• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Struktur Pasar Industri Kakao di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Struktur Pasar Industri Kakao di Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Struktur Pasar Industri Kakao di Indonesia

Struktur pasar dapat dianalisis dengan tiga pokok elemen, yaitu nilai pangsa pasar, konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), dan hambatan masuk

pasar yang dianalisis dengan pendekatan Minimum Effisiency Scale (MES). Namun dalam penelitian yang dilakukan terdapat keterbatasan data mengenai data penjualan sehingga penentuan struktur pasar industri kakao ini akan dianalisis melalui konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) dan Minimum Effisiency Scale (MES).

6.1.1. Konsentrasi Pasar

Konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4) menggambarkan

perwakilan dari empat perusahaan terbesar yang ada di Indonesia sehingga melalui pendekatan CR4 akan digunakan untuk melihat persentase total output empat

perusahaan terbesar terhadap total output keseluruhan industri. Dalam industri kakao yang ada di Indonesia diperoleh nilai rata-rata CR4 dari tahun 2000 hingga

2009 adalah sebesar 67.41 persen. Hal ini menunjukkan bahwa empat perusahaan terbesar memiliki persaingan dalam pasar oligopoli. Menurut Jaya (2001) pasar oligopoli dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu oligopoli longgar dan oligopoli ketat. Pembedaan ini didasarkan pada besarnya nilai konsentrasi pasar. Jika konsentrasi pasar berkisar 40-60 persen maka dikelompokkan menjadi oligopoli longgar, sedangkan konsentrasi pasar yang berkisar 60-100 persen digolongkan ke dalam oligopoli ketat, maka dapat disimpulkan industri kakao yang ada di Indonesia merupakan pasar oligopoli ketat. Dalam ekonomi industri sistem

(2)

harga pertanian sistem oligopoli ini digolongkan dalam quasi-competitive model walaupun dalam pengertiannya kedua hal ini memiliki arti yang sama. Nilai CR4

yang berfluktuasi sepanjang tahun 2000-2009 cenderung mengalami peningkatan. CR4terbesar terjadi pada tahun 2006. Hal ini dapat disebabkan karena nilai output

yang melonjak drastis dari tahun 2005, sehingga menyebabkan nilai tambah juga ikut meningkat drastis. Selain itu, akibat dari melonjaknya nilai output masing-masing perusahaan akan meningkatkan total output industri secara keseluruhan. Hal ini dapat disebabkan karena faktor input yang juga ikut meningkat seperti meningkatnya jumlah produksi, bertambahnya luas lahan, dan tenaga kerja yang ikut meningkat pula, sehingga persentase total output juga akan ikut meningkat secara drastis.

Tingkat konsentrasi yang tinggi ini cukup menggambarkan bahwa jumlah produsen yang relatif sedikit, hambatan yang cukup tinggi untuk memasuki pasar, dan persaingan yang cukup tinggi. Struktur pasar oligopoli ketat ini akan menciptakan kerjasama antar produsen untuk memperoleh keuntungan diatas harga normal.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 11. Kurva CR4Industri Kakao Tahun 2000–2009

38,96 43,95 57,38 45,37 55,6 70,13 99,28 80,67 92,39 95,56 0 20 40 60 80 100 120 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 P er se n

CR

4

(3)

6.1.2. Hambatan Masuk Pasar

Masuk dan keluarnya suatu industri dapat menggambarkan persaingan yang terjadi dalam industri tersebut sehingga hambatan untuk masuk pasar dapat terdeteksi. Melalui pendekatan Minimum Effisiency Scale (MES) dapat diketahui besarnya persentase hambatan untuk masuk pasar. Nilai MES yang diperoleh dengan cara membagi nilai output terbesar perusahaan dengan total output dalam industri. Sepanjang tahun 2000 hingga 2009, rata- rata nilai MES industri kakao di Indonesia adalah sebesar 45.12 persen. Semakin tinggi nilai MES, maka hambatan untuk memasuki pasar akan semakin sulit pula. Menurut Comanous dan Wilson (1967) dalam Sari (2011) nilai MES yang lebih dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada suatu industri. Nilai MES terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 89.81 persen. Hal ini disebabkan karena melonjaknya nilai output kakao pada tahun 2006. Tidak jauh berbeda dengan pengaruh output pada nilai CR4, peningkatan nilai output ini dapat disebabkan

