• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAKAF MENURUT EMPAT MADZHAB DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "WAKAF MENURUT EMPAT MADZHAB DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

WAKAF MENURUT EMPAT MADZHAB DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA

Ummi Kulsum

Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Islam Al-Anwar, Indonesia

E-Mail:

kulsumummi413@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan wakaf menurut empat Madzhab dan seperti apa perkembangan wakaf di Indonesia. Hasil penelitian ini ialah adanya perbedaan pendapat menurut emapt madzhab mengenai kepemilikan harta wakaf, rukun dan syarat wakaf. Serta perkembangan yang terjadi di Indonesia, salah satunya perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai menurut empat madzhab tersebut dan pelaksanaan oleh beberapa lembaga wakaf yang ada di Indonesia.

Metode yang digunakan dalam penelitia ini ialah deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif ialah data yang berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Hal ini dikarenakan dengan adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua data yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah pernah diteliti. Dengan demikian, laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan dan pengelohan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut. Tujuan dari penelitian kepustakaan dan jenis penelitian kualitatif ialah untuk mengetahui pandangan wakaf menurut empat madzhab dan perkembangannya di Indonesia. Jenis data yang digunakan ialah data sekunder. Data yang diperoleh dari buku, jurnal penelitian dan artikel yang berkaitan dengan pandangan wakaf menurut empat madzhab.

Kata Kunci: Pandangan Madzhab, Wakaf, dan Perkembangannya.

(2)

ABSTRACT

This research aims to find out the view of waqf according to the four Madzhab and what the development of waqf looks like in Indonesia. The result of this study is that there is a difference of opinion according to the madzhab emapt regarding the ownership of waqf property, pillars and waqf requirements. As well as the developments that occur in Indonesia, one of them is the disagreement about the law of cash waqf according to the four madzhab and the implementation by several waqf institutions in Indonesia. The method used in this study is qualitatively descriptive. Qualitative descriptive is data in the form of words, images and not numbers. This is due to the application of qualitative methods. In addition, all the data collected is likely to be key to what has already been studied. Thus, the research report will contain excerpts and data collection to give an overview of the presentation of the report. The purpose of literature research and qualitative research types is to know the views of waqf according to the four madzhabs and their development in Indonesia. The type of data used is secondary data. Data obtained from books, research journals and articles related to waqf views according to the four madzhab.

Keyword: Madzhab views,Wakaf and development.

(3)

A. PENDAHULUAN

Wakaf merupakan salah satu instrumen yang sangat penting dalam suatu perkembangan ekonomi umat (Aya dan Danang, 2018). Wakaf juga dikenal sebagai suatu aset umat dimana pemanfaatannya dapat dilakukan disepanjang masa (Rozalinda, 2015).Dalil yang menjadi dasar hukum disyariatkannya ibadah wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat al-Qur‟an dan as-Sunnah. Namun, dalam ayat al-Qur‟an tidak ada yang secara tegas menjelaskan mengenai wakaf. Berbeda dengan ibadah zakat, yang telah banyak dijelaskan dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah. Bahkan berkaitan dengan teknik operasionalisasi zakat, seperti pihak-pihak yang berhak menerima zakat, pola pengambilan zakat, dan jenis barang yang harus dizakati. Hal ini telah dijelaskan secara terperinci oleh nash-nash yang begitu banyak. Maka dari itu, ajaran zakat ditempatkan sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang Qaţ‟iyyu al-Dalālah (jelas atau pasti penunjukan lafaznya). Walaupun dalam teknis operasionalisasi mengenai pengelolaan zakat mengalami berbagai inovasi sebagai upaya pemberdayaan secara optimal sesuai dengan kondisi yang ada (Depag, 2006).

Wakaf dalam al-Qur‟an tidak secara tegas dijelaskan, bahkan tidak ada satu ayat al- Qur‟an yang menyinggung kata “waqf”. Sedangkan pendasaran dari ajaran wakaf dengan dalil yang menjadi dasar utama dari disyari‟atkannya ajaran ini lebih dipahami berdasarkan teks ayat al-Qur‟an, sebagai amal kebaikan (Depag, 2006). Namun, pada hadis Nabi telah menggambarkan untuk dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi Muhammad SAW kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar.

“Diriwayatkan dari Ibnu „Umar ra, bahwa „Umar Ibn Khattab memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW, seraya berkata, “Wahai Rasulullah saya memperoleh tanah yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, maka apa yang engkau perintahkan (kepadaku) mengenainya?”. Nabi SAW menjawab, ”Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Ibnu „Umar berkata, “Maka „Umar menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan, yaitu kepada orang-orang fakir, kerabat, riqab (hamba sahaya), sabilillah, tamu dan ibnu sabil. Tidak berdosa bagi orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma‟ruf(wajar) atau memberi makan seorang teman, dengan tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik (Nuroddin Usman, 2015).”

Berdasarkan hadis Rasul di atas yang telah menyinggung tentang wakaf tersebut memang tidak terlalu tegas. Karena itulah sedikit sekali hukum wakaf berdasarkan hadist di atas. Sehingga hal ini membuatnya ajaran wakaf diletakkan pada wilayah yang bersifat ijtihad, bukan ta‟abbudin, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, peruntukan,

(4)

syarat, jenis wakaf dan lain sebagainya. Meski demikian ayat dan hadist mengenai wakaf yang sedikit itu mampu menjadi suatu pedoman para ahli fiqh Islam. Sejak masa khulafā‟urrāsyidîn hingga masa sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum- hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil dari ijtihad. Dengan menggunakan metode ijtihad yang bervariasi, seperti qiyas, marsalah mursalah dan lain sebagainya.

penafsiran yang sering digulirkan oleh para ulama, bahwasanya wakaf ini identik dengan sadaqah jariyah.

