• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARATIF PERAN KEJAKSAAN, KEPOLISIAN, DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KOMPARATIF PERAN KEJAKSAAN, KEPOLISIAN, DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

STUDI KOMPARATIF PERAN KEJAKSAAN, KEPOLISIAN, DAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Imam Subekti

Universitas Ibnu Chaldun - Jakarta

Jl. Pemuda I Kav. 97 RT.5/RW.2 Rawamangun, Jakarta Timur, Jakarta, 13220 Email : jurnal.fh.uic@gmail.com

Yayat Darmawi

Universitas Ibnu Chaldun - Jakarta

Jl. Pemuda I Kav. 97 RT.5/RW.2 Rawamangun, Jakarta Timur, Jakarta, 13220 Email : jurnal.fh.uic@gmail.com

--- Abstrak :

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan normatif dari Polri, Kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu; 1. Kepolisian menerima laporan, melakukan penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, melakukan penyidikan, pemeriksaan terhadap terdakwa tindak pidana korupsi, dan membuat berkas perkara untuk kemudian dilimpahkan ke Kejaksaan, 2. Kejaksanaan peranannya; menerima limpahan perkara dari kepolisian, memeriksa berkas perkara, melakukan penyidikan dan melakukan penuntutan, 3. KPK berperan dalam menerima laporan, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan serta melakukan penuntutan. Kepolisian mempunyai karakteristik untuk menegakkan permasalahan hukum yang ada di masyarakat baik unsur pidana umum ataupun perdata. Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum di bidang penuntutan akan melakukan penuntutan pada terdakwa yang sudah disidik oleh pihak kepolisian. KPK memiliki kewenangan yang luas yaitu pada semua bentuk korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara, lembaga negara maupun badan usaha milik negara dan korupsi dengan skala yang berindikasi terhadap kerugian uang negara lebih dari Rp.

1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Penelitian ini bertujuan : 1. Mendeskripsikan peranan normatif kejaksaan, kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan adanya karakteristik tertentu tentang Tindak Pidana Koripsi yang harus diselesaikan oleh Kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat Yuridis Komparatif. Yuridis adalah hukum sebagai norma – norma positif di dalam sistem perundang – undangan hukum nasional. Sedangkan komparatif adalah berdasarkan perbandingan.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif komparatif, dimana dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian berdasarkan perbandingan – perbandingan hukum yang berlaku. Jenis dan sumber data adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dengan metode kepustakaan. Teknik analisis data dengan menggunakan model analisis interaksi melalui tiga unsur utama yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan.

Kata Kunci : Peran Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, Tindak Pidana Korupsi, dan Penanganan Korupsi di Indonesia

(2)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Abstract :

The results of the study indicate that the normative roles of the Police, the Prosecutor's Office and the KPK in eradicating corruption are; 1. Police receive reports, conduct investigations, arrests, detentions, searches, conduct investigations, examine corruption crimes, and make case files to be later transferred to the Prosecutor's Office, 2. The role of the Prosecutor's Office; receive an abundance of cases from the police, examine case files, conduct investigations and conduct investigations, 3. KPK plays a role in receiving reports, conducting investigations, examinations, and conducting examinations. The police have a goal to look for legal problems that exist in the community, both general criminal elements and civil matters. The Prosecutor's Office as a law enforcement officer in the field of prosecution will prosecute those of you who have been investigated by the police. The KPK has broad authority, namely on all forms of corruption committed by state administrators, state institutions and state-owned enterprises and corruption with a scale with indications of state money losses of more than Rp. 1,000,000,000, - (one billion rupiah). This study aims to: 1. Describe the normative role of the prosecutor's office, the police and the Corruption Eradication Commission (KPK) in handling Corruption Crimes. 2. Describe and explain the existence of certain characteristics regarding the crime of corruption that must be resolved by the Prosecutor's Office, the police, and the Corruption Eradication Commission (KPK). According to the field, this research includes comparative juridical research. Juridical is law as positive norms in the system of national legal regulations. While comparative is based on comparison. The type of research used is comparative descriptive research, which in this study describes or describes the state of the object of research based on legal comparisons. Types and sources of data are primary data and secondary data. Data collection techniques with library methods. The data analysis technique uses an interaction analysis model through three main elements, namely data reduction, data presentation and drawing conclusions.

Keywords: The Role of the Prosecutor's Office, Police and KPK, Corruption Crimes, and Handling Corruption in Indonesia.

A. Latar Belakang

Tujuan pembangunan Indonesia adalah membangun manusia seutuhnya, baik materiil maupun spiritual. Disamping tujuan tersebut, negara Indonesia juga menginginkan tercapainya keserasian hubungan antara kemerdekaan Indonesia dan kesejahteraan manusia sebagai individu dengan anggota mansyarakat, dan bukan untuk mengedepankan atau mendahulukan kepentingan individu ataupun sekelompok orang saja.

Fenomena kejahatan yang seringkali terjadi di Indonesia adalah adanya tindak kejahatan korupsi.

Korupsi di negara Indonesia dianggap sudah membudaya yang sulit sekali untuk dihindarkan maupun diberantas.

Karena memang dalam praktek pelaksanaan kehidupan bermasyarakat

segala sesuatu tidak akan lepas dari adanya praktek tindak kejahatan korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah yang selalu menjadi sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat, karena korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama dalam pembangunan.1

Pada intinya korupsi adalah perbuatan imoral dari dorongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Seperti bentuk- bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat, perbuatan korupsi termasuk salah satu kejahatan yang dikutuk masyarakat dan terus diperangi oleh pemerintah dengan

1 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta, Bina Aksara, 1988, hal. 3

(3)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

seluruh aparatnya. Hal ini disebabkan karena akibat serta bahaya yang ditimbulkan oleh perbuatan tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara, menghambat dan mengancam program pembangunan, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan menurunnya kepercayaan rakyat pada aparatur pemerintah.

