gambaran klinis, foto rontgen dada, dan uji tuberkulin. Seorang anak dicurigai

terinfeksi tuberkulosis apabila memiliki riwayat kontak erat atau serumah dengan

penderita tuberkulosis dan mengalami gejala-gejala umum tuberkulosis. Selain itu

diagnosis tuberkulosis pada anak digunakan sistem skor, yaitu pembobotan terhadap

gejala atau tanda klinis yang ditemukan (Mulyani, 2006).

Pasien anak dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus

ditatalaksana sebagai pasien tuberkulosis dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis

(OAT). Skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah tuberkulosis kuat

maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung,

patologi anatomi, fungsi lumbal, fungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi,

CT-scan, dan lain-lain (Mulyani, 2006).

Tabel I. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang tuberkulosis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

(33)

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

tidak jelas

Uji tuberkulin Negatif Positif,

(34)

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

 Batuk dimasukan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.

 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

 Berat badan dinilai saat pasien datang kemudian dilampirkan pada tabel berat badan.  Foto toraks bukan alat diagnotik utama pada TB anak.

 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul<7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skor tuberkulosis anak.

 Anak didiagnosis TB jika skor >6, (skor maksimal 14).

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

B. Pengobatan Tuberkulosis

1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip sebagai berikut.

a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari

beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan

kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi. Pemakaian

OAT-FDC (Fixed Dose Combination) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap

(35)

2. Strategi pengobatan

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah menyembuhkan pasien, mencegah

kematian dan kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya

resistensi kuman. Sasaran terapinya adalah Mycobacterium tuberculosis yang

menginfeksi organ paru maupun ekstra paru. Strategi terapi untuk menanggulangi

tuberkulosis dilakukan melalui terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

(Sukandar dkk., 2009).

a. Nonfarmakologi

1. Mengisolasi ruangan pasien yang dirawat, dengan menggunakan sinar UV dan

dilengkapi lubang ventilasi yang aman.

2. Operasi untuk membersihkan organ atau jaringan yang terinfeksi karena

adanya lesi (Dipiro et al, 2008).

b. Farmakologi

Terapi farmakologi untuk mengatasi tuberkulosis dikenal dengan strategi

DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Chemoterapy). Dalam strategi

DOTS, pengobatan tuberkulosis dilakukan baik dengan pemberian Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) dalam bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian

OAT-FDC (Fixed Dose Combination). Obat tuberkulosis yang dipakai adalah antimikroba

(36)

golongan I lini pertama yang umum dipakai adalah rifampicin (R), isoniazid (H),

pyrazinamid (Z), ethambutol (E), dan streptomycin (S) (Departemen Kesehatan

Republik Indonsia, 2011).

Rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan streptomycin bersifat bakterisid

sedangkan ethambutol bersifat bakteriostatik. Isoniazid bekerja dengan mengganggu

sintesa mycolic acid yang diperlukan dalam membangun dinding sel bakteri sehingga

membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan.

Rifampicin bekerja dengan membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat

dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja rifampicin dengan mengganggu sintesis

RNA polimerasi bakteri. Pyrazinamid bekerja dengan membunuh kuman yang berada

dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme aksi obat ini didasarkan pada

pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa.

Mekanisme aksi ethambutol dengan menghambat sintesis RNA pada kuman yang

sedang membelah serta menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel

bakteri. Streptomycin bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman lewat jalan

pengikatan pada RNA ribosomal, sehingga dapat membunuh kuman yang sedang

melakukan pembelahan (Sukandar dkk, 2009).