Oleh sebab itu, ketika suatu hukum Islam yang termasuk dalam wilayah ijtihad, maka hal itu sangat fleksibel, dinamis, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru, berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian, jika ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi wakaf juga merupakan bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat luas (Ahcmad dan Thobieb, 2006). Menurut para madzahab untuk menentukan hukum wakaf, secara prinsip (ushǔli) diantara mereka tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi, jika secara cabang terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama (Imam, 2002), diantaranya seperti perbedaan kepemilikan harta wakaf, rukun dan syarat wakaf itu sendiri.

Berdasarkan perbedaan pendapat para Madzhab mengenai kepemilikan harta wakaf, rukun dan syarat serta perkembangan wakaf yang ada di Indonesia. Maka hal ini sangat penting untuk dilakukan pengkajian dan penelitian lebih lanjut dengan judul “Wakaf Menurut Empat Madzhab dan Perkembangannya di Indonesia”. Dan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian lain ialah penelitian ini akan membahas mengenai perbedaan pendapat empat madzhab dari segi kepemilikan harta, rukun, syarat serta perkembangan yang terjadi salah satunya ialah perbedaan pendapat megenai hukum wakaf tunai serta pelaksanaan wakaf tunai oleh beberapa lembaga yang ada di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

Dalam bahasa arab kata al-waqf mengandung makna:

ليبستلاو سيبحتلا ىنعمب فقولا

“Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindah kepemilikan”

Yang berarti wakaf menurut syara‟ adalah menahan hak milik atas benda dengan tujuan menggunakan manfaat atas benda tersebut di jalan Allah. Dan yang di maksud dengan

“menahan dzat (asal)” yaitu menahan barang yang telah diwakafkan agar tidak dijual, diwariskan, digadaikan, disewakan, dihibahkan, dipinjamkan dan sejenisnya (Muhammad Jawad, 1996).

Sebenarnya dasar hukum wakaf dalam al-Qur‟an tidak secara gamblang disebutkan, namun, keberadaanya diilhami dalam kitab suci al-Qur‟an dan contoh dari Nabi Muhammad

(5)

SAW serta tradisi yang biasa dilakukan oleh para sahabat rasul. Dasar hukum wakaf diantaranya terdapat pada surah al-baqarah ayat 267:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S Al-Baqarah:267) (Depatermen Agama RI, 1989).

Dari hadist riwayat muslim, juga telah dipaparkan mengenai hukum wakaf:

“Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Berdasarkan hadist tersebut menunjukkan bahwa wakaf ialah salah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT yang tidak akan pernah putus manfaat harta yang telah diwakafkan. Maka dari itu wakaf termasuk perbuatan amal jariyah atau tidak akan putus sampai ia meninggal dunia.

Berlanjut pada rukun, dimana menurut para ulama rukun wakaf terdapat 4, diantaranya (Juhaya, 1997):

a. Waqif (orang yang telah mewakafkan hartanya) b. Mauquf „alaih (orang yang menerima wakaf) c. Mauquf bih (objek atau harta wakaf)

d. Sighat (pernyataan waqif sebagai suatu kehendak untuk mewakan hartanya).

Selain syarat dan rukun wakaf diatas yang harus dipenuuhi, kehadiran seorang nadzir atau pihak yang diberi kepercayaan untuk mengelola harta wakaf tersebut juga sangatlah penting. Walaupun dalam hal ini para mujtahid tidak menjadikan nadzir sebagai salah satu dari rukun wakaf. Namun, para ulama setuju jika wakaf harus menunjuk nadzir wakaf, baik itu perorangan ataupun kelembagaan. Dimana tuuan dari pengangkatan nadzir wakaf ini adalah agar harta yang diwakafkan diurus dan tidak sia-sia (Juhaya, 1997).

1. Pandangan Wakaf Menurut 4 Madzhab

Dalam mengartika wakaf, menentukan rukun dan syarat wakaf, para madzhab ada perbedaan pendapat. Diantaranya sebagai berikut:

a. Pengertian wakaf 1) Madzhab Hanafiyah

Nama asal Imam Abu Hanifiah, pendiri Madzhab Hanafiyah, adalah Hanifah An-Nukman Bin Tsabit Bin Zufi At-Tamini. Imam Abu Hanifah masih memiliki pertalian saudara dengan Imam Ali bin Abi Thalib r.a:

(6)

“Wakaf dalam arti syara‟ menurut imam Abu Hanifah: Menahan benda atas milik wāqif dan menyedekahkan manfaatnya seperti halnya pinjam- meminjam.” Berdasarkan definisi yang telah diungkapkan madzhab Hanafi, maka kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif atau orang yang telah berwakaf. Bahkan ia dibenarkan jika menarik kembali dan diperbolehkan untuk menjualnya. Dan jika si wakif wafat, maka harta wakaf menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Maka yang timbul dari wakaf hanyalah, “menyumbangkan manfaatnya.” Karenanya madzhab Hanafi mendefinisikan wakaf ialah: “Tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda yang berstatus tetap yang masih menjadi hak milik, dengan menyedekahkan manfaat harta tersebut kepada suatu kebajikan (sosial), baik yang dilakukan sekarang ataupun yang akan datang”.

