• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH LAHAR DINGIN PASCA ERUPSI MERAPI 2010 TERHADAP KONDISI FISIK SUNGAI PROGO BAGIAN TENGAH. Jazaul Ikhsan 1, Galih Wicaksono 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH LAHAR DINGIN PASCA ERUPSI MERAPI 2010 TERHADAP KONDISI FISIK SUNGAI PROGO BAGIAN TENGAH. Jazaul Ikhsan 1, Galih Wicaksono 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KoNTekS 6 K-17 Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012

PENGARUH LAHAR DINGIN PASCA ERUPSI MERAPI 2010 TERHADAP KONDISI FISIK SUNGAI PROGO BAGIAN TENGAH

Jazaul Ikhsan1, Galih Wicaksono2

1 Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Yogyakarta 55183, Indonesia

Email:jazaul.ikhsan@umy.ac.id, jzl_ikhsan@yahoo.co.id

2 Mahasiswa Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jl. Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Yogyakarta 55183, Indonesia

ABSTRAK

Pasca erupsi Merapi 2010, sedimen hasil erupsi terendapkan di sekeliling puncak Merapi dalam jumlah yang banyak. Ketika terjadi intensitas hujan yang memadai, maka banjir lahar terjadi di semua sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Dampak banjir lahar berpengaruh terhadap kondisi fisik sungai di bagian hilir, termasuk Sungai Progo yang beberapa anak sungainya berhulu di Gunung Merapi. Perubahan kondisi fisik sungai akan berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan, termasuk berpengaruh terhadap kondisi morfologi sungai Progo. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui pengaruh lahar dingin terhadap perubahan fisik Sungai Progo pasca erupsi Merapi 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fisik Sungai Progo bagian tengah yang diakibatkan oleh aliran lahar dingin pasca erupsi Merapi 2010 dan angkutan sedimen yang terjadi pada pias sungai tersebut. Parameter yang digunakan untuk mengetahui perubahan fisik adalah perubahan morfologi sungai dan porositas sedimen dasar sungai.

Penentuan morfologi sungai didasarkan pada teori yang dikemukakan oleh Ronsgen. Perhitungan porositas sedimen dasar sungai digunakan rumusan yang diberikan oleh Sulaiman. Rumus Einstein digunakan untuk menghitung angkutan sedimen yang terjadi di lokasi penelitian. Lokasi penelitian diambil 3 lokasi, yaitu di pertemuan Sungai Progo-Pabelan, pertemuan Sungai Progo-Putih dan di Jembatan Kebon Agung. Data untuk analisis tipe morfologi, angkutan sediment dan nilai porositas dilakukan dengan pengambilan data di lapangan dan pengujian di laboratorium. Data yang diperoleh di lapangan berupa lebar sungai, lebar aliran, kedalaman aliran, kecepatan aliran dan slope sungai.

Data yang diperoleh dari laboratorium adalah distribusi sediment permukaan dasar sungai.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan tipe morfologi sungai, terutama di pertemuan Sungai Progo-Pabelan dan Sungai Progo-Putih. Untuk parameter porositas sedimen dasar sungai, hasil penelitian menunjukkan bahwa nilainya sama besar dari hulu ke hilir. Angkutan sedimen di pertemuan Sungai Progo-Pabelan mempunyai nilai yang paling besar dibandingkan dengan angkutan sedimen yang terjadi di titik tinjauan yang lain.

Kata kunci: lahar dingin, morfologi, porositas, Sungai Progo

1. PENDAHULUAN

Erupsi Gunung Merapi tahun 2010 yang lalu adalah letusan terbesar jika dibandingkan dengan erupsi terbesar Gunung Merapi yang pernah ada dalam sejarah yaitu tahun 1872. Salah satu indikator yang digunakan untuk menentukan besar indeks letusan adalah dari jumlah material vulkanik yang telah dilontarkan. Pada letusan 1872, jumlah material vulkanik yang dilontarkan oleh Gunung Merapi selama proses erupsi mencapai 100 juta m3. Sementara itu, jumlah material vulkanik yang telah dimuntahkan Gunung Merapi sejak erupsi pada Oktober 2010 hingga sekarang diperkirakan telah mencapai sekitar 150 juta m3.