Penggunaan obat-obat golongan II, III, dan IV seperti para aminosalisilat,

kanamicin, rifabutin, levofloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, dan etionamid digunakan

(37)

alternatif untuk rifampicin dalam pengobatan kombinasi OAT (Departemen

Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Tabel II. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Panduan OAT-FDC yang digunakan berdasarkan Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis (2011) yaitu pasien tuberkulosis kategori 1 mendapat

terapi 2(HRZE)/4(HR)3, pasien tuberkulosis kategori 2 mendapat terapi

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3, kategori anak 2HRZ/4HR dan kategori sisipan. Dosis

OAT disesuaikan dengan berat badan pasien dan dikemas dalam 1 paket untuk 1

pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Paket kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam 1 blister harian,

yaitu rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol. Sedangkan OAT FDC dan

(38)

1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap intensif diberikan 2(HRZE), lama pengobatan 2 bulan dan

pengobatan diberikan harian yang terdiri dari rifampicin, isoniazid,

pyrazinamid, dan ethambutol berbentuk FDC. Tahap lanjutan adalah 4(HR)3,

lama pengobatan 4 bulan. Pengobatan diberikan 3 kali seminggu. Isoniazid

dan rifampicin diberikan dalam bentuk FDC (Departemen Kesehatan

Republik Indonsia, 2011).

Tabel III. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 1 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 56 hari HRZE

(150/75/400/275)

Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu HR (150/150)

30-37 kg 4FDC 2 tablet 2FDC 2 tablet

38-54 kg 4FDC 3 tablet 2FDC 3 tablet

55-70 kg 4FDC 4 tablet 2FDC 4 tablet

≥71 kg 4FDC 5tablet 2FDC 5 tablet

2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap intensif diberikan 2(HRZE)S/(HRZE), lama pengobatan 3 bulan.

Rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol diberikan dalam bentuk

FDC dan streptomycin diberikan selama 2 bulan pertama dalam bentuk

(39)

bulan. Isoniazid dan rifampicin diberikan dalam bentuk FDC dan ethambutol

diberikan secara lepas. Pengobatan diberikan 3 kali seminggu.

Tabel IV. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 2 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Pada sebagian besar kasus tuberkulosis anak, pengobatan cukup

dilakukan selama 6 bulan dan dievaluasi setiap 2 bulan. Setelah pemberian

obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang.

Evaluasi klinis tuberkulosis anak merupakan parameter terbaik untuk menilai

keberhasilan pengobatan. Prinsip pengobatan tuberkulosis anak adalah

menggunakan 3 jenis obat dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan

(40)

setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dan dosis obat

harus disesuaikan dengan berat badan anak (Departemen Kesehatan Republik

Indonsia, 2011).

Gambar 2. Alur tatalaksana pasien tuberkulosis anak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Tabel V. Dosis OAT pada anak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Jenis obat Berat badan < 10

kg

Berat badan 10-19 kg

Berat badan 20-32 kg

Rifampicin 75 mg 150 mg 200 mg

Isoniazid 50 mg 100 mg 300 mg

Pyrazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Skor 6

Beri OAT selama 2 bulan dan dievaluasi

Respon +

Teruskan terapi, sambil mencari penyebabnya

Respon -

(41)

4) OAT sisipan

OAT sisipan sama seperti pengobatan pada pasien tuberkulosis kategori 1

tahap intensif yang diberikan selama 28 hari. Penggunaan OAT golongan II

lini kedua seperti kanamicin tidak dianjurkan kepada pasien baru tanpa

indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada

OAT golongan I lini pertama dan dapat menyebabkan risiko resistensi pada

OAT golongan II lini kedua (Departemen Kesehatan Republik Indonsia,

2011).

Tabel VI. Dosis OAT FDC sisipan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 28 hari HRZE (150/75/400/275)

30-37 kg 4FDC 2 tablet

38-54 kg 4FDC 3 tablet

55-70 kg 4FDC 4 tablet

≥71 kg 4FDC 5 tablet

C. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah fenomena perubahan efek atau farmakokinetik dari

suatu obat yang disebabkan oleh obat lain ketika diberikan secara bersamaan.

(42)

obat. Namun juga dapat terjadi interaksi obat yang menguntungkan atau yang

diinginkan (Becker, 2011).