karena peningkatan nilai input. Disamping itu, banyaknya jumlah perusahaan yang berada dalam pasar juga ikut berpengaruh karena semakin sedikit jumlah perusahaan maka peluang untuk bersaing akan semakin besar. Jumlah industri pada tahun 2006 berjumlah 25 industri, nilai ini berkurang dari tahun 2005 yang berjumlah 31 industri kakao. Sebaliknya nilai MES terendah berada tahun 2003 yang hanya sebesar 15.51 persen. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya nilai output kakao dari 590 290 435 menjadi 296 577 445 pada tahun 2002 sehingga persentase output industri ikut menurun.

(4)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 12. Kurva MES Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.1.3. Derajat Perbedaan Produk

Derajat perbedaan produk menjelaskan jenis produk yang dihasilkan oleh produsen. Pada pasar oligopoli jenis produk yang dihasilkan yaitu terdiferensiasi. Kakao yang diolah menjadi cokelat dijadikan dalam beberapa bentuk, seperti cokelat batangan, cokelat pasta, wafer cokelat, biskuit cokelat, dan sebagainya. Selain itu, adapula industri yang memang memproduksi kakao tidak hanya untuk cokelat saja, ada yang bersifat konsumsi dan non konsumsi, tetapi dalam penelitian ini hanya akan membahas kakao yang diolah menjadi cokelat saja. Pengalihan produk coklat ini bertujuan untuk tetap mempertahankan loyalitas konsumen karena konsuman akan sangat terpengaruh dengan berbagai pilihan produk. Beberapa industri melakukan penganekaragaman produk untuk mempertahankan eksistensinya. Hal yang dapat ditarik menjadi kesimpulan adalah ketika konsumen merasa bosan dengan produk yang sering mereka konsumsi, maka konsumen akan beralih pada produk yang lain namun masih dalam satu produsen.

23,56 29,3 21,73 15,51 54,86 45,61 89,81 53,46 64,13 53,18 0 20 40 60 80 100 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 P er se n

MES

(5)

6.1.4. Informasi

Sifat oligopoli pada industri ini memungkinkan sulitnya untuk memperoleh informasi untuk memasuki pasar kakao ini karena adanya tekanan yang kuat dari masing-masing industri. Salah satu sumber menyebutkan bahwa untuk informasi yang sulit diperoleh adalah mengenai biaya mencakup dari biaya input, biaya produksi, hingga pada biaya output. Adanya teknologi yang dilakukan juga bagian yang sulit untuk diperolah pesaing lain, bagi pesaing baru yang ingin memasuki pasar ini terlebih dahulu harus mengetahui strategi perusahaan lain yang sudah bertahan sebelumnya. Ketika pesaing baru mendapatkan informasi yang tidak sempurna maka akan dapat menyebabkan kesalahan dalam harga keseimbangan sehingga pesaing baru ini harus mengetahui posisi harga keseimbangan yang ada pada industri lain, sedangkan pada kenyataannya tidak ada satupun industri yang mau memberikan informasi mengenai harga ini.

6.2. Analisis Perilaku Pasar

Perilaku pasar menggambarkan tingkah laku dan penerapan strategi yang dilakukan perusahaan untuk menguasai pangsa pasar sebesar mungkin. Dalam analisis perilaku pasar akan dibahas mengenai penerapan strategi harga, strategi produk dan promosi yang dilakukan.

6.2.1 Strategi Harga

Harga merupakan unsur yang dapat menghasilkan pendapatan bagi suatu industri karena harga juga merupakan unsur yang paling fleksibel, dimana harga dapat berubah dengan cepat sehingga penting bagi suatu industri dalam menetapkan harga dengan melihat kondisi pasar yang ada. Pada industri kakao ini, jenis pasar yang terlihat adalah oligopoli ketat. Dalam oligopoli ketat tentu terjadi kolusi atau

(6)

dengan yang biasa diartikan sebagai bentuk kerjasama, seperti melakukan kesepakatan harga terhadap industri lain sehingga harga dari hasil pengolahan kakao tidak akan jauh berbeda.