Kendala dalam upaya pemberantasan korupsi tersebut yang kita jumpai selama ini antara lain meliputi; belum memadainya sarana dan skill aparat penegak hukumnya.

Kejahatan korupsi yang terjadi baru diketahui setelah memakan waktu yang lama, sehingga para pelaku telah memindahkan, menggunakan dan menghabiskan hasil kejahatan korupsi tersebut, yang berakibat upaya pengembalian keuangan negara relatif sangat kecil, beberapa kasus besar yang penanganannya kurang hati-hati telah memberi dampak negatif terhadap proses penuntutan perkaranya.2

Salah satu kelemahan dalam pemberantasan korupsi dari segi hukum sehingga menghambat aparat penegak hukum terletak pada “masalah pembuktian”. Hal ini sebagai akibat dari cara berpikir hukum Barat diterima begitu saja tanpa mengolahnya kembali sesuai kebudayaan timur dan hukum.3 Tindak pidana korupsi merupakan salah satu masalah yang selalu menjadi sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat, karena korupsi merupakan benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama dalam

2 Ibid. Hal. 13.

3 Juniadi Sowartojo. 1998. Korupsi. Jakarta. Balai Pustaka. Hal. 102

pembangunan. Indonesia memang tergolong rentan dengan persoalan- persoalan korupsi dan dikategorikan sebagai negara Otoriter Birokrasi (OB) Rente, artinya negara via elit pejabat negara (pejabat) memungkinkan tumbuhnya kelompok berjuasi yang mendapatkan fasilitas proteksi, lisensi dan kemudahan lainnya. Atas fasilitas tersebut kaum pengusaha memberikan imbalan kepada elit negara dengan perkataan lain di dalam sistem negara OB Rente ini memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi dan berbagai jenis kejahatan jabatan lainnya.4

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode yang kedua saat itu, pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi tetap gencar dilakukan, terlebih apabila oknum penyelenggara negara ikut terlibat di dalamnya. Maka tak segan-segan beliau memberikan green light bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan upaya – upaya penindakannya. Dewasa ini pemberantasan korupsi masih menjadi pekerjaan yang semakin sulit dan menuntut ketekunan serta keseriusan aparat karena modus operandi tindak pidana korupsi ini semakin rumit dan pelik.

Peranan dan strategi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam pemberantasan korupsi adalah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan dan memaksimalkan peran penegak hukum pemberantas korupsi. Di antara kebijakan-kebijakan pemerintah yang umum itu yakni pertama, memilih

pegawai, lazimnya kita

membayangkan tugas memilih pegawai sebagai menemukan orang-

4 Arief Budiman. 1991. Negara dan

Pembangunan. Salatiga. Yayasan Padi dan Kapas.

Hal. 31

(4)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

orang yang secara teknis paling mampu untuk pekerjaan yang dihadapi.

Kedua, mengubah imbalan dan hukuman, alasannya membuat para pegawai lebih tertarik bertindak produktif untuk melawan korupsi dan kurang tertarik terlibat dalam perilaku yang tidak halal. Ketiga, mengumpulkan informasi, atasan mempunyai informasi tentang apa yang dilakukan pegawai dan klien, dia barangkali mampu mencegah korupsi dengan meningkatkan suasana bahwa korupsi akan dideteksi dan dihukum.

Keempat, mencoba untuk mengurangi peluang korupsi melalui perubahan organisasi, tujuannya menghindari situasi dimana seorang pegawai mempunyai kekuasaan monopoli plus wewenang bertindak, tetapi dengan sedikit kemungkinan pertanggungjawaban. Kelima, mengubah sikap terhadap korupsi dengan kebijakan-kebijakan langsung yang mempengaruhi sikap agar tidak berbuat korupsi.5

Didasari anggapan bahwa tindak pidana korupsi adalah “the most serious crime”, maka pembentuk undang-undang telah melakukan berbagai kekeliruan dalam menyusun UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, sehingga telah memberikan kewenangan kepada KPK dianggap telah merampas kewenangan yang ada pada Instansi Penegak Hukum lainnya, dalam hal ini kewenangan yang masih melekat pada Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan Agung RI (yang juga diberikan oleh undang-undang dan hingga saat ini masih berlaku karena belum pernah dicabut).

5 Robert Klitgaard. Membasmi Korupsi. Jakarta.

Obor Indonesia. 2001, Hal. 98-119

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa aparat penegak hukum yang berkompeten dalam penangangan tindak pidana korupsi adalah Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Seringkali dalam penanganan tindak pidana korupsi terjadi benturan di antara ketiga lembaga penegak hukum ini, dimana semuanya merasa mempunyai kewenangan terhadap suatu tindak pidana korupsi yang sedang terjadi. Sebagai contoh ada seorang yang dicurigai melakukan korupsi, maka ketiga instansi ini berlomba untuk menangkap sang pelaku.

Timbulnya persaingan dalam menegakkan hukum dalam pemberantasan korupsi oleh Kepolisian, Kejaksaan dan KPK tidak perlu terjadi apabila ketiga lembaga tersebut memahami kinerjanya masing- masing. Kerja sama yang erat sesuai dengan tupoksi masing-masing lembaga akan menjadi suatu langkah yang menakutkan bagi para koruptor.

