• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya kontrak atau perjanjian berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar-menawar. Pendek kata, pada umumnya perjanjian bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui perjanjian. Melalui perjanjian, perbedaan tersebut diakomodasi dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam perjanjian bisnis, pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak terakomodasi melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.

Kebebasan berkontrak yang merupakan „roh‟ dan „nafas‟ sebuah kontrak atau perjanjian, secara implisit memberikan panduan bahwa dalam berkontrak pihak-pihak diasumsikan mempunyai kedudukan yang seimbang. Dengan demikian, diharapkan akan muncul kontrak yang adil dan seimbang pula bagi para pihak. Namun demikian dalam praktik masih banyak ditemukan model kontrak standar (kontrak baku) yang cenderung dianggap berat sebelah, tidak seimbang, dan tidak adil. Kontrak yang demikian seringkali diibaratkan dengan pertarungan antara “David vs Goliath”, dimana berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak yang mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan modal atau dana, teknologi maupun skill) – yang diposisikan sebagai Goliath,

(2)

2 dengan pihak yang lemah bargaining positionnya – yang diposisikan sebagai David.

Dengan demikian, pihak yang lemah bargaining positionnya hanya sekedar menerima segala isi kontrak dengan terpaksa (taken of granted), sebab apabila ia mencoba menawar dengan alternatif lain kemungkinan besar akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan. Jadi hanya ada dua alternatif pilihan bagi pihak yang lemah bargaining positionnya untuk menerima atau menolak (take it or leave it).

Fenomena adanya ketidakseimbangan dalam berkontrak sebagaimana tersebut dapat dicermati dari beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk standar atau baku yang di dalamnya memuat klausul- klausul yang isinya (cenderung) berat sebelah. Dalam praktik pemberian kredit di lingkungan perbankan, misalnya terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur kemudian, atau klausul yang membebaskan bank dari kerugian nasabah sebagai akibat tindakan bank. Lebih parah lagi adanya praktik-praktik liar bank gelap atau rentenir yang dalam kontrak atau perjanjian dengan nasabahnya memberikan bunga tinggi dalam masa pembayaran atau jatuh tempo yang singkat, sasaran bank gelap atau rentenir itu adalah mereka yang datang dengan terpaksa dikarenakan tidak ada alternatif lain sebagai pemberi modal atau dana pada mereka, walau dengan resiko bunga yang amat tinggi.

Menyikapi hal tersebut di atas tentunya diperlukan sikap dan pemahaman yang obyektif serta komprehensif dalam menilai isi kontrak, terutama terkait dengan klausul-klausul kontrak yang dianggap berat sebelah. Seringkali terjadi kesalahan persepsi mengenai eksistensi kontrak yang pada akhirnya menjebak dan menyesatkan penilaian yang obyektif, khususnya mengenai pertanyaan, “Apakah suatu kontrak itu seimbang atau tidak seimbang berat sebelah”. Banyak pihak

(3)

3 dengan mudah terjebak untuk menyatakan suatu kontrak itu berat sebelah atau tidak seimbang, hanya berdasarkan pada perbedaan status masing-masing pihak yang berkontrak. Namun pandangan tersebut tidak seluruhnya salah, bahkan dalam beberapa hal harus diakui bahwa dalam suatu kontrak sering terdapat ketidakseimbangan dan ketidakadilan manakala terdapat bargaining position yang berbeda, khususnya apabila terkait dengan kontrak konsumen. Namun demikian, kiranya akan lebih fair dan obyektif apabila menilai keberadaan suatu kontrak terutama dengan mencermati substansinya. Perdebatan mengenai ada atau tidaknya keseimbangan posisi para pihak pada dasarnya kurang relevan untuk dikaitkan dengan kontrak komersial. Dimensi kontrak komersial yang lebih menekankan pada aspek penghargaan terhadap kemitraan dan kelangsungan bisnis, tidak lagi berkutat pada keseimbangan matematis. Dimensi kontrak komersial justru lebih menekankan pada proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban di antara pelaku-pelakunya.

Dengan diterimanya prinsip-prinsip universal seperti iktikad baik dan transaksi yang adil atau jujur (kepatutan dan keadilan) dalam praktik bisnis, membuktikan bahwa yang diutamakan adalah memberikan jaminan bahwa perbedaan kepentingan di antara para pihak telah diatur melalui mekanisme pembagian beban kewajiban secara proporsional, terlepas berapa proporsi hasil akhir yang diterima dari para pihak.

Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi para yuris untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak atau perjanjian yang saling menguntungkan para pihak, di satu sisi memberikan kepastian hukum dan di sisi lain memberikan keadilan. Meskipun disadari untuk memadukan kepastian hukum dan keadilan, konon merupakan perbuatan yang mustahil, namun melalui instrument kontrak atau perjanjian yang mampu mengakomodasi perbedaan kepentingan secara proporsional, maka dilema pertentangan semu antara kepastian

(4)

4 hukum dan keadilan tersebut akan dapat dieliminasi. Bahkan akan menjadi suatu keniscayaan terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak.

Urgensi pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsung secara proporsional bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau bahkan pada akhirnya justru merugikan pihak yang berkontrak.

Tentunya untuk menganalisis secara lebih cermat mengenai seluk beluk hubungan para pihak dalam kontrak komersial atau perjanjian diperlukan suatu suatu metode pengujian terhadap eksistensi suatu kontrak sebagai proses yang sistematis dan padu. Keterpaduan asas-asas hukum kontrak, termasuk di dalamnya asas proporsionalitas, merupakan pisau analisis untuk membedah eksistensi kontrak yang dibuat para pihak. Tentunya sudah bukan waktunya lagi untuk berkutat pada dilema semu ketidakseimbangan atau ketidakadilan berkontrak, tetapi seyogyanya lebih difokuskan pada bagaimana perbedaan kepentingan para pihak dapat diatur sedemikian rupa secara proporsional.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka dalam penelitian dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

2.1 Bagaimana kedudukan surat perjanjian hutang piutang, bila ternyata salah satu pihak (debitur) meninggal dunia sebelum jatuh tempo (masa pelunasan hutang piutang habis), sedangkan debitur tersebut memiliki Ahli Waris, namun tanpa sepengetahuan Ahli Waris tersebut, pihak kreditur telah mengambil alih kepemilikan obyek jaminan, seolah-olah obyek jaminan tersebut telah dijual kepada kreditur?

(5)

5 2.2 Apakah sah transaksi yang dilakukan kreditur dengan pihak ketiga, apabila tanpa sepengetahuan Ahli Waris debitur, kreditur langsung menguasai obyek jaminan hutang piutang, mengambil alih kepemilikan obyek jaminan, kemudian menjualnya ke pihak ketiga serta membalik nama kepemilikan menjadi pihak ketiga, adapun kreditur tersebut menggunakan surat kuasa mutlak dari debitur (orang yang sudah meninggal) untuk menjual obyek jaminan tersebut dengan menyertakan surat pengikatan jual beli sebagai dasar transaksi jual beli, yang secara bersamaan diterbitkan dengan surat perjanjian hutang piutang, sedangkan selama ini sebelum debitur meninggal dunia sudah beberapa kali membayar bunga berikut angsurannya?

2.3 Apakah sah apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, namun tetap dipaksakan sehingga hubungan hukum tersebut justru menimbulkan kerugian orang lain?