Hal pertama yang diperkirakan dalam penentuan harga dengan melihat biaya produksi yang dikeluarkan. Hal ini bisa meliputi biaya input seperti bahan baku, biaya teknologi, biaya pemasaran, dan biaya input lainnya. Namun perlu diperhatikan ketika terjadi kenaikan biaya input tidak menutupi kemungkinan akan terjadi kenaikan biaya output pula, selama biaya produksi masih dapat diatasi.

Bagi pelaku ekonomi, keunggulan produk juga tetap mempengaruhi harga karena penentuan harga didasari dengan kualitas produk. Industri biasanya akan melihat responden konsumen terhadap penerapan harga yang dilakukan, seperti melakukan kuisioner acak untuk melihat kesesuain harga dengan cara membandingkan preference pelanggan terhadap suatu produk. Hal ini tentu saja menjadi strategi bagi beberapa industri untuk melihat peluang mereka berdasarkan penerapan harga.

Kesepakatan penentuan harga yang dilakukan beberapa perusahaan ini tidak menutup kemungkinan akan menyebabkan kerugian pada konsumen, pasalnya masing-masing perusahaan akan menetapkan harga yang tinggi pada produknya. Namun disisi lain pemberlakuan kesepakatan harga ini juga dilakukan untuk mencegah terjadinya pemotongan harga atau dengan kata lain agar tidak ada pihak produsen lain yang merasa dirugikan.

6.2.2. Strategi Produk dan Promosi

Industri yang memproduksi suatu barang tentu akan melakukan pendekatan dengan jenis produk yang mereka hasilkan, disamping itu tak jarang pula

(7)

perusahaan akan melakukan promosi guna menarik perhatian dari konsumen sehingga konsumen akan membeli produk tersebut. Namun, pada dasarnya strategi produk yang dilakukan oleh perusahaan ataupun industri bertujuan untuk menghasilkan keuntungan. Akan tetapi perusahaan ataupun industri harus teliti melihat keadaan pasar. Jenis pasar oligopoli ini memiliki produk terdiferensiasi yang umumnya dilakukan oleh perusahaan untuk memberikan pilihan kepada konsumen dalam menarik perhatian.

Strategi produk dinilai mampu memberi peningkatan kualitas seperti yang dilakukan oleh suatu produsen yang mampu tetap mempertahankan kualitas cokelatnya. Namun ada beberapa produsen yang memang senjaga mengurangi volume produknya guna mempertahankan harga agar tetap diminati konsumen, dalam arti hal ini dilakukan sebagi bentuk menekan biaya produksi. Strategi promosi dilakukan produsen untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang mereka hasilkan mampu bersaing di pasar. Berbagai cara dilakukan oleh produsen untuk menarik perhatian konsumen, sebut saja penggunaan merek/ logo dalam kemasan produk. Semakin mencolok suatu produk maka akan meningkatkan keingintahuan konsumen. Strategi promosi pun dapat dilakukan melalui iklan. Iklan biasanya didesain secara visual sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi konsumen dan didukung pula dengan kesan yang persuasif. Selain iklan, promosi yang dilakukan oleh produsen bisa dari pengaruh harga maupun produk itu sendiri, seperti pemberian potongan harga sehingga harga yang akan dibeli oleh konsumen menjadi lebih murah, pemberian gratis dengan syarat melakukan pembelian minimum produk, dan adapula beberapa produsen yang mengadakan kuis berhadiah. Langkah ini dilakukan produsen untuk mendapatkan konsumen sehingga

(8)

semakin banyak konsumen dengan loyalitas, dan pada akhirnya mampu memberikan keuntungan.