Sebaliknya perpecahan di antara ketiganya akan dapat menjadi titik lemah yang akan menjadikan para koruptor menang dan sulit tersentuh oleh hukum.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis mengambil judul tulisan ini adalah: “STUDI

KOMPARATIF PERAN

KEJAKSAAN, KEPOLISIAN, DAN

KOMISI PEMBERANTASAN

KORUPSI (KPK) DALAM UPAYA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

(5)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

1. Bagaimana peran Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya penanganan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?

2. Apakah justice collaborator Tindak Pidana Korupsi di Indonesia harus diselesaikan di Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?

C. Metodologi Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis6 yaitu menggambarkan perundang-undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktek pelaksanaannya yang menyangkut permasalahan yang diteliti dalam hal ini teori kewenangan. Obyek penelitian dalam ilmu hukum mencakup keseluruhan asas-asas dan kaidah – kaidah hukum yang terdiri dari: Pertama, penyelidikan terhadap hukum positif yaitu hukum yang berlaku.

Kedua, penyelidikan terhadap hukum yang pernah berlaku.

Ketiga, penyelidikan terhadap hukum yang diharapkan berlaku dimasa yang akan datang.

Berdasarkan obyek penelitian di atas, maka jenis penelitian yang digunakan adalah “penelitian hukum normatif” yang berarti jenis penelitian yang fokus kajiannya menitikberatkan pada asas-asas hukum dan kaidah- kaidah hukum yang terdapat dalam berbagai ketentuan

6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1980, hlm.9-10

perundang-undangan yang berlaku maupun teori-teori hukum yang tersebar dalam berbagai literatur.7 Selanjutnya penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dibantu dengan penelitian hukum empiris.8

2. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif dimaksudkan untuk mengkaji norma dan kaidah- kaidah hukum yang berlaku, berkaitan dengan arti pentingnya kewenangan lembaga negara penunjang yang dalam hal ini Kejaksaan, Polri, dan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Untuk itu dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari dan berusaha menemukan asas-asas dan konsepsi serta dasar pemikiran yang ada di dalamnya terhadap data sekunder. Penelitian hukum empiris digunakan sebagai bantuan terhadap penelitian hukum normatif untuk mengkaji penggunaan kewenangan dari lembaga negara penunjang tersebut.

3. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini berupaya menemukan konsep ideal dalam tata kelola kelembagaan negara khususnya Kejaksaan, POLRI, dan KPK ke masa depan. Atas dasar itu, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau

7 Ibid, hlm.14

8 Ibid, hlm.14-15. Lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1989, hlm.50

(6)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

legal research.9 Untuk itu metode pendekatannya adalah pendekatan yuridis analitis normatif, filosofis, historis, sosiologis, perbandingan, dan teoritis.

Pendekatan yuridis normatif, digunakan untuk mengkaji berbagai kaidah-kaidah hukum yang berlaku (hukum positif) yang berkaitan dengan tata kelola kewenangan Kejaksaan, POLRI, dan KPK dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Pendekatan filosofis, digunakan untuk mengetahui secara mendalam hakikat dari kewenangan yang dimiliki Kejaksaan, POLRI, dan KPK dalam penegakan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi.

Pendekatan historis, digunakan untuk mengetahui dan mengkaji sejarah perkembangan dan latar belakang kewenangan Kejaksaan, POLRI, dan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Penelitian atas sejarah hukum diterapkan dengan mengungkap data-data dan fakta – fakta serta kaidah – kaidah hukum yang pernah berlaku pada masa lalu sebagai suatu rentetan peristiwa yang tidak terpisahkan dengan keadaan sekarang dalam pemberantasan korupsi.

Pendekatan yuridis sosiologis atau empiris, digunakan untuk mengkaji fakta di lapangan, baik fakta yuridis maupun non-yuridis dalam upaya penggunaan kewenangan Kejaksaan, POLRI,

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di Dalam Penelitian Hukum, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1979, hlm.15

dan KPK dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.

Pendekatan perbandingan / komparatif, digunakan untuk memperbandingkan konsep-konsep tata kelola lembaga negara penegak hukum tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia dan di negara- negara lain yang dalam hal ini adalah Inggris, Amerika Serikat, Perancis, dan Thailand sebagai perwakilan negara-negara dunia ketiga.

4. Teknik Pengumpulan Data Dalam rangka mengumpulkan data, maka penelitian ini lebih

menitikberatkan atau

mengutamakan pada penelitian kepustakaan (library research) dari pada penelitian lapangan yang sifatnya hanya sebagai penunjang atau pelengkap saja. Penelitian ini dibagi dalam dua tahapan yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Artinya, penelitian lapangan baru akan dilaksanakan setelah penelitian kepustakaan selesai dilakukan.

Namun hal ini tidak berarti konstan melainkan diselingi dan saling mengisi sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

5. Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan bersifat otoritatif yang terkait dengan lembaga negara penunjang dan terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar yaitu Undang-undang Dasar 1945.

2) Peraturan perundang - undangan; Undang-undang

(7)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

dan Peraturan yang setaraf, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah

b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan- bahan hukum primer; seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang terkait

dengan kewenangan

Kejaksaan, POLRI, dan KPK dalam pemberantasan korupsi.

Dalam artian bahwa, meskipun bahan hukum sekunder ini bersifat non- otoritatif, tetapi karena wibawa ilmiah penulisnya, maka dapat dijadikan sumber hukum formal yang disebut doktrin hukum.

c. Bahan Hukum Tertier, yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, bibliografi, artikel, surat kabar dan majalah serta kamus hukum yang relevan.