3. Penjelasan Judul

Berdasarkan judul Skripsi di atas diketahui bahwa Skripsi ini membahas tentang Putusan Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Tinggi Surabaya dan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dipandang secara yuridis normatif (kajian umum normatif), sesuai perundang-undangan yang berlaku dalam Hukum Perdata, yaitu:

3.1 Menurut tinjauan yuridis normatif telah diketahui bahwa salah satu sebab

“berakhirnya kuasa” diantaranya adalah bila salah satu pihak meninggal dunia. Pasal 1813 BW menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak, dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada Ahli Waris. Jika hubungan itu hendak diteruskan oleh Ahli Waris, maka harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak,

(6)

6 penegasan tertulis oleh Ahli Waris yang berisi pernyataan melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.

3.2 Dan perlu diingat juga tentang larangan yang dimuat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, bahwa Notaris dan PPAT dilarang memberi kuasa mutlak dalam transaksi jual beli tanah. Pemilik tanah dilarang memberi kuasa mutlak kepada kuasa untuk menjual tanah miliknya. Alasan larangan itu dijelaskan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2584 K/Pdt/1986, tanggal 14 April 1988, yang menyatakan:

“Surat Kuasa Mutlak mengenai jual beli tanah, tidak dapat dibenarkan karena dalam praktik sering disalahgunakan untuk menyelundupkan jual beli tanah”.

Sehingga perikatan jual beli dengan surat kuasa mutlak atas obyek jaminan dalam perjanjian hutang piutang adalah perbuatan melanggar hukum, sehingga segala hubungan hukum yang terjadi diantara keduanya adalah tidah sah, cacat dan batal demi hukum.

3.3 Berdasarkan Pasal 1337 BW, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus berdasarkan kausa yang halal, dan suatu perjanjian dilarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum. Dan larangan dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak terlepas dari ancaman batal atau batal demi hukum, artinya setiap yang dilarang pasti berakibat batal atau batal demi hukum. Begitu juga, setiap tindakan atau perbuatan yang batal atau batal demi hukum, dikarenakan melanggar aturan yang digariskan undang-undang atau akibat melakukan perbuatan melawan hukum.

Dalam kasus Perdata hutang piutang ini, debitur meninggal dunia sebelum jatuh tempo (waktu pelunasan hutang habis), sedang dari pihak Ahli Waris telah beriktikad baik untuk mengambil alih kewajiban debitur, dengan cara melunasi

(7)

7 hutang debitur kepada kreditur, namun iktikad baik Ahli Waris debitur tersebut diabaikan oleh kreditur. Hingga akhirnya Ahli Waris harus memakai jalur hukum untuk merebut kembali haknya dari kreditur atas obyek jaminan hutang piutang debitur kepada kreditur.

4. Alasan Pemilihan Judul

Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang ini semakin banyak para sarjana hukum, semakin banyak pula perkara-perkara hukum yang justrus semakin rumit. Banyak pelanggaran terjadi justru dilakukan oleh mereka yang sebenarnya tahu akan aturan main dalam Ilmu Hukum.

Adapun alasan pemilihan judul Skripsi ini tidak lain adalah:

4.1. Karena pada saat ini keluarga saya sedang mengalami masalah hukum yang berkaitan dengan hukum perdata tentang kasus hutang piutang yang berubah menjadi pengikatan jual beli, yang mana perjanjian hutang piutang secara bersamaan dibuat pada waktu yang sama, sehingga terkesan adanya rekayasa terhadap akta pengikatan jual beli tersebut yang menggunakan surat kuasa mutlak untuk menjual. Oleh sebab debitur sudah meninggal dunia, namun sepeninggal beliau masalah baru justru muncul dengan adanya penguasaan sekaligus pengalihan hak kepemilikan obyek jaminan hutang piutang, yang pada akhirnya sangat merugikan keluarga kami.

4.2. Karena ingin tahu secara detail sudah sampai sejauh mana posisi pihak kami secara hukum dalam perkara perdata yang sedang kami hadapi saat ini, untuk bisa menang dalam perkara ini berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada, serta berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

5. Tujuan Penelitian

Penulisan Skripsi ini secara umum memiliki tujuan sebagai berikut:

(8)

8 5.1. Membangun sikap kehati-hatian dan konsisten dalam kebebasan berkontrak secara proporsional, lebih mengedepankan aturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menyalahinya, agar tidak terjadi kegagalan pelaksanaan pertukaran hak dan kewajiban di dalam berkontrak, sehingga terhindar dari melakukan perbuatan melanggar hukum.

5.2. Agar para pihak yang berkontrak atau yang mengikatkan diri dalam suatu hubungan hukum, memiliki kesadaran yang tinggi untuk memenuhi hak dan kewajibannya dengan didasari asas iktikad baik, sehingga para pihak akan terhindar dari praktek wanprestasi atas kontrak atau perjanjian yang telah disepakati bersama. Dengan adanya asas iktikad baik dalam pelaksanaan kebebasan berkontrak, dimaksudkan agar perjanjian yang dibuat dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan, meliputi semua yang dapat dirasakan dan diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma obyektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subyektifitas para pihak.

6. Manfaat Penelitian

Penulisan Skripsi ini sangatlah bermanfaat bagi kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umum.

Adapun manfaat yang paling mendasar dari penulisan Skripsi ini adalah:

6.1. Saya menjadi lebih paham akan kasus hukum perdata, baik yang terjadi secara normatif maupun empiris.

6.2. Penulisan skripsi ini bisa menjadi sebuah sumbangan pemikiran terhadap kasus hukum, terutama hukum perdata agar pelaku hukum lebih profesional dalam melakukan hubungan hukum, lebih mengedepankan prinsip kehati- hatian, asas proporsionalitas, asas iktikad baik dan memperhatikan rambu- rambu hukum yang berlaku di Indonesia

(9)

9 Beranjak dari pemahaman mengenai iktikad baik, kiranya dalam menjalankan aktifitasnya para pihak yang berkontrak tidak boleh merugikan pihak lain, serta tidak memanfaatkan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri. Dengan demikian, kontrak tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak, namun hakim dapat melakukan intervensi terhadap kebebasan berkontrak para pihak dengan mendasarkan pada asas iktikad baik, menafsirkan isi kontrak atau perjanjian di luar kata-kata yang telah tercantum (boleh ditambah, diperluas), bahkan isinya dapat ditetapkan secara bertentangan dengan kata-kata itu. Oleh karenanya, kontrak atau perjanjian tidak hanya ditetapkan oleh kata-kata yang dirumuskan oleh para pihak, melainkan juga oleh keadilan dan iktikad baik.

7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini memuat tentang:

7.1. Tipe Penelitian

7.2. Pendekatan Penelitian 7.3. Langkah Penelitian

7.1. Tipe Penelitian: Normatif

Penelitian hukum merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu hukum yang muncul tersebut. Selain itu penelitian hukum juga merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan terhadap satu atau beberapa metode penelitian terkait erat dengan

(10)

10 perumusan masalah, obyek yang diteliti serta tradisi keilmuan itu sendiri. Pilihan terhadap metode yang digunakan melakukan analisis terkait dengan keperluannya, yaitu keperluan akademis dan keperluan praktis. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian untuk kepentingan akademis, maka terkait dengan substansinya, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif..

Penelitian hukum normatif digunakan dalam analisis penulisan Skripsi ini, karena dilandasi oleh kharakter khas Ilmu Hukum itu sendiri yang terletak pada metode penelitiannya, yaitu metode penelitian yang bersifat normatif hukum. Metode ini digunakan untuk melakukan analisis terhadap peraturan perundangan, yurisprudensi (Putusan Pengadilan – Mahkamah Agung Republik Indonesia), maupun kontrak-kontrak.