6.3. Analisis Kinerja Pasar

Analisis kinerja pasar akan tergambar pada besarnya nilai Price Cost Margin (PCM), hal ini dikarenakan PCM dijadikan sebagai indikator kemampuan perusahaan untuk meningkatkan harga diatas biaya produksi dan menggambarkan keuntungan/ kelebihan penerimaan atas biaya langsung. Pada industri kakao yang ada di Indonesia ini PCM dipengaruhi oleh variabel- variabel lain, seperti konsentrasi rasio empat perusahaan terbesar (CR4), Minimum Efficiency Scale

(MES), efisiensi internal (X-eff), Produktivitas (PROD), dan jumlah perusahaan (JLP).

6.3.1 Analisis Price Cost Margin (PCM)

Pendekatan dengan PCM dilakukan karena tingkat keuntungan yang diperoleh suatu perusahaan bersifat rahasia dan tidak untuk dipublikasikan sehingga PCM bertindak sebagai indikator keuntungan atas biaya langsung yang diperoleh suatu perusahaan. Pada industri kakao ini nilai PCM memiliki nilai rata- rata sebesar 21.29 persen, dengan nilai PCM tertinggi terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 87.68 persen dan PCM terendah terjadi pada tahun 2001 yaitu sebesar 2.06 persen.

Nilai PCM yang terjadi pada tahun 2006 tersebut dapat disebabkan karena nilai tambah industri yang meningkat drastis diikuti dengan peningkatan biaya tenaga kerja dan disertai dengan tingginya nilai barang yang dihasilkan. Tingginya nilai PCM ini dapat pula disebabkan karena industri kakao yang terus mengalami peningkatan permintaan sehingga produsen terus meningkatkan produksi pada

(9)

tahun 2006 dengan nilai barang yang dihasilkan mencapai 10 291 943 973. Disamping itu pula besarnya nilai output jauh melebihi nilai input sehingga tidak diragukan nilai tambah yang juga ikut meningkat drastis, nilai tambah ini dinilai masih dapat menutupi besarnya nilai input tenaga kerja sehingga pada tahun 2006 ini nilai PCM sangat tinggi.

Tahun 2001 dinilai memiliki nilai PCM yang terendah yaitu sebesar 2,06%. Hal ini diduga karena besarnya nilai tambah dirasa masih sulit untuk menutupi biaya input dengan membandingkan dari banyaknya barang yang dihasilkan.

SSumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 13. Kurva Price Cost Margin Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.3.2 Analisis Efisiensi Internal (X-eff)

Analisis efisiensi kinerja yang dilakukan sebagai pendekatan kinerja pasar digambarkan sebagai indikator suatu perusahaan dalam industri untuk menekan biaya produksi, hal ini digunakan pula untuk menentukan keuntungan karena semakin tinggi efisiensi internal maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar pula. Nilai efisiensi internal pada pasar kakao ini cenderung berfluktuatif setiap tahunnya dari tahun 2000-2009, dengan rata-rata nilai efisiensi internal

13,06 2,06 5,71 26,34 12,98 35,32 87,68 10,41 12,06 7,31 0 20 40 60 80 100 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 p er se n

PCM

(10)

Nilai efisiensi internal terbesar berada pada tahun 2006, yaitu sebesar 774.71 persen. Hal ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan tersebut dapat menekan biaya produksinya karena besarnya nilai tambah yang diperoleh mampu menutupi biaya input yang dikeluarkan. Disamping itu pula nilai output yang sangat tinggi juga dapat dijadikan sebagai faktor pendukung. Sebaliknya, nilai efisiensi terkecil berada pada tahun 2007 yaitu sebesar 11.77 persen. Jika dilihat melalui perbandingan, pada tahun ini selisih antara nilai output dengan nilai input relatif kecil jumlahnya, sehingga nilai tambah yang dihasilkan mejadi lebih kecil. Besarnya nilai tambah ini dinilai belum mampu untuk memenuhi biaya input sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi sangat kecil. Tingginya nilai input ini dapat dipicu karena besarnya biaya teknologi yang digunakan untuk menghasilkan output, tingginya biaya bahan baku, dan sebagainya.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2000-2009 (diolah)

Gambar 14. Kurva Efisiensi Internal Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.4 Hasil Uji Analisis Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Kinerja