Selanjutnya untuk

mendapatkan informasi yang mendalam serta untuk menunjang data kepustakaan yang diharapkan sudah dapat menjadi bahan untuk menyelesaikan penelitian, perlu dilakukan penelitian lapangan (field research).10 Data lapangan diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan instrumen daftar

10 Maria S.W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1989, hlm.25

pertanyaan sebagai pedoman wawancara (interviuew guide) kepada narasumber ataupun informan, yang terdiri dari para pakar hukum ketatanegaraan, praktisi yang bertugas di Kejaksaan, POLRI, dan KPK.

6. Lokasi Penelitian

Dalam upaya mengumpulkan data, maka lokasi penelitiannya:

a. Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat)

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Kalimantan Barat

c. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

D. Analisa Kewenangan Kejaksaan, Polri dan KPK Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi

1. Korupsi Di Indonesia

Korupsi di Indonesia sebagai suatu kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crime), menurut Romli Atmasasmita dikarenakan:11

Pertama, masalah korupsi di Indonesia sudah berurat berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara, dan ternyata salah satu program Kabinet Gotong Royong adalah penegakan hukum secara konsisten dan pemberantasan KKN. Masalah korupsi pada tingkat dunia diakui merupakan kejahatan yang sangat kompleks, bersifat sistemik dan meluas dan sudah merupakan suatu binatang gurita yang mencengkeram seluruh tatanan sosial dan pemerintahan.

11 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2004, hlm.1, 4-5.

(8)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Kedua, korupsi yang telah berkembang demikian pesatnya bukan hanya masalah hukum semata - mata melainkan sesungguhnya sebagai pelanggaran atas hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.

Ketiga, penegakan hukum terhadap korupsi dalam kenyataannya telah diberlakukan secara diskriminatif baik berdasarkan status sosial maupun berdasarkan latar belakang politik seseorang tersangka atau terdakwa.

Selanjutnya menurut Abdullah Hehamahua – setidaknya ada delapan penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, yaitu:

a. Sistem penyelenggaraan Negara yang keliru

Sebagai Negara yang baru merdeka atau Negara yang baru berkembang, seharusnya prioritas pembangunan di bidang pendidikan, tetapi selama puluhan tahun, mulai dari Orde Lama sampai Era Reformasi ini, pembangunan dilakukan di bidang ekonomi.

Padahal setiap Negara yang baru merdeka, terbatas dalam memiliki SDM, uang, manajemen, dan teknologi.

Konsekuensinya semuanya didatangkan dari luar negeri yang pada gilirannya, menghasilkan penyebab korupsi yang kedua, yaitu:

b. Kompensasi PNS yang rendah

Wajar saja Negara yang baru merdeka tidak memiliki uang cukup untuk membayar kompensasi tinggi kepada

pegawainya. Namun

disebabkan prioritas pembangunan di bidang ekonomi, sehingga secara fisik dean kultural melahirkan pola konsumerisme, sehingga sekitar 90% PNS melakukan KKN. Baik berupa korupsi waktu, melakukan kegiatan pungli maupun mark-up kecil- kecilan demi menyeimbangkan pemasukan dan pengeluaran pribadi / keluarga.

c. Pejabat yang serakah

Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh system pembangunan seperti di atas mendorong pejabat untuk menjadi kaya secara instant.

Lahirlah sikap serakah di mana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan mark-up proyek- proyek pembangunan, bahkan berbisnis dengan pengusaha, baik dalam bentuk menjadi komisaris maupun sebagai shareholder dari perusahaan tersebut.

d. Law enforcement tidak berjalan

Disebabkan para pejabatnya serakah dan PNS-nya KKN karena gaji yang tidak cukup, maka penegakan hokum tidak berjalan hamper di seluruh lini kehidupan, baik di instansi pemerintahan maupun di lembaga kemasyarakatan.

Segala sesuatu diukur dengan uang. Lahirlah plesetan kata- kata seperti KUHP (Kasih Uang Habis Perkara), Tin (Ten Persen), Ketuhanan Yang Maha Esa (Keuangan Yang Maha Kuasa) dan sebagainya.

(9)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

e. Hukuman yang ringan terhadap koruptor

Disebabkan law enforcement tidak berjalan, di mana aparat penegak hukum bias dibayar, maka hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi koruptor.

Bahkan tidak menimbulkan rasa takut dalam masyarakat, sehingga pejabat dan pengusaha tetap melakukan proses KKN.

f. Pengawasan yang tidak efektif

Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrument yang disebut internal control yang bersifat built-in dalam setiap unit kerja, sehingga sekecil apa pun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Internal control di setiap unit tidak berfungsi karena pejabat atau pegawai terkait terlibat KKN. Konon, untuk mengatasinya dibentuklah Irjen dan Bawasda yang bertugas melakukan internal audit.

Malangnya, sistem besar penyelenggaraan Negara tidak mengalami perubahan, sehingga Irjen dan Bawasda pun turut bergotong royong dalam menyuburkan KKN.

g. Tidak ada keteladanan pemimpin

Ketika resesi ekonomi (1997), keadaan perekonomian Indonesia sedikit lebih baik dari Thailand. Namun, pemimpin Thailand memberi

contoh kepada rakyatnya dalam pola hidup sederhana dan satunya kata dengan perbuatan, sehingga lahir dukungan moral dan material dari anggota masyarakat dan pengusaha. Dalam waktu relative singkat, Thailand telah mengalami recovery ekonomi.

h. Budaya masyarakat yang kondusif KKN

Dalam Negara agraris seperti Inonesia, masyarakat cenderung paternalistik.

