BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan perdagangan global membuktikan bahwa terjadinya
perdagangan Internasional secara cepat dan menyeluruh telah menjadi salah satu
komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu
bangsa. Arus globalisasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin
meningkat, bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.
Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan
perlindungan, apalagi negara–negara menyadari perdagangan merupakan faktor yang
sangat penting dalam meningkatkan ekonomi negara. Dengan demikian sektor
perdagangan harus diberi peran bilamana perekonomian negara ingin maju.
Dalam era perdagangan bebas, arus masuknya barang dari luar negeri ke
wilayah pabean Indonesia tidak dapat dihindari. Oleh karena banyaknya barang yang
menggunakan merek dagang asing yang beredar di Indonesia maka merek dagang
asing harus dapat diidentifikasi.1 Pendaftaran dari sebuah merek yang digunakan untuk mengidentifikasi barang-barang dan jasa yang diproduksi atau didistribusi oleh
sebuah perusahaan tertentu dengan memberikan hak kepada perusahaan tersebut
untuk mengunakan secara eksklusif merek dan perusahaan tersebut memiliki hak
1
untuk mencegah penggunaan merek yang tidak sah. Membangun hubungan antara
produk dan usaha menciptakan reputasi yang bernilai atau “nama baik” (good will),
dan ini merupakan dasar dari kebanyakan perdagangan internasional.2
Diberlakukannya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual
Property Right) pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya
perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas
produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang
industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya
cipta yang menyangkut Hak Cipta, Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, Merek,
Paten, Desain Industri, Perlindungan Rahasia Dagang, Indikasi Geografis,
Perlindungan Variates Tanaman dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri
dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) masih saja terjadi.
Ada dua alasan mengapa HKI perlu dilindungi oleh hukum. Pertama, alasan
non ekonomis dan kedua alasan ekonomis. Alasan yang bersifat non ekonomis
menyatakan bahwa perlindungan hukum akan memacu mereka yang menghasilkan
karya-karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini
2
akan meningkatkan“self actualization” pada diri manusia.3 Bagi masyarakat hal ini akan berguna untuk meningkatkan perkembangan kehidupan mereka, sedangkan
alasan yang bersifat ekonomis adalah dengan melindungi mereka yang melahirkan
karya intelektual tersebut, berarti yang melahirkan karya tersebut mendapatkan
keuntungan materiil dari karya-karyanya. Di lain pihak melindungi mereka dari
adanya peniruan, pembajakan, penjiplakan maupun perbuatan curang lainnya yang
dilakukan oleh orang lain atas karya-karya mereka yang berhak.
Hak atas Kekayaan Intelektual mencakup karya-karya yang dihasilkan oleh
manusia yang terdiri dari karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, sehingga dapat dibagi menjadi: Hak Cipta, Merek, Paten, Perlindungan Variates
Tanaman, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Pengaturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu peraturan perundang–
undangan telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan
mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya
intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundang – undangan dibidang HKI
berfungsi sebagaia tool of social engineering4yaitu sebagai alat pembaharuan dalam
masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai
sosial dalam masyarakat.
3 Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 23.
Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukkan berbagai gejala
persaingan yang cukup berat, ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas
barang-barang produk nasional yang rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak
simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini
sering kali bukan hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga
merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Merek sebagai salah satu wujud
karya intelektual memegang peranan yang amat penting di dalam mencegah
terjadinya persaingan tidak sehat, begitu pentingnya peran suatu merek dapat dilihat
seperti yang ditegaskan Saidin bahwa:
“Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya, kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya. Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja bagi pembeli. Benda materiilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril”.5
Pengaturan Merek di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek
Perniagaan (disebut pula Undang-Undang Merek 1961) dengan pertimbangan agar
khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu merek
yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik.6 Seiring
5Saidin,Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal.329-330.
berjalannya waktu, Pengaturan Merek di Indonesia telah mengalami perubahan. Oleh
karena Perlindungan hukum bagi merek terkenal belum di atur di dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka diperbaiki dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M.