Namun, dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan pengecualian atas 3 hal, yaitu wakaf masjid, wakaf wasiat dan wakaf pengendalian (Zaini, 1992).

Sesuai dengan pendapat Abu Hanifah, maka mewakafkan harta itu sama halnya seperti proses pinjam-memijam. Namun perbedaannya, jika wakaf benda (objek) tersebut ada pada wakif sedangkan benda (objek) pinjam-meminjam ada pada orang yang meminjam atau orang tersebut dapat memenfaatkan benda yang dipinjamnya itu.

2) Madzhab Maliki

Imam Malik yang bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr binHaris al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/712 M dan wafat tahun 179 H/796 M (Ahbah, 2010).

Definisi wakaf menurut Imam Maliki ialah “Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik rupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak, dengan menyerahkan berjangka waktu sesuai dengan kehendak wakif”.

Maka kepemilikan harta menurut Imam Maliki masih berada ditangan wakif atau sipemberi harta wakaf. Karena mengandung makna bahwa orang yang diberi wakaf ibaratkan seorang hamba yang melayani tuannya hingga meninggal dunia.

Yang demikian berarti, sipenerima wakaf itu tidak memiliki hak milik atas harta (benda) yang dijaganya.

Mengenai harta wakaf, Imam Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidaklah melepaskan harta atau benda yang telah diwakafkan dari kepemilikan wakif. Namun, wakaf tersebut mencengah seorang wakif untuk melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikan harta yang diwakafkan tersebut

(7)

kepada orang lain. Dan wakif memilki kewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak dapat menerik kembali wakafnya.

Adapun sighat atau ikrar yang diucapkan ialah mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai kehendak pemilik harta. Dengan kata lain, si pemilik harta menahan harta tersebut dari penggunaan secara pemilikan. Tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, ialah pemberian manfaat benda secara wajar sedangkan benda wakaf masih tetap menjadi pemilik wakif. Dan perwakafan itu berlaku untuk waktu tertentu, karenanya tidak dibenarkan jika ada syarat sebagai wakaf kekal (Ahmad al-Dardir).

3) Madzhab Syafi‟i

Imam Syafi'i merupakan imam ketiga dari empat imam madzhab menurut urutan kelahirannya (Ahmad Asy Syurbasyi dan Al-Aimmah al-Arba'ah, 2003). Nama lengkap Imam Syafi'i ialah Muhammad ibnIdris ibn al- Abbas ibn Usman ibn Syafi‟i ibn al-Sa‟ib ibn Ubaid ibn Abd Yazid ibn Hasyim ibn Abd al- Muthalib ibn Abd Manaf (Farid, 2006).

Definisi wakaf menurut Imam Syafi‟i, ialah “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya disertai dengan kekekalan zat benda, lepas dari penguasaan wakif dan dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama”. Imam Syafi‟i berbendapat bahwa harta yang diwakafkan terlepas dari kepemilikan si wakif dan menjadi milik Allah SWT. hal ini berarti menahan harta untuk selama- lamanya tidak diperbolehkan.dan wakaf harus ditentukan jangka waktunya, benda yang diwakafkan juga tahan lama dan tidak cepat habis. Alasan tersebut berpacu pada hadist yang diriwayatkan Ibnu Umar mengenai tanah Khaibar. As- Syafi‟i memahami tindakan Umar yang mensedekahkan hartanya dengan tidak menjualnya, menghibahkannya dan tidak mewariskannya. Hadis itu juga sebagai hadist karena Nabi melihat tindakan Umar itu dan Rasulallah ketika itu hanya diam. Maka tergolong diamnya Rasul sebagai hadist Taqriry, walaupun telah didahului hadist qauly (Departemen Agama RI, 2006).

4) Madzhab Hambali

Mażhab Hanbali ialah aliran fikih hasil ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal yang digali dari Al-Qura‟an dan sunah Rasulullah SAW. Imam Ahmad bin Hanbal dilahirkan di kota Bagdad pada tahun 164 H. Rabi‟ulAwal. Beliau berasal dari Marwa, Khurasan. Beliau diberi gelar Abu Abdullah Sadusi (Ali, 2003).

(8)

Ahmad bin Hambal mengungkapkan bahwa wakaf terjadi karena dua perkara. Yang pertama, karena suatu kebiasaan (perbuatan), yang artinya dia dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Jika seseorang telah jelas mewakafkan hartanya, maka wakif tidak memiliki kekuasan bertindak atas benda itu, dan menurut Imam Hambal juga wakif tidak dapat menariknya kembali. Imam Hambali mengakatakan bahwa benda yang diwakafkan itu haruslah benda yang dapat dijual, walaupun setelah menjadi wakaf tidak diperbolehkan untuk dijual dan arus benda yang kekal zatnya karna menurut Imam Hambal wakaf bukan hanya untuk waktu tertentu tetapi untuk selamanya (Departemen Agama RI, 2006).

2. Rukun dan Syarat

Terdapat dua pendapat ulama mengenai rukun wakaf. Yang pertama, pendapat menurut ulama Hanafi menyatakan bahwa rukun wakaf hanya satu, yaitu akad yang berupa ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan menurut ulama Hanafi kabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk sebagai rukun dikarnakan akad tidak bersifat mengikat.

Apabila seseorang mengatakan “saya wakafkan harta ini kepada anda”, maka pernyataan tersebut sudah termasuk akad dan orang yang diberi wakaf berhak atas harta tersebut.