Dengan demikian, mereka turut melakukan KKN dalam urusan sehari-hari. Mulai dari mengurus KTP, SIM, STNK, PBB, SPP, pendaftaran anak ke sekolah atau universitas, melamar kerja, dan lain- lain, karena meniru apa yang dilakukan oleh pejabat, elit politik, tokoh masyarakat, pemuka agama.12

2. Lembaga Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsi

Penanganan korupsi di negara- negara di dunia saat ini, memiliki persoalan yang luas. Dalam sejarah penegakan hukum tindak pidana korupsi, terbukti keberadaan penegak hukum tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien serta ketiadaan sinergisitas antara aparat penegak hukum. Bahkan dalam beberapa kasus, masyarakat menengarai adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam penanganan kasus korupsi. Paling

12 Abdullah Hehamahua sebagaimana dikutip Abu Abdur Rifai, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa), Republika, Jakarta, 2006, hlm.xxi

(10)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

tidak terdapat tiga hal yang memperkuat argument itu, yaitu:

Pertama, melalui media massa seringkali ditemukan adanya beberapa kasus korupsi besar yang tidak pernah jelas akhir penangannya. Kedua, pada kasus tertentu juga sering terjadi adanya kebijakan pengeluaran SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh aparat terkait, sekalipun bukti awal secara yuridis dalam kasus korupsi tersebut sesungguhnya cukup kuat. Ketiga, kalaupun suatu korupsi penanganannya sudah sampai di persidangan pengadilan, seringkali public dikejutkan bahkan dikecewakan oleh adanya vonis-vonis yang melawan arus dan rasa keadilan masyarakat.13

Dalam pemerintahan Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno – korupsi masih merajalela, korupsi yang mengatasnamakan revolusi ini memaksa Presiden Soekarno pada waktu itu untuk membentuk badan pemberantasan korupsi.

Setidaknya tercata tiga kali

pembentukan badan

pemberantasan korupsi, yaitu Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dengan dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdulgani dan Operasi Budhi yang dicanangkan berdasarkan Keputusan Presiden No.275 Tahun 1963 yang kembali dikuasai oleh A.H. Nasution dengan dibantu oleh Wiryono Prodjodikoro yang kemudian

13 M. Abdul Kholiq, Eksistensi dalam Peradilan Korupsi di Indonesia, Jurnal Hukum No.26 Vol 11, Mei 2004 hal 31

diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR):

1) Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dengan dasar hukum dikeluarkannya UU Keadaan Bahaya.

2) Operasi Budhi, dasar hukumnya Keputusan Presiden No.275 Tahun 963 dengan tugas menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan Negara serta lembaga-lembaga Negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.

3) Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KORAN), dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandryo dan Letjen Achmad Yani.

Angka yang cukup fantastis pada waktu itu, namun karena dianggap mengganggu prestise Presiden, sejak Soebandrto menyatakan prestise presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain dalam suatu pertemuan di Bogor, Operasi Budhi dibubarkan. Diganti dengan KOTRAR (Komando Tertinggi Retoooling Aparat Revolusi) yang diketuai oleh Presiden Soekarno langsung. Pada titik ini pemberantasan korupsi di Indonesia berjalan di tempat.14

Pemberantasan korupsi pada Orde Baru:

a. Tim Pemberantasan Korupsi diketuai oleh Jaksa Agung.

14 O.C. Kaligis, Bungai Rampai Hukum Pidana di Indonesia, 2007, Balai Pustaka, Jakarta, hlm.7

(11)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

b. Komite Empat dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV. Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dll.

c. Operasi Tertib semasa

Soedomo sebagai

Pangkopkamtib dengan tugas memberantas korupsi.

Pada era reformasi, semangat yang mengebu-gebu sebagai wujud era baru, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi memaksa pemimpin Negara untuk segera bertindak agar dinilai berpihak kepada rakyat. Kemudian lahirlah UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.

a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Berdasarkan fakta di lapangan bahwa institusi penegak hukum yang telah ada, yaitu Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tidak dapat kepercayaan, dan legitimasi yang kuat dalam menangani kasus korupsi, bahwa Kepolisian RI (POLRI) dan Kejaksaan RI juga masih dihadapkan pada problem internal dalam mewujudkan kelembagaan yang bersih, maka lahirlah KPK. KPK pada dasarnya menjalankan fungsi eksekutif (penegakan hukum) yang memiliki kewenangan otonom yaitu tidak terikat dengan rantai birokrasi pemerintah dan diharapkan bisa memenuhi

harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, disebutkan:

Pemberantasan Tindak pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melaui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian pada Pasal 2 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan:

“Dengan undang - undang ini

dibentuk Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Pasal 3 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disebutkan: “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksnakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.” Pada saat ini pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan oleh berbagai institusi yang telah

(12)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

ada seperti kejaksaan dan kepolisian serta badan- badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, kewenangan KPK diatur secara lebih berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai institusi tersebut, namun didalam pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajibannya tetap juga terdapat gesekan- gesekan dengan institusi lain yang telah ada sebelumnya.