03-HC-02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau
Merek yang mirip Terkenal Milik Orang lain atau Badan lain.
Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.7 Dari pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk
membedakan barang-barang yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau
sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu
memberi kesan pada saat seseorang melihat merek tersebut.8
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 membedakan merek menjadi 3 (tiga),
yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah tanda yang
digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan
barang-barang sejenis lainnya, merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang
diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya, sedangkan Merek
kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Lihat
Pasal 1 angka 2,3, dan 4 Undang-Undang No.15 tahun 2001).
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 agar suatu merek
memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya
tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan
melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas
penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta mendapatkan perlindungan
hukum dari negara.9
Suatu merek dapat diterima pendaftarannya jika memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 mengenai merek, yang tidak dapat didaftarkan bilamana mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan dan ketertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda; c. telah menjadi milik umum atau;
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
9
Selain itu suatu permintaan pendaftaran juga ditolak jika mempunyai
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik
orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang
sejenis maupun yang tidak sejenis (pasal 6 ayat 1 dan 2). Sedangkan pengertian suatu
merek mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh
adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan
bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.10
Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif
(first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001
menganut sistem pendaftaran konstitutif, sama dengan undang-undang sebelumnya,
yaitu UU No. 19 Tahun 1992, dan UU No. 14 Tahun 1997. Hal ini merupakan
perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula
menganut sistem deklaratif (UU No. 21 Tahun 1961).
Dalam sistem deklaratif, titik berat diletakkan pada pemakai pertama (first to
use). Siapa yang memakai pertama suatu merek, dialah yang dianggap berhak
menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran dipandang hanya
memberikan suatu prasangka menurut hukum, dugaan hukum bahwa orang pertama
mendaftar adalah si pemakai pertama dengan konskuensi dia adalah pemilik merek
tersebut, sampai ada pembuktian sebaliknya. Dalam sistem pendaftaran deklaratif,
pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk
mendaftarakan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftar merek,
adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan.11
Menurut Saidin, dalam sistem deklaratif orang yang berhak atas merek bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya, tetapi haruslah orang yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut. Orang-orang yang sungguh-sungguh memakai dan menggunakan merek tersebut tidak dapat dihentikan pemakaiannya oleh orang lain dengan begitu saja, meskipun orang yang disebut terakhir ini mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi. Sehingga kelemahan dari sistem deklaratif ini adalah, tidak adanya jaminan kepastian hukum.12
Pada sistem konstitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya
hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat
dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal mutlak, karena merek yang tidak di
daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistem pendaftaran
konstitutif, prinsip penerimaan merek adalah first to file13, artinya siapapun yang
mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya dengan tidak mempersoalkan
apakah si pendaftar benar-benar menggunakan merek tersebut untuk kepentingan
usahanya. Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftaran
pertama, misalnya muncul pendaftar lain yang sebenarnya berkepentingan langsung
dengan merek tersebut, sebab pendaftar inilah yang secara riil menggunakan barang
11Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I, Himpunan Keputusan Merek Dagang, (Bandung: PT. Alumni, 1997), hal. 33.
12Saidin,Op.cit, hal.337-338.
tersebut. Hal-hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem
pendaftaran konstitutif.
Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif
pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada
hak-hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Penggunaan merek milik orang lain banyak
dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa ijin
pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya
merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek dagang asing.
Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Merek, perlindungan terhadap merek
dagang asing didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek dagang asing atau
terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari
ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan
perlindungan hukum, sehingga untuk ini, permintaan pendaftaran merek terkenal
milik orang lain harus ditolak atau dibatalkan.
Asas umum yang berlaku dalam rangka perlindungan HKI pada hakikatnya
adalah asas teritorial. Namun, dengan adanya Perjanjian TRIPS, berkembang satu
rezim hukum internasional tentang HKI meskipun tanpa bermaksud
mengesampingkan rezim hukum yang telah lebih dahulu ada yaitu hukum nasional.