Bahaya Gunung Merapi tidak hanya bahaya primer (lava pijar dan awan panas) saja, tetapi juga bahaya sekunder (lahar dingin). Pada musim penghujan material vulkanik menyebar dan mengalir dengan cepat melalui aliran sungai sebagai lahar dingin yang mempunyai daya rusak yang sangat besar sehingga mengakibatkan kerusakan serta kerugian yang cukup besar baik moril berupa nyawa manusia, maupun materi berupa infrastruktur, bangunan pengendali lahar dingin (sabo dam), lahan pertanian, perumahan, hewan ternak dan lain-lain. Hingga saat ini material vulkanik yang hanyut terbawa banjir lahar dingin mencapai hampir 50 juta m3, sisanya 100 juta m3 menjadi ancaman setiap hujan deras. Material yang dikeluarkan Gunung Merapi mengalir melalui sungai-sungai

(2)

yang berhulu di Gunung Merapi antara lain Sungai Pabelan, Sungai Putih, Sungai Blongkeng dan Sungai Krasak yang bermuara di Sungai Progo dan sungai–sungai lainya yang berhulu di Gunung Merapi. Sungai Pabelan, Sungai Putih, Sungai Krasak, dan Sungai Blongkeng merupakan serangkaian sungai yang berhulu dari lereng Gunung Merapi dan bermuara di Sungai Progo, selanjutnya bermuara di Samudra Hindia tepatnya di Pantai Trisik, Kabupaten Kulon Progo. Sungai Progo mengalir di daerah Kabupaten Magelang (Jawa Tengah) dan Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul (DIY). Di daerah Magelang Sungai Pabelan dan Sungai Putih kemudian bergabung dengan Sungai Progo, sedangkan Sungai Krasak bergabung dengan Sungai Progo di daerah Sleman.

Diperkirakan jumlah material vulkanik yang terbawa banjir lahar dingin melalui sungai–sungai yang berhulu di Sungai Progo pada banjir lahar dingin yang lalu mencapai 30,8 juta m³, dengan rincian Sungai Pabelan 20,8 juta m³, Sungai Putih 8,2 juta m³ dan Sungai Krasak 10,8 juta m³. Sungai Pabelan, Sungai Putih dan Sungai Krasak berpotensi kembali terkena banjir lahar dingin. Dilihat lereng Gunung Merapi, kondisi batuan telah mengeras sehingga jika terjadi hujan dampaknya akan lebih besar dan merusak, kondisi ini diperparah lagi dengan tutupan hijau di lereng Gunung Merapi sebagian besar telah rusak akibat erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan alur sungai yang dangkal akibat sedimentasi pada saat banjir lahar dingin yang lalu, sehingga memperlancar aliran lahar dingin tersebut. Keadaan ini dapat membanjiri pemukiman dan areal pertanian di sekitar bantaran sungai. Diprediksi material vulkanik sisa erupsi Gunung Merapi 2010 tidak akan habis dalam waktu 3 tahun, sehingga diperlukan analisis teknis pola perubahan morfologi sungai-sungai yang dilewati banjir lahar dingin, guna mencegah kerusakan dan kerugian yang lebih besar akibat banjir lahar dingin tersebut.

Ruang lingkup dari penelitian ini untuk mengetahui morfologi Sungai Progo pasca erupsi 2010 dengan cara analilis morfologi Sungai Progo per segmen, yaitu di segmen pertemuan Sungai Progo-Pabelan, segmen pertemuan Sungai Progo–Putih, dan di bagian tengah (middle stream) Sungai Progo tepatnya di segmen Jembatan Kebon Agung. Lokasi penelitian dapat ditunjukkan di Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi morfologi Sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, untuk mengetahui gradasi dan porositas sedimen dasar Sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010, untuk mengetahui besarnya angkutan sedimen dasar (bed load) Sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010 dan untuk mengetahui kemiringan dasar saluran (slope) Sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