7.2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian hukum ini diperlukan metode pendekatan yang dimaksudkan untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini meliputi:

7.2.1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) 7.2.2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

7.2.1. Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) terutama difokuskan pada ketentuan BW yang berlaku di Indonesia, dengan cara menelaah semua perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ada dalam penelitian. Pendekatan ini mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya, atau antara undang-undang dengan

(11)

11 Undang-undang Dasar. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi.

7.2.2. Sedang Pendekatan Kasus (Case Approach) dilakukan untuk menganalisis kasus-kasus yang diputus oleh Pengadilan – Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang bersangkutan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah menjadi Putusan Pengadilan – Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan mempunyai kekuatan yang tetap. Kasus tersebut dapat yang terjadi di Negara Indonesia atau di Negara lainnya. Yang menjadi kajian pokok di dalam Pendekatan Kasus ini adalah ratio detidenti atau reasoning, yaitu Pertimbangan Pengadilan – Mahkamah Agung Republik Indonesia, untuk sampai pada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktek atau keperluan akademis ratio detidenti sangat berguna dan merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi bagi pemecahan isu hukum.

7.3. Langkah Penelitian

Penelitian hukum ini menggunakan dua sumber hukum, yaitu sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder. Selanjutnya dijelaskan yang dimaksud dengan sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, meliputi:

7.3.1. Bahan hukum primer, meliputi: peraturan perundangan-undangan (BW, Akta Kontrak, Instruksi Mentri Dalam Negeri, dan Putusan Pengadilan – Mahkamah Agung Republik Indonesia).

7.3.2. Bahan hukum sekunder, meliputi: doktrin, textbooks, jurnal, serta sumber-sumber lain yang berkaitan dengan hukum kontrak atau hukum perjanjian.

(12)

12 8. Sistematika Pertanggungjawaban

Sistematika penelitian Skripsi ini disusun dalam 4 (empat) bab, yang dimulai dengan sistematika:

BAB I: Bab ini menjelaskan secara umum mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan judul, alasan pemilihan judul, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pertanggungjawaban. Uraian dalam sistematika BAB I merupakan dasar pijakan bagi penelitian Skripsi sekaligus mengantar pada pembahasan bab-bab berikutnya.

BAB II: Bab ini berisi telaah mengenai “Asas Proporsionalitas Dalam Berkontrak” berdasarkan Hukum Perdata (BW) yang berlaku di Indonesia”. Bab ini beranjak dari pemikiran bahwa hukum dalam berkontrak merupakan bingkai aturan main bagi para pelaku bisnis dalam menuangkan hak dan kewajibannya. Keterikatan para pihak dalam berkontrak secara filosofis didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan. Oleh karena itu, dalam BAB II ini akan dibahas aspek filosofis keadilan berkontrak, makna dan fungsi asas proporsionalitas dalam memberikan keadilan yang menjadi landasan pertukaran hak dan kewajiban para pihak. Juga dianalisis hubungan antar rasa-asas hukum kontrak.

BAB III: Bab ini membahas Perjanjian dan Kontrak tentang isu hukum yang dihadapi berkaitan dengan Judul Skripsi ini. Saya akan mengurainya sesuai dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.

BAB IV: Bab ini merupakan penutup rangkaian telaah dalam penulisan Skripsi ini. BAB IV berisi kesimpulan serta saran terhadap hasil analisis yang dilakukan. Kesimpulan merupakan intisari dari pembahasan terhadap permasalahan (isu hukum) yang diajukan

dalam penulisan Skripsi ini, sedangkan saran merupakan bentuk kristalisasi pemikiran promovendus sebagai usulan terhadap kesimpulan yang ada.

(13)

13 BAB II

ASAS PROPORSIONALITAS DALAM BERKONTRAK

1. Hakikat Keadilan Dalam Kontrak

1.1. Teori Keadilan Sebagai Landasan Hubungan Kontraktual

Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menuntut bentuk pertukaran yang adil. Oleh karena itu, sangat tepat dan mendasar apabila dalam melakukan analisis tentang asas proporsional dalam kontrak justru dimulai dari aspek filosofis keadilan berkontrak.

Pertanyaan seputar apa itu “keadilan” adalah sebuah pertanyaan yang acapkali kita dengar, namun pemahamannya yang tepat justru rumit bahkan abstrak, terlebih apabila dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang demikian kompleks.

Keadilan menurut Aristoteles artinya adalah “Berbuat kebajikan, atau dengan kata lain, keadilan adalah kebajikan yang utama”. Masih menurut Aristoteles,

“Keadilan adalah untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional”.

Keadilan menurut Upianus adalah “Kehendak yang terus-menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya, atau memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya”. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya. kemujian pengertiannya dijabarkan oleh Justianus, bahwa “Keadilan merupakan peraturan-peraturan dasar dari hukum yang terkait dengan hidup secara patut, tidak merugikan orang lain dan member pada orang lain apa yang menjadi bagiannya”.

(14)

14 Cicero berpendapat bahwa orang dinilai “baik” dilihat dari perilaku keadilannya.

Menurutnya ada 3 (tiga) kebajikan moral, yaitu: keadilan, pengendalian diri dan sopan santun.

Sedangkan Thomas Aquinas, dalam hubungannya dengan keadilan mengajukan 3 (tiga) struktur fundamental (hubungan dasar), yaitu:

1. Hubungan antar individu;

2. Hubungan antar masyarakat sebagai keseluruhan dengan individu;

3. Hubungan antar individu terhadap masyarakat secara keseluruhan.

Masih menurut Thomas Aquinas, bahwa keadilan distributif pada dasarnya merupakan penghormatan terhadap person manusia dan keluhurannya. Dalam konteks keadilan distributif, keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata- mata dengan penetapan nilai yang actual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan yang lainnya. Ada 2 (dua) bentuk kesamaan, yaitu:

a. Persamaan proporsional;

b. Kesamaan kuantitas atau jumlah.

Masih menurut Thomas Aquinas, bahwa penghormatan terhadap person dapat terwujud apabila ada sesuatu yang dibagikan / diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. Dengan dasar itu, maka pengakuan terhadap person harus diarahkan pada pengakuan terhadap kepatutan (equity), kemudian pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia.

Sementara itu pembagian keadilan menurut pengarang modern, antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh John Boatright dan Manuel Velasques, yaitu:

a. Keadilan distributif, mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, dimana benefits dan burdens harus dibagi secara adil;

b. Keadilan retributif, berkaitan dengan terjadinya kesalahan, dimana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil;

(15)

15 c. Keadilan Kompensatoris, menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, dimana orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Dari beberapa pembedaan tentang keadilan tersebut di atas, keadilan distributif dipandang segala awal mula segala jenis teori keadilan. Dinamika keadilan yang berkembang di masyarakat dalam telaah para ahli pada umumnya berlandaskan pada teori keadilan distributif, meskipun dengan berbagai versi dan sisi pandang masing-masing. Melakukan telaah kritis mengenai hubungan kontraktual para pihak, tentunya harus dilandasi pemikiran proporsional yang terkandung dalam keadilan distributif. Keadilan dalam berkontrak lebih termanifestasikan apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajiban secara proporsional.

Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan aspek keadilan dalam kontrak atau perjanjian, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik., artinya analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi kontra prestasi), sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual.

1.2. Hubungan antara Keadilan dan Equity (Kepatutan)

Menurut Plato dan Aristoteles, equity diperlukan untuk melengkapi keberlakuan keadilan. Aristoteles berpendapat bahwa kepatutan (equity) merupakan penjaga dari pelaksanaan undang-undang, karena equity terletak di luar undang-undang (hukum) yang menuntut keadilan dalam keadaan dan situasi tertentu.

Menurut Duynstee, bahwa equity adalah sebagai kebajikan yang mendorong manusia untuk menggunakan apa yang menjadi haknya untuk berbuat secara rasional 9menurut akal sehatnya).