Antara kedua rezim hukum tersebut sangat dibutuhkan suatu kerja sama. Rezim
hukum internasional tentang HKI tidak mungkin efektif tanpa ditransformasi ke
dalam hukum nasional. Sebaliknya, rezim hukum nasional tentang HKI juga harus
tujuannya untuk keseragaman pengaturan tentang HKI dalam rangka kebebasan lalu
lintas barang, jasa dan modal secara internasional.14
Hal tersebut di atas pernah menjadi dasar putusan Hakim pada kasus
pelanggaran merek dagang asing “TOAST BOX” Nomor: 02/Merek/2011/PN.
Niaga/Medan, dimana merek dagang asing tersebut telah digunakan secara komersial
di Singapura sejak tahun 2005 dan diperluas peredarannya ke negara-negara lain
seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan sebagai keseriusan Penggugat (BREAD
TALK Pte,Ltd) untuk membuka outlet di Indonesia maka pada tanggal 24 April 2008
mendaftarkan merek TOAST BOX dan logo pada Direktorat Merek Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, sehingga Hakim memutuskan untuk membatalkan pendaftaran
MerekTOAST BOX oleh Tergugat (Frangky Chandra) pada tanggal 16 Januari 2007
yang dianggap memiliki itikad tidak baik/buruk karena telah menjiplak/meniru merek
TOAST BOXbaik huruf, logo ataupun kata-kata.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan
undang-undang merek yang telah ada sebelumnya, memberikan penegasan bahwa
apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan
pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.15 Sedangkan untuk melaksanakan pembatalan suatu merek kewenangannya berada
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak
14Titon Slamet Kurnia,Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPs(Bandung: PT. Alumni, 2011), hal. 16.
Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum
Merek, dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tidak melarang
perdagangan barang yang menggunakan merek yang tidak terdaftar. Namun sesuai
dengan prinsip perlindungan Merek yang bersifat Konstitutif yang dianut oleh
Undang-undang No. 15 tahun 2001, merek dagang yang tidak terdaftar tersebut tidak
mendapat perlindungan hukum.
Perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat dalam
era globalisasi ini, ikut pula mendorong meningkatnya merek dagang asing yang
masuk ke Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan sengketa, sehingga diperlukan
aturan hukum yang tegas dan efektif untuk memberikan kepastian hukum di dalam
perlindungan atas merek dagang asing tersebut. Oleh karena itulah, perlu dikaji
terlebih dahulu mengenai permasalahan pengaturan hukum merek yang berlaku di
Indonesia dan yang terdapat dalam perjanjian Internasional.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang yang diuraikan di atas, maka dapat diambil
beberapa permasalahan, antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap merek dagang asing di Indonesia
menurut Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek?
2. Bagaimana pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa
3. Bagaimana Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
terdaftar di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Merek dagang
asing di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian
sengketa merek dagang asing di pengadilan.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian sengketa dalam hal merek
dagang asing tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terdaftar di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
untuk berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan
bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum Hak Atas
Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya di dalam perlindungan merek dagang
asing di Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan Undang-undang
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan kerangka acuan dalam
penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau
pemalsuan terhadap hak merek yang telah terdaftar dalam kaitannya dengan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakan dan dari hasil-hasil penelitian yang
sudah ada atau sedang dilakukan dilingkungan akademis Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara dan khususnya pada Program Magister Kenotariatan,
penelitian tentang: “Pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa
merek dagang asing di Pengadilan (Studi Kasus tentang gugatan pencabutan hak
merek “TOAST BOX” oleh BREADTALK Pte.Ltd. No. 02/Merek/2011/PN.
Niaga/Medan) ”, belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Akan tetapi penelitian
tentang permasalahan HKI, khususnya di bidang merek telah pernah ada dilakukan
oleh:
1. Erly Sulanjani, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana
USU tahun 2003, dengan judul: “Penggunaan Merek Dagang Tidak Terdaftar
Studi Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Tidak Didaftarkannya Merek
Dagang Di Kawasan Industri Medan(KIM)”
Dengan permasalahan yang dibahas adalah:
a. Faktor apa saja yang menjadi penyebab tidak didaftarkannya merek
b. Apakah keuntungan dan kerugian yang dialami oleh pengusaha yang
memperdagangkan barang dengan merek tidak terdaftar?