1. Jenis interaksi obat

Terdapat tiga jenis interaksi obat yaitu interaksi farmakokinetik, interaksi

farmakodinamik dan interaksi farmasetik.

a. Interaksi farmakokinetik. Obat dapat dikatakan berinteraksi melalui interaksi

farmakokinetik apabila interaksi antara dua obat atau lebih mempengaruhi

proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau

lebih di dalam tubuh (Hacker, 2009). Interaksi dapat diukur pada perubahan

parameter farmakokinetik yaitu konsentrasi maksimal (Cmax), konsentrasi

obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu paruh eliminasi dan total

obat yang diekskresikan lewat urin (Cl) (Tatro, 2007).

1) Interaksi pada proses absorpsi

Interaksi pada proses absorpsi adalah ketika dua obat atau lebih

digunakan pada waktu yang bersamaan, maka laju absorpsi dari salah satu

atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada proses absorpsi

dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran pencernaan, kelarutan

obat, metabolisme saluran pencernaan, flora usus, mukosa usus, adsorpsi,

khelasi, perubahan motilitas saluran pencernaan, induksi atau inhibisi dari

protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan

(43)

Salah satu obat dapat menghambat, menurunkan atau meningkatkan

laju absorpsi obat yang lain. Hal ini dapat terjadi dengan cara

memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung dengan

menambah pH lambung dan dengan membentuk kompleks dengan obat.

Obat-obatan yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan lambung

seperti laksatif, narkotik dan antikolinergik dapat meningkatkan motilitas

lambung dan usus halus sehingga dapat menyebabkan peningkatan laju

absorpsi obat (Syamsudin, 2011).

Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus. Usus

merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena wilayah absorpsi

yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi dan jumlah aliran

darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat yang diserap dapat

diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011). Pada perubahan

motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat berubah karena

terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran pencernaan. Apabila

waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan mengalami peningkatan

atau terjadi penurunan maka obat akan terabsorpsi cepat atau lambat

(Albert, 2008).

2) Interaksi pada proses distribusi

Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat

tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh, saat darah

(44)

jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan obat dari darah ke

beberapa jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat masuk

ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda

tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007). Terjadi

interaksi pada fase distribusi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan

protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau

albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan

dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak

obat bebas yang bersikulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat,

efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011).

3) Interaksi obat pada tahap metabolisme

Proses metabolisme adalah proses mengubah obat yang masuk ke

dalam tubuh menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan

menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses

metabolisme obat yaitu fase I terdiri dari reaksi oksidasi, reduksi dan

hidrolisis sedangkan fase II terdiri dari reaksi konjugasi. Reaksi fase I

bertujuan mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi

fase II bertujuan membuat senyawa menjadi inaktif (Syamsudin, 2011).

Didalam proses metabolisme, sitokrom P450 (CYP450) dan

keluarganya merupakan enzim-enzim yang berperan penting dalam

proses metabolisme fase I. Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme

(45)

CYP450 dan isoenzimnya. Inhibitor enzim merupakan obat yang dapat

menurunkan metabolisme obat lain dengan cara menginhibisi

enzim-enzim di hati (Becker, 2011).

Jika suatu obat dikombinasikan dengan inhibitor enzim

pemetabolisme obat tersebut maka proses metabolisme obat akan

menurun dan memperlambat proses eliminasi obat serta meningkatkan

konsentrasi dan efek obat di dalam plasma. Proses metabolisme obat yang

meningkat akan mempercepat proses eliminasi obat serta menurunkan

konsentrasi obat di dalam plasma, yang berakibat menurunkan efek obat

(Syamsudin, 2011).

4) Interaksi pada proses ekskresi

Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan

melalui empedu. Interaksi pada proses ekskresi dapat terjadi dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin, perubahan ekskresi

empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada

tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010).

a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Obat yang memiliki

mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal, dapat

mengakibatkan penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui

kompetisi dalam berikatan (Syamsudin, 2011).

b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa lemah,

(46)

direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat bervariasi sesuai

dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH urin berkisar antara

4,5–8,0. Ketika pH urin asam maka obat-obat yang bersifat basa akan

lebih mudah diekskresikan. Pada suasana basa atau nilai pH tinggi,

obat asam lemah yang memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada

dalam bentuk terion dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak

dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada

dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).

Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam

suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut

dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke

dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat.

Sebaliknya pada saat suasana urin asam maka obat yang bersifat basa

tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011).

b) Interaksi obat secara farmakodinamik. Interaksi obat secara farmakodinamik

adalah interaksi antar obat yang menyebabkan terjadinya perubahan respon

pasien terhadap satu obat atau lebih yang diberikan secara bersamaan tanpa

mempengaruhi parameter farmakokinetik obat tersebut. Interaksi

farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis atau

antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau

(47)

1) Efek obat sinergis. Interaksi obat sinergis terjadi ketika dua obat atau lebih

yang tidak memiliki atau memiliki efek farmakologi yang sama diberikan

secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat menimbulkan

peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan dapat merupakan

efek yang diinginkan atau yang tidak diinginkan yang berbahaya bagi

pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007).

2) Efek obat aditif. Interaksi yang terjadi pada dua atau lebih obat yang

memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek

yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan

merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri

sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat

merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan (Syamsudin, 2011).

3) Efek obat antagonis. Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi

antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek

farmakologi yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi

tersebut akan saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan

secara bersamaan (Syamsudin, 2011).

c) Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi

karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil dari

interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan warna dan

mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh

(48)

2. Kategori signifikansi klinis interaksi obat

Berdasarkan Chelmow et al. (2014), kategori signifikansi klinis interaksi

obat dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu serius, signifikan dan minor.

Kategori signifikansi klinis interaksi obat serius adalah kombinasi obat tidak dapat

digunakan karena dapat membahayakan keadaan pasien, sehingga dibutuhkan

alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien

(Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis interaksi obat signifikan

diperlukan adanya modifikasi dosis dan modifikasi waktu pemberian antara kedua

obat, serta diperlukan monitoring khusus pada kombinasi obat yang diberikan.

Kategori signifikansi klinis interaksi obat minor adalah kombinasi obat dapat

diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi

pasien (Chelmow et al., 2014).

Berdasarkan Tatro (2007), kategori signifikansi klinis interaksi obat dapat

dibedakan menjadi lima kategori meliputi kategori signifikansi klinis 1, kategori

signifikansi klinis 2, kategori signifikansi klinis 3, kategori signifikansi klinis 4, dan

kategori signifikansi klinis 5 yang didasarkan pada onset, tingkat keparahan interaksi

dan dokumentasi.

Onset adalah kecepatan efek klinis dari interaksi obat yang berpengaruh pada

tingkat keparahan, sehingga diperlukan tindakan pencegahan untuk menghindari efek

dari interaksi tersebut. Onset interaksi cepat ditandai dengan timbulnya efek interaksi

obat yang terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat. Pada

(49)

timbulnya efek dari interaksi tersebut. Onset interaksi lambat ditandai dengan

timbulnya efek dari interaksi obat yang terlihat dalam waktu lebih dari 24 jam setelah

pemberian obat. Pada onset interaksi lambat tidak perlu dilakukan penanganan medis

untuk mencegah timbulnya efek dari interaksi tersebut (Tatro, 2007).

Tingkat keparahan interaksi adalah suatu potensi keparahan yang ditimbulkan

akibat interaksi obat. Tingkat keparahan interaksi obat digunakan untuk menilai risiko

dan manfaat terapi yang telah diberikan. Dilakukan penyesuaian dosis atau modifikasi

waktu atau jalur administrasi pemberian obat agar efek negatif dari interaksi obat

dapat dihindari (Tatro, 2007).