(3)

KoNTekS 6 K-19 Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012

2. DISKRIPSI DAERAH STUDI A. DAS Sungai Progo

Sungai Progo adalah sebuah sungai yang mengaliri daerah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di Indonesia. Sungai Progo merupakan sungai dengan pola aliran radial, dengan luas DAS 2380 km2 dan panjang sungai 140 km. Sungai Progo banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitarnya untuk irigasi, pariwisata, penambangan pasir dan lain-lain. Sungai Pabelan, Sungai Putih, Sungai Krasak, dan Sungai Blongkeng merupakan serangkaian sungai yang berhulu dari lereng Gunung Merapi dan bermuara di Sungai Progo, mengalir di Kabupaten Magelang (Jawa Tengah) dan Kabupaten Sleman, Kulon Progo dan Bantul (DIY). DAS Sungai Progo ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. DAS sungai Progo (Sulaiman, 2008)

B. Letusan 2010

Sejak tanggal 3 November 2010, Gunung Merapi meletus tanpa jeda dengan energi yang luar biasa hingga tanggal 5 November 2010. Semburan gas dan material vulkanik menyebabkan terbentuknya kolom asap letusan setinggi hingga 8 km. Pada letusan-letusan sebelumnya kawasan kaki Gunung Merapi hanya mendapat kiriman hujan debu, pada letusan Gunung Merapi 2010 meterial kerikil berjatuhan hingga mencapai Muntilan (Magelang, Jawa Tengah) dan Ngaglik (Sleman, DIY). Hujan pasir menerpa kota Yogyakarta. Letusan juga menyebabkan hujan debu yang sangat deras di kota Kebumen (Jawa Tengah), yang berjarak 90 km di sebelah barat Gunung Merapi.

Hujan debu cukup deras bagi kota Kebumen dalam 27 tahun terakhir setelah letusan Gunung Galunggung tahun 1983 silam.

Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungan (BPPTK) Yogyakarta melansir hingga 5 November, Gunung Merapi telah mengeluarkan sedikitnya 50 juta m3 magma. Volume material tersebut melebihi volume seluruh kubah lava yang ada di puncak Gunung Merapi pasca letusan besar tahun 1872. Sehingga hampir

(4)

dapat dipastikan seluruh kubah lava yang ada telah hancur dalam letusan ini dan sifat letusan kini dikendalikan sepenuhnya oleh pasokan langsung magma segar (

pada puncak Gunung Merapi terdapat kawah mengan Gunung Agung.

Setiap Gunung Merapi meletus, a Gunung Merapi yaitu Sungai Apu, Sungai dan lain-lain. Pasca letusan Gunung Merapi, b (bahaya primer) saja, tetapi juga lahar dingin menyebar dan mengalir dengan cepat melalui a

sangat besar, lahar dingin tersebut mengalir melalui anak Sungai Progo yang berhulu di lereng Gunung Merapi.

Kerusakan akibat banjir lahar dingin tersebut tidak hanya mengakibatkan perubahan tersebut tetapi juga pada Sungai Progo.

3. KAREKTERISTIK SUNGAI A. Morfologi Sungai

Morfologi sungai merupakan ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk sungai, penjelasan lebih spesifik morfologi sungai adalah merupakan hal y

dan prilaku sungai dengan segala aspek perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian menyangkut sifat dinamik sungai dan lingkunganya saling berkaitan.

harus diketahui beberapa faktor yang menjadi ciri khas pada sungai tersebut. Data yang diperlukan adalah lebar aliran (Wbkf), kedalaman aliran (dbkf), lebar aliran banjir (

(belokan sungai), kemiringan aliran (slope),

sungai menurut Dave Rosgen (1996) ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tipe bentuk morfologi (Rosgen, 1996) B. Angkutan Sedimen