Adapun tugas, wewenang dan kewajiban KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diantaranya disebutkan:

Pasal 6

Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:

a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

d. Melakukan Tindakan - tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan

e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan

pemerintahan Negara

Pasal 7

Dalam melaksanakan tugas koordinator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

a. Mengkoordinasikan

penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;

b. Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;

c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;

d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan

e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

KPK tidak didesain untuk menggantikan peran Kepolisian dan Kejaksaan sebagai penegak hukum, sehingga keberadaannya bersifat temporal. Oleh sebab itu, keberadaan KPK juga harus memperkuat keberadaan institusi lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Dalam konteks inilah, terdapat tunggakan pekerjaan terhadap fungsi KPK yang lain, yaitu melakukan koordinasi dan supervise terhadap penegak hukum yang lain sebagaimana yang belum kunjung dikerjakan dan diselesaikan dengan baik oleh KPK periode lalu dan yang

(13)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

sekarang. Tunggakan pekerjaan

yang lain, adalah

mendefinisikan fungsi KPK dalam mencegah terjadinya korupsi.15

Bentuk mandat KPK yang besar bukan hanya diimplementasikan dalam fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sekaligus, namun juga fungsi koordinasi dan supervisi dalam konteks pemberantasan korupsi terhadap penegak hukum yang lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan, realisasi fungsi ini tidak secara mudah dicerna dan dipahami – untuk tidak dibilang tidak ada – oleh publik dan bahkan oleh DPR (yang menjadi satu-satunya lembaga pengawas eksternal KPK tersebut).16 Romli Atmasasmita terkait dengan kehadiran KPK mengatakan: “tidak ada satu pun penegak hukum di dunia yang memiliki kewenangan sebesar KPK, yakni sebagai penyelidik, penyidik maupun penuntut umum sekaligus.”17 Namun demikian, keberadaan KPK tetap bersifat ad hoc yaitu sebagai solusi sementara. Jika nantinya kinerja kepolisian dan kejaksaan sudah mampu memenuhi harapan masyarakat atau sudah terbebas dari korupsi, maka KPK tidak lagi diperlukan.

Munculnya konsep reinventing government atau new public

15 Fahri Hamzah, Demokrasi Transisi Korupsi:

Orkestra Pemberantasan Korupsi Sistemik, Yayasan Faham Indonesia, Jakarta, 2012, hlm.

85-86.

16 Ibid, hlm 86.

17 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi

….. Loc. Cit., hlm.15

management lebih didasari oleh suatu keinginan untuk menjalankan sistem manajemen pemerintah selayaknya dalam bisnis (run the government like a business) yang sangat mengedepankan efisiensi dan customer - oriented. Oleh karenanya, maka muncul gagasan untuk membentuk lembaga baru yang lebih bersifat otonom dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.18

b. Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kepolisian merupakan salah satu lembaga pemerintahan yang memegang peranan penting dalam Negara, terutama bagi Negara berdasarkan atas hukum seperti Indonesia (lihat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, lahir sebagai pengganti UU No.28 Tahun 1997 karena adanya reformasi di bidang hukum yang terjadi di Indonesia yang telah merubah eksistensi POLRI dari yang sebelumnya adalah bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi POLRI yang mandiri.

Kemandirian POLRI diharapkan menghilangkan watak militeristik yang sebelumnya masih melekat dan dominan pada perilaku POLRI, sehingga

18 Taufiq Effendi, Efektivitas Kelembagaan dan Strategi Penataan Lembaga Non-Struktural:

Sebuah Tinjauan Administrasi Negara, Disampaikan pada Seminar “Formulasi Desain Penataan LNS yang Dibentuk Berdasarkan Undang- Undang dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Tanggal 23 November 2010. Jakarta:

Sekretariat Negara RI.

(14)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

POLRI mampu untuk

mewujudkan keamanan dalam negeri yang tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dalam Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 disebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 13

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:

a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

b. Menegakkan hukum; dan c. Memberikan Perlindungan

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 14:

(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksuddalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:

a. Melaksanakan

pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang- undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hokum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya;

h. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

i. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara ebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang

(15)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

berwenang;

j. Memberikan pelayanan kepada masyarkat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasasn Korupsi telah dinyatakan bahwa

KPK memiliki

kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap kasus dugaan korupsi.

Sedangkan POLRI yang diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, berdasarkan UU No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam perkara pidana termasuk perkara pidana khusus korupsi.

Kewenangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi bagi POLRI sebagaimana diinstruksikan dalam Inpres No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan

Pemberantasan Korupsi;

diintruksikan sebagai berikut:

1. Mengoptimalkan upaya - upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dengan menyelamatkan uang negara.

2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka penegakan hukum.

3. Meningkatkan kerja

sama dengan

Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi.

c. Kejaksaan

Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar tahun 1945. Norma ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,

(16)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

hukum merupakan urat nadi aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem, dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya

dilengkapi dengan

kewenangan - kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Lembaga Kejaksaan. Sistem hukum menurut L.M. Friedman tersusun dari sub-sub sistem yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.19

Pada Pasal 1 Angka 1 Undang- Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak sebagai penyelidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004.

Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

19 Effendy, Marwan, 2005, Kejaksaan RI, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 6

negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun.

Dalam penuntutan

dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.20

Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan, dalam hal substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundang-undangan pidana materiil kita adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan induk perundang-undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yakni kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum.

Kultur hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum. Pada prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan yang dicapai oleh

20 Hartanti, Evi, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, hlm. 123

(17)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

bangsa bersangkutan karena hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa.

Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Bahwa selain dari melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar).

Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya yakni melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum

dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.21

Dalam UU Kejaksaan tepatnya pada Pasal 1 butir 1 ditentukan bahwa : “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”.

Sedangkan dalam Pasa l butir 2 disebutkan : “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang- Undang inI untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim”. Hal tersebut juga di atur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang kerap di sebut dengan KUHAP yakni dalam Pasal 1 butir 6 huruf a dan b Jo. Pasal 13 dengan begitu telah jelas bahwa penuntut umum sudah pasti adalah seorang

dalam penegakan hukum tentu berada dalam koridor tindakan penuntutan.