Tingkat keparahan interaksi obat dibedakan menjadi tiga yaitu major, moderat

dan minor. Tingkat keparahan major interaksi obat berpotensi mengancam nyawa

atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Tingkat keparahan moderat interaksi

obat menyebabkan penurunan kondisi klinis pasien sehingga diperlukan terapi

tambahan untuk menangani interaksi obat yang terjadi, sedangkan tingkat keparahan

minor interaksi obat menghasilkan efek yang relatif ringan dan tidak diperlukan

pengobatan tambahan (Tatro, 2007).

Dokumentasi adalah tingkat kepercayaan bahwa interaksi obat dapat

menyebabkan perubahan pada suatu respon klinis. Tingkat dokumentasi adalah

evaluasi kualitas dan relevansi klinis dari pustaka utama yang mendukung terjadinya

interaksi. Lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established, probable,

(50)

Tingkat dokumentasi established adalah interaksi obat yang sangat jelas

terjadi, yang terbukti terjadi secara klinis berdasarkan hasil banyak penelitian.

Tingkat dokumentasi probable adalah interaksi obat dapat terjadi, namun tidak

terbukti secara klinis. Tingkat dokumentasi suspected adalah interaksi obat diduga

dapat terjadi, terdapat beberapa penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut untuk

memastikan interaksi obat yang terjadi. Tingkat dokumentasi possible adalah

interaksi obat yang belum pasti dapat terjadi, terdapat data penelitian yang

mendukung namun sangat terbatas. Tingkat dokumentasi unlikely adalah interaksi

obat kemungkinan tidak terjadi, tidak terdapat bukti terjadinya perubahan efek klinis

pada pasien (Tatro, 2007).

Berdasarkan Tatro (2007), signifikansi klinis interaksi obat dapat dirangkum

sebagai berikut:

1. Kategori signifikansi klinis 1, tingkat keparahan major adalah risiko yang

ditimbulkan berpotensi mengancam jiwa individu atau dapat menyebabkan

kerusakan yang permanen, sehingga kombinasi obat harus dihindari.

Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau

suspected.

2. Kategori signifikansi klinis 2, tingkat keparahan moderat adalah risiko yang

ditimbulkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan dari kondisi klinis pasien

sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit.

Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau

(51)

3. Kategori signifikansi klinis 3, tingkat keparahan minor adalah efek yang

ditimbulkan akibat interaksi obat ringan dan tidak signifikan mempengaruhi

kondisi klinis pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan. Dokumentasi

mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected.

4. Kategori signifikansi klinis 4, tingkat keparahan major atau moderat adalah efek

yang ditimbulkan berbahaya karena dapat mengubah respon farmakologi individu

sehingga diperlukan terapi tambahan. Dokumentasi mengenai interaksi yaitu

possible.

5. Kategori signifikansi klinis 5, tingkat keparahan minor adalah efek yang

ditimbulkan ringan, respon klinis pasien dapat mengalami perubahan atau tidak.

Dokumentasi mengenai interaksi yaitu possible.

Berdasarkan Hansten and Horn (2002), terdapat tiga kategori signifikansi

klinis interaksi obat yaitu kategori 1, kategori 2 dan kategori 3. Kategori signifikansi

klinis kategori 1 adalah pemberian kombinasi obat harus dihindari karena efek yang

ditimbulkan pada pasien lebih banyak menimbulkan risiko dan kerugian

dibandingkan manfaat dan keuntungannya.

Kategori signifikansi kategori 2 adalah kombinasi obat sebaiknya dihindari,

kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang

ditimbulkan, tetapi disarankan untuk menggunakan kombinasi obat sejenis yang

memiliki risiko lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, waktu pemberian

dan rute pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya

(52)

obat. Kategori signifikansi kategori 3 yaitu kombinasi obat memberikan risiko yang

kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan. Pasien

harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat (Hansten and Horn, 2002).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat dan

tingkat signifikansi klinis yang terjadi pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013

(53)

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan

Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Periode Oktober-Desember 2013” termasuk jenis penelitian observasional

deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat

retrospektif. Penelitian observasional adalah penelitian tanpa manipulasi dan

intervensi dari peneliti pada variabel subjek (Munif dan Imron, 2010). Penelitian

ini disebut deskriptif karena mendeskripsikan variabel-variabel utama subyek

penelitian untuk mengetahui prevalensi fenomena tertentu (Nugrahaeni, 2010).

