• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA SEPTEMBER 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROFIL KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWAYOGYAKARTA SEPTEMBER 2016"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1 RINGKASAN

 Garis kemiskinan (GK) Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 sebesar Rp 360.169,- per kapita per bulan. Sementara itu GK pada Maret 2016 sebesar Rp 354.084,- per kapita per bulan. Selama satu semester angka GK meningkat 1,72 persen. Bila GK September 2016 dibandingkan dengan kondisi September 2015 (Rp 347.721,- per kapita per bulan) maka akan terlihat kenaikannya mencapai 3,58 persen.

 Konstribusi komoditi makanan terhadap Garis Kemiskinan lebih besar bila dibandingkan dengan konstribusi komoditi bukan makanan. Pada September 2016, konstribusi Garis Kemiskinan Makanan terhadap Garis Kemiskinan sebesar 70,88 persen. Angka ini tidak jauh berbeda dengan kondisi September 2015 yang sebesar 70,97 persen.

 Jumlah penduduk miskin Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 mencapai 488,83 ribu jiwa.

Bila dibandingkan dengan keadaan September 2015 (485,56 ribu orang), jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 3,27 ribu orang. Persentase penduduk miskin Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 sebesar 13,10 persen. Apabila dibandingkan dengan kondisi Maret 2016 (13,34 persen) terjadi penurunan sebesar 0,24 persen poin.

 Selama setahun (September 2015 - September 2016) Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin mengecil.

No. 05/01/34/Th.XIX, 3 Januari 2017

P ROFIL K EMISKINAN D AERAH I STIMEWA Y OGYAKARTA

S EPTEMBER 2016

1. Garis Kemiskinan September 2015 - September 2016

Menurut Todaro dan Smith (2007), kemiskinan adalah suatu kondisi kehidupan dimana terdapat sejumlah penduduk tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok (basic needs) minimum dan mereka hidup di bawah tingkat kebutuhan minimum tersebut.

Sementera itu BPS dalam mengukur kemiskinan juga berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs approach). Nilai kebutuhan dasar minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK) yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan yang akan memisahkan seseorang tergolong miskin atau tidak.

GK Daerah Istimewa Yogyakarta pada September 2016 sebesar Rp 360.169,- per kapita per bulan. Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2016 yang sebesar Rp 354.084,- per kapita per bulan,

BPS PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

(2)

maka akan terlihat kenaikan angka GK sebesar 1,72 persen. Terjadinya peningkatan garis kemiskinan ini searah dengan inflasi Maret 2016 - September 2016 yang mencapai 1,09 persen.

Tabel 1

Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah September 2015 – September 2016

Daerah/Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)

Makanan Bukan Makanan Total

(1) (2) (3) (4)

Perkotaan September 2015 Maret 2016 September 2016

249 320 254 284 257 677

110 150 110 502 112 832

359 470 364 786 370 510 Perdesaan

September 2015 Maret 2016 September 2016

241 725 246 960 250 244

82 662 84 348 86 986

324 386 331 308 337 230 Kota+Desa

September 2015 Maret 2016 September 2016

246 776 252 284 255 304

100 945 101 800 104 865

347 721 354 084 360 169 Sumber: Susenas September 2015, Maret 2016, dan September 2016

Bila dilihat komponen Garis Kemiskinan (GK) yang terdiri dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan masih lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan (perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan). Pada Maret 2016 sumbangan GKM terhadap GK sebesar 71,25 persen dan 70,88 persen pada September 2016.

Selama satu semester (Maret 2016 - September 2016) GK daerah perkotaan meningkat sebesar 1,57 persen atau besaran absolut dari

Rp. 364.786 perkapita per bulan menjadi Rp. 370.510 perkapita per bulan. Apabila GK September 2016 daerah perkotaan dibandingkan dengan kondisi September 2015 (Rp 359.470,- per kapita per bulan) akan terlihat kenaikannya mencapai 3,07 persen.

Sementara itu Garis kemiskinan di daerah perdesaan pada September 2016 sebesar Rp 337.230,- per kapita per bulan atau mengalami kenaikan 3,96 persen dibanding keadaan September 2015 (Rp 324.386,- per kapita per bulan). Jika dilihat selama satu semester (Maret 2016 – September 2016), kenaikan angka GK daerah perdesaan mencapai 1,79 persen.