Yang kedua, pendapat Imam Maliki, Imam Syafi‟i dan Imam Hambali menyatakan bahwa rukun wakaf terdiri dari empat unsur: a) waqif (orang yang berwakaf), b) mauquf (harta yang diwakafkan), c) mauquf alaih (orang yang menerima wakaf), d) sighat (lafadz wakaf) (Syarif, 2016).

Keempat rukun wakaf yang telah disebutkan di atas telah menjadi kesepakatan oleh para ulama. Dimana setiap unsur dari rukun wakaf itu harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat tersebut merupakan elemen penting yang dianut dituntut oleh keempat rukun tersebut. Dan apabila salah satunya tidak terpenuhi maka wakaf dalam pelaksanaannya dapat dikatakan gugur dan tidak sah dalam shari‟ah (Syarif, 2016).

a. Syarat-syarat Waqif Menurut Al-Nawawi

Terdapat dua syarat untuk waqif, yaitu hendaklah sah perkataannya, dan hendaklah mempunyai kecakapan memberikan tabarru‟ (sumbangan).

Namun, jika menurut beberapa ulama madzhab Syafi‟i seperti Ibnu Hajar al- Sharbini dan lain-lain memandang cukup dengan syarat yang kedua saja, karna syarat yang kedua itu sudah mencakup syarat yang pertama.

Perlunya syarat kecakapan tersebut dikarnakan wakaf aialan tabarru‟

(sumbangan) yang artinya mengeluarkan harta tanpa imbalan, sehingga harus

(9)

dilakukan oleh orang yang sadar, bukan dipaksa, merdeka bukan budak, tidak dibawah perwalian, dan tidak bangkrut. Dengan demikian, seseorang yang berwakaf (wakif) haruslah memenuhi syarat, diantaranya ialah: a) Dewasa, Sehat akal dan pikiran, c) Menguasai benda yang akan diwakafkan, dan d) Tidak dipaksa, artinya orang yang berwakaf haruslah benar-benar atas kemauannya sendiri dan semata-mata ikhlas karena Allah SWT.

Keempat syarat waqif yang telah disebutkan di atas, antara laki-laki dan perembuan tidak ada bedanya.

b. Syarat-syarat Mauquf (harta atau benda yang diwakafkan)

Mengenai syarat mauquf terdadapat perbedaan pendapat antara para ulama madzhab. Pertama, ulama Madzhab Hanafi mensyaratkan bahwa benda yang diwakafkan itu: 1) menurut syara‟ harta haruslah bernilai dan merupakan suatu benda yang tidak bergerak, 2) harta tertentu dan jelas, 3) ketika berlangsungnya akad, harta harus dimiliki hak penuh oleh waqif dan tidak terkait hak orang lain.

Kedua, ulama madzhab Maliki mensyaratkan Mauquf, 1) harta dimiki sendiri tanpa terkait dengan orang lain, 2) harta tertentu dan jelas, 3) dapat dimanfaatkan, maka dari itu harta yang sedang dijaminkan, dan disewakan tidak dapat diwakafkan. Akan tetapi, madzhab Maliki memperbolehkan seseorang mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan mewakafkan makanan, uang dan benda tidak bergerak lainnya.

Ketiga, ulama madzhab Syafi‟i dan madzhab Hambali mesyaratkan Mauquf, 1) sesuatu yang jelas dan tertentu, 2) dimiliki hak penuh oleh waqif dan tidak terkait hak orang lain, 3) dapat dimanfaatkan sesuai dengan adat setempat, 4) pemanfaatan haerta atau benda yang diwakafkan dapat berlangsung terus-menerus tanpa dibatasi waktu. Disamping itu, mengenai benda wakaf baik bergerak seperti mobil dan hewan ternak, maupun harta bergerak seperti tanah, tanaman, dan rumah boleh diwakafkan. Dan secara umum, syarat benda yang boleh diwakafkan haruslah berupa benda jelas wujudnya dan pasti, benda tersebut juga dimiliki penuh oleh si wakiq, dapat disewakan, dapat dipindah hak milikkan, dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama.

c. Syarat-syarat Mauquf „alaih

Ualama madzhab Syafi‟i membagi mauquf „alaih dalam dua bagian, 1) orang tertentu “baik satu orang tertentu misalnya Fulan atau beberapa orang

(10)

tertentu misalnya keluarga si Amir, 2) tidak tertentu, seperti masjid, fakir miskin, dan lain-lain. Dan telah disepakati bahwa mauquf alaih haruslah memiliki keahlian ketika akad berlangsung. Oleh sebab itu pendapat Abdul Aziz Dahlan, apabila wakaf kepada anak yang baru lahir hukumnya tidak sah.

Kemudian wakaf juga tidak sah apabila diberikan kepada hamba sahaya, karna hamba sahaya tidak cakap untuk memiliki harta. Juga tidak sah apabila wakaf diberikan kepada kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) dan orang yang murtad. Namun, mereka sepakat dengan pendapat madzhab Hanafi dan Maliki bahwa wakaf boleh diberikan kepada kafir dhammi (orang kafir yang tunduk dan hidup di negara Islam).