Hubungan uji analisis struktur dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Kuadrat Terkecil Biasa atau dengan yang sering disebut OLS (Ordinary Least Square). Suatu model dapat

72,12 52,46 29,49 126,27 42,44 82,02 774,71 11,77 13,76 15,99 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 P er se n

X-eff

(11)

dikatakan baik apabila lulus uji statistik dan uji ekonometrika. Uji statistik meliputi uji koefisiensi determinasi (R2), uji t, dan uji f. Sedangkan dalam uji ekonometrika, suatu model harus terbebas dari pelanggaran asumsi-asumsi seperti multikolinearitas, heteroskedastisitas, autokorelasi, dan uji normalitas. Alat analisis yang digunakan dalam model ini adalah minitab 14 dan E-views 6.

6.4.1 Uji R-Squared (R2)

Berdasarkan nilai pada model regresi maka nilai R-Squared atau nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah sebesar 91.8 persen yang artinya sebesar 91.8 persen keragaman variabel dependen (PCM) dapat dijelaskan oleh variabel independen pada model yang terdiri dari variabel MES, CR4, Produktivitas

(PROD), X-eff, Jumlah Perusahaan (JLP). Sedangkan sisa nilai koefisien determinasi sebesar 8.2 persen dapat dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Sedangkan untuk uji R-adjusted, nilainya adalah sebesar 81,6%.

6.4.2 Uji F

Nilai Probability F-Statistic yang diperoleh dalam model adalah sebesar 0.027 dengan besarnya taraf nyata adalah lima persen atau sebesar 0.05. Hal ini menunjukkan bahwa nilai Probability F-Statistic lebih kecil dibanding nilai taraf nyata (0.027 < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa minimal terdapat satu variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap variabel dependen sehingga model ini layak digunakan sebagai parameter penduga.

6.4.3 Uji t

Hasil uji t dapat dilihat dari nilai variabel independen yang nilai probabilitasnya lebih kecil dari taraf nyata. Variabel MES, CR4, PROD, dan JLP

(12)

nilainya lebih besar daripada taraf nyata lima persen atau sebesar 0.05 sehingga variabel ini tidak beperngaruh nyata terhadap variabel dependen (PCM). Sedangkan variabel efisiensi internal (x-eff) memiliki nilai sebesar 0.028 dimana nilainya lebih kecil dari taraf nyata 0.05 sehingga variabel ini berpengaruh nyata terhadap PCM. Dapat disimpulkan bahwa dalam model ini hanya variabel x-eff saja yang berpengaruh nyata pada variabel dependen (PCM).

6.4.4 Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan linear antara variabel bebas didalam model regresi. Uji multikolinearitas dapat dilihat dari nilai VIF dalam model, dengan ketentuan jika nilai VIF pada variabel kurang dari 10 maka terdapat multikolinearitas. Dari hasil regresi dapat dilihat bahwa tidak ada nilai VIF dari masing-masing variabel yang besarnya lebih dari 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam model ini tidak terjadi multikolinearitas sehingga model layak.

Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant -13,47 26,94 -0,50 0,643 MES 0,1630 0,4267 0,38 0,72 7,3 CR4 0,0568 0,3242 0,18 0,869 4,2 X-eff 0,08949 0,02639 3,39 0,028 2,9 PROD -0,0000420 0,0003935 -0,11 0,920 1,8 JLP 0,5553 0,7942 0,70 0,523 1,9 6.4.5 Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Uji autokorelasi dapat dilihat dengan nilai Durbin-Watson. Pada lampiran 7 ditunjukkan bahwa hasil estimasi menunjukkan nilai Durbin-Watson sebesar 1.96297. Nilai ini berada pada batasan 1.55-2.46 sehingga dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi.

(13)

6.4.6 Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan agar kesalahan penggangu tidak konstan pada semua variabel independen. Uji heteroskedastisitas menggunakan uji White yang digunakan untuk melihat apakah terdapat heteroskedastisitas dalam hasil regresi. Dengan uji white diperoleh nilai probability chi-square sebesar 0.2471, nilai ini lebih besar dari taraf nyata sebesar 0.05 sehingga dapat disimpulkan bahwa model ini bebas dari pelanggaran heteroskedastisitas.

