• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TENTANG ASPEK HUKUM BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM E-COMMERCE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TENTANG ASPEK HUKUM BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM E-COMMERCE"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

___________________________________________

*) Shohib Muslim dan Farida Akbarina, adalah dosen Politeknik Negeri Malang

KAJIAN TENTANG ASPEK HUKUM BISNIS DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM E-COMMERCE

Oleh: Shohib Muslim dan Farida Akbarina*)

Abstrak

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui keabsahan tindakan bisnis e-commerce yang ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia khususnya Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan perlindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi e-commerce.

Hasil kajian ini bahwa kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-commerce) telah memenuhi beberapa aspek hukum perjanjian dalam Buku Ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. meskipun pemenuhan terhadap unsur kedewasaan sebagai syarat kecakapan tidak dapat terpenuhi, kontrak dalam e-commerce tetap sah dan mengikat sepanjang para pihak tidak mempermasalahkannya. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e- commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi e-commerce, penggunaan CA (Certification Authority), dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa.

Kata-kata kunci: hokum bisnis, Perlindungan konsumen, e-commerce Abstract

This paper aims to determine the validity of the e-commerce business action viewed from the agreement laws in Indonesia, especially Book III of Civil Code and consumer legal protection laws in the commercial transaction.

The results concludes that the contract in internet trading (e-commerce) has fulfilled some aspects of contract law in Book III of Civil Code regarding the validity of the agreement terms despite fulfillment of the elements of maturity as prerequisite skills can’t be met, the contract in the e- commerce continue to be valid and binding on all the parties as long as they are not put into dispute.

Consumers Protection Law(UUPK)and Information and Electronic Transactions Law (UUITE) have been able to give adequate protection for the consumers in conducting transactions through e- commerce.

The legal protection is reflected in the provisions of UUPK and UUITE, inwhich both rules regulate the use of consumers personal data, the validity requirements of e-commerce transactions, the use of CA (Certification Authority) and also regulate the actions that are prohibited for business to market and produce good and services

Keywords: business law, consumers protection, e-commerce .

1. Pendahuluan

Penggunaan media internet sebagai jalur perdagangan baru merupakan jawaban atas majunya perdagangan nasional maupun internasional. Electronic commerce transaction adalah transaksi dagang antara penjual dan pembeli dalam rangka penyediaan barang atu jasa termasuk

melelangkan barang atau jasa, dan atau mengalihkan hak dengan menggunakan media elektronik computer maupun internet. Sementara itu Kalakota dan Wiston mendefinisikan e- commerce dari berbagai perspektif yaitu 1) dari perspektif komonikasi, e-commerce adalah pengiriman informasi, produk atau jasa, atau

(2)

pembayaran melalui jaringan telepon, atau jalur komunikasi lainnya; 2) dari perspektif proses bisnis, e-commerce adalah aplikasi teknologi menuju otomatisasi transaksi bisnis dan work flow;

3) dari perspektif pelayanan, e-commerce adalah alat yang digunakan untuk mengurangi biaya dalam pemesanan dan pengiriman barang; 4) dari perspektif online, e-commerce menyedia kan kemampuan untuk menjual dan membeli produk dan jasa informasi melalui internet dan jasa online lainnya.(Rowzkoski.1989).

Tingginya pengguna internet memicu pelaku usaha untuk menempatkan produk mereka dalam layanan-layanan online berbasis web atau yang kemudian dengan istilah perdagangan elektronik (e-commerce). Kejelian pelaku usaha untuk memanfatkan internet sebagai sarana promosi, transaksi, toko online, maupun sarana bisnis lainnya tidak dibarengi dengan lahirnya perangkat perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Akibatnya banyak pihak yang dirugikan akibat kekosongan hukum dalam cyberspace. Baru pada tahun 2008, pemerintah Indonesia yang diprakarsai oleh Depkominfo membidangi lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE).

Meskipun aturan tentang transaksi electronic commerce tidak di atur secara khusus dalam undang-undang tersebut, transaksi electronic commerce di Indonesia tetap tunduk pada ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undng Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Permasalahannya adalah bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce tersebut tidak

berada pada wilayah domisili yuridiksi Indonesia.