Adapun penerima wakaf yang tidak tertentu, seperti masjid, fakir miskin, dan lain-lain disyaratkan harus jelas penerimanya dan sasaranya untuk kebajikan serta untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan tidak boleh untuk tujuan maksiat seperti berwakaf untuk mendirikan sarana yang membawa kepada yang haram, sarana perjudian dan sarana kesesatan lainnya.

d. Syarat-syarat sighat

Syarat dari sighat itu sendiri diantaranya sebagai berikut: 1) Hendaknya sighat wakaf itu jelas dan tegas baik itu bentuk ucapan, tulisan maupun kinayar (sindiran). Sebagaimana keterangan berikut ini: “Syarat sighat ialah lafadz yang menunjukkan kepada yang telah dikehendaki secara jelsa seperti

“Saya wakafkan ini” atau bisa “Saya salurkan ini”, atau juga “Saya tahan ini untuk ini”. Bisa juga secara kinayah (sindiran) seperti “Saya haramkan ini”

atau “Saya sedekahkan ini untuk fakir miskin” atau “Saya tetapkan ini untuk untuk fakir miskin”. Akan tetapi menurut Madzhab Hambali sighat wakaf dengan kinayah (sindiran) ini tidak di sahkan, kecuali jika syarat-syarat ini telah terpenuhi: a) niat dari pemilik harta, b) adanya indikasi yang menunjukkan wakaf, c) dibarengi dengan sesuatu yang menunjukkan hukum wakaf. 2) Sighat tidak dibatasi dengan waktu tertentu; 3) Hendaknya dilakukan secara tunai dan tanpa khiyar syarat. Karena pada saat itu, wakaf itu menghendaki pemindahan hak milik. Seperti contoh perkataan waqif

“Saya wakafkan tanah ini saat ini juga.” Cara wakaf seperti itu dianggap sebagai wakaf tunai.

Berdasarkan penjelasan empat Madzhab di atas yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi‟i dan Imam Hambal mengenai kepemilikan benda wakaf, rukun dan syarat wakat terdapat perpedaan pendapat antara satu sama lain

(11)

3. Perkembangan Wakaf di Indonesia

Wakaf merupakan filantrofi Islam (Islamic Philanthrophy) (Chaider, Irfan, Revitalisasi, 2005), yang didayagunakan untuk kepentingan pendanaan umat, maka hal ini sangat penting jika menjadi fokus perhatian terutama bagi para ahli hukum Islam.

Sejarah Islam di negara Indonesia telah menunjukkan bahwa wakaf sangat berperan penting dalam mendukung pendirian sekolah, rumah sakit, masjid taklim, panti asuhan, lembaga pendidikan dan lembaga sosial lainnya. Dan semakin berkembangnya jaman, benda wakaf tidak hanya berfokus pada benda yang tidak bergerak seperti tanah, masjid, pesantren dan lain sebagainya saja. Akan tetapi jaman sekarang benda yang bergerakpun menjadi objek wakaf yang biasa disebut wakaf tunai.

Wakaf tunai ialah mewakafkan harta berupa uang atau surat berharga yang dikelola oleh lembaga keuangan, lembaga perbankan ataupun lembaga syariah lainnya, yang mana keuntungan dari hasil uang yang dikelola nantinya akan disedekahkan.

Namun, pokok/modal dari uang tersebut tidak dapat dikurangi untuk sedekah (Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007).

Meskipun wakaf tunai kini sudah berkembang dan telah dipraktekkan di beberapa negara termasuk salah satunya Negara Indonesia dan telah memiliki landasan hukum positif yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pasal 16 membagi jenis wakaf menjadi dua, yaitu benda tidak bergerak dan benda bergerak dan uang digolongkan pada salah satu harta benda wakaf bergerak (UU RI No.41 Tahun 2004). Namun dalam kalangan Ulama masih terdapat perbedaan pendapat. Diantaranya sebagai berikut:

a. Wakaf Tunai Menurut Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafiyah berpendapat tidak membolehkan wakaf bernda bergerak dengan alasan salah satu syarat wakaf adalah ta‟bid (untuk selamanya), sedangkan pada wakaf benda bergerak syarat ini tidak terpenuhi (Boedi, 2018). Menurut Imam Hanafiyah syarat dari benda wakaf terdapat empat ((Boedi, 2018):

Yang pertama, benda wakaf ialah benda yang mempunyai nilai atau berharga dan tidak bergerak. Oleh sebab itu, menurut Ulama Hanafiyah tidak sah wakaf dengan:

1) Sesuatu yang tidak berbentuk harta benda contohnya seperti wakaf manfaat tidak dengan bendanya, wakaf hak-hak kebendaan seperti hak umum, karena bukan harta benda,

2) Benda yang tidak berharga menurut syara‟ contohnya seperti buku-buku yang menyesatkan dan benda yang memabukkan,

(12)

3) Benda bergerak, dikarenakan wakaf benda bergerak tidak abadi, sedangkan keabadian merupakan syarat diperbolehkannya wakaf. Namun demikian, wakaf benda bergerak boleh dengan alasan ikut pada benda tetap lainnya contohnya seperti wakaf jalan, karena jalan ikut pada tanah, juga karena istihsan bi al-„urf seperti wakaf seperangkat alat untuk janazah dan wakaf kitab.

4)

Alat senjata dan pakaian besi untuk perang, karena benda tersebut ialah benda bergerak dan tidak ada kebiasaan (adat) dari wakaf benda tersebut.

Namun demikian, Abu Yusuf dan Muhammad dari kalangan Ulama Hanafiyah membolehkannya bahkan boleh menjual benda wakaf yang sudah rusak dan tidak bermanfaat lagi untuk dibelikan kembali pada benda yang sepadan.