Berdasarkan komoditas makanan, terdapat 5 komoditas yang secara persentase memberikan kontribusi yang cukup besar pada garis kemiskinan makanan di perkotaan yaitu beras, daging sapi, rokok kretek filter, kue basah dan telur ayam ras. Lima komoditi makanan yang berpengaruh cukup besar terhadap garis kemiskinan di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, dan bawang merah.

Komoditi non makanan yang memberikan sumbangan besar pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di perdesaan yaitu perumahan, bensin, pendidikan dan listrik. Komoditi lainnya yang termasuk dalam posisi lima terbesar di perdesaan adalah kayu bakar, sedangkan di perkotaan adalah biaya kesehatan.

(3)

3 Tabel 2

Lima Kontribusi Terbesar Garis Kemiskinan menurut Tipe Daerah September 2016

Jenis Komoditi Perkotaan Jenis Komoditi Perdesaan

(1) (2) (3) (4)

Makanan

Beras 21.87 Beras 28.35

Daging sapi 17.22 Rokok kretek filter 8.97

Rokok kretek filter 11.51 Daging sapi 7.86

Kue basah 3.84 Telur ayam ras 5.51

Telur ayam ras 3.75 Bawang merah 4.14

Non Makanan

Perumahan 27.58 Perumahan 31.68

Bensin 13.24 Bensin 13.85

Pendidikan 11.61 Kayu bakar 6.22

Listrik 7.56 Listrik 5.40

Kesehatan 6.69 Pendidikan 5.19

2. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta

Jumlah penduduk miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta selama Maret 2011 - September 2016 mengalami fluktuasi, meskipun ada kecenderungan menurun. Pada periode Maret 2011- Maret 2012 terjadi kenaikan dan turun kembali sampai periode September 2013. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 tercatat 562,70 ribu, sampai dengan kondisi bulan Maret 2012 jumlah penduduk miskin naik menjadi 568,35 ribu. Perkembangan jumlah penduduk miskin seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1

Jumlah Penduduk Miskin di Daerah Istimewa Yogyakarta Maret 2011 - September 2016 (dalam ribu orang)

Maret 2011

Sept 2011

Maret 2012

Sept 2012

Maret 2013

Sept 2013

Maret 2014

Sept 2014

Maret 2015

Sept 2015

Maret 2016

Sept 2016 562.70 568.05 568.35 565.73

553.07

541.95 544.87

532.59

550.23

485.56

494.94

488.83

Sumber: Susenas Maret 2011 - September 2016

(4)

Penduduk miskin tersebar di perkotaan (61,63 persen) maupun perdesaan (38,27 persen).

Jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2016 sebanyak 301,25 ribu orang, bertambah 8,61 ribu orang bila dibandingkan keadaan September 2015 yang mencapai 292,64 ribu orang. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2016 sebanyak 187,58 ribu orang, atau mengalami penurunan sekitar 5,33 ribu dari keadaan September 2015 yang jumlahnya mencapai 192,91 ribu orang (Tabel 3).

Tabel 3

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

menurut Tipe Daerah, September 2015 - September 2016 Daerah/Tahun Jumlah Penduduk Miskin (000) Persentase

Penduduk Miskin

(1) (2) (3)

Perkotaan

September 2015 Maret 2016 September 2016

292.64 297.71 301.25

11.93 11.79 11.68 Perdesaan

September 2015 Maret 2016 September 2016

192.91 197.23 187.58

15.62 16.63 16,27 Kota+Desa

September 2015 Maret 2016 September 2016

485.56 494.94 488.83

13.16 13.34 13.10

Sumber: Susenas September 2015, Maret 2016, dan September 2016

3. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta pada periode Maret 2011- Maret 2016 cenderung mengalami penurunan. Persentase penduduk miskin pada Maret 2011 sebesar 16,08 persen, turun menjadi 13,10 persen pada September 2016. Perkembangan tingkat kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta selengkapnya seperti terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2

Persentase Penduduk Miskin

di Daerah Istimewa Yogyakarta Maret 2011–September 2015

16.08 16.14 16.05 15.88 15.43 15.03 15.00 14.55 14.91

13.16 13.34 13.10

0 5 10 15 20

Mar'11 Sep'11 Mar'12 Sep'12 Mar'13 Sep'13 Mar'14 Sep'14 Mar'15 Sep'15 Mar'16 Sep'16

Sumber: Susenas Maret 2011 - September 2016

(5)

5 Tingkat kemiskinan di daerah perkotaan lebih kecil dari pada di perdesaan. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2016 sebesar 11,68 persen atau mengalami penurunan 0,25 persen poin jika dibandingkan dengan keadaan September 2015 yang besarnya mencapai 11,93 persen. Persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2016 sebesar 16,27 persen atau mengalami peningkatan 0,65 persen poin jika dibandingkan dengan keadaan September 2015 yang mencapai 15,62 persen.

4. Kualitas Kemiskinan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Permasalahan kemiskinan bukan hanya terletak pada berapa jumlah dan persentase penduduk miskin. Akan tetapi ada dimensi lain yang perlu diperhatikan yaitu tingkat kedalaman (poverty gap index) dan tingkat keparahan (poverty severity index) dari kemiskinan. Dalam artian, selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan terkait kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri.

Tabel 4

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Daerah Istimewa Yogyakarta Menurut Daerah,

September 2015 - September 2016

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada periode September 2015 - September 2016 sedikit mengalami penurunan. Indeks kedalaman kemiskinan turun dari 2,32 pada September 2015 menjadi 1,75 pada September 2016. Demikian pula Indeks keparahan kemiskinan turun dari 0,63 menjadi 0,36 pada periode yang sama (Tabel 4). Penurunan nilai kedua indeks ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung mendekati garis kemiskinan dan ketimpangan pengeluaran antar penduduk miskin juga semakin mengecil.

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) pada September 2016 di daerah perdesaan lebih tinggi dari pada perkotaan. Pada bulan September 2016 Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) untuk perdesaan mencapai 2,83 sementara di daerah perkotaan mencapai 1,26. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di daerah perdesaan sebesar 0,67 sementara di daerah perkotaan mencapai 0,22. Hal ini berarti perbedaan rata-rata pengeluaran konsumsi penduduk miskin terhadap garis kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Kesenjangan pengeluaran konsumsi antar penduduk miskin di daerah perdesaan juga lebih lebar dibandingkan dengan di daerah perkotaan.

Tahun Kota Desa Kota + Desa

(1) (2) (3) (4)

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

September 2015 2,19 2,57 2,32

Maret 2016 September 2016

1,78 1,26

3,41 2,83

2,30 1,75 Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

September 2015 0,60 0,68 0,63

Maret 2016 September 2016

0,38 0,22

1,05 0,67

0,59 0,36

Sumber: Susenas September 2015, Maret 2016, dan September 2016

(6)

Untuk informasi lebih lanjut, hubungi :

BADAN PUSAT STATISTIK

PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, 55183 Telp.0274-4342234 (Hunting) Fax. 0274-4342230 Email : bps3400@bps.go.id

Website : yogyakarta.bps.go.id

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem informasi akuntansi merupakan bagian organisasi yang terdiri dari manusia dan peralatan yang dirancang untuk

Dengan menggunakan analisis regresi multilinier, sebanyak 20 senyawa xanton yang sudah diketahui nilai IC50-nya digunakan sebagai senyawa fitting untuk mendapatkan

Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai tugas untuk melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang pengarusutamaan gender,

Demikian pula adanya Instruksi Walikota Bandung Nomor 002 Tahun 2013 tanggal 20 September 2013 tentang Rencana Aksi Menuju Bandung Juara telah mencanangkan 24 Kelompok

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, pada tahun 2006 tidak terdapat kasus Filaria.Sedangkan Tahun 2007 penderita filariasis sejumlah 2 jiwa

Dengan dibuatnya mesin penggiling biji jarak ini, maka dapat mengurangi penggunaan tenaga manusia, guna meningkatkan kefektifan kerja agar tercapai produktifitas yang tinggi

Dinamika penerimaan diri pada subjek dengan umur yang paling tua dapat narpidana wanita bergantung pada faktor yang menerima keadaan subjek dengan cepat, bahkan menjadi

Simpulan dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar siswa kelas IV SDN Se-Gugus IV Kecamatan Limapuluh Kota Pekanbaru terbagi