(16)

16 Sedangkan GW. Paton menegaskan bahwa equity dalam pelaksanaannya tidak berlawanan dengan hukum, bahkan pengaruhnya semakin kuat dalam penyelesaian sengketa ketika aspek hukum tidak mengaturnya.

Dalam praktik tidak jarang dijumpai wujud keadilan yang seharusnya berwatak kebajikan, ternyata justru menjadi bentuk pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri.

Karakter keadilan adalah obyektif, zakelijk dan umum, berarti keadilan yang demikian itu mutlak, memaksa dan dalam pelaksanaanya terlalu abstrak, sehingga tidak mempertimbangkan situasi keadaan person-person serta terlalu menyamaratakan.

Kualitas individu serta kondisi-kondisi tertentu seharusnya juga menjadi perhatian dengan tanpa bermaksud mereduksi keadilan itu sendiri, tetapi lebih dari itu justru menyempurnakan keberlakuannya. Oleh karena itu, dalam praktik dan perkembangannya keadilan dikoreksi dan disandingkan dengan equity (kepatutan).

Equity tidak bermaksud untuk mengubah atau mengurangi keadilan, melainkan sebatas memberikan koreksi dan atau melengkapi keadaan individu tertentu, kondisi serta kasus tertentu. Melalui penerapan equity dalam praktek, maka maxim “summa iustitia summa iniuria” tidak akan terjadi, karena dengan adanya equity pemberlakuan nilai keadilan dalam hubungan antara individu dikembalikan pada proporsi yang sewajarnya. Hal ini dikarenakan equity sangat mempertimbangkan aspek-aspek penting yang melingkupi suatu kasus, yaitu:

a. Iktikad baik;

b. Maksud para pihak;

c. Situasi atau keadaan-keadaan.

d. Dan lain-lain.

Dalam sistem Civi Law, prinsip-prinsip equity tercakup dalam asas-asas iktikad baik, kepatutan dan kelayakan atau kepantasan. Yurisprudensi yang merumuskan penyalahgunaan hak, yang semula dibatasi pada pelanggaran undang-undang, kedian didasarkan pada hukum, dan pada perkembangan terakhir berdasarkan

(17)

17 equity. Dalam hal ini hakim dituntut untuk memperhitungkan situasi dan keadaan yang melingkupi mereka yang melakukan pelanggaran.

Pertimbangan-pertimbangan atas dasar equity ini diharapkan mengarahkan hakim pada putusan yang seadil-adilnya berdasarkan kepatutan, et aequo et bono.

Dalam lingkup BW, contoh implementasi prinsip equity tampak jelas dalam rumusan Pasal 1339 BW, yaitu:

“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan (billijkheid), kebiasaan, atau undang-undang”. (garis bawah oleh saya).

Substansi Pasal 1339 BW ini menggarisbawahi pentingnya kepatutan (equity, billijkheid) dalam kaitannya dengan keterikatan kontraktual para pihak, di samping apa yang telah disepakati dalam kontrak. Pasal 1339 BW tersebut di atas, khususnya berhubungan dengan kepatutan (billijkheid), pada umumnya dihubungkan dengan Pasal 1338 ayat 3 BW, bahwa “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.

Dalam NBW “equity” merupakan elemen paling penting dalam hubungan kontraktual para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 6: 2 NBW, yaitu

“reasonableness and equity” mempunyai hubungan yang erat dengan “good faith”

(iktikad baik tidak lain adalah kepatutan dan keadilan) yang melandasi hubungan hukum para pihak.

Contoh lain yang dapat dipandang sebagai bentuk penerapan equity dalam upayanya menegakkan keadilan dengan menilai aspek-aspek aktikad baik, maksud para pihak, kondisi atau keadaan yang ada, dapat dilihat dasi penerapan Pasal 1365 BW yang menyatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang (1) melanggar hak orang lain; (2) bertentangan dengan kewajiban

(18)

18 hukum pelaku; atau (3) bertentangan dengan kesusilaan, atau (4) bertentangan dengan kecermatan yang patut harus diperhatikan dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang lain”. (garis bawah oleh saya)

Sebelumnya Pasal 1365 BW ini diinterpretasikan secara sempit hanya sebatas perbuatan melanggar undang-undang, interpretasi ini terkesan sangat formalistic – legalistic, karena yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum hanyalah sebatas yang sudah diatur dalam undang-undang, di luar pengaturan undang- undang meskipun merugikan orang lain bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, namun setelah terjadinya Kasus Lindenbaum-Coken, melalui Putusan Hoge Road, 31 Januari 1919, NJ 161 yang mana si pelanggar hukum dikenai Pasal 1365 BW, interpretasi sempit ini justru mengakibatkan terusiknya rasa keadilan hukum masyarakat. Pada akhirnya Hoge Road sebagai benteng keadilan terakhir bagi pencari keadilan melalui terobosan baru dengan melakukan interpretasi teleologis – ekstensif terhadap Pasal 1365 BW. Interpretasi teleologis – ekstensif terhadap Pasal 1365 BW pada dasarnya merupakan penerapan prinsip equity yang akhirnya mampu memberikan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana yang diharapkan dalam lalu lintas hidup di masyarakat.

2. Makna Asas Proposionalitas

Hubungan bisnis yang terjalin di antara para pihak pada umumnya karena mereka bertujuan saling bertukar kepentingan. Roscoe Pound memberikan definisi kepentingan sebagai suatu tuntutan atau hasrat yang ingin dipuaskan manusia, baik secara individu ataupun kelompok atau asosiasi. Kerangka dasar yang digunakan Roscoe Pound adalah kepentingan-kepentingan social yang lebih luas dan yang

merupakan keinginan manusia untuk memenuhinya, baik secara pribadi, hubungan antar pribadi maupun kelompok. Atas dasar itu Roscoe Pound membedakan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum, yaitu kepentingan pribasi, kepentingan umum, dan kepentingan social atau masyarakat.

(19)

19 Dalam bisnis, pertukaran kepentingan para pihak senantiasa dituangkan dalam bentuk kontrak mengingat “Setiap langkah bisnis adalah langkah hukum‟. Ungkapan ini merupakan landasan utama yang harus diperhatikan para pihak yang berinteraksi dalam dunia bisnis. Meskipun para pihak acapkali tidak menyadarinya, namun setiap pihak yang memasuki belantara bisnis pada dasarnya melakukan langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya.

Upaya mencari makna poporsionalitas merupakan proses yang tidak mudah, bahkan seringkali tumpang tindih dalam pemahamannya dengan asas keseimbangan dan asas proporsionalitas tidak dapat dipisahkan keberadaannya dalam hukum kontrak. namun demikian, sesederhana apapun pemahaman tersebut masih dapat ditarik benang merah melalui pemahaman yang lebih komprehensif untuk membedakan keduanya.

Pemikiran mengenai asas proporsionalitas perlu dikemukakan di samping asas keseimbangan dalam kontrak. Untuk membedakan keduanya, pertama-tama dapat ditekusuri dari makna leksikal da antara kedua istilah tersebut, yaitu makna

“keseimbangan” dan “proporsionalitas”. Dalam beberapa kamus terhadap dua istilah tersebut ada yang membedakan arti, namun juga ada yang menyamakannya. untuk menemukan karakteristik serta makna “keseimbangan” dan “proporsionalitas”

dilakukan eksplorasi dan elaborasi beberapa kamus yang relevan, sebagai berikut:

a. Kamus KBBI, kata “keseimbangan” berarti keadaan seimbang (seimbang – sama berat, setimbang, sebanding, setimpal); dalam ilmu fisika diartikan sebagai keadaan yang terjadi bila semua gaya dan kecenderungan yang ada pada setiap benda atau sistem persis dinetralkan atau dilawan oleh gaya atau kecenderungan yang sama besar, tetapi mempunyai arah yang berlawanan. Sedang kata “proporsionalitas” atau “proporsional” berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, berimbang.