Yang Kedua, harta wakaf haruslah diketahui satuan dan ukurannya seperti wakaf tanah 1.000 m2. Dengan demikian, tidak sah jika mewakafkan benda yang tidak diketahui.

Yang Ketiga, benda wakaf ialah milik waqif sepenuhnya, bukan benda yang masih dalam khiyâr. Tidak sah wakaf benda yang masih dalam waktu khiyâr, karena benda itu dimiliki namun bukan kepemilikan yang sempurna.

Yang Keempat, benda wakaf adalah benda yang terpisah (tersendiri), karena di antara syarat diperbolehkan wakaf adalah adanya penyerahan, sedangkan benda yang menyatu dengan yang lain tidak bisa diserahterimakan.

Tapi, perlu dicatat di sini bahwa Abu Yusuf dari kalangan Hanafiyah tidak mensyaratkan adanya penyerahanuntuk benda wakaf.

Disamping pendapat tersebut, Abu Yusuf dan Muhammad sebagai bagian dari kalangan Imam Hanafiyah membolehkan wakaf benda bergerak dengan alasan benda tersebut menyertai tanah (benda yang tidak bergerak) seperti sapi, hamba sahaya yang mengurusnya, alat-alat pertanian; atau karena adanya nash seperti wakaf kuda dan wakaf senjata; atau karena kebiasaan seperti wakaf kapak, dinar, dirham, buku, mushaf, timbangan, beliung, perangkat untuk jenazah, dan perahu yang bisa digunakan untuk usaha bagi kebanyakan manusia. Hal ini atas dasar istihsan dan „urf (Boedi, 2018).

b. Wakaf Tunai Menurut Madzhab Maliki

Mengenai wakaf, Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak dapat melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan si waqif. Akan

(13)

tetapi, wakaf tersebut mencegah waqif melakukan perbuatan yang sekiranya dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada orang lain. Dan waqif juga berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta dilarang menarik kembali wakafnya (Khumedi).

Perbuatan waqif tersebut menjadikan manfaat harta wakaf untuk digunakan oleh si penerima wakaf. Meski yang dimilikinya itu hanya dalam bentuk upah atau menadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf ini dilakukan dengan cara mengucapkan lafadz untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan dari waqif. Dengan kata lain, waqif tersebut menahan penda dari penggunaan secara pemilikan, akan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan ataupun kebaikan. Dengan demikian, wakaf tunai menurut Madzhab Maliki hukumnya diperbolehkan selama hasilnya dapat mendatangkan manfaat dan kesejahteraan umat (Khumedi).

c. Wakaf Tunai Menurut Madzhab Syafi‟i

Madzhab Syafi‟iyah, seperti al-Nawawi, dalam al-Majmu‟ Syarah al- Muhadzab memperboleh mewakafkan benda bergerak, contohnya seperti hewan, disamping benda yang tidak bergerak seperti tanah. Namun, mereka menyatakan bahwa tidak boleh mewakafkan dinar dan dirham. Karena dinar dan dirham akan habis dengan dibelanjakan dan akan sulit mengekalkan zatnya (Sayyid, 2007).

Berbeda dengan ulama yang lain, Abu Sur ulama dari kalangan Imam Syafi‟i membolehkan wakaf dinar dan dirham. Namun, pendapat tersebut telah ditepis oleh pendapat Al-Mawardi dengan menyatakan dinar dan dirham tidak dapat sewakan dan pemanfaatannyapun tidak bertahan lama. Karena inilah benda tersebut tidak dapat diwakafkan (Khumedi).

d. Wakaf Tunai Menurut Madzhab Ahmad bin Hambal

Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Fatawa (31/234-235) meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Dan demikian pula Ibnu Qudamah dalam kitabal- Mughni (8/229-230) membolehkan wakaf benda bergerak yang termasuk uang. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa wakaf tunai hukumnya boleh. Hal ini dikarnakan tujuan dari wakaf itu sendiri ialah menahan pokoknya dan menyebarkan manfaat dari uang atau benda tidak bergerak itu.

(14)

Sehingga dapat diganti dengan uang lainnya selama nilai uang itu sama. dan bahkan golongan Hanabilah membolehkan untuk menjual benda-benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak yang dapat ditukar dengan benda lain sebagai wakaf apabila ditemui sebab-sebab yang membolehkannya.

Misalnya seperti meja yang diwakafkan ke madrasah, apabila meja tersebut telah rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi, maka boleh dijual dan hasil penjualannya dapat dibelikan barang yng lebih bermanfaat untuk kepentingan bersama (Khumedi).