Inilah yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam transaksi e- commerce. Dimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara tegas menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku usaha yang bergerak didalam wilayah hukum Republik Indonesia (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999) . jika kembali pada Undang- Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan cara-cara yang disepakati oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen).

Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat (Pasal 18 UUITE) sehingga dari sudut pandang hukum perlindungan konsu men, konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut.

1.1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diajukan adalah:

1. Bagaimana perjanjian perdagangan melalui internet (e-commerce) ditinjau dari hukum perjanjian di Indonesia ?

2. Apakah konsumen sudah mendapatkan perlindungan hukum dalam transaksi melalui e-commerce berdasarkan peraturan perundang- undangan yang ada?

2.Pembahasan

1. Keabsahan Perjanjian Dalam Transaksi E- Commerce Ditinjau Dari Hukum Perjanjian Di Indonesia Khususnya Buku Ke III KUHPerdata

(3)

Pemenuhan Terhadap Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Berbicara mengenai transaksi perdagangan secara elektronik, tidak terlepas dari konsep perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata yaitu memiliki sifat terbuka artinya ketentuan-ketentuannya dapat dikesampingkan, sehingga hanya berfungsi mengatur saja. Perdagangan melalui internet pada dasarnya sama dengan perdagangan pada umumnya, dimana suatu perdagangan terjadi ketika ada kesepakatan mengenai barang atau jasa yang diperdagangkan serta harga atas barang atau jasa tersebut, yang membedakan hanya pada media yang digunakan, jika pada perdagangan konvensional para pihak harus bertemu langsung di suatu tempat guna menyepakati mengenai apa yang akan diperdagangkan serta berapa harga atas barang atau jasa tersebut.

Sedangkan dalam e-commerce, proses transaksi yang terjadi memerlukan suatu media internet sebagai media utamanya, sehingga proses transaksi perdagangan terjadi tanpa perlu adanya pertemuan langsung antar para pihak. E-commerce sebagai dampak dari perkembangan teknologi memberikan implika si pada berbagai sektor, implikasi tersebut salah satunya berdampak pada sektor hukum. Pengaturan terhadap e-commerce di Indonesia belum ada aturan yang secara khusus mengatur mengenai masalah tersebut, yang umum dilakukan pengaturan mengenai e-commerce masih menggunakan aturan dalam Buku III KUHPerdata khususnya pengaturan mengenai masalah

perjanjian. Perjanjian dalam e-commerce terjadi antara kedua belah pihak yang mana salah satu pihak berjanji kepada pihak yang lain untuk melakukan sesuatu. Dimana perjanjian yang terjadi dalam e-commerce dapat menggunakan dasar Pasal 1313 KUHPerdata sebagai pengaturannya.

Sehingga apa yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian yang termuat dalam KUHPerdata harus diperhatikan agar pengenaan atas aturan perjanjian di Indonesia yang secara umum menggunakan KUHPerdata dapat diterapkan, serta perjanjian dalam e-commerce dapat diakui keabsahaanya.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang tercantum dalam pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya Terhadap syarat yang pertama ini maka segala perjanjian haruslah merupakan suatu hasil kesepakatan antara kedua belah pihak, dimana sepakat itu dilakukan tanpa ada unsur pakasaan, kekhilapan, dan penipuan (dwang, dwaling, bedrog). Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah persesuaian kehendak antara para pihak yang melakukan suatu perjanjian. Seseorang dikatakan member kan persetujuannya dan kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Hal ini sesuai dengan asas konsensualisme dalam suatu perjanjian bahwa suatu kontrak yang telah dibuat maka telah sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya. perjanjian yang ada dalam transaksi e-commerce muncul karena adanya kesadaran dari para pihak untuk saling mengikatkan diri. Pihak pembeli menyetujui atau menyepakati klausul kontrak yang telah disediakan oleh penjual. apabila dikaitkan dengan teori dalam perjanjian (Fuady

(4)

1999), untuk menentukan kapan suatu kesepakatan kehendak terjadi dapat digunakan sebagai suatu patokan untuk menentukan keterikatan seseorang pada perjanjian tertutup sehingga perjanjian dianggap telah mulai berlaku, teori tersebut yaitu:

1. Teori Penawaran dan Penerimaan (offer and acceptance) Kesepakatan kehendak pada prinsipnya baru terjadi setelah adanya penawaran (offer) dari salah satu pihak yang kemudian diikuti dengan penerimaan tawaran (acceptance) oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut.