Angkutan sedimen atau transport sediment

sungai. Sungai-sungai membawa sedimen dalam setiap aliran tersebut akan menentukan jumlah besaran angkutan sedimen. T

besarnya angkutan sedimen, salah satunya dengan menggunakan rumus Einstein (

menetapkan persamaan muatan dasar sebagai persamaan yang menghubungkan material dasar dengan pengaliran setempat (local flow). Persamaan itu menggambarkan keadaan seimbang dari pada pertukaran butiran dasar antara va yang ada telah hancur dalam letusan ini dan sifat letusan kini dikendalikan sepenuhnya oleh pasokan langsung magma segar (juvenil) dari dapur magma Gunung Merapi,

Merapi terdapat kawah menganga yang terbuka seperti halnya Gun

Setiap Gunung Merapi meletus, awan panas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Sungai Trising, Sungai Senowo, Sungai Batang, Sungai Woro, Sungai

Pasca letusan Gunung Merapi, bahaya yang ditimbulkan tidak hanya lava pijar dan awan panas ) saja, tetapi juga lahar dingin (bahaya sekunder). Pada musim penghujan material vulkanik

melalui aliran sungai sebagai lahar dingin yang mempunyai daya rusak yang , lahar dingin tersebut mengalir melalui anak Sungai Progo yang berhulu di lereng Gunung Merapi.

Kerusakan akibat banjir lahar dingin tersebut tidak hanya mengakibatkan perubahan alur pada anak Sungai Progo

SUNGAI

Morfologi sungai merupakan ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk sungai, penjelasan lebih spesifik morfologi sungai adalah merupakan hal yang menyangkut tentang geometri (bentuk dan ukuran), jenis, sifat dan prilaku sungai dengan segala aspek perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian menyangkut sifat dinamik sungai dan lingkunganya saling berkaitan. Dalam menentukan morfolo

harus diketahui beberapa faktor yang menjadi ciri khas pada sungai tersebut. Data yang diperlukan adalah lebar ), lebar aliran banjir (Wfpa), kedalaman maksimum aliran (

(slope), dan material dasar sungai (d50). Gambaran utama tipe ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Tipe bentuk morfologi (Rosgen, 1996)

transport sediment merupakan suatu peristiwa terangkutnya material oleh aliran sungai membawa sedimen dalam setiap alirannya. Bentuk, ukuran dan beratnya partikel material tersebut akan menentukan jumlah besaran angkutan sedimen. Terdapat banyak rumus-rumus untuk menghitung

salah satunya dengan menggunakan rumus Einstein (Kironoto,

menetapkan persamaan muatan dasar sebagai persamaan yang menghubungkan material dasar dengan pengaliran ). Persamaan itu menggambarkan keadaan seimbang dari pada pertukaran butiran dasar antara va yang ada telah hancur dalam letusan ini dan sifat letusan kini dikendalikan dapur magma Gunung Merapi, dipastikan pula kini unung Semeru maupun

panas mengalir melalui hampir semua hulu sungai yang ada di puncak Sungai Woro, Sungai Gendol lava pijar dan awan panas ). Pada musim penghujan material vulkanik liran sungai sebagai lahar dingin yang mempunyai daya rusak yang , lahar dingin tersebut mengalir melalui anak Sungai Progo yang berhulu di lereng Gunung Merapi.

alur pada anak Sungai Progo

Morfologi sungai merupakan ilmu yang mempelajari tentang perubahan bentuk sungai, penjelasan lebih ang menyangkut tentang geometri (bentuk dan ukuran), jenis, sifat dan prilaku sungai dengan segala aspek perubahannya dalam dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian Dalam menentukan morfologi sungai, maka harus diketahui beberapa faktor yang menjadi ciri khas pada sungai tersebut. Data yang diperlukan adalah lebar ), kedalaman maksimum aliran (dmbkf), sinousitas Gambaran utama tipe-tipe morfologi

merupakan suatu peristiwa terangkutnya material oleh aliran ya. Bentuk, ukuran dan beratnya partikel material rumus untuk menghitung Kironoto, 1997). Einstein menetapkan persamaan muatan dasar sebagai persamaan yang menghubungkan material dasar dengan pengaliran ). Persamaan itu menggambarkan keadaan seimbang dari pada pertukaran butiran dasar antara