Berdasarkan pendapat mengenai wakaf tunai di atas. Perkembangan dan pelaksanaa wakaf tunai di Negara Indonesia sebenarnya sudah mulai ada yang melakukan yaitu berbagai lembaga filantropi yang ada di Negara Indonesia. Yang pertama, ialah lembaga Tabung Wakaf Indonesia (TWI) yaitu merupakan lembaga wakaf yang didirikan oleh Dompet Dhuafa. Da pada tahun 2008 TWI berhasil menggumpulkan dana sebesar 4.562.229.000 (empat milyar lima ratus enam puluh dua juta dua ratus dua puluh sembilan ribu rupiah). Dana tersebut diperoleh langsung dari masyarakat dan akan disalurkan pada objek yang memang sudah disiapkan oleh TWI. TWI menggunakan sistem sertifikat dalam menghimpun dana wakaf yang berasal dari masyarakat dengan nominal minimal 1 juta rupiah. Disini TWI akan menggeluarkan sertifikat wakaf tunai (SWT) sebagai bukti wakif bahwa ia telah berwakaf. Beberapa bukti konkret program wakaf uang yang dilakukan oleh lembaga TWI ialah a). Layanan kesehatan Cuma-Cuma (LKC) untuk kesehatan kaum dhuafa yang berbentuk rumah sakit mini dengan pelayanan 24 jam, b). Sekolah SMART Ekselensia, yaitu sekolah menengah yang dirancang secara khusus untuk menempung anak dari kaum dhuafa yang memiliki potensi dengan sistem penyaringan yang sangat ketat dan dilakukan diseluruh profinsi, c). Wisma mualaf yaitu tembat pembinaan yang teralienasi dari keluarga mereka. Para mualaf ini nantinya dapat mendalami akidah, ibadah, syariah, serta pembekalan kewirausahaan, dan d). Rumah baca lingkar pena, gedung berlantai 3, rumah baca lingkar pena ini merupakan wadah pengemblengan bagi anak dan remaja dalam mengoptimalkan menelis, membaca puisi dan berdonge (Sudirman, 2010).

Pelaksanaan wakaf tunai di Indonesia yang kedua ialah di Badan Wakaf Uang (BWUT) MUI DIY. BWUT MUI DIY ini dalam penyaluran manfaat wakaf uang tunai hanya memprioritaskan pada bidang pemberdayaan pelaku usaha kecil dan menengah dengan bantuan pinjaman protab. Dimana pembiayaan yang diberikan menggunakan akad qard hasan sehingga

(15)

penerima pembiayaan nantinya kan mengembalikan uang sebesar pokoknya saja (Mulyono, dkk, 2019).

Pelaksanaan wakaf tunai di Indonesia yang ketiga ialah lembaga wakaf dan pertanahan (LWP), Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta. Yang sejak tahun 2012 lembaga ini aktif mengelola wakaf uang.

Dalam penyalurannya wakaf tunai akan disalurkan kepada 45 maukuf alaihi, masing-masing dari mereka akan mendapatkan Rp. 500.000,00.- dalam bentuk pinjaman produktif tanpa bunga. Selain itu, nilai manfaat yang diperoleh dari deposito akan digunakan untuk bantuan pendidikan dan kesehatan (Fahham, 2015).

C. KESIMPULAN

1. Pandangan Wakaf Menurut Empat Madzhab

Menurut Madzhab Hanafi, kepemilikan harta wakaf tidak lepas dari wakif atau orang yang telah berwakaf. Bahkan ia dibenarkan jika menarik kembali dan diperbolehkan untuk menjualnya. Dan jika wakif wafat, maka harta wakaf menjadi harta warisan untuk ahli warisnya. Maka yang timbul dari wakaf hanyalah, “menyumbangkan manfaatnya”. Menurut Imam Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidaklah melepaskan harta atau benda yang telah diwakafkan dari kepemilikan wakif. Namun, wakaf tersebut mencengah seorang wakif untuk melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikan harta yang diwakafkan tersebut kepada orang lain. Dan wakif memilki kewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak dapat menerik kembali wakafnya. Sedangkan, menurut Imam Syafi‟i berbendapat bahwa harta yang diwakafkan terlepas dari kepemilikan si wakif dan menjadi milik Allah SWT. hal ini berarti menahan harta untuk selama-lamanya tidak diperbolehkan.dan wakaf harus ditentukan jangka waktunya, benda yang diwakafkan juga tahan lama dan tidak cepat habis.

Dan menurut Imam Hambal mengungkapkan bahwa wakaf terjadi karena dua perkara. Yang pertama, karena suatu kebiasaan (perbuatan), yang artinya dia dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Jika seseorang telah jelas mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak memiliki kekuasan bertindak atas benda itu, dan menurut Imam Hambal juga si wakif tidak dapat menariknya kembali.

Dan menurut ulama Hanafi menyatakan bahwa rukun wakaf hanya satu, yaitu akad yang berupa ijab (pernyataan dari wakif). Sedangkan menurut ulama Hanafi kabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk sebagai rukun dikarnakan akad tidak bersifat mengikat. Kemudia, jika menurut Imam Maliki, Imam Syafi‟i dan Imam Hambali menyatakan bahwa rukun wakaf terdiri dari empat unsur: a) waqif (orang yang berwakaf), b) mauquf (harta yang diwakafkan), c) mauquf alaih (orang yang menerima wakaf), d) sighat (lafadz wakaf).

(16)

2. Perkembangan Wakaf Di Indonesia

Ulama Hanafiyah berpendapat tidak membolehkan wakaf bernda bergerak dengan alasan salah satu syarat wakaf adalah ta‟bid (untuk selamanya), sedangkan pada wakaf benda bergerak syarat ini tidak terpenuhi. Menurut Madzhab Maliki wakaf tunai hukumnya diperbolehkan selama hasilnya dapat mendatangkan manfaat dan kesejahteraan umat.

Sedangkan menurut Ulama Syafi‟iyah, seperti al-Nawawi, dalam al-Majmu‟ Syarah al- Muhadzab memperboleh mewakafkan benda bergerak, contohnya seperti hewan, disamping benda yang tidak bergerak seperti tanah. Dan menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Fatawa (31/234-235) meriwayatkan satu pendapat dari kalangan Hanabilah yang membolehkan wakaf dalam bentuk uang. Dan demikian pula Ibnu Qudamah dalam kitabal-Mughni (8/229-230) membolehkan wakaf benda bergerak yang termasuk uang. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa wakaf tunai hukumnya boleh.