Rancangan penelitian studi potong lintang adalah studi pengumpulan

data yang dilakukan dengan pendekatan titik waktu tertentu yang relatif singkat

(Swarjana, 2012). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang didapat dari

melihat lembar rekam medis pasien periode lampau yang ditentukan

(Notoadmojo, 2010).

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Pasien tuberkulosis adalah pasien yang didiagnosis menderita tuberkulosis di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013.

2. Karakteristik pasien tuberkulosis meliputi umur, jenis kelamin, dan kategori

(54)

umur anak 0-14 tahun dan kelompok umur dewasa ≥15 tahun. Jenis kelamin

terdiri dari perempuan dan laki-laki. Kategori pasien tuberkulosis dibagi

menjadi dua kelompok yaitu kategori 1 dan kategori 2. Pasien tuberkulosis

kategori 1 adalah pasien baru tuberkulosis paru dengan BTA positif, pasien

tuberkulosis paru dengan BTA negatif namun foto toraks positif dan pasien

tuberkulosis ekstra paru. Pasien tuberkulosis kategori 2 adalah pasien yang

telah diobati sebelumnya, namun mengalami kekambuhan, pengobatan yang

gagal atau pengobatan yang terputus.

3. Gambaran umum pola peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain

meliputi jumlah, golongan, jenis dan cara pemberian obat yang digunakan

pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati

Bantul periode Oktober-Desember 2013. Jenis obat adalah tiap zat aktif yang

terdapat dalam tiap obat. Jumlah obat adalah jumlah jenis obat yang terdapat

dalam tiap peresepan pasien tuberkulosis. Golongan OAT mengacu pada

Panduan Nasional Pengendalian Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik

Indonesia (2011).

4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih jenis obat secara

bersamaan yang dapat menghasilkan efek menguntungkan ataupun merugikan

yang dikaji secara teoritis berdasarkan pustaka yaitu Medscape Drug

Interaction Chacker (Chelmow et al, 2014), Drug Interaction Facts (Tatro,

2007) dan Managing Clinically Important Drug Interactions (Hansten dan

(55)

5. Kategori signifikansi interaksi obat adalah penggolongan tingkat interaksi obat

menurut akibat yang ditimbulkan dikaji secara teoritis berdasarkan pustaka

dengan mengacu pada Medscape Drug Interaction Chacker (Chelmow et al,

2014), Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) dan Managing Clinically

Important Drug Interactions (Hansten dan horn, 2002).

C. Subyek dan Bahan Penelitian

1. Subyek penelitian meliputi keseluruhan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat

Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

Kriteria inklusi subyek adalah pasien dengan penyakit tuberkulosis di Instalasi

Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang menerima peresepan

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan atau tanpa obat lain periode

Oktober-Desember 2013. Kriteria ekslusi adalah pasien tuberkulosis dengan rekam

medik yang tidak lengkap.

2. Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik (medical record)

pasien tuberkulosis yang menerima peresepan OAT dengan obat lain dan tanpa

obat lain di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data

klinis pasien.

D. Alat atau Instrumen Penelitian

Pembuatan alat atau instrumen penelitian dimaksudkan untuk

mempermudah pencatatan data pengobatan pasien tuberkulosis selama penelitian

(56)

Oktober-Desember 2013. Alat atau instrumen yang digunakan yaitu berupa lembar kerja

berbentuk tabel. Pada tabel memuat tanggal pengobatan, nomor rekam medik,

umur, jenis kelamin, kategori pasien tuberkulosis, diagnosis medik, jenis Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain, jumlah OAT dan obat lain, regimen dosis,

dan data klinis atau data laboratorium. Tabel dapat dilihat pada Lampiran 1.