2. Teori Pernyataan (verklarings theorie) Menurut teori pernyataan, apabila ada kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang berlaku, karena masyarakat pada umumnya menghendaki bahwa apa yang dinyatakan dapat dipegang. Berdasarkan teori ini, apa yang dinyatakan oleh customer dengan cara mengisi order form, maka itulah yang dianggap berlaku, bukan lagi apa yang dikehendakinya. Demikian juga dengan apa yang dinyatakan oleh merchant yang berkaitan dengan persetujuan proses transaksi yang berlaku itulah yang berlaku meskipun dalam proses tersebut masih ada kemungkinan customer memberikan data yang tidak benar, sedangkan merchant melalui perangkat software yang digunakan telah menyetujui transaksi tersebut.

3. Teori Konfirmasi, Teori ini menjelaskan bahwa suatu kata sepakat telah ada atau dianggap telah terjadi ketika pihak yang melakukan penawaran mendapat jawaban atau konfirmasi jawaban dari pihak yang menerima tawaran.(Subekti, 2002) Jika dikaitkan dengan proses terjadinya, kontrak e- commerce menurut Santiago Cavanilas dan A.

Martines Nadal yang dikutip (Sjahdeni,2001) maka kesepakatan para pihak dapat terjadi melalui cara:

1. Kontrak melalui chatting dan video conference merupakan alat komunikasi yang disediakan internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung, kontrak melalui media Selain itu dengan model ini khususnya video conference maka dapat dibuktikan apakah para pihak cakap untuk membuat suatu perikatan atau tidak.

2. Kontrak melalui e-mail Kontrak melaui e-mail dapat berupa kontrak e-mail murni, Dengan model ini kesepakatan terjadi ketika seseorang yang menerima e-mail penawaran mengirimkan e-mail balasan bahwa ia menerima penawaran tersebut .3. Kontrak melalui web (situs) Kontrak memalui web biasanya kompleks, karena melibatkan pihak- pihak di luar yang mengada kan kontrak. Pihak- pihak yang terkait diantaranya adalah pihak-pihak otentifikiasi (penyedia sertifikat digital), Berdasarkan uraian tersebut maka pemenuhan syarat kesepakatan para pihak dalam membuat perjanjian atau kontrak dalam e-commerce dapat dipenuhi, sehingga perjanjian tersebut dari sudut pandang kesepakatan dianggap sah dan dan mengikat para pihaknya.

b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan Perkembangan internet menyebabkan terben tuknya suatu arena baru yang lazim disebut dengan dunia maya (cyberspace), dimana setiap individu mempunya hak dan kemampuan untuk berhubungan dengan individu lain tanpa batasan apapun yang menghalanginya. Sehingga dengan adanya kebebasan untuk melakukan hubungan atau melakukan sesuatu maka tidak menutup

(5)

kemungkinan bahwa setiap individu juga mempunyai kebebasan untuk mengadakan suatu kesepakatan atau perjanjian dengan individu lainnya. Demikian juga dalam e-commerce, setiap orang pun berhak mengadakan suatu perikatan.

Untuk membuat suatu perjanjian diperlukan peme nuhan terhadap syarat sahnya suatu perjanjian, syarat yang kedua adalah kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pada dasarnya, setiap orang yang telah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannnya adalah cakap untuk membuat perikatan, dimana hal ini disebutkan dalam Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yaitu: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap” Syarat atau tolok ukur untuk menentukan cakap tidaknya seseorang untuk mengadakan suatu perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu mereka yang tidak cakap dalam melakukan perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan (yang kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3/1963) Syarat seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin atau menikah.