(5)

KoNTekS 6 K-21 Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012

lapisan dasar (bed layer) dan dasarnya. Einstein menggunakan d35 sebagai parameter angkutan, sedangkan untuk kekasaran digunakan d65. Dalam menentukan besarnya angkutan sedimen dengan menggunakan rumus Einstein, data yang diperlukan antara lain: debit aliran (Q), lebar saluran/sungai (B), kemiringan dasar sungai (S), gradasi ukuran butir dari hasil analisis saringan dan viskositas air/kekentalan air (v).

C. Porositas

Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang terdapat dalam satuan volume tanah yang dapat ditempati oleh air dan udara. Tanah yang poroeus berarti tanah yang cukup mempunyai ruang pori untuk pergerakan air dan udara sehingga mudah keluar masuk tanah secara leluasa. Sedimen yang baru terbentuk memiliki porositas yang tinggi. Ruang pori tanah ialah bagian yang diduduki oleh udara dan air. Jumlah ruang pori ini sebagian besar ditentukan oleh susunan butir-butir padat. Kalau letak satu sama lain cenderung erat, seperti dalam pasir atau sub soil yang padat, porositas totalnya rendah. Sudah dapat diduga bahwa perbedaan besar jumlah ruang pori berbagai tanah tergantung pada keadaan. Tanah permukaan pasir menunjukkan kisaran mulai 35-50%, sedangkan tanah berat bervariasi dari 40-60% atau barang kali dapat lebih jika kandungan bahan organik tinggi dan berbutir–butir.

Porositas tergantung dari distribusi ukuran butir material dasar dan tingkat pemadatannya (Sulaiman, 2008).

Tingkat pemadatan dianggap secara empiris dan porositas diasumsikan menjadi fungsi dari parameter karakteristik distribusi ukuran butir. Porositas dapat dihitung setelah grafik distribusi ukuran butir diperoleh, dan ditentukan jenis material dominanya. Hal ini penting agar dapat menentukan jenis distribusi ukuran butirnya. Untuk menghitung porositas dari material dasar sungai dapat ditentukan dari beberapa langkah berikut (Ikhsan, 2010):

1) Pengujian sampel material dasar sungai untuk mendapatkan distribusi ukuran butir.

2) Tipe distribusi ukuran butiran ditentukan berdasarkan nilai parameter ߛ dan ߚ (gamma dan betta)

min log log

log log

max

50 max

d d

d d

=

λ (1)

min log log

log log

max max

d d

d

d peak

=

β (2)

dengan: γ danβ= parameter geometrik, dmax = diameter maksimal, dmin = diameter minimal, dpeak= ukuran butir puncak dan d50= 50 % populasi sampel yang diamati.

3) Setelah nilai ߛ dan ߚ diketahui maka tipe distribusi ukuran butir dapat ditentukan berdasarkan dengan diagram yang diajukan oleh Sulaiman (2008).

Gambar 4. Diagram hubungan antara β dan γ dengan indikasi tipe distribusi M Talbot, lognormal, dan M anti Talbot (Sulaiman, 2008)

4) Setelah diketahui tipe distribusi butiran maka porositas dapat dihitung dengan persamaan distribusi lognormal atau Talbot.

(6)

4. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui morfologi Sungai Progo bagian hilir, distribusi ukuran sedimen dan porositas sedimen dasar Sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi 2010, serta mengetahui jumlah angkutan sedimen yang terjadi. Penentuan morfologi sungai digunakan metode Rosgen (1996), porositas sedimen menggunakan rumus dari Sulaiman (2008) dan untuk menentukan besarnya angkutan sedimen dasar Sungai Code dengan rumus Einstein.