E. Tata Cara Penelitian

Penelitian mengenai “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan

Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Periode Oktober-Desember 2013” dilakukan melalui beberapa tahap berikut ini.

1. Tahap orientasi

Tahap ini merupakan tahap sebelum penyusunan proposal dan tahap

penyusunan proposal. Peneliti menemukan masalah yang menarik untuk topik

penelitian yang diperoleh dari membaca penelitian terdahulu, disertai dengan

informasi mengenai topik terkait yang berasal dari jurnal dan artikel kesehatan di

media cetak maupun elektronik. Peneliti melakukan survei tempat untuk mencari

informasi mengenai rumah sakit yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian,

prevalensi penyakit yang akan diteliti dan teknis pengambilan data untuk

penelitian. Peneliti menyusun proposal penelitian untuk mendapatkan izin

melakukan penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Izin penelitian

diajukan kepada Sekretariat Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta,

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bantul, dan RSUD

(57)

2. Tahap penentuan subyek

Pada tahap ini peneliti mencari informasi jumlah pasien terkait cara

pengambilan data subyek penelitian. Penelitian ini menggunakan subyek

keseluruhan populasi pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD

Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 dengan total 85

pasien.

3. Tahap pengambilan data

Pada tahap ini pengambilan data dilakukan dengan menggunakan rekam

medik pasien. Data yang dikumpulkan meliputi tanggal pengobatan, nomor rekam

medik, umur, jenis kelamin, kategori pasien tuberkulosis, diagnosis medik, jenis

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain, jumlah OAT dan obat lain, regimen

dosis, data klinis atau data laboratorium.

F. Tata Cara Analisis

Analisis interaksi obat yang terjadi antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dan antara OAT dengan obat lain dilakukan dengan cara studi pustaka. Pengkajian

dilakukan dengan mengacu pada Medscape Drug Interaction Chacker (Chelmow

et al, 2014), Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) dan Managing Clinically Important Drug Interactions (Hansten dan horn, 2002).

Berdasarkan hasil pengambilan data rekam medik pasien, data yang

terkumpul diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung

(58)

1. Karakteristik pasien tuberkulosis

a. Persentase umur pasien tuberkulosis

∑ tiap kelompok umur x 100%. Total pasien

b. Persentase jenis kelamin pasien tuberkulosis

∑ tiap jenis kelamin x 100%. Total pasien

c. Persentase kategori pasien tuberkulosis

∑ tiap kategori pasien x 100%. Total pasien

2. Gambaran pola peresepan pasien tuberkulosis

a. Gambaran secara umum

∑ Obat Anti Tuberkulosis (OAT)/obat lain x 100%. Total pasien

∑ obat tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ cara pemberian obat x 100%. Total obat

b. Gambaran Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

∑ OAT tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ golongan OAT tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ jenis OAT tiap peresepan x 100%. Total jenis OAT

∑ kombinasi OAT tiap peresepan x 100%.

Gambar

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
Tabel I. Lanjutan
Tabel II. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
Tabel III. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 1 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari prosesi ini adalah untuk memperkenalkan pasangan mempelai tersebut ke masyarakat, terutama pada kalangan kerabat maupun masyarakat dimana mempelai perempuan tinggal,

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran dengan pendekatan problem posing

Serta data yang berasal dari referensi dan publikasi sumber yang relevan seperti LAN, PT Taspen, PT Asabri, Direktorat Perbendaharaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan

[r]

Perhitungan pada metode tenaga kerja berubah di atas kemudian akan digunakan untuk perhitungan ongkos produksi metode tenaga kerja berubah, dimana pada

a. Kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Pada perjanjian timbal balik ada kemungkinan salah satu pihak belum melakukan atau memberikan prestasi. Untuk kepastian dilakukannya

mengeksploitasi Migas Natuna, tetapi juga harus segera membangun armada kapal penangkap ikan yang tangguh dan professional di Natuna, Armada ini harus bermarkas di Natuna,