Pasal 1320 KUHPerdata tidak dapat terpenuhi dalam kontrak e-commerce, hal ini dikarenakan Pasal 1320 yang mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian mempunyai sifat memaksa sehingga tidak dapat dikesampingkan meskipun Buku III KUHPerdata mempunyai sifat aanvulend recht

atau hanya sebagai pelengkap saja. Meskipun syarat kedewasaan menurut KUHPerdata tidak dapat terpenuhi dalam kontrak e-commerce, hal ini tidak menyebabkan kontrak tersebut menjadi tidak sah, tetapi hanya memberikan akibat terhadap perjanjian atau kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, dikarenakan kecakapan untuk membuat suatu perikatan termasuk ke dalam syarat subyektif, sehingga berdasarkan uraian tersebut maka dapat ditarik disimpulkan bahwa kontrak dalam perdagangan melalui internet (e-commerce) tetap sah sehingga mengikat dan menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sepanjang para pihak tersebut tidak mempermasalahkan mengenai tidak terpenuhinya salah satu syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPerdata serta para pihak tetap melaksanakan perjanjian yang telah dibuatnya.

c. Suatu Hal Tertentu, Suatu hal tertentu berhubungan dengan objek perjanjian, maksudnya bahwa objek perjanjian itu harus jelas, dapat ditentukan dan diperhitungkan jenis dan jumlahnya, diperkenankan oleh undang-undang serta mungkin untuk dilakukan para pihak.

Transaksi dalam e-commerce meskipun berbeda dengan transaksi konvensional yang mengandalkan suatu wujud yang nyata yang bisa disentuh, adanya distribusi fisik dan terdapat tempat transaksi pada dasarnya tidaklah berbeda sangat jauh.

Dalam e-commerce juga terjadi hal tersebut tetapi produk yang akan diperjualbelikan tidak nampak secara fisik tetapi berupa informasi mengenai produk tersebut, selain itu dalam e-commerce terjadi suatu pendistribusian bahasa atau kode-

(6)

kode instruksi yang pada akhirnya akan memunculkan suatu informasi atas produk yang akan ditawarakan dan bagaimana cara untuk melakukan transaksi. Sehingga keduanya mempunyai persamaan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian atatu kontrak yang ditimbulkan dari kegiatan e-commerce haruslah memenuhi syarat adanya suatu hal tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga apa yang diperjanjikan harus mempunyai barang beserta jumlah maupun jenisnya sebagi pokok dari perjanjian yang telah dibuat. Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah obyek prestasi perjanjian.

Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan, sehingga berdasar definisi tersebut maka, suatu kontrak e-commerce haruslah menyebutkan mengenai obyek dari kontrak tersebut baik Setelah melakukan penelitian terhadap webstore diketahui bahwa dalam webstore tersebut menawarkan berbagai macam produk, dimana produk yang ditawarkan diantaranya yaitu buku, barang elektronik, software, serta ada juga yang menawarkan jasa dibidang pembuatan suatu webstore. Selain menampil kan produk tersebut dalam bentuk gambar, juga ada deskripsi penjelasan terhadap produk yang ditawarkan mengenai informasi, spesifikasi, harga dari produk tersebut.

Sesuatu hal tertentu dalam hal ini yaitu adanya suatu benda yang dijadikan obyek dalam suatu perjanjian, jika dihubungkan dengan apa yang ada dalam e-commerce yang menyediakan berbagai macam benda atau produk yang ditawarkan dan costomer bebas memilih terhadap salah satu atau beberapa jenis benda atau produk yang

dinginkannya, berdasar hasil penelitian ditemukan bahwa setelah customer melakukan pemilihan produk, diakhir proses transaksi merchant akan menampilkan informasi mengenai barang beserta harganya atas apa yang dipilih apakah benar atau tidak, sehingga apa yang dipilih customer menjadi obyek dalam perjanjian tersebut. Berdasar uraian tersebut maka di dalam e-commerce juga ada suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian atau kontrak sebagaimana yang disyaratkan dalam Pasal 1320 jo 1333 KUHPerdata terhadap perjanjian pada umumnya.

d. Suatu Sebab yang Halal, Keberadaan klausul kontrak dalam perjanjian e-commerce secara langsung dapat menjadi suatu bukti bahwa perjanjian atau kontrak tersebut tidaklah berbeda dengan kontrak atau perjanjian pada umumnya.

Demikian juga halnya dengan adanya syarat keabsahan suatu perjanjian dalam perjanjian atau kontrak e-commerce. Perjanjian atau kontrak dalam e-commerce yang disodorkan oleh merchant haruslah memenuhi syarat suatu sebab yang halal agar sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga ketika costumer yang akan melakukan kesepakatan dapat membaca dan memahami isi dari kontrak atau perjanjian tersebut apakah benar dan tidak menyimpang dari kaedah yang ada atau tidak. Suatu sebab yang halal, berarti perjanjian termaksud harus dilakukan berdasarkan itikad baik dari pihak merchant terhadap barang yang diperjanjikan tidak bertentangan atau tidak menyimpang dari kaedah-kaedah yang ada.