2. Nomi Mutiaridha, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana
USU tahun 2004, dengan judul: “Studi Komparatif Pendaftaran Merek
Dagang di Indonesia Dan Malaysia”
Dengan permasalahan yang dibahas adalah:
a. Bagaimana pengaturan merek dagang di Indonesia dan di Malaysia?
b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap merek terdaftar di Indonesia
dan Malaysia?
3. Dwi Femi Nasution, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana
USU tahun 2004, dengan judul: “Aspek Hukum Perjanjian Lisensi Merek
Dagang”
Dengan permasalahan yang dibahas adalah:
a. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi
merek dagang?
b. Bagaimanakah perlindungan lisensi merek dagang yang diberikan pemilik
merek terhadap penerima lisensi merek dagang?
c. Bagaimanakah tindakan pihak pemberi lisensi jika terjadi wanprestasi
oleh pihak penerima lisensi?
4. Made Diah Sekar Mayang Sari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program
Pasca Sarjana Universitas Udayana tahun 2010, dengan judul: “Perlindungan
Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan
Intelektual”
a. Bagaimana pengaturan merek terkenal dalam sistem Hukum Hak
Kekayaan Intelektual?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diperlukan terhadap merek
terkenal di Indonesia?
5. RR. Putri Ayu Priamsari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Dipenogoro tahun 2010, dengan judul: “Penerapan Itikad
Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomo 15
Tahun 2001 tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali)”
Dengan permasalahan yang dibahas adalah:
a. Bagaimana penerapan itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan
Merek berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ?
b. Apakah dampak dari penerapan itikad baik terhadap pemilik Merek
beritikad buruk ?
Jika dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan
penelitian-penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan
demikian maka penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan
keasliannya secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang dianut untuk
Bahasa Indonesia, salah satu arti teori adalah pendapat, cara-cara dan aturan-aturan
untuk melakukan sesuatu.16
Menurut M. Solly Lubis bahwa: “Teori merupakan penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”17
Snelbecker mendefinisikan teori yaitu sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat
dihubungkan secara logis satu dengan yang lainnya dengan tata dasar yang
dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dengan
penjelasan fenomena.18
Kerangka Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang
menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui
ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka
berpikir dalam penulisan.19
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan
permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
16Roony H. Semitro,Metodologi Penelitian Hukum(Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.
17M. Soly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 27.
18 Snelbecker dan Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hal. 34-35.
Teori kepastian hukum dikemukakan oleh Roscoe Pound.20 Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibenarkan atau dilakukan
Negara terhadap individu. Kepastian Hukum bukan hanya berupa pasal-pasal
dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan
hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk
kasus yang serupa yang telah diputuskan.21
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada
kepastian hukum, dan ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan
kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya
tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan.
Undang-Undang itu sering terasa kejam, apabila dilaksanakan secara ketat, lex dura,
20 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Pranada Media Goup,2008), hal.158.
sed tamen scripta (Undang-Undang itu kejam, tetapi memang demikian
bunyinya).22
Dalam kaitannya dengan penelitian tesis ini yang meneliti mengenai
Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Asing di Indonesia menurut
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek tentunya tidak terlepas
dari unsur kepastian hukum. Hal yang dipertimbangkan cukup relevan dengan
penelitian dalam tesis ini dikarenakan Pemilik Hak atas Merek Dagang Asing
harus mendapatkan kepastian hukum untuk perlindungan terhadap Merek
Dagang Asing yang mereka miliki.
Menurut Robert M. Sherwood yang mendasari perlunya perlindungan
terhadap hak kekayaan intelektual sesuai dengan teori :
a. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya itelektual yang telah
dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau
pendesain harus diberikan suatu penghargaan sebagai imbalan atas
upaya-upaya kreatif dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual
tersebut.
b. Recovery Theory, berupa pengembalian terhadap apa yang telah
dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga
dalam proses menghasilkan suatu karya.