(20)

20 b. W. van Hoeve, menerjemahkan “evenredig” dengan seimbang, sebanding, sekadar, proporsional. “Evenredigheid” berarti keseimbangan, kesebandingan. Dalam hal ini evenredigheid disamakan dengan evenwicht yang artinya keseimbangan, kesetimbangan. Sementara itu “proportioneel”

juga diartikan seimbang, sebanding. Tampaknya pemaknaan oleh W. van Hoeve sama dengan KBBI, yakni masih menyamakan makna kedua

pengertian tersebut.

c. AB Massier dan Marjane, dalam hubungan hukum perikatan, member makna seimbang adalah menurut imbangan, dengan member contoh:

pelunasan harus dianggap berlaku untuk masing-masing utang menurut imbangan jumlah masing-masing. Sedang keseimbangan (keserasian) dengan menunjuk dasar bagi keseimbangan dan keserasian dalam perjanjian tersurat di dalam Pasal 1320 BW, hanya apabila dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian, maka tercapailah kesepakatan atau consensus yang sah antara para pihak. Untuk mempertegas pemahaman tersebut diajukan pengertian mengenai

“Ketidakseimbangan” (ketidakserasian). Untuk penerapannya hakim memperhatikan adanya indikasi tertentu yang merupakan dasar bagi kesimpulan bahwa telah terjadi penyalahgunaan keadaan yang dimungkinkan karena adanya ketidakseimbangan dan ketidakserasian kedudukan para pihak. Di sini AB Massier dan Marjane member makna yang sama untuk kata “evenredigheid” yang berarti keseimbangan, keserasian, kesebandingan. Sedangkan proporsionalitas ditunjuk pengertian Proportionalteitsbeginsel / zorgvuldigheid - yang dihubungkan dengan zorgvuldigheidsbeginsel (asas kecermatan, asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian0 dalam proses pembuktian, bahwa kecermatan yang sepatutnya ada dalam pergaulan kemasyarakatan terhadap pribadi

(21)

21 atau barang orang lain. Dalam menilai metode penyidikan yang tidak diatur undang-undang, maka hakim menguji dengan menggunakan asas kecermatan, subsidiaritas dan proporsionalitas. Namun penerapan asas ini, lebih menunjuk pada proses pembuktian untuk perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP.

Dari eksplorasi dan elaborasi beberapa kamus tersebut di atas, ternyata pengertian asas proporsionalitas masih belum utuh atau padu. Hal ini dapat ditelusuri dari:

a. Makna leksikal tersebut di atas ada yang menyamakan antara makna proporsionalitas dengan keseimbangan, sebaliknya ada juga yang membedakannya. Namun pembedaan terhadap kedua istilah tersebut belum secara tegas;

b. Keseimbangan acapkali diartikan dalam kesamaan, sebanding dalam jumlah, ukuran atau posisi. Dalam perspektif kontrak, asas keseimbangan diberikan penekanan pada posisi tawar para pihak harus seimbang. Tidak adanya keseimbangan posisi para pihak mengakibatkan kontrak menjadi tidak seimbang dam membuka peluang intervensi penguasa untuk menyeimbangkannya.

d. Asas proporsionalitas acapkali sekadar dipahami dalam konteks hukum pembuktian, meskipun pada dasarnya asas proporsionalitas harus dimaknai sebagai pembagian hak dan kewajiban menurut proporsi yang meliputi segenap aspek kontraktual secara keseluruhan.

2.1. Pemahaman Makna asas Keseimbangan

Pemahaman makna asas keseimbangan secara umum memberi makna sebagai keseimbangan posisi posisi para pihak yang berkontrak. Oleh karena itu, dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap

(22)

22 isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah). Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontraktual. Interpretasi terhadap penggunaan istilah keseimbangan terhadap kandungan substansi aturan, yaitu:

a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak, artinya dalam hubungan kontraktual tersebut posisi para pihak siberi muatan keseimbangan.

b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut.

c. Ketiga, keseimbangan seolah sekadar merupakan hasil akhir dari sebuah proses.

d. Keempat, intervensi Negara merupakan instrument pemaksa dan mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak.

e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama.

2.2. Pemahaman Makna Asas Proporsionalitas

Sementara itu, apabila dibandingkan dengan uraian di atas (mengenai ruang lingkup dan daya kerja asas keseimbangan), maka ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas tampak lebih dominan pada kontraktual yang menempatkan para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para pihak yang berkontrak yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud, apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks keseimbangan matematis, tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair. Untuk mencari makna asas

(23)

23 proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofi keadilan, artinya keadilan dapat terwujud apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima. Pada hakikatnya gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi pemaknaan asas proporsionalitas dalam hubungan kontrak para pihak.

Untuk itu dalam kajian ini, diajukan suatu criteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menemukan asas proporsional dalam kontrak, sebagai berikut:

a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para pihak yang berkontrak untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil”, melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak”, (prinsip kesamaan hak / kesetaraan hak);

b. Berlandaskan pada kesamaan / kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansikan asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para pihak yang berkontrak untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka, (prinsip kebebasan);

c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi, bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini, maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pada pertukaran yang fair, (prinsip distribusi-proporsional);

d. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait harus diukur

(24)

24 berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win-win solution.

Dengan demikian, kontrak sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun baerdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi pengakuan hak para pihak yang berkontrak. Pengakuan atas eksistensi hak para pihak yang berkontrak tersebut termanifestasikan dalam pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) tersebut harus dalam bingkai aturan main yang mempertimbangkan prinsip distribusi-proporsional.

Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai- nilai kesetaraan, kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari asas atau prinsip kecermatan, kelayakan dan kepatutan. Untuk menemukan asas proporsionalitas dalam kontrak dengan criteria atau ukuran nilai- nilai tersebut di atas, hendaknya tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan serupa angka-angka matematis. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan hasil secara matematis, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban antara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut

3. Fungsi Asas Proporsionalitas

Dalam dunia bisnis, peran sentral aspek hukum kontrak dalam membingkai pola hubungan hukum para pihak semakin dirasakan urgensinya. Disadari atau tidak, maka setiap langkah bisnis yang dilakukan oleh pelaku bisnis, pada dasarnya adalah merupakan langkah hukum, yang notabene berada pada ranah hukum kontrak.

Namun demikian masih terasa betapa lemahnya pemahaman sementara pihak, dimana hukum bisnis yang menjadi landasan seriap aktifitas bisnisnya seringkali dimaknai sebatas produk aturan yang diterbitkan penguasa.

(25)

25 Fungsi atau arti penting kontrak dalam lalu lintas bisnis dirumuskan oleh para sarjana hukum sebagai berikut:

a. Kontrak sebagai wadah hukum bagi para pihak dalam menuangkan hak dan kewajiban masing-masing (bertukar konsesi dan kepentingan).

b. Kontrak sebagai bingkai aturan main.

c. Kontrak sebagai alat bukti adanya hubungan hukum.

d. Kontrak memberikan (menjamin) kepastian hukum.

e. Kontrak menunjang iklim bisnis yang kondusif (win-win solution, efisiensi- profit).

Agar proses pertukaran kepentingan dalam kontrak berjalan fair, para pihak dituntut untuk memahami dasar-dasar hukum kontrak. Mengapa pemahaman ini diperlukan? Perlu diingat, bahwa kontrak yang dibuat atau disusun oleh para pihak pada dasarnya adalah penuangan proses bisnis ke dalam rumusan bahasa hukum (kontrak). Dengan memahami dasar-dasar hukum kontrak dimaksudkan para pihak mempunyai pedoman dalam penyusunan kontrak, karena:

1. Memberikan dasar hukum bagi kontrak yang dibuat;

2. Memberikan bingkai atau rambu-rambu aturan main dalam transaksi bisnis;

3. Sebagai batu uji atau tolok ukur eksitensi kontrak yang bersangkutan.

Fungsi asas proporsional, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak komersial:

a. Dalam tahap prakontrak, asas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan iktikad buruk;

b. Dalam pembentukan kontrak, asas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan / mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair;

(26)

26 c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati / dibebankan pada para pihak;

d. Dalam hal kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional, apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental, sehingga menganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana / kesalahan kecil. Oleh karena itu, pengujian melalui asas proporsionalitas sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain;

e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.

Dengan demikian, hubungan kontrak yang merupakan proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi asas pengakuan hak para pihak yang berkontrak. Pengakuan terhadap eksistensi hak para pihak yang berkontrak tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran hak dan kewajiban secara proporsional.

4. Hubungan Asas-asas Proporsionalitas dengan Asas-asas Pokok Hukum Kontrak a. Niewenhuis, menyebutkan 3 (tiga) asas hukum kontrak dan perkecualiannya,

dalam bukunya dengan judul Pokok-pokok Perikatan (Hoofdstukken Verbintennissenrecht):

(27)

27 (i) Asas kebebasan berkontrak (menurut bentuk dan isi) dengan perkecualian kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk) dan syarat kausa yang diperbolehkan (isi);

(ii) Asas daya mengikat kontrak (perkecualian daya pembatas iktikad baik dan overmacht);

(iii) Asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara para pihak yang berkontrak (perkecualian janji demi kepentingan pihak ketiga).

b. M. Isnaeni menyebut beberapa asas sebagai tiang penyangga Hukum Kontrak, yaitu asas kebebasan berkontrak yang berdiri sejajar dengan asas-asas lain berdasar proporsi yang berimbang, yaitu:

(i) Asas Pacta Sunt Servanda;

(ii) Asas Kesederajatan;

(iii) Asas Privity of Contract;

(iv) Asas Konsensualisme;

(v) Asas Iktikad Baik.

c. Dalam seminar tentang “Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata” yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun 1981, dinyatakan bahwa undang-undang kontrak yang baru akan dibuat berlandaskan pada asas-asas berikut:

(i) Asas kebebasan untuk mengadakan berkontrak;

(ii) Asas menjamin perlindungan bagi kelompok-kelompok ekonomi lemah;

(iii) Asas Iktikad Baik;

(iv) Asas keselarasan;

(28)

28 (v) Asas kesusilaan;

(vi) Asas kepentingan umum;

(vii) Asas kepastian hukum;

(viii) Asas Pacta Sunt Servanda.

(Tim Pengembangan Hukum Ekonomi / ELIPS)

d. Asas-asas dalam kontrak komersial menurut UNIDROIT adalah sebagai berikut:

(i) Asas kebebasan berkontrak;

(ii) Asas Iktikad Baik dan transaksi jujur;

(iii) Asas diakuinya transaksi bisnis di Negara setempat;

(iv) Asas kesepakatan melalui penawaran dan penerimaan atau melalui tindakan;

(v) Asas larangan bernegosiasi dengan Iktikad buruk;

(vi) Asas kewajiban menjaga kerahasiaan;

(vii) Asas perlindungan pihak lemah dari syarat-syarat baku;

(viii) Asas syarat syahnya kontrak;

(ix) Asas dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar;

(x) Asas contra proferentum dalam penafsiran kontrak baku;

(xi) Asas menghormati kontrak ketika terjadi kesulitan;

(xii) Asas pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa.

e. Dari berbagai asas hukum yang terdapat dalam hukum kontrak terdapat 4 (empat) asas yang dianggap sebagai soko guru hukum kontrak, yaitu:

(i) Asas kebebasan berkontrak;

Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja baik sudah ataupun belum diatur oleh Undang-undang, bebas untuk tidak mengadakan perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun dan

(29)

29 juga bebas untuk menentukan isi, syarat dan luasnya perjanjian.

Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan.

Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 BW. Pembatasan ini diberikan sebagai akibat dari:

a. Perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan ekonomi membuat orang-orang menggabungkan diri dalam bentuk usaha bersama atau membentuk usaha swasta.

b. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.

c. Adanya aliran masyarakat yang bersifat sosial ekonomi.

(ii) Asas konsensualisme;

Asas konsensualisme maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir sejak kata sepakat telah tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya Undang- undang menetapkan tetap adanya suatu formalitas tertentu. Misalnya adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk tertulis atau dengan Akta Notaris. Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu adalah dalam hal sebagai alat bukti.

(iii) Asas Pacta Sunt Servanda;

Asas ini dikenal dengan asas kekuatan mengikat kontrak, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) BW yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang- Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Hal tersebut berarti bahwa para pihak mempunyai keterikatan pada perjanjian yang mereka buat.

(iv) Asas Iktikad baik.

Asas Iktikad baik di sini adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 BW yaitu pelaksanaan perjanjian itu hendaknya berjalan dengan

(30)

30 memperhatikan norma-norma kepatutan, kesusilaan serta Undang- undang, yakni menyangkut nilai-nilai yang patut, pantas, sesuai, cocok, sopan , layak dan beradab yang ada dalam masyarakat.

(31)

31 BAB III

PERJANJIAN DAN KONTRAK

1. Istilah Perjanjian dan Kontrak

Istilah Perjanjian terkadang digunakan bersamaan dengan istilah lainnya seperti kontrak, untuk itu perlu adanya penegasan artinya, mana padanan kata atau istilah yang tepat untuk digunakan. Dikatakan demikian karena terkadang secara teoritis dan bahkan prakteknya penggunaan suatu istilah jika tidak tepat akan membingungkan dan mengaburkan arti atau konsep dasarnya, dalam arti apakah terminologi yang akan digunakan, apakah kontrak dan atau perjanjian Pembatasan demikian sangat diperlukan, dikatakan demikian, gunanya adalah untuk menyamakan persepsi tentang penggunaan istilah yang tepat dalam pembahasan materinya.

Penggunaan istilah perjanjian sebagaimana dimaksudkan di atas, apakah sama saja dengan “kontrak”, terkadang istilah itu baik dalam teori maupun prakteknya bersamaan digunakan dan adakalanya digunakan secara sendiri-sendiri, sehingga bagi pihak yang belum memahami penempatan istilah tersebut cukup membingungkan, untuk itu perlu adanya penjelasan dari segi teoritisnya. Istilah perjanjian ini, terumus dalam Bahasa Belanda dengan istilah overeenkomst, yang biasanya diterjemahkan dengan perjanjian dan atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan diadakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang diperjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukkan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang mereka perjanjikan. Artinya terjemahan istilah tersebut dapat dikatakan sama, terkadang bahkan digunakan bersamaan, hal ini disebabkan antara keduanya ditafsirkan sama, karena perjanjian itu sendiri sebenarnya juga sebagai suatu persetujuan.

Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa penggunaan istilah perjanjian dan kontrak terkadang disamakan saja, hal ini disebabkan, karena kontrak ini sebenarnya juga sebagai suatu perjanjian, karena kontrak diartikan sebagai suatu kesepakatan yang diperjanjikan. Sebaliknya perjanjian juga merupakan suatu perbuatan hukum yang pada asasnya lahir karena ada kesepakatan. Hal ini berarti perjanjian dimaksud bermakna cukup luas, dalam prakteknya biasa saja terjadi dengan cara atau bentuk lisan, sebaliknya kontrak dalam prakteknya biasanya dilakukan dalam cara atau bentuk tertulis. Melihat apa yang dikemukakan tersebut, tanpa mengurangi perbedaan berbagai istilah yang digunakan, namun sebenarnya banyak para ahli yang menyamakan penggunaan istilah dimaksud, dikatakan demikian karena pada satu sisi suatu kontrak yang diadakan menjadi kebiasaan dilakukan secara tertulis. Sebaliknya perjanjian dimungkinkan saja tidak dalam bentuk tertulis, namun pada prinsipnya padanan kedua kata tersebut sering digunakan dalam prakteknya.

(32)

32 Berkaitan dengan uraian di atas, maka untuk memahami lebih jauh, dalam uraian selanjutnya dibahas “Bagaimana pengertian kontrak dan atau perjanjian itu sebenarnya?”. Mengenai pengertian perjanjian sebagaimana dimaksudkan, sebagai patokan awal, dalam hal ini dapat dipedomani rumusan yang terdapat dalam Pasal 1313 BW, di mana rumusan dalam ketentuan Undang-undang itu tidak hanya menggunakan istilah perjanjian, tetapi dalam pasal lainnya digunakan juga istilah kontrak, seperti dikenalnya asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) BW.

Dalam Pasal 1313 BW di tegaskan bahwa suatu perjanjian adalah; “Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 BW di atas mendapat kritikan dari beberapa ahli, karena dirasakan kurang lengkap artinya terdapat beberapa kelemahannya.

Menurut Abdul Kadir Muhammad, kelemahan tersebut, antara lain: Seolah-olah perjanjian tersebut bersifat sepihak saja, sedangkan perjanjian bersifat dua pihak. Hal ini dilihat dari perumusan “….satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Perkataan “mengikatkan” di sini sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, bukan dari kedua belah pihak. Perumusan itu seharusnya “….saling mengikatkan dirinya…” sehingga dengan begitu terdapat konsensus antara pihak-pihak . Jadi, perjanjian baru akan terjadi apabila sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.

Sementara itu, perkataan “perbuatan” dalam perumusan Pasal 1313 BW mengandung pengertian menyangkut juga tindakan atau perbuatan tanpa konsensus dan termasuk juga di sini Perbuatan Melawan Hukum. Penggunaan kata yang lebih tepat adalah dengan memakai kata persetujuan. Sedangkan mengenai pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 BW juga terlalu luas. Hal ini disebabkan karena pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 BW tersebut mencakup juga pengertian perjanjian dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan yang dimaksud adalah hubungan hukum yang terjadi antara Debitur dan Kreditur yang terletak dalam lapangan hukum harta kekayaan. Demikian juga dalam rumusannya tidak menyebutkan tujuan.

Pengertian perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1313 BW tersebut tidak menyebutkan tentang apa yang menjadi tujuan diadakannya perjanjian atau untuk apa pihak-pihak saling mengikatkan diri untuk melakukan perjanjian, sehingga dapat menimbulkan pengertian yang sangat luas. (Abdul Kadir Muhammad, 1982; 77).

Berdasarkan kelemahan-kelemahan yang dikemukakan oleh Abdul Kadir Muhammad di atas, maka seharusnya rumusan tersebut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.(Ibid)

Demikian juga halnya dengan R. Setiawan menganggap perlu diadakan perbaikan mengenai pengertian perjanjian tersebut, yaitu: Perbuatan harus diartikan sebagai perbutan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.

Menambahkan perkataan “…atau saling mengikatkan dirinya…” dalam Pasal 1313 BW tersebut. Dengan demikian perumusannya menjadi: “Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

(33)

33 mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”, (R. Setiawan, 1994; 49). Dalam pada itu yang dimaksud dengan kontrak adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan diantara dua pihak atau lebih yang dapat memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum.

Dari pengertian-pengertian perjanjian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedua istilah dan pengertian tersebut pada prinsipnya tidak jauh berbeda, dikatakan demikian, karena pengertian perjanjian dan kontrak dimaksud dilahirkan karena adanya kesepakatan dan pada akhirnya menimbulkan suatu perjanjian dan melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Dalam konsep Hukum Perdata, bahwa perikatan sebagaimana dimaksudkan di atas, tidak saja dilahirkan karena adanya suatu perjanjian dan atau kontrak, tetapi juga disebabkan karena Undang-undang menyatakan bahwa suatu peristiwa dan atau perbuatan seseorang tanpa didahului adanya perjanjian / kontrak telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan. Seperti adanya Perbuatan Melawan Hukum atau melanggar hukum yang dinyatakan oleh Undang-undang telah melahirkan hubungan hukum atau perikatan (Pasal 1365 BW dan 1367 BW). Artinya orang yang melanggar hukum tersebut terikat untuk menanggung beban kerugian akibat kesalahannya.

2. Pengaturan Perjanjian

Peraturan yang dijadikan sebagai dasar hukum perjanjian adalah BW BAB II Buku III yang berjudul “Perikatan-perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”.

Secara sistematis pengaturan mengenai perjanjian dalam BW ini terdiri dari 4 (empat) bagian, yakni dari Pasal 1313 -1351 BW, yang terdiri dari:

1. Bagian pertama yang mengatur tentang ketentuan umum (Pasal 1313-1319 BW);

2. Bagian kedua yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320-1337 BW);

3. Bagian ketiga yang mengatur tentang akibat-akibat dari perjanjian (Pasal 1338-1341 BW);

4. Bagian keempat yang mengatur tentang penafsiran perjanjian-perjanjian (Pasal 1342-1351 BW).

Selain itu, terdapat beberapa ketentuan tambahan mengenai pengaturan perjanjian, yakni:

(34)

34 a. Pasal 1266 dan 1267 BAB I Buku III BW yaitu tentang perikatan-perikatan

bersyarat yang merupakan syarat-syarat putus yakni wanprestasi.

b. Pasal 1446-1456 BW tentang kebatalan dan pembatalan

Dengan demikian antara perikatan dengan perjanjian mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Hal itu dikarenakan mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III BW yang mengatur tentang Perikatan, dimana pengertian perikatan itu sendiri tidak ditegaskan pada salah satu Pasalpun. Mengenai hubungan yang erat antara perjanjian dengan perikatan ini dapat dilihat pada Pasal 1233 BW yang menyatakan : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena Undang-undang”. Hal ini berarti, perjanjian melahirkan perikatan, demikian juga halnya dengan Undang-undang yang menentukan lahirnya perikatan.

3. Subyek dan Obyek Kontrak / Perjanjian

Dalam suatu perjanjian terdapat pihak-pihak yang mengadakan atau melaksanakan perjanjian dan juga terikat dengan perjanjian tersebut. Pihak itulah yang biasa disebut dengan subjek perjanjian. Menurut Abdul Kadir Muhammad, subjek perjanjian dapat berupa: (Abdul Kadir Muhammad, 1994; 79).

(i) Manusia pribadi (Natuurlijk Persoon) (ii) Badan hukum (Recht persoon)

Jadi, dapat dikatakan bahwa setiap subyek hukum dapat menjadi subyek dalam perjanjian, dan setiap subyek perjanjian harus mampu dan berwenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam Undang-undang. Pada dasarnya, suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri, hal inilah yang biasanya disebut dengan asas pribadi (Pasal 1315 jo Pasal 1340 BW). Sedangkan para pihak tidak dapat mengadakan perjanjian yang mengikat pihak ketiga kecuali dalam apa yang disebut dengan janji guna pihak ketiga (Pasal 1317 BW).

Sementara itu, suatu perjanjian harus mempunyai obyek yang akan diperjanjikan.

Ketentuan dalam Pasal 1320 BW menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya suatu perjanjian adalah adanya hal tertentu. Ada hal tertentu inilah yang disebut dengan obyek perjanjian atau pokok perjanjian. Obyek perjanjian dapat berupa benda ataupun berupa prestasi tertentu, yakni berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud bisa juga berupa benda yang ada atau benda yang akan ada.

(35)

35 4. Unsur-unsur Perjanjian

Dalam suatu perjanjian, terdapat unsur-unsur sebagai berikut, antara lain:

(i) Para pihak yang sedikit-dikitnya dua orang.

Pihak-pihak inilah yang disebut dengan sebagai subjek perjanjian.

(ii) Ada persetujuan antara pihak-pihak itu.

Persetujuan di sini bersifat tetap, bukan sedang dalam tahap berunding.

Persetujuan tersebut ditujukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran, mengenai syarat-syarat dan mengenai obyek perjanjian.

(iii) Ada tujuan yang akan dicapai dengan diadakannya perjanjian.

Tujuan tersebut yaitu untuk memenuhi kebutuhan para pihak dalam perjanjian, dimana tujuan tersebut sifatnya tidak dilarang oleh undang-undang dan juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

(iv) Ada prestasi yang akan dilaksanakan.

Prestasi adalah kewajiban yang akan dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat yang diperjanjikan. Pada sistem hukum Anglo Saxon istilah prestasi ini biasa disebut dengan “considerans”. Dimana dengan adanya persetujuan maka akan timbul kewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi oleh para pihak dalam perjanjian.

(v) Adanya bentuk tertentu.

Bentuk di sini perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-undang yang menyatakan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.

(vi) Ada syarat-syarat tertentu.

(36)

36 Syarat-syarat tertentu ini merupakan isi perjanjian, yang mana dari syarat- syarat itu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat di sini ada yang berupa syarat pokok dan ada pula yang berupa syarat tambahan.

5. Asas-Asas Dalam Perjanjian

Dalam Hukum Perjanjian dikenal beberapa asas. Asas-asas tersebut diantaranya adalah:

(i) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak maksudnya adalah bahwa setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja baik sudah ataupun belum diatur oleh Undang-undang, bebas untuk tidak mengadakan perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun dan juga bebas untuk menentukan isi, syarat dan luasnya perjanjian. Kebebasan dalam asas ini asalkan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang, tidak melanggar kepentingan umum dan kesusilaan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1337 BW. Pembatasan ini diberikan sebagai akibat dari:

a. Perkembangan masyarakat, dimana dengan perkembangan ekonomi membuat orang-orang menggabungkan diri dalam bentuk usaha bersama atau membentuk usaha swasta.

b. Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi kepentingan umum.

c. Adanya aliran masyarakat yang bersifat sosial ekonomi.

(ii) Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme maksudnya adalah bahwa pada asasnya suatu perjanjian atau perikatan yang timbul atau lahir adalah sejak detik tercapainya sepakat mengenai hal-hal pokok dan tidak diperlukan suatu formalitas. Ini berarti bahwa perjanjian itu lahir sejak kata sepakat telah

(37)

37 tercapai, walaupun dalam pelaksanaannya Undang-undang menetapkan tetap adanya suatu formalitas tertentu. Misalnya adanya keharusan menuangkan perjanjian kedalam bentuk tertulis atau dengan Akta Notaris.

Sedangkan guna perjanjian dituangkan dalam bentuk tertulis yaitu adalah dalam hal sebagai alat bukti.

(iii) Asas Kepatutan

Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Pengaturan asas ini ditegaskan dalam Pasal 1339 BW, yakni:

“Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-undang”.

Menurut Prof.Dr. Mariam Darus Badrulzaman, asas kepatutan ini menentukan ukuran mengenai hubungan yang ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

(iv) Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1338 Ayat (1) BW yang berbunyi :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”.

Hal tersebut berarti bahwa para pihak mempunyai keterikatan pada perjanjian yang mereka buat.

(v) Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang telah mereka buat dan mereka sepakati.

Dimana masing-masing pihak harus memenuhi prestasi yang telah disepakati bersama dengan iktikad baik, sehingga tercipta keseimbangan antara kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut.

(vi) Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu bentuk produk hukum hendaklah mengandung kepastian hukum. Dalam menciptakan kepastian hukum bagi kedua belah pihak, maka perjanjian itu haruslah mempunyai kekuatan mengikat layaknya

(38)

38 sebagai Undang-undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

(vii) Bersifat Obligatoir

Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak itu baru dalam tahap menimbulkan hak dan kewajiban, belum sampai pada tahap memindahkan hak milik. Hak milik baru akan berpindah jika telah diperjanjikan tersendiri, hal ini biasanya disebut dengan perjanjian yang bersifat kebendaan.

(viii) Bersifat Pelengkap

Bersifat pelengkap maksudnya yaitu Pasal-pasal dalam Undang-undang boleh disingkirkan apabila para pihak dalam perjanjian menghendakinya, dan mereka sepakat membuat ketentuan sendiri. Tapi jika mereka tidak menentukan mengenai hal tersebut maka ketentuan dalam Undang-undang tetap berlaku..

Buku III BW pada Pasal 1338-1341 mengatur mengenai akibat dari perjanjian, antara lain sebagai berikut:

a. Berlaku sebagai Undang-Undang

Dasar hukum bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-undang adalah Pasal 1338 Ayat (1) BW. Sehingga, jika ada salah satu pihak dalam perjanjian yang melanggar perjanjian itu, maka ia dianggap telah melanggar Undang-undang. Terhadap pelanggaran yang dilakukan akan menimbulkan akibat hukum tertentu yaitu berupa pemberian sanksi. Hukuman bagi yang melanggar perjanjian ditetapkan oleh hakim berdasarkan Undang-undang atau berdasarkan permintaan pihak lainnya. Adapun: bentuk sanksi yang diberikan dapat berupa:

i. Membayar ganti kerugian (Pasal 1234 BW) ii. Perjanjian dapat diputuskan (Pasal 1266 BW)

iii. Menanggung beban resiko (Pasal 1237 Ayat (2) BW). Membayar biaya perkara jika sampai dibawa kehadapan hakim pengadilan (Pasal 181 Ayat (1) HIR).

b. Tidak dapat ditarik kembali

Perjanjian yang telah dibuat secara sah dan mengikat para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Akan tetapi perjanjian tersebut dapat saja ditarik kembali apabila:

1. Memperoleh persetujuan dari pihak lainnya.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal tersebut tujuan penelitian ini dilakukan guna mengidentifikasi telur ayam fertil dan telur ayam infertil dengan mengekstrasi ciri warna pada telur

a. Tidak ada satu media pun yang paling baik untuk semua tujuan. Artinya suatu media hanya cocok untuk tujuan pembelajaran tertentu, tetapi mungkin tidak cocok

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Setelah membaca teks tentang ASEAN dan kehidupan sosial budayanya, siswa mampu menyebutkan kehidupan sosial budaya dari dua negara ASEAN terkait kondisi geografisnya dengan

Model common effect atau pooled regression merupakan model regresi data panel yang paling sederhana. Model ini pada dasarnya mengabaikan struktur panel dari

Hasil survei lapangan digunakan sebagai bahan untuk diskusi dalam FGD terkait strategi apa yang tepat agar pada tahun 2019 di empat desa tersebut dapat mencapai target

Berdasar Tabel 4 diketahui bahwa dari semua variabel yang diteliti hanya asupan zat besi, tingkat kepatuhan mengonsumsi tablet besi, dan umur ibu yang mempunyai hubungan bermakna

Suatu senyawa golongan terpenoid tersubtitusi benzene dengan titik leleh 95-97 o C telah ditemukan dan diisolasi pada jaringan kayu batang tumbuhan (K. hospita L.) dengan nama