Pasal 1335 KUHPerdata yang berbunyi: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat

(7)

karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”

Sebab dalam hal ini adalah tujuan dibuatnya sebuah perjanjian. Tujuan dari perjanjian berarti isi perjanjian itu sendiri yang dibuat oleh kedua belah pihak, sedangkan isi perjanjian adalah yang dinyatakan tegas oleh kedua belah pihak mengenai hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari hubungan hukum (perjanjian) yang dibuat oleh kedua belah pihak tersebut. Kemudian ditambahkan dalam Pasal 1336 KUHPerdata yang berbunyi: “jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal ataupun jika suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan persetujuan namun demikian adalah sah”.

Pasal 1336 KUHPerdata menegaskan bahwa adanya kausa itu menunjukkan adanya kejadian yang menyebabkan terjadinya suatu utang, begitu pula walaupun tidak dinyatakan suatu sebab, maka perjanjian itu adalah sah. Sebab yang halal adalah mutlak untuk dipenuhi dalam mengadakan suatu perjanjian, pembuatan perjanjian tersebut haruslah didasari dengan itikad baik untuk mengadakan suatu pejanjian atau kontrak, dalam Pasal 1337 KUHPerdata disebutkan bahwa:“suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undangundang, atau bertentangan dengan kesusilaan baik, atau ketertiban umum”. Penjelasan dari suatu perbuatan yang dilarang oleh undang- undang dalam hukum positif adalah jika dalam undang-undang tidak memperbolehkan adanya perbuatan itu dan apabila dilanggar maka perbuatan itu akan mendapatkan sanksi yang tegas, sebagai contoh adalah tindak kejahatan seperti jual-beli narkoba, jual-beli barang curian, dan lain

sebagainya. Kesusilaan merupakan norma yang hidup dalam lingkungan masyarakat. Norma termasuk hukum tidak tertulis yang didalamnya berisi perbuatan-perbuatan yang patut dilakukan dan perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Sehingga segala perjanjian atau kontrak yang dibuat haruslah memenuhi norma kesusilaan, pelanggaran atas norma ini adalah sanksi sosial dari masyarakat mengingat kesusilaan adalah hukum tidak tertulis dalam kehidupan masyarakat.

(Shohib,2016)

2. Pemenuhan Terhadap Asas-Asas Hukum Perjanjian, Kontrak dalam e-commerce jika ditinjau dengan Hukum Perjanjian di Indonesia yang bersumber pada KUHPerdata adalah sah karena telah memenuhi syarat yang diharuskan baik syarat obyektif maupun syarat subyektif, maka sebagaimana halnya kontrak pada umumnya (konvensional) kontrak dalam e-commerce secara tidak langsung haruslah memenuhi berbagai asas- asas kontrak dalam KUH Perdata. Pemenuhan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan sebagai berikut: a. Asas Kebebasan Berkontrak Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia mengakui adanya kebebasan berkontrak, hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu, sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

(8)

Kontrak yang terjadi dalam e-commerce merupakan suatu bentuk kesepakatan antara kedua belah pihak terhadap suatu perjanjian yang telah ada, dimana kesepakatan terhadap kontrak tersebut menimbulkan keterikatan antar para pihaknya yang dalam hal ini antara merchant dan customer.

Sehingga dengan hal tersebut, maka asas kebebasan berkontrak sangat tampak dalam kontrak e-commerce.

Kontrak dalam e-commerce merupakan suatu hasil dari kesepakatan antara para pihak yang terlibat didalamnya, meskipun dalam kenyataannya kontrak tersebut bukanlah merupakan hasil negosiasi yang berimbang antara kedua belah pihak, namun suatu bentuk kontrak yang dapat dikategorikan sebagai kontrak baku dimana kontrak telah ada sebelum ada suatu kesepakatan, yang mana pihak salah satu pihak menyodorkan kepada pihak yang lainnya yang kemudian pihak yang lain cukup menyetujui kontrak tersebut, sehingga berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia meman tapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian.

Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Seseorang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis.

Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it). Asas

kebebasan berkontrak (contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menen tukan “apa” dan “dengan siapa”

perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan mengikat, sehingga dengan adanya asas kebebasan berkontrak serta sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, maka para pihak dalam e-commerce bebas untuk menentukan isi dari kontrak yang disepakati yang pada akhirnya akan mengikat bagi kedua belah pihak.

b. Asas Konsensualisme (persesuaian kehendak) Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Hukum Undang-Undang Hukum Perdata, dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan istilah “semua” yang menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Konsensual artinya perjanjian itu terjadi atau ada sejak terjadinya kata sepakat antara para pihak, dapat diartikan bahwa perjanjian tersebut sah dan mempunyai akibat hukum sejak terjadinya kesepakatan antara para pihak mengenai isi dari perjanjian yang dimaksudkan. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan kata sepakat merupakan salah satu syarat sahnya suatu perjanjian, sehingga antara para pihak haruslah sepakat melakukan suatu perjanjian.

Kesepakatan dalam suatu perjanjian akan menimbulkan adanya akibat hukum berupa hak dan kewajiban antara para pihak, kata sepakat ini dapat terjadi secara lisan saja, sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan kesepakatan secara lisan maka perbuatan tersebut diakui oleh

(9)

KUHPerdata dan dapat dituangkan dalam bentuk tulisan baik berupa akta atau perjanjian tertulis sesuai yang dikehendaki oleh para pihak yang dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Dalam e-commerce kontrak yang terjadi antara merchant dengan customer bukan hanya sekedar kontrak yang diucapkan secara lisan, namun suatu kontrak yang tertulis, dimana kontrak tertulis dalam e-commerce tidak seperti kontrak konvensioanal yang menggunakan kertas, melainkan suatu bentuk tertulis yang menggunakan data digital atau digital message atau kontrak paperless, yang mana kehendak untuk mengikatkan diri dari para pihak ditimbulkan karena adanya persamaan kehendak, kontrak dalam e-commerce terjadi ketika merchant menyodor kan form yang berisi mengenai kontrak dan customer melakukan persetujuan terhadap isi kontrak tersebut dengan memberikan check atau menekan tombol accept sebagai tanda persetujuan. Sehingga hal tersebut menunjuk kan adanya persamaan kehendak antara merchant dengan customer.

e. Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pucta Sunt Servanda) Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Asas Kekuatan Mengikat (Asas Pucta Sunt Servanda) dapat ditemukan di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yaitu:

“setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Isi pasal tersebut dapat menjelaskan bahwa perjanjian yang dibuat mengikat para pihak yang membuat perjanjian saja bukan pihak lain

yang tidak terkait dalam perjanjian tersebut, dengan adanya perjanjian yang telah disepakati maka tidak ada alasan para pihak untuk tidak melakukan prestasi. Jika salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak melakukan kewajibannya, maka dapat menimbulkan kerugian di pihak lain dan hal tersebut disebut wanprestasi. Pihak yang dirugikan dalam wanprestasi dapat menuntut ganti kerugian atas tidak terlaksana prestasi. Kontrak e- commerce terjadi karena adanya kesepakatan antara merchant dengan customer mengenai apa yang disepakati, yang berarti bahwakesepakatan tersebut akan menimbulkan kewajiban hukum yang tidak bisa dielakkan oleh para pihak.

Kewajiban tersebut mengikat para pihak untuk melakukan prestasinya, dengan adanya kontrak yang telah disepakati oleh pihak customer dengan pihak merchant maka kontrak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak, dan berlaku sebagai undang-undang bagi keduanya.

f. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

Kepastian hukum merupakan konsekuensi dari adanya asas yang lain. Adanya asas Pucta Sunt Servanda dimana akan menciptakan kekuatan mengikat antara pihak yang melakukan perjanjian yang melakukan perbuatan hukum berdasarkan atas KUHPerdata, maka perjanjian yang mereka buat akan menjadi undang-undang bagi kedua belah pihak. Mengenai masalah kepastian hukum, pihak Merchant telah menegaskan pada Your User Agreement bagian Resolution of Disputes bahwa untuk penyelesaian apabila terjadi sengketa di

