1 SYAIKH NAWAWĪ AL BANTANI
POSISI DAN PEMIKIRAN KALAMNYA Oleh : Naili Velayati, S. Sy., M. H.I
ABSTRAK
Tulisan ini menjelaskan konsep pemikiran kalam menurut Syekh Nawawi al-Bantani. Penelitian ini menggunakan data kepustakaan dengan metode analisa konten dan analisa deskripsi tentang pendidikan menurut Syekh Nawawi al- Bantani. Hasil temuanya bisa dilihat dari ide-ide pemikiran pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani yang meliputi: 1. eksistensi alam semesta, 2. potensi-potensi Manusia, 3. eksistensi manusia, 4. tujuan Pendidikan dam 5. prinsip-prinsip aktivitas pendidikan Islam. Pemikiran al-Bantani dapat berkontribusi dalam perkembangan tradisi Islam pribumi yang bermakna, yang akan benar-benar bersifat Islami dan kreatif. Terdapat tanda-tanda yang mengandung harapan bagi masa depan aktivitas pendidikan dan intelektual yang dinamis didasarkan pada perkembangan sekolah dan universitas- universitas Islam yang berkembang di Indonesia.
Kata Kunci: Biografi, Pemikiran kalam.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, semua itu tidak lepas dari peran ulama-ulama terdahulu yang giat menyebarkan agama Islam, di antara ulama-ulama tersebut ada satu sosok ulama yang luar biasa, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani yang merupakan sosok ulama multi- dimensional dengan latar belakang pendidikan pesantren. Nama beliau sudah sangat dikenal baik di kalangan akademisi maupun praktisi pendidikan Islam di seluruh penjuru dunia. Melalu karya-karya dan pemikirannya yang monumental, beliau telah memberikan pengaruh dalam berbagai bidang keilmuan meliputi bidang Tafsir, Tauhid, Fiqh, Tasawuf, Sejarah Nabi serta Bahasa dan Retorika Karya-karya beliau memberikan sumbangan yang sangat besar dalam kemajuan Islam
di Indonesia, dan sampai sekarang, karya-karya Syekh Nawawi masih terus dikaji dan diajarkan sehingga memberikan pengetahuan tentang ajaran Islam yang menyejukkan umat.
Pendidikan berhubungan langsung dengan manusia.
Shaykh Nawawi menjelaskan kata addibuhum artinya allimuhum mahâsin al-
akhlaq. Addibuhum artinya didiklah mereka (istri, anak- anak dan setiap orang yang masuk
dalam tanggunganmu) tentang kebagusan akhlaq. Kata ta’dib disinonimkan dengan kata
ta’lim, namun penekanannya kepada pembentukan akhlaq (transformasi). Dengan demikian
Nawawi tidak membedakan secara tajam antara pengertian kata ta’lim dan ta‟dib, yang
semuanya mengacu pada transfer dan transformasi dalam pendidikan. Karena
pembentukan akhlak peserta didik itu tidak cukup dengan transfer saja, akan tetapi harus
menggunakan transformasi juga. Pendidikan tidak hanya terbatas pada masa kanak-kanak saja,
akan tetapi juga masa dewasa bahkan sampai mati. Hanya saja, penekanan kata ta‟dib lebih
kepada pendidikan budi pekerti (akhlak).
2
Biografi Shaykh Nawawi al-Bantani
Shaykh Nawawi, atau nama lengkapnya Abu Abdul Mut‟hi Muhammad Nawawi ibn Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, dilahirkan di daerah Jawa Barat. Seorang ulama yang paling tersohor dan dikenal terutama dikalangan para santri dan ulama Indonesia, dengan sebutan Syekh Nawawi al-Bantani. Beliau lahir di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Keresidenan Banten pada tahun 1813M/1815M.
Secara silsislah Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan GunungJati Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten 1) yang bernama Sunyararas (Tajul „Arsy).4 Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad SAW melalui ayahnya K.H. Umar dan ibunya Zubaidah.
Untuk jelasnya silsilah Syekh Nawawi dari garis ayahnya sebagai berikut: Syekh Nawawi bin Kyai Umar bin Kyai Arabi bin Kyai Ali bin Kyai Jamad bin Ki Janta bin ki Masbugil bin ki Masqun bin Ki Masnun bin Ki maswi bin Ki Tajul Arusy Tanara bin Maulana Hasanuddin Banten bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon
bin Raja Amatudin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali‟ Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa An-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Ali Aridhi bin Imam Ja‟far Ash-Shaddiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyiduna Husain bin Sayyidatuna Fathimah Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW dan Silsilah dari garis ibunya adalah Syekh Nawawi bin Nyi Zubaidah binti Muhammad Singaraja.
Sejak kecil Syekh Nawawi telah diarahkan ayahnya, K.H. Umar bin Arabi yang merupakan seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid untuk menjadi seorang ulama, sudah terlihat kecerdasan beliau dimana pada usia 5 tahun Syekh Nawawi dengan mudahnya menerima pelajaran yang telah diberikan ayahnya, beberapa pertanyaan kritispun sering ia lontarkan yang terkadang membuat ayahnya bingung, dengan melihat potensi yang ada pada diri anaknya sehingga K.H Umar menyerahkan putranya kepada
K.H Sahal yang merupakan ulