BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai memiliki peta konsep sebagai seorang wiraswasta. Dengan program Usaha Kecil Menengah (UKM) yang digalakkan oleh pemerintah, membangunkan iklim perdagangan yang semakin berkembang dan meningkatkan perekonomian di Indonesia karena menciptakan para pelaku usaha baru dan juga menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru. Hal ini tentunya turut membantu menguatkan pondasi ekonomi negara, karena jelas menambah pendapatan Negara, mengurangi angka pengangguran, dan memajukan taraf hidup masyarakat. Masyarakat tidak lagi hanya berpedoman untuk mencari pekerjaan, namun berpedoman untuk membuat lapangan pekerjaan yang dapat menghasilkan profit besar.
Dengan profit yang tanpa batas, hal ini tentu saja membuat dunia usaha
menjadi lapangan kegiatan yang menjanjikan namun juga berisiko bagi para
pelakunya. Di satu sisi kesuksesan dan dikenal usahanya oleh masyarakat dapat
membawa keuntungan materi yang berlipat, namun berisiko karena adanya
persaingan diantara para pelaku usaha.
Persaingan usaha menuntut masing-masing pelaku untuk menciptakan inovasi yang lebih kreatif dan memiliki daya jual yang tinggi agar tetap eksis di dalam dunia usaha. Diperlukan juga kemampuan untuk membaca pasar, yaitu terkait pemilihan merek dagang, kualitas benda atau jasa yang ditawarkan dan profesionalitas dalam memuaskan pembeli atau pelanggannya. Tidak hanya itu, para pelaku usaha juga harus memiliki pemahaman terkait hak dan kewajibannya sebagai pelaku usaha yang diimplementasikan dari perundang-undangan yang berlaku.
Dalam era perdagangan global, kendala dalam dunia usaha adalah bahwa dunia usaha tidak mengenal batas (borderless), maksudnya pengakuan atas suatu merek barang atau jenis usaha di suatu negara dapat diklaim di negara lain tanpa sepengetahuan pemegang merek yang sah. Oleh karena itu, atas segala ide dan kreativitas harus dilindungi oleh hukum yang tegas.
Merek sebagai salah satu bentuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) telah
digunakan ratusan tahun yang lalu dan mempunyai peran penting, karena merek
merupakan salah satu upaya strategis untuk mempromosikan usaha kepada
masyarakat luas. Merek menjadikan objek usaha dikenal dan mudah diingat dengan
objek usaha lain baik yang sejenis atau berbeda sama sekali jenisnya. Dengan merek,
produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta
keterjaminan bahwa produk itu asli (original), karena kadangkala yang membuat
suatu barang atau jasa diminati oleh masyarakat bukanlah kualitas atau kepuasan
menikmati barang atau jasa, tetapi pada nilai prestise yang dirasakan oleh pengguna
merek tersebut. Apabila suatu merek telah menjadi terkenal, tentu hal ini menjadikan merek tersebut sebagai aset atau kekayaan perusahaan yang sangat penting nilainya.
Peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat dengan menjadi pembeda dari suatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan.
Menurut Tim Lindsey, sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial.
1Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibanding aset riil perusahaan.
2Perusahaan dengan merek besar memiliki aset besar.
Bagaimanapun juga merek adalah aset jangka panjang, dan perusahaaan dapat meraup keuntungan darinya selama bertahun-tahun, bagaikan seorang bintang film atau politisi yang hidup dari reputasi mereka bertahun-tahun lamanya.
3Pemahaman terkait merek sebagai implementasi peraturan perundang- undangan terkait merek, sudah diatur dalam Undang-undang Merek, yaitu Undang- undang No. 21 Tahun 1961, diubah dengan Undang-undang No 19 Tahun 1992, sebagaimana diubah dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1997, dan saat ini telah diubah dengan Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001. Faktor berubahnya pengaturan merek karena kurang memberikan kepastian hukum juga menimbulkan
1 Tim Lindsey, et all, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, PT Alumni, Bandung, hlm.
131.
2 Ibid.
3 David Arnold, 1996, Pedoman Manajemen Merek, PT Kentindo Soho, Surabaya, hlm. 5.
persoalan dan hambatan dalam dunia usaha. Selain itu, tidak terlepas dari alasan globalisasi perdagangan dunia, dibutuhkan pengaturan yang lebih meluas namun mendalam serta mampu memberikan perlindungan bagi masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pembangunan dan mencapai tujuan nasional.
Salah satu perubahan yang terjadi dari revisi Undang-undang Merek adalah terkait sistem pemberian hak, pada awalnya Undang-undang Merek menganut sistem deklaratif atau first to use yaitu perlindungan hukum bagi pihak yang menggunakan merek terlebih dahulu, kemudian berubah menjadi sistem konstitutif atau first to file yaitu perlindungan hukum diberikan kepada pihak yang dengan itikad baik mendaftarkan mereknya ke kantor pendafataran merek di Direktorat Jenderal HKI (Ditjen HKI). Hal lain yang disempurnakan adalah terkait penyelesaian permohonan pendaftaran merek yang tidak hanya melalui pemeriksaan substantif juga harus memenuhi syarat administratif, sehingga dapat diketahui dengan cepat apakah permohonan tersebut disetujui atau ditolak. Terkait penyelesaian sengketa merek, sanksinya dipertegas selain sanksi pembayaran ganti rugi juga ada sanksi pidana.
Jaminan terhadap aspek keadilan nampak pula dalam pelimpahan kewenangan
penyelesaian sengketa merek yang pada mulanya berada dalam kewenangan absolut
Pengadilan Negeri, dengan adanya revisi Undang-undang Merek kewenangan absolut
penyelesaian sengketa merek terletak pada Pengadilan Niaga. Tujuannya adalah agar
penyelesaiannya dapat berjalan dengan cepat sehingga tidak menghambat kegiatan
usahanya.
Perlindungan hukum atas suatu merek yang dimiliki oleh seseorang perlu diberikan oleh negara kepada pemiliknya yang sah secara tepat, karena hak atas merek memiliki potensi yang besar untuk menciptakan sengketa.
4Bagi pemilik merek yang telah terdaftar secara sah, jika terjadi pemalsuan terhadap mereknya dapat mengurangi pemasukan, karena volume penjualan menurun atau bilamana barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak memadai kualitasnya, sehingga pada akhirnya nama baik dari merek itu yang akan tercemar, begitu juga konsumen akan kehilangan kepercayaan atas kualitas barang yang dibelinya.
5Salah satu contoh sengketa hak atas merek yang menjadi perhatian publik adalah mengenai merek “Kopitiam”. Bermula pada tahun 2010 pemilik merek terdaftar “Kopitiam” yaitu Abdul Alek Soelystio melakukan gugatan pembatalan merek “Kok Tong Kopitiam” yang dimiliki oleh Paimin Halim. Sengketa hak atas merek dagang ini sangat menarik, baik dari proses permohonan pendaftaran mereknya dan penjatuhan putusan oleh Mahkamah Agung terkait penyelesaian sengketanya.
Kopitiam adalah gabungan dari dua kata yang melibatkan banyak budaya.
Tiam merupakan kata Hokkien untuk Toko.
6Sebagian besar imigran Cina di Asia
4 O. C. Kaligis, 2008, Teori dan Praktik Hukum Merek Indonesia, Alumni, Bandung , hlm. 19.
5 Ibid.
6 Samsudin Berlian, Bahasa Kopitiam,
http://internasional.kompas.com/read/2012/03/09/01550819/Kopitiam diakses pada tanggal 1 Oktober 2012, pukul 15.00.
Tenggara berasal dari Provinsi Hokkien (Mandarin: Fujian) dan sudah ratusan tahun bahasa dan adat istiadat Hokkien di antara mereka bercampur dengan Melayu.
7Jadi, Kopitiam tak lain berarti kedai kopi.
8Sebagai pelaku usaha warung kopi seharusnya tidak diperbolehkan menggunakan kata yang merupakan keterangan tentang macam barang (yang diperdagangkan), dan merupakan kata yang bersifat generik atau public domain. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Merek. Namun putusan Mahkamah Agung No. 261 K/Pdt. Sus/2011 memperbolehkan penggunaan kata “Kopitiam”
sebagai merek terdaftar yang dapat diklaim oleh seorang Individu. Hal ini bertentangan dengan asas kemanfaatan yang harus diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan.
Putusan Mahkamah Agung No. 261 K/Pdt. Sus/2011 ini dapat menimbulkan kerugian pemilik warung kopi yang menggunakan unsur nama “Kopitiam” sejak lama dengan akan dilarangnya mereka menggunakan nama itu lagi. Padahal, nama
“Kopitiam” sudah menjadi ciri khas dari produk usahanya. Ini juga akan berdampak pada sisi ekonomis pemilik warung kopi, ada kemungkinan bahwa dengan tidak boleh dipergunakannya nama “Kopitiam”, kekhasan dari warung kopi tersebut akan hilang, dan konsumen akan beralih ke warung kopi lain yang memiliki kekhasan tersendiri. Kejadian tersebut akan berimbas juga pada sumber daya manusia yang
7 Ibid.
8 Ibid.
bekerja dan menggantungkan rezekinya pada usaha ini, jika omzet menurun mau tidak mau pemilik usaha akan mengurangi gaji dari pegawainya atau malah mengurangi jumlah pegawainya.
Hal itu membuat para pengusaha kopitiam di Indonesia membentuk Persatuan Pengusaha Kopitiam Indonesia (PPKTI), dengan tujuan untuk mempertahankan unsur nama Kopitiam sebagai merek dagang yang telah lama mereka pakai. Menurut Persatuan Pengusaha “Kopitiam” Indonesia (PPKTI) ada sekitar 70 (tujuh puluh) gerai yang beroperasi, dan menyerap sekitar 1500 (seribu lima ratus) tenaga kerja, dan belum termasuk pada warung kopi yang belum terdaftar atau tanpa nama.
9Majelis Hakim seolah menutup mata akan makna usaha “Kopitiam” itu sendiri, seharusnya yang dipertimbangkan majelis hakim dalam putusannya adalah
“Kopitiam” secara keseluruhan, yaitu dari segi logo, penyajian, menu dan cita rasa yang ditawarkan, tidak seharusnya mengkhususkan kata “Kopitiam” hanya untuk satu merek usaha yang didaftarkan terlebih dahulu.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk penulisan hukum dengan judul
“Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Kopitiam Antara Kopitiam Melawan Kok Tong Kopitiam Yang Melibatkan Persatuan Pengusaha Kopitiam Indonesia”.
9 Mulyadi Praminta, Protes Klaim “Kopitiam” oleh Individu, http://detikfood.pitoong.com/ diakses tanggal 20 April 2012 pukul 13.00.