3. Peran Jaksa Dalam Tindak Pidana Korupsi

Pada dasarnya lembaga Kejaksaan adalah alat negara penegak hukum, pelindung dan

pengayom masyarakat

21 Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan Republik Indonesia

(18)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum. Lembaga Kejaksaan dengan demikian berperan sebagai penegak hukum.

Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan.

Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Setiap penegak hukum secara sosiologis mempunyai kedudukan dan peranan sebagai penegak hukum. Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang- sedang saja atau rendah.

Kedudukan tersebut sebenarnya mempunyai wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban- kewajiban tertentu. Hak-hak dan kewajiban- kewajiban tadi merupakan peranan. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut:

a. Peranan yang ideal;

b. Peranan yang seharusnya;

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri;

d. Peranan yang sebenarnya dilakukan.

Berdasarkan pasal tersebut maka tindak pidana korupsi adalah tindak pidana khusus dalam arti bahwa tindak pidana korupsi mempunyai ketentuan khusus acara pidana. Dengan demikian, Lembaga Kejaksaan berwenang melakukan penyidikan. Tindak pidana yang memuat ketentuan terhadap tindak pidana tertentu disebut “tindak pidana khusus”.

Tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memuat “ketentuan khusus acara pidana” antara lain:

1. Tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda korporasi yang diketahuinya (Pasal 28).

2. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah (Pasal 37).

3. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di siding pengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (Pasal 38).

Oleh karena itu, keberadaan Lembaga Kejaksaan sebagai salah satu unsur sistem peradilan pidana mempunyai kedudukan yang penting dan peranannya yang strategis di dalam suatu negara hukum karena Lembaga Kejaksaan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu mengemban tugas penegakan hukum.22

Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan bahwa Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk bertindak

22 Effendy, Marwan, Op. Cit, hlm. 2.

(19)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

sebagai penyelidik, penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Kejaksaan adalah satu- satunya lembaga negara yang merupakan aparat pemerintah yang berwenang melimpahkan perkara pidana, menuntut pelaku tindak pidana di pengadilan dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim pidana, kekuasaan ini merupakan ciri khas dari kejaksaan yang membedakan lembaga-lembaga atau badan- badan penegak hukum lain. Selain itu dalam tindak pidana umum Jaksa hanya sebagai penuntut umum, tetapi dalam tindak pidana khusus dalam hal ini korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan penuntut umum. Sebagai penyidik maka diperlukan suatu keahlian dan keterampilan yang khusus untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dapat diketemukan tersangkanya.

Pada dasarnya penyelidikan dan penyidikan setiap tindak pidana merupakan awal dalam penanganan setiap tindak pidana terutama tindak pidana korupsi.23 4. Tata Kelola Lembaga Penegak

Hukum (Kejaksaan, Polri Dan KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

Di dalam UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari

23 Robert Kligaard, 2005, Penuntun

Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 3.

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) disebutkan beberapa asas umum penyelenggaraan negara yaitu:

a. Asas kepastian hukum

b. Asas tertib penyelenggaraan negara

c. Asas kepentingan umum d. Asas keterbukaan e. Asas proporsionalitas f. Asas profesionalitas g. Asas akuntabilitas

Asas-asas tersebut di atas ditujukan untuk para penyelenggara negara secara keseluruhan, sementara itu terdapat asas-asas umum pemerintahan yang layak (yang selanjutnya disingkat AAUPL) yang pada dasarnya hanya ditujukan kepada pemerintah dalam arti sempit, sesuai dengan istilah bestuur pada algemene beginselen van behoorlijk bestuur, bukan regering atau overheid, yang mengandung arti pemerintahan dalam arti luas.24 AAUPL tersebut adalah:25

1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);

2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);

3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);

4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);

5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);

6. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of competence);

24 H.D. van Wijk en Willem Konijnenbelt, Hoofstukken van Administratif Recht, Vuga, s‟Gravenhage, 1995, hlm.369

25 Lihat Ridwan, HR., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakata, 2003. Hlm.192

(20)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);

8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness);

9. Asas kepercayaan dan menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation);

10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the concequences of an annualed decision);

11. Asas perlindungan atau pandangan atau cara hidup pribadi (principle of protecting the personal may of life);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia) 13. Asas penyelenggaraan

kepentingan umum (principle of public service).

E. Pengaturan Justice Collaborator Di Indonesia

Konsep dan istilah dari Justice Collaborator atau collaborator with justice atau pentiti, merupakan hal baru di Indonesia. Di Indonesia belum mengatur mengenai Justice Collaborator secara spesifik dalam peraturan yang berlaku. Ini merupakan salah satu pertimbangan untuk segera mengatur mengenai Justice Collaborator.

Di Indonesia saksi yang juga merupakan pelaku dikenal dengan istilah :

a. Saksi Tersangka (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006);

b. Saksi Pelaku yang Bekerjasama / Justice Collaborator (Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011);

c. Saksi Pelaku yang Bekerjasama

(Peraturan Bersama

Kemenkumham, Polri, Kejaksaan Agung, KPK dan LPSK Tahun

2011);

d. Saksi Pelaku (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014).

Berdasarkan berbagai peraturan- peraturan yang ada di Indonesia, perkembangan peraturan yang mengatur mengenai Justice Collaborator dapat dilihat sebagai berikut:

1. Pengaturan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dikenal dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 merupakan pedoman dalam pelaksanaan serta praktek hukum pidana materil yang memuat pengaturan tata cara dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, acara pemeriksaan, banding ke pengadilan tinggi, serta kasasi dan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA).