22
c. Incentive Theory, berupa insentive yang diberikan kepada
penemu/pencipta/pendesain untuk pengembangan keratifitas dan
pengupayaan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.
d. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang
dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang memungkinkan
orang lain menemukan karya yang dihasilkan, atau memperbaikinya dan
resiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara illegal.
e. Economic Growth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat
untuk pembangunan ekonomi.23 2. Konsepsi
Konsepsi merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dua teori dengan observasi, antara abstraksi
dan realitas.24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang
konkrit, disebut dengan operation/definition. Pentingnya definisi operasional adalah
untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari
suatu istilah yang dipakai.25
Kerangka Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang
lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
23Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 44.
24Masri Singarimbun dan Sofian Effendi,Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34.
25Sutan Remy Sjahdeini,Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep merupakan suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu
proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26 Kerangka Konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan
dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27
Untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama
tentang makna dan definisi konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini,
maka akan dijabarkan penjelasan dan pengertian tentang konsep-konsep tersebut
sebagai berikut:
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang
atau jasa.
2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau
badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
3. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang
berasal dari negara yang tergabung dalamParis Convention for the Protection
of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade
Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di
26Satjipto Raharjo I,Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 37.
negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota
salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for
the Protection of Industrial Property.
4. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya.28
5. Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima,
memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit
dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang
perniagaan, serta merupakan badan peradilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum, yang salah satu kewenangannya untuk memeriksa
masalah-masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti sengketa merek, paten,
desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.29
6. Perlindungan Merek adalah kekuatan hukum yang melindungi suatu merek
yang terdiri dari tiga standar perlindungan yang berlaku umum terhadap suatu
28Indonesia, Undang-Undang tentang Merek,Op.cit, Pasal 3. 29
kemungkinan yang membingungkan diantara merek, suatu persamaan atau
penambahan dari merek-merek dan persaingan curang merek.30
7. Merek Terkenal (Famous mark) adalah merek yang menjadi simbol
kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak
mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.31 G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan terkait dengan pembahasan mengenai perlindungan
hukum atas merek dagang asing di Indonesia, merupakan penelitian yuridis
normatif, karena objek dalam penelitian ini adalah norma-norma hukum tertulis.
2. Sumber Data
Data dalam Penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang
digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari,
meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan
penelitian. Pengumpulan data sekunder dengan menelaah bahan kepustakaan
tersebut, meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat, terdiri
dari bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian
baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide) seperti:
30 H. D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat(Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 22.
peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi (hukum
kebiasaan), yurisprudensi, putusan-putusan pengadilan, dan lainnya.
Sedangkan dalam Penelitian ini bahan hukum primer antara lain:
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Peraturan
Perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan merek, Putusan Pengadilan Niaga
dalam perkara penyelesaian sengketa gugatan pembatalan merek.
b. Badan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang berfungsi
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa bahan pustaka
yang meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan
penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa
bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus hukum dan kamus lainnya
yang menyangkut penelitian ini, situs-situs internet juga menjadi sumber
bahan bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang relevan
terhadap penulisan tesis ini.
3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data
Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi
kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
primer, sekunder, tersier32 yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta putusan-putusan
Pengadilan Niaga, serta sumber hukum lain yang berkaitan dengan materi penelitian.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang
digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari,
meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan
penelitian. Studi dokumen atau dapat juga dikatakan sebagai studi literatur/ riset
pustaka, apa yang menurut Soejono Soekanto dalam bukunya sebagai “..any
technique for making inferences by objectively and systematically identifying specifed
characteristics of massages”.33
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.34 Analisis data menurut Patton adalah “sebuah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar”.35
Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang
32
Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktek(Jakarta: Sinar Grafika , 1996), hal. 14.
33 M. Hafidullah,Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code Piranti Lunak Komputer (Yogyakarta: Laporan Penelitian Lembaga Kajian Hukum Teknologi, 2005), hal. 4.
34Lexy J. Moloeng,Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 103.
menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian
dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data
sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan
hukum yang telah diinventarisir.
5. Penarikan Kesimpulan
Pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkret, sehingga penarikan
kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yakni
pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang bersifat