Berdasarkan pendapat mengenai wakaf tunai di atas. Perkembangan dan pelaksanaa wakaf tunai di Negara Indonesia sebenarnya sudah mulai ada yang melakukan yaitu berbagai lembaga filantropi yang ada di Negara Indonesia. Yang pertama, ialah lembaga Tabung Wakaf Indonesia (TWI), program wakaf uang yang dilakukan oleh lembaga TWI ialah a).

Layanan kesehatan Cuma-Cuma (LKC), b). Sekolah SMART Ekselensia, c). Wisma mualaf yaitu tembat pembinaan yang teralienasi dari keluarga mereka, dan d). Rumah baca lingkar pena. Pelaksanaan wakaf tunai di Indonesia yang kedua ialah di Badan Wakaf Uang (BWUT) MUI DIY. BWUT MUI DIY ini dalam penyaluran manfaat wakaf uang tunai hanya memprioritaskan pada bidang pemberdayaan pelaku usaha kecil dan menengah dengan bantuan pinjaman protab. Pelaksanaan wakaf tunai di Indonesia yang ketiga ialah lembaga wakaf dan pertanahan (LWP), dalam penyalurannya wakaf tunai akan disalurkan kepada 45 maukuf alaihi, masing-masing dari mereka akan mendapatkan Rp. 500.000,00.- dalam bentuk pinjaman produktif tanpa bunga, disalurkan pada bantuan pendidikan dan kesehatan.

(17)

D. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Boedi, 2018. Hukum Wakaf Benda Bergerak (uang) Menurut Fatwa Ulama dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Wakaf. Asy-Syari„ah, Vol. 20 No. 1.

Az-Zuhaili, Ahbah, 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Darul Fikir.

Dahlan, Zaini, 1992. Filsafat hokum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Departemen Agama RI, 1989. al-Qur‟an Terjemah, Semarang: CV Toha Putra.

Depatremen Agama RI, 2006. Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. Jakarta: -.

Direktorat Pemeberdayaan Wakaf, 2007. Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI.

Fahham, Achmad Muchaddam, 2015. Pengelolaan Wakaf Tunai di Lembaga Pengelolaan wakaf dan Pertanahan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Aspirasi, Vol. 6, No. 1.

Farid, Syeikh Ahmad, Min A'lam al-Salaf, 2006. Terj. Masturi Ilham dan Asmu'i Taman, 60, Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Fikri, Ali, 2003. Kisah-Kisah Para Imam Mazhab, cet. 1. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Hasan, Sudirman, 2010. Wakaf Uang dan Implementasinya di Indonesia. De Jure: Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 2, Nomor 2.

Hidayatullah, Syarif, 2016. Wakaf Uang dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia.

Waratsah, Vol. 01, No. 02.

Ja‟far, H. A. Khumedi, -. Analisi Pendapat Imam Madzhab Tentang Wakaf Tunai dan Implementasinya di Indonesia. Lampung: UIN Raden Intan Lampung.

Jamal, Mulyono, dkk., 2019. Implementasi Pendistribusian Wakaf Tunai Sebagai Penunjang Usaha Kecil Menengah di Badan Wakaf Uang& Badan Wakaf Tunai MUI Yogyakarta.

Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, Vol. 3, No. 1.

Mughniyah, Muhammad Jawad, 1996. Fiqh Lima Mazhab: Edisi Lengkap. Jakarta : PT Lentera Basritama.

Praja, Juhaya S., 1997. Perwakafan Di Indonesia, Bandung:Yayasan Piara.

Sabiq, Sayyid, 2007. Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Syurbasyi, Ahmad Asy, Al-Aimmah al-Arba'ah, 2003. Terj. Futuhal Arifin, Biografi Empat Imam Madzhabi. Jakarta: Pustaka Qalami.

Referensi

Dokumen terkait

Pada permainan simulasi ini terdapat 4 proses yang saling berkaitan dapat dilihat pada Gambar 2.3, pertama yaitu proses perencanaan, dalam proses ini pemain

Salah satu aktivitas yang dianjurkan untuk dilakukan para ibu setelah melahirkan adalah senam nifas Pelvic Floor Muscle Treatment (PFMT) atau latihan yang dilakukan

Sedangkan pada sampel 6 %void paling kecil yaitu sebesar 2% yang mengakibatkan sifat mekanik nya paling baik Spesimen nomor juga juga memiliki massa jenis yang lebih

Dari informasi ini terlihat bahwa kata ta‟lim di dalam al-Qur ‟ an mengacu kepada adanya sesuatu berupa pengetahuan yang diberikan kepada seseorang. Jadi sifatnya

Asessmen kebutuhan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana gambaran awal pelaksanaan program bimbingan karir untuk pemilihan jurusan di SMAN 1 Polombangkeng

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh atmosfer / suasana toko terhadap kepuasan pelanggan pada toko Tiga Negeri Music House

Menurut Narimawati (2008), data primer ialah data yang berasal dari sumber asli atau perta- ma. Data ini tidak tersedia dalam bentuk ter- kompilasi ataupun dalam bentuk file-file.

penguasaan gerak akan membatasi anak dalam bersosialisasi, serta membuat anak merasa ku- rang percaya diri sehingga akan mudah merasa minder, kurang mampu untuk