Heteroskedasticity Test: White

F-statistic 1.595952 Prob. F(5,4) 0.3356 Obs*R-squared 6.661035 Prob. Chi-Square(5) 0.2471 Scaled explained SS 0.817098 Prob. Chi-Square(5) 0.9759

6.4.7 Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal karena data yang digunakan kurang dari 30. Hasil estimasi yang ditunjukkan dalam hasil minitab 14 menunjukkan bahwa nilai probabilitasnya adalah sebesar 0.106. Sedangkan dengan menggunakan analisis eviews 6 hasilnya menunjukkan pada besaran 0.893522. Kedua nilai ini memperlihatkan hasil yang lebih besar dari taraf nyata 5 persen yang artinya error term pada model tersebut terdistribusi normal. 0 1 2 3 4 -15 -10 -5 0 5 10 15 Series: Residuals Sample 2000 2009 Observations 10 Mean -3.02e-15 Median 0.325383 Maximum 12.85568 Minimum -10.86246 Std. Dev. 7.243494 Skewness 0.284011 Kurtosis 2.533354 Jarque-Bera 0.225170 Probability 0.893522

(14)

6.4.8. Hubungan Struktur dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Hasil regresi model pada lampiran 7, menunjukkan bahwa variabel MES, CR4, X-eff, dan JLP berpengaruh positif terhadap PCM, sedangkan variabel PROD

berpengaruh negatif terhadap PCM. Keterkaitan antara PCM dengan variabel independen dirumuskan dengan model berikut:

PCM = - 13.5 + 0.163 MES + 0.057 CR4 + 0.0895 X-eff – 0.000042 PROD + 0.555 JLP + ε

Hal ini berarti menunjukkan bahwa peningkatan MES sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.163 persen, yang artinya semakin meningkatnya hambatan untuk memasuki pasar maka besarnya keuntungan akan meningkat. Hipotesis ini sesuai dengan hipotesis awal karena meningkatnya hambatan masuk pasar menyebabkan persaingan semakin ketat karena hanya industri yang kuatlah yang dapat bertahan dalam menghadapi pasar ini. Peningkatan CR4sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.057 persen

pula. Selain itu, peningkatan x-eff sebesar satu persen akan turut meningkatkan PCM sebesar 0.0895 persen, hal ini tentu saja didukung dengan semakin meningkatnya efisiensi maka keuntungan yang diperoleh akan semakin besar. Hal yang sama juga terjadi pada JLP, peningkatan JLP sebesar satu satuan akan meningkatkan PCM sebesar 0.555 persen. Jumlah perusahaan akan mendukung kinerja suatu industri, ketika jumlah perusahaan semakin meningkat maka kinerja suatu industri akan turut meningkat dan ketika kinerja industri meningkat maka dapat diartikan dengan semakin efisien industri tersebut yang berujung pada peningkatan keuntungan, hal inilah yang menyebabkan nilai PCM ikut meningkat.

Model regresi juga menunjukkan bahwa dari lima variabel independen yang ada, hanya ada satu variabel saja yang berpengaruh nyata yaitu x-eff. Dapat

(15)

disimpulkan bahwa model regresi yang tepat untuk kasus industri kakao ini yaitu: PCM = - 13.5 + 0.0895 X-eff + ε.

Hubungan antara x-eff dan PCM tentu jelas akan saling berpengaruh karena efisiensi internal (x-eff) menggambarkan kemampuan suatu industri untuk menekan biaya produksinya, semakin efisien maka semakin besar pula keuntungan yang diperoleh. X-eff yang memiliki besar 0.028 ini terbukti lebih besar dari taraf nyata 0.05 sehingga dapat disimpulkan x-eff berpengaruh nyata dan sesuai dengan hipotesis karena industri akan menekan biaya produksi mereka untuk tetap memperhatikan keuntungan.

Empat variabel yang tidak signifikan seperti CR4, MES, PROD, dan JLP ini

dianggap tidak sesuai dengan hipotesis awal. Besarnya masing- masing variabel ini adalah sebesar 0.869, 0.722, 0.920, 0.523 memiliki besar yang melebihi taraf nyata 0.05. CR4 tidak berpengaruh signifikan karena semakin tinggi konsentrasi industri

justru akan menurunkan persaingan yang menyebabkan perilaku industri kurang efisien. Penurunan perilaku akan mempengaruhi kinerja industri yang menyebabkan kinerja menurun. Dalam model estimasi nilai MES berpengaruh positif terhadap PCM, namun pada kenyataannya nilai MES ini tidak berpengaruh signifikan terhadap PCM. Hal ini diduga karena tingginya hambatan untuk masuk dalam pasar akan mengakibatkan masing-masing industri untuk terus meningkatkan persaingannya agar tetap bertahan. Ketika masing-masing industri saling meningkatkan persaingan justru akan menurunkan keuntungan, karena share yang diperoleh masing-masing industri semakin sedikit sehingga keuntungan yang semakin menurun tidak dapat meningkatkan kinerja industri secara profit.

(16)

Model estimasi yang menunjuk variabel produktivitas ternyata berpengaruh negatif terjadap PCM. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis karena semakin tinggi produktivitas yang dihasilkan maka seharusnya akan meningkatkan keutungan pada suatu industri. Namun pada kenyataannya peningkatan produktivitas sebesar satu persen akan menurunkan keuntungan sebesar 0.000042 persen. Hal ini diduga karena tingginya produktivitas akan meningkatkan output ataupun barang yang dihasilkan juga ikut meningkat. Hal ini dapat dikatakan sebagai suatu supply, ketika supply terlalu tinggi maka akan menurunkan harga dari yang semestinya. Akibatnya, produk menjadi tidak bersaing dan tidak memberi keuntungan lebih. Kondisi ini mampu dikatakan sebagai alasan mengapa produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap PCM.

JLP yang diartikan dengan jumlah perusahaan memiliki pengaruh yang positif terhadap PCM. Peningkatan JLP sebesar satu persen akan meningkatkan PCM sebesar 0.555 persen. Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah perusahaan yang memasok dari suatu industri akan meningkatkan keuntungan industri tersebut. Namun pada kenyataanya besarnya JLP tidak berpengaruh signifikan pada PCM, karena semakin banyak jumlah perusahaan yang memasuki pasar akan menurunkan keuntungan yang akan diterima dari masing-masing perusahaan sehingga akibatnya keuntungan yang rendah tersebut tidak akan mendukung kinerja yang lebih diartikan pada profit.

Gambar

Gambar 12. Kurva MES Industri Kakao Tahun 2000-2009 6.1.3. Derajat Perbedaan Produk

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga variabel yang digunakan dalam menganalisis hubungan struktur pasar dan kinerja pada industri sepeda motor adalah PCM, kemudian faktor lain yang dapat mempengaruhi

Hal tersebut ditandai dengan pangsa pasar persaingan empat perusahaan terbesar yangdalam hal ini indikatornya adalah jumlah penerimaan perusahaan konstruksidi Indonesia

Khusus industri-industri TPT yang padat modal, telah mulai mengupayakan pemanfaatan energi alternative batubara (± 50 perusahaan) sebagai cara menekan biaya produksi.

Produktivitas diartikan sebagai jumlah produksi per satuan luas. Produktivitas digunakan sebagai indikator tingkat kesuburan lahan, dimana jika tingkat produkivitas suatu lahan

Analisis struktur-perilaku-kinerja adalah analisis yang menggambarkan struktur pasar melalui konsentrasi rasio dan hambatan masuk/ keluar perusahaan; perilaku pasar melalui

Efisiensi Skala yang merupakan kemampuan perusahaan beroperasi di skala ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas industri perbankan syariah..

Perilaku perusahaan ataupun pihak terkait di dalam industri sepeda motor, dapat dilihat dari analisis hubungan antara struktur pasar dengan kinerja. Beberapa elemen dalam

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi pentingnya studi yang menganalisis pengaruh struktur pasar terhadap kinerja industri perbankan dengan menggunakan analisis