Heroisme di Tengah Tindakan yang Salah.

Download (0)

Full text
(1)

HEROISME DI TENGAH TINDAKAN YANG SALAH Oleh: GPB Suka Arjawa

Akhirnya TNI Angkatan Darat secara terbuka menyebutkan bahwa 11 anggota Kopassus terlibat dalam penyerbuan Penjara Cebongan yang menewaskan empat orang tahanan titipan. Pengakuan TNI AD ini bagi masyarakat merupakan sebuah peristiwa luar biasa juga, menandingi penyerbuan itu sendiri. Kejujuran itu sangat penting dari tubuh pasukan paling elit di Indonesia yang diperkirakan akan mampu mempengaruhi sikap lembaga lain terkait dengan keterbukaan. Kopassus, bagaimanapun merupakan pasukan elit yang banyak diidam-idamkan oleh generasi muda. Tetapi, elititas itu tidak boleh dinodai dengan perilaku kriminal, betapapaun itu merupakan akibat dari solidaritas kelompok. Pengakuan jujur ini justru akan membantu menambah prestise masyarakatt terhadap Kopassus, apalagi kelak proses pengadilannya juga dilakukan sesuai jalur dengan transparansi yang sama. Kalau ada yang mengatakan bahwa berani, berhasil, bersih dan berwibawa merupakan patokan yang sangat bagus bagi pasukan elit, maka mengakui kesalahan dalam penyerbuan di penjara Cebongan merupakan refleksi dari keberanian Kopassus. Mereka tidak hanya berani mengahadpi musuh, berhasil memenangkan pertempuran, tetapi juga berani mengakui kesalahan yang membuat citranya bersih dan berpenampakan berwibawa.

Mungkin karena sikap berani terbuka itulah kemudian terjadi dualisme pandangan peristiwa yang terjadi di Cebongan tersebut. Pada awalnya, dominasi informasi yang merebak di media massa adalah terjadinya hukum rimba di Indonesia karena adanya penyerangan terhadap Lapas tersebut, tanpa mengindahkan hukum yang ada.

Peneyerbuan ini jelas salah dan perlu mendapatkan hukuman bagi penyerbunya. Namun, akhir-akhir ini justru muncul pandangan berbeda. Di balik kesalahan yang dilakukan oleh Kopassus itu, pengakuan keterlibatan ini justru menimbulkan aplus positif yang

kemudian menukik kepada persoalan pemberangusan kepada preman. Anggota kopassus yang melakukan penyerangan itu (yang diranah hukum jelas menyalahi norma),

kemudian dipandang sebagai pahlawan karena berani menghadapi preman secara gagah berani. Akumulasi penafsiran yang kemudian muncul adalah bahwa mereka yang

dibunuh di penjara itu adalah tokoh-tokoh preman yang tidak disukai oleh warga Yogya. Berita dan pencitraan ini sesungguhnya merupakan sebuah pukulan kepada sanak keluarga korban yang sedang berduka. Karena itu sebuah keseimbangan langkah diperlukan ke depan untuk mengantisipasi apa yang terjadi di Yogyakarta. Dalam arti, anggota Kopassus yang telah melakukan pelanggaran norma hukum itu harus diadili sesuai dengan pelanggarannya, tetapi pada sisi lain, persoalan premanisme yang menggejala tidak boleh dibiarkan terus merajalela. Preman inilah yang dipandang menjadi gangguan sosial di masa mendatang.

****

(2)

dipakai untuk berperilaku, pilihan untuk bertindak seperti preman. Premannisme merupakan penyimpangan sosial karena ia boleh dikatakan hidup menyimpang dari norma-norma sosial yang ada. Ketika seorang memaksa untuk meminta duit kepada pedagang dengan iming-iming perlindungan, itu adalah sebuah premanis karena

pelindung masyarakat sesungguhnya terletak pada kepolisian. Ketika seseorang membuat bangunan, penjaganya diberikan kepada kelompok-kelompok swasta yang mampu melindungi, ini juga merupakan praktik preman karena abai terhadap kepolisian yang sebenarnya menjaga keamanan.