(10)

kemudian hari dapat ditempuh dengan cara yaitu, Pertama, Law and Forum for Disputes, dimana jika mengguna kan cara ini maka penyelesaian sengketa menggunakan hukum negara bagian Califor nia, Amerika Serikat. Kedua, Arbitration Option, jika dengan pilihan ini maka penyelesaian sengketa menggunakan jalur arbitrase (alternative dispute resolution), dengan adanya pilihan hukum ini tentu saja memberikan kepastian hukum terhadap para pihak dalam e-commerce

g. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yaitu melaksanakan kewajiban masingmasing untuk memperoleh hak sebagai konsekuensinya. Pihak pertama akan melakukan prestasi untuk pihak kedua, dan pihak pertama akan mendapatkan hak dari pihak kedua, demikian sebaliknya. Dalam e-commerce pihak customer diharuskan memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh pihak merchant, ketika hal tersebut telah dilaksankan maka pihak merchant pun akan melaksanakan kewajibannya melayani keinginan customer sepanjang sesuai dengan apa yang disyaratkan, hal ini tentu saja menunjukan adanya keseimbangan.

2.1.Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce

Konsumen dalam transaksi e-commerce memiliki resiko yang lebih besar daripada penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena karakteristik dari transaksi e-commerce itu sendiri, yakni dalam transaksi e-commerce tidak terjadi pertemuan secara fisik antara konsumen dengan

penjualnya yang kemudian dapat menimbulkan

berbagai permasalahan.

Berikut akan dijelaskankan berbagai permasa lahan yang penting seputar transaksi e-commerce dan pengaturan permasalahannya. Permasalahan tersebut sebagai berikut (Onno,2000).

1. Privasi

Pengertian privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality), privasi merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan sendiri, hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan dalam hal apa saja informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan. Pada umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu privasi mengenai pribadi seseorang, privasi dari data seseorang dan privasi atas komunikasi seseorang.

Permasalahan yang muncul dalam transaksi e- commerce adalah pelanggaran terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut data pribadi, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau atas pelanggan-pelanggan

dari suatu perusahaan.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang, hal ini diatur dalam pasal 26 disebutkan bahwa:

1 Kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus

(11)

dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

2 Setiap Orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat ditemui dalam penjelasannya, yakni:

a. Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan.

b.Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai.

c. Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.

Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UUITE sudah cukup memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup luas, juga memberikan hak mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas penggunaan data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).

2. Otensitas Subyek Hukum Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah. Masalah otensitas para subyek hukum dalam transaksi e-commerce sangat penting karena menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce.

Pasal 1 angka 11 lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik.

Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi,

pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata lain CA bertugas untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan pengguna dan pelanggan sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan pengguna dan pelanggan adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi berbasis computer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:

1. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.

2. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar individu dengan individu yang akan saling menjual barang.

3. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.

4. Consumer To Consumer (C2C), merupakan transaksi dimana konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumen lainnya.

(12)

Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliannya disalah satu situs lelang.

5. Costumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.(Yahya,1986).

Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan jual beli biasa, sebagai berikut:

1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui webs ite pada Internet.

Penjual atau pelaku usaha menyediakanstrorefront yang berisi catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan jual beli melalui took online ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.

Penawaran dalam sebuahwebsite biasanya menampikan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilairating ataupoll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang

berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui internet tersebut.

2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan melaluie-m ail, karena penawaran hanya ditujukan sebuahe-m ail tersebut yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membukawebsite yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.

3. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui

(13)

fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran adalah sebagai berikut:

a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan intitusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.

b. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang nasionalnya.

c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk.

Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem pembayaran melalui kartu kreditonline serta sistem pembayaran check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account to account atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual.(Mariam,1983).

Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk dilakukan.

4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya

barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan pembeli. Berdasarkan proses transaksi secara elektronik yang telah diuraikan di atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Pasal 15 Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UUITE) menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi sebagaimana mestinya.

penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggaraan system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik secara minimum, yang harus dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem elektronik adalah:

1. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;

2. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses dari

(14)

informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

3. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

4. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

5. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara berkelanjutan (Halim,2005).

Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga Sertifikasi keandalan. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah. Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”.

Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang melakukan pelanggaran

ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan elektronik tersebut.