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, disebutkan ada 5 (lima) alat bukti yang sah guna proses pembuktian peradilan pidana, yaitu:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk; dan

e. Keterangan terdakwa.

Mengenai definisi saksi mahkota dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor. 2437

K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa :

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan sebagai saksi yang

(21)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada saksi yang berstatus terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan”26 Istilah yang digunakan dalam KUHAP tidak mengenal istilah Justice Collaborator, padahal istilah ini ditujukan untuk seseorang yang membantu aparat penegak hukum untuk 006Dembantu mengungkap suatu tindak pidana. Tetapi dalam draft revisi KUHAP hanya mengatur mengenai istilah saksi mahkota (crown witness) yang merupakan istilah hukum yang digunakan dalam Wetboek van Strafvordering (KUHAP) Belanda.

Saksi Mahkota merupakan saksi utama dari jaksa, sedangkan Justice Collaborator adalah orang yang bekerjasama dengan penegak hukum. Persamaan antara saksi

26 M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi II, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 286

mahkota dan Justice Collaborator yaitu kedua istilah tersebut dimaksudkan bahwa pelaku dalam istilah tersebut adalah pelaku dalam suatu tindak pidana.

2. Pengaturan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)

Dalam United Nations Convention Against Corruption Pasal 37 membahas mengenai kerjasama dengan aparat penegak hukum. Pasal 37 ayat (2) menjelaskan mengenai peran Negara untuk mempertimbangkan pemberian reward kepada pelaku yang memberkan kerjasama, Pasal 37 ayat (2) berbunyi: “Setiap Negara anggota wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan, di dalam kasus-kasus tertentu, dari mengurangi hukuman terdakwa yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penuntutan suatu kejahatan yang ditetapkan menurut konvensi ini”

Pada ayat (3) dijelaskan mengenai peran untuk memberikan per-timbangan kekebalan penuntutan atas pelaku yang bekerjasama, ayat (3) berbunyi:“Setiap Negara anggota wajib mempertimbangkan untuk mem-berikan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan dari penuntutan untuk orang yang memberikan kerjasama substansial dalam penyelidikan atau penun-tutan suatu kejahatan yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini”.

(22)

Studi Komparatif Peran Kejaksaan, Kepolisian, Dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Dalam Upaya Penanganan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia

3. Pengaturan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Conventions Against Transnasional Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi). Dalam Konvensi UNCATOC yang kemudian diratifikasi menjadi Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2009 ini juga memberikan ide pengaturan yang berkaitan dengan Justice Collaborator dalam peradilan pidana. Konvensi ini memberikan pertimbangan terkait pemberian penghargaan bagi Justice Collaborators, seperti yang tercantum dalam Pasal 26 yaitu bagian “Langkah-langkah untuk meningkatkan kerjasama dengan pihak penegak hukum” yaitu pada ayat (2) dan (3) yang berbunyi:

(2) Setiap Negara anggota wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan, dalam kasus-kasus yang tepat yaitu mengurangi hukuman terdakwa yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini;

(3) Setiap Negara anggota wajib mempertimbangkan untuk memberikan kemungkinan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya, pemberian kekebalan dari penuntutan kepada seseorang yang memberikan kerjasama yang substansial dalam penyelidikan atau penuntutan tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi ini.

4. Pengaturan Justice Collaborator dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pengaturan mengenai Justice Collaborator di Indonesia dapat dikatakan belum ada sebelum lahirnya Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006.

Dalam peraturan tersebut, pengaturan mengenai Justice Collaborator atau dikenal sebagai saksi pelaku yang bekerjasama sangatlah minim. Dalam UU ini juga belum memberikan definisi maupun panduan yang jelas mengenai persyaratan untuk dapat ditetapkan menjadi seorang Justice Collaborator. Dalam peraturan ini diatur mengenai hak-hak saksi dan korban yaitu pada Pasal 5 ayat (1), hak-hak ini diberikan kepada saksi dan/atau korban sesuai dengan keputusan LPSK.

Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini diatur mengenai hak-hak dari saksi dan/atau korban yaitu pada Pasal 5 ayat (1) hak-hak yang diberikan kepada saksi dan/atau korban ini sesuai dengan keputusan LPSK. Dan penjelasan lebih lanjut dijelaskan pada ayat (2) mengenai yang dimaksud dengan kasus-kasus tertentu antara lain tindak pidana korupsi, narkotika/psikoropika, terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang akan membahayakan jiwanya.27

5. Pengaturan Justice Collaborator dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi

27 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Press, hal. 154

Referensi

Dokumen terkait

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

weak base combines with the hydrogen ion, forming a weak acid.  When there is a shortage of hydrogen

1. Penyediaan air baku air minum dengan kualitas yang layak masih minim di Kecamatan Kedungjati. Kualitas dan kuantitas air baku air minum yang menurun. Manajemen

[r]

Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan sebanyak tiga siklus menunjukkan adanya peningkatan kemampuan operasi hitung pengurangan pada peserta didik tunarungu,

Teman – teman yang sudah senantiasa membantu dalam pembuatan Tugas. Akhir ini yang tidak bias disebutkan

Berdasarkan hasil evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga serta kualifikasi dengan ini Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengumumkan pemenang

Website ini berfungsi untuk memberikan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran dan kegiatan lain serta situasi dan kondisi di sekolah tersebut kepada para orang