Kalau kemudian di Yogyakarta disebut-sebut sebagai kota yang melahirkan preman, sehingga memancing peristiwa di penjara Cebongan, itu sesungguhnya sebuah perkembangan sosial yang mengkhawatirkan. Ada dua predikat yang disandang oleh Yogyakarta, yakni kota pelajar dan kota pariwisata. Sebagai kota pelajar seharusnya Yogyakarta tidak boleh menjadi markas preman karena orang kota pelajar semestinya melahirkan orang terpelajar. Orang-orang terpelajar adalah orang-orang yang tahu norma, tahu aturan, memahami arti perjuangan sehingga tidak akan mungkin memunculkan praktik-prakti anti-norma seperti preman tersebut. Sebagai kota pariwisata, Yogyakarta seharusnya memberikan kesejahteraan lebih kepada masyarakat karena pariwisata memberikan nilai ekonomi lebih kepada pendududk. Sektor ini menjadi andalan setelah krisis keuangan melanda Indonesia sejak tahun 1997 (bukankah Bali menjadi rebutan!?). Maka jika kemudian kota itu disebut-sebut dihiasi oleh preman, pasti itu merupakan akibat dari sebuah”kekalahan” tidak diakui oleh oknumnya, yang kemudian mencari altenatif sebagai preman untuk tempat ”bersembunyi” dari kekalahan tersebut.

”Kekalahan” ini bermacam-macam wujudnya. Kegagalan menyelesaikan studi adalah sebuah kekalahan juga, apalagi sebagai orang perantauan. Cita-cita tinggi sebagai orang terpelajar tiba-tiba saja menjadi rusak karena kegagalan kuliah atau sekolah. Kegagalan dalam berbisnis pariwisata, juga adalah sebuah kekalahan, apalagi mengakibatkan banyak utang. Maka, bukan tidak mungkin kekalahan-kekalahan akumulatif itu bisa

menimbulkan upaya menyembunyikan diri, dengan berperilaku sebagai preman atau tokoh preman. Peran sebagai tokoh inilah yang mampu menyembunyikan kekalahannya. Dengan premanisme, mereka mendapatkan uang banyak tanpa kerja susah. Dengan menjadi tokoh preman disamping mendapatkan uang banyak, juga dinilai memiliki ”wibawa”. Tetapi dunia tidak akan bisa dibohongi. Betapapun hasil ”besar” yang didapatkan dari perperilaku preman, tidak akan mendapatkan pengakuan dari

masyarakat. Mereka hanya berhasil menyembunyikan diri dari balik kegagalan mereka. Fenomena seperti itu diawali oleh munculnya kelompok-kelompok sosial yang

mengklaim diri sebagai hero, bahkan super hero dengan memanfaatkan kesempatan. Lalu lintas yang macet, pasar semrawut, ijin bangunan yang ketat semuanya menjadi

kesempatan bagi kelompok-kelompok yang mengaku sebagai super hero (pelindung) itu. Padahal kelompok ini tidak lain memaknai eksistensinya sebagai sebuah arena

(3)

Maka dalam keadaan susahnya mengontrol seperti itu, hanya super hero betulan yang akan mampu memadamkan aktivitas preman-preman ini. Kopassus boleh dikatakan sebagai kelopok elit yang dengan keberaniannya mampu menghadapi kelompok seperti ini. Mungkin fenomena demikian terjadi di Yogyakarta sehingga Kopassus dianggap sebagai hero, justru pada saat mereka melakukan tindakan yang salah. Ini tidak hanya bisa terjadi di Yogyakarta saja, juga di Jakarta dan Bali. Satu hal yang masih tersisa dari kasus Yogyakarta itu adalah mengapa sampai terjadi perkelahian antara kelompok preman dengan anggota kopassus di kafe?****

Figure

Updating...

References

Related subjects :

Scan QR code by 1PDF app
for download now

Install 1PDF app in