Data yang diperlukan meliputi data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui survei langsung di lapangan dan pengujian sample di laboratorium. Data yang diukur di lapangan meliputi pengukuran tampang melintang dan tampang memanjang sungai Progo berupa lebar saluran sungai, lebar banjiran, lebar aliran, lebar banjiran, lebar bantaran kanan, lebar bantaran kiri, kedalaman aliran, kecepatan aliran, tinggi tebing kanan, tinggi tebing kiri, kemiringan sungai persegmen 200 m. Secara singkat, tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Bagan alir penelitian Pengumpulan data

mulai

Data primer 1. Gambar sketsa lokasi

tinjauan

2. Mengukur dimensi sungai, kecepatan aliran, kemiringan dasar saluran.

3. Mendapatkan koordinat lokasi pengamatan dan elevasinya

4. Pengambilan sampel sedimen dasar sungai.

Data sekunder 1. Gambar lokasi pengamatandari google earth 2. Peta topografi

Analisis data

Pembahasan

selesai Kesimpulan Pengujian analisis ukuran butiran di laboratorium

(7)

KoNTekS 6 K-23 Universitas Trisakti, Jakarta 1-2 November 2012

5. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Morfologi Sungai

Pengamatan di segmen 1, yaitu pertemuan Sungai Progo dan Pabelan memiliki 2 aliran.. Untuk menentukan morfologinya diperlukan hasil pengukuran lebar aliran sungai, lebar banjir, kedalaman sungai, dan kemiringan sungai. Dari hasil pengukuran diperoleh data untuk aliran 1 adalah lebar aliran sungai 6,60 m; lebar banjir 129,18 m;

kedalaman aliran 0,60 m, dan kemiringan saluran mendekati datar. Data untuk aliran 2 adalah lebar aliran sungai 38,55 m; lebar banjir 129,18 m; kedalaman aliran 1,53 m, dan kemiringan saluran 1,81 %.Dari perbandingan antara lebar aliran banjir terhadap lebar aliran sungai didapat Entrenchment Ratio 19,57 pada aliran 1 dan 3,35 pada aliran 2 maka termasuk kriteria bertipe ”C, D, E” . Sedangkan perbandingan antara lebar aliran sungai terhadap kedalaman sungai didapat W/D Ratio 11 dan 25,20 maka termasuk kriteria bertipe ” A, E, G ” dan “B, C, F. Kemiringan saluran di segmen ini 1,81%, maka termasuk kriteria bertipe ”C, E, F”. Tipe morfologi menurut Dave Rosgen pada Sungai Progo yang ditinjau pasca erupsi Gunung Merapi 2010, di segmen pertemuan Sungai Progo-Pabelan termasuk kriteria sungai dengan lebih dari satu aliran (multiple channel) bertipe “ D5” dengan material dasar sungai didominasi oleh pasir sedang.

Pengamatan di segmen 2 yaitu di pertemuan sungai Progo-Putih, dari hasil pengukuran diperoleh lebar aliran sungai 32,03 m, lebar banjiran 119,49 meter, kedalaman aliran 1,34 meter, dan kemiringan saluran 0,005 %. Dari perbandingan antara lebar aliran banjir terhadap lebar aliran sungai didapat Entrenchment Ratio 3,73 maka termasuk kriteria bertipe ”C, D, E” sedangkan perbandingan antara lebar aliran sungai terhadap kedalaman sungai didapat W/D Ratio 23,91 maka termasuk kriteria bertipe ” B,C,F ”. Kemiringan saluran di segmen ini 0,005%, maka termasuk kriteria bertipe ”B,G”. Di segmen pertemuan Sungai Progo-Putih bertipe “C5b” dengan material dasar sungai didominasi oleh pasir sedang.

Pengamatan di segmen 3 yaitu di titik jembatan Kebon Agung, titik ini memiliki aliran air yang dangkal dan terdapat aktifitas penambangan pasir. Hasil pengukuran diperoleh lebar aliran sungai 27,3 m, lebar banjiran 28,3 m, kedalaman aliran 0.37 m, dan kemiringan saluran mendekati datar. Dari perbandingan antara lebar aliran banjir terhadap lebar aliran sungai didapat Entrenchment Ratio 1,26 maka termasuk kriteria bertipe ” B” sedangkan perbandingan antara lebar aliran sungai terhadap kedalaman sungai didapat W/D Ratio 260,81 maka termasuk kriteria bertipe ” D ”. Kemiringan saluran di segmen ini sangat kecil mendekati datar, maka termasuk kriteria bertipe

”C, E, F”. Di segmen middle stream Sungai Progo titik jembatan Kebon Agung bertipe ”F5” dengan material dasar sungai didominasi oleh pasir sedang.

Berdasarkan perbandingan foto yang diambil sebelum terjadi erupsi dan sesudah erupsi tahun 2010, hasil menunjukkan bahwa terjadi perubahan morfologi yang signifikan, terutama lebar sungai di pertemuan sungai Progo- Pabelan dan sungai Progo-Putih. Di kedua lokasi ini telah terjadi keruntuhan tebing di sisi kanan dan kiri sungai, yang diakibatkan oleh banjir lahar dingin. Keruntuhan tebing sungai ini telah menyebabkan lahar pertanian dan pemukiman penduduk rusak dan hilang. Kerusakan yang paling serius terjadi terutama di DAS sungai Pabelan dan sungai Putih. Hal ini disebabkan karena di kedua sungai ini sering terjadi banjir lahar dingin pasca erupsi 2010.

B. Porositas Permukaan Dasar Sungai

Berdasarkan analisis distribusi butiran material permukaan dasar sungai, untuk titik pertemuan sungai Progo mempunyai nilai parameter γ = 0,4712 dan ß = 0,1886. Berdasarkan nilai tersebut, distribusi butiran material di titik ini termasuk tipe M Talbot. Nilai porositas sampel sedimen ini berdasarkan rumusan yang diajukan Sulaiman (2008), sebesar 0,2915 atau 29,15%. Nilai parameter γ dan ß distribusi ukuran butiran di titik pertemuan sungai Progo dan Putih , masing-masing sebesar 0,1947 dan 0,1885. Berdasarkan nilaiγ dan ß ini, maka distribusi sedimen permukaan dasar sungai di segmen ini dikategorikan tipe Talbot. Nilai porositasnya 0,2923 atau 29,32%. Untuk titik jembatan Kebon Agung, nilai parameter γ dan ß distribusi ukuran butirannya sebesar 0,3283 dan 0,1886, sehingga dikategorikan tipe M Talbot. Porositas distribusi materialnya sebesar 0,2909 atau 29,09%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai porositas sedimen permukaan dasar sungai relatif sama besar dari hulu ke hilir, sebesar 29%. Angkutan sedimen di pertemuan Sungai Progo-Pabelan mempunyai nilai yang paling besar dibandingkan dengan angkutan sedimen yang terjadi di titik tinjauan yang lain. Tipe distribusi butiran di titik 1 dan 3 termasuk M Talbot. Hal ini menunjukkan di kedua titik ini, ukuran butiran yang halus lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan dengan butiran kasar. Di titik 2, tipe distribusi butiran dikategorikan tipe Talbot. Hal ini menunjukkan bahwa di lokasi ini jumlah ukuran butiran kasar lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah ukuran butiran halus.

(8)

C. Angkutan Sedimen

Hasil analisis kapasitas transportasi sedimen atau angkutan sedimen dasar (bed load) pada sungai Progo pasca erupsi Gunung Merapi 2010 dengan menggunakan metode Einstein sebesar 96,55ton/hari di pertemuan sungai Progo-Pabelan. Di segmen ini, sedimennya berupa material dengan dominasi material halus. Debit aliran di lokasi ini sebesar 123,81 m3/s. Angkutan sedimen di titik pertemuan sungai Progo-Putih sebesar 29,55 ton/hari dan debit alirannya sebesar 55,41 m3/s. Tipe sedimen permukaan dasar sungai di lokasi tipe Talbot, hal ini menunjukkan bahwa sedimennya di dominasi dengan material kasar. Jika dibandingkan antara fenomena angkutan sedimen di segmen 1 dan 2, terjadi perbedaan yang signifikan. Angkutan sedimen di pertemuan sungai Progo-Pabelan lebih besar dibandingkan dengan angkutan sedimen di titik pertemuan sungai Progo-Putih, yang disebabkan oleh karakteristik sedimen dan besaran debit yang berbeda. Di titik 1, angkutan sedimen didominasi dengan material halus, sedangkan di titik 2 didominasi dengan material kasar. Perbedaan ini disebabkan oleh DAS sungai Putih yang mempunyai kemiringan lebih terjal dibandingan DAS sungai Pabelan. Angkutan sedimen di titik 3 atau di titik jembatan Kebon Agung sebesar 77,98 ton/hari dan debit alirannya sebesar 82,56 m3/s. Di lokasi ini, distribusi sedimen permukaan dasar sungai termasuk tipe M Talbot yang menunjukkan bahwa material halusnya lebih dominan dibandingkan dengan material kasarnya. Hal ini disebabkan karena di wilayah ini mulai terjadi pengendapan sedimen/sedimentasi.

6. KESIMPULAN

Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa telah terjadi perubahan morfologi sungai pasca erupsi Merapi 2010. Angkutan sedimen di bagian tengah menunjukkan nilai yang paling kecil dibandingkan dengan yang di hulu mupun di hilir. Nilai porositas material permukaan dasar sungai di semua lokasi sebesar 29%. Material permukaan dasar sungai di daerah hulu dan hilir didominasi oleh material halus, sedangkan di daerah tengah didominasi material kasar.

DAFTAR PUSTAKA

Ikhsan, J. (2010). “Study on integrated sediment Management in an active volcanic basin. the Graduate School of Engineering, Kyoto University, Kyoto, Japan

Kironoto, B. A. (1997). “Hidraulika transpor sedimen”.Sekolah Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Rosgen, D. (1996). “Applied river morphology” Widland Hydrology, Pagosa Springs, Colorado, USA

Sulaiman, M. (2008). “Study on porosity of sediment mixtures and a bed-porosity variation model. the Graduate School of Engineering, Kyoto University, Kyoto, Japan

Gambar

Gambar 1. Lokasi penelitian.
Gambar 2. DAS sungai Progo (Sulaiman, 2008)
Gambar 3. Tipe bentuk morfologi (Rosgen, 1996) B. Angkutan Sedimen
Gambar 4. Diagram hubungan antara β dan γ dengan indikasi tipe distribusi  M Talbot, lognormal, dan M anti Talbot  (Sulaiman, 2008)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Datanglah ke baitNya Datanglah ke baitNya Dengan hati bersyukur Ke dalam pelataranNya Rasakan dan lihatlah Betapa baikNya Tuhan Bagi yang berlindung padaNya. Akan bersorak

Kristina Chodorow, a software engineer at 10gen, is a core contributor to the MongoDB project and has worked on the database server, PHP driver, Perl driver, and many other areas.

2 Alika Putri Sarasw at i SM PN 1 Tabanan Bahasa Inggris. 3 Ni Put u Riant i Sukma Nanda SM PN 12 Denpasar

Padat penebaran optimal untuk pemeliharaan larva ikan kakap putih dari saat menetas sampai dengan umur 12 hari adalah antara 10-50 ind /L sedangkan untuk

Blummer and Kenton (2014) menyampaikan dalam bukunya berjudul “Improving student information search” menggaris bawahi kemampuan mencari informasi mahasiswa yang dibawah

Gambar 8 Nilai kekeruhan (NTU) pada pengolahan limbah pemeliharaan ikan lele menggunakan teknik elektrokoagulasi dengan besar tegangan dan waktu kontak yang berbeda..

menghasilkan parameter tinggi tanaman, bobot 100 biji dan hasil per hektar yang lebih tinggi dibandingkan kompos sampah organik, sedangkan penggunaan varietas

dan Keguruan UIN Alauddin Makassar, setelah dengan seksama meneliti dan mengoreksi skripsi yang bersangkutan dengan judul “ Using Inspiring Novels as Teaching Media