3. Simpulan dan Saran 3.1.Simpulan

Berdasarkan paran diatas, dapat disimpulkan:

1. Kontrak dalam perdagangan melalui internet (e- commerce) belum diatur di dalam Buku III KUHPerdata, pengaturan terhadap kontrak perjanjian dala e-commerce dapat digunakan aturan yang berlaku secara umum. Syarat kecakapan termasuk dalam syarat subyektif dimana suatu syarat meskipun tidak terpenuhi dalam perjanjian tidak menyebabkan perjanjian atau kontrak menjadi tidak sah, namun perjanjian atau kontrak tersebut dapat dimintakan pembatalan. Selain itu kontrak dalam e-commerce juga telah memenuhi asas-asas dalam perjanjian sehingga dengan adanya pemenuhan terhadap syarat sahnya perjanjian menurut KUHPerdata dan asas-asas perjanjian maka Kontrak dalam e- commerce adalah sah dan dapat dikenakan aturan KUHPerdata sebagai pengaturnya.

2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) telah mampu memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat

(15)

dalam ketentuan-ketentuan UUPK dan UUITE dimana kedua peraturan tersebut telah mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu transaksi e-commerce, penggunaan CA (Certification Authority), dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce.

Walaupun UUPK memiliki kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh UUITE dan berbagai ketentuan perundang-undangan lainnya.

3.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan adalah:

1. Lembaga yang berwenang membentuk undang- undang hendaknya memperhatikan kebiasaan yang terjadi pada kontrak dalam dunia maya, yaitu mengenai batas umur kedewasaan untuk dapat melakukan transaksi bisnis dalam ecommerce.

2. Pelaku usaha atau merchant perlu meningkatan keamanan webstore yang dimiliki termasuk juga keamanan terhadap jaringan internet yang digunakan sebagai antisipasi terhadap meningkatnya transaksi e-commerce serta terhadap ancaman kejahatan yang mengancam e-commerce itu sendiri.

3. Konsumen diharapkan berhati-hati dalam melakukan transaksi dalam e-commerce serta memeperhatikan keamanan yang kelak dapat dijadikan sebagai alat bukti.

4. Daftar Rujukan

Muhammad Abdulkadir. 1986. Hukum Perjanjian.

Penerbit Alumni. Bandung.

Abdul Halim Barakatullah dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E- Commerce Studi Sistem Keamanan Dan Sistem Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Penerbit Alumni, Bandung.

Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Hukum Perdata Buku III dengan Penjelasan, Penerbit Alumni, Bandung.

Sutan Remy Sjahdeini 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Munir Fuady, 1999, Hukum Kontrak Dari Sudut Hukum Bisnis, PTCitra Aditya Bakti, Bandung

Onno W. Purbo, 2000, Mengenal E-Commerce, PT Elek Media Komputindo, Jakarta.

Rowzkoski. M.E. 1989. Busines Law, Case and Policy. Edisi II. Illnois:Scott Foresman and Company

Subekti. 2002. Pokok-Pokok Hukum Perdata.

Intermasa, Jakarta.

Shohib. Muslim. 2016. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Aditya Media Publishing;Malang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetbook).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

.

Referensi

Dokumen terkait

Ija krong songket (kain songket aceh warna merah dan emas).. Siellieweu meutunjong (celana panjang khas

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Amir

Di dalam Laporan Praktek Kerja dan Tugas Akhir tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam

Hasil penelitian menunjukan bahwa Jaringan syaraf tiruan untuk Pengenalan pola menggunakan metode LVQ dan wavelet haar , wavelet daubechies , wavelet symlet , dan

Oleh karena itu sebagai penyelesaian dari sisi Desain Komunikasi Visual, dirancang environmental graphic yang dapat memperbaiki arus pengunjung di Pasar Baru

disamping meningkatkan efisiensi juga menghemat tenaga dan menaikkan fleksibilitas 'penjad- watan sesuai dengan kebutuhan tanaman ( Buck et·al., 1982). Memperhatikan

generally refer to taboo subject which is also socially, culturally or religously.. Before going further to the analysis of Swear and Taboo words in the Antologi Rasa

mencegah kejadian penyakit vaskuler yang lain pada pasien yang mengalami stroke iskemik atau TIA dan diberikan setelah fase akut stroke, baik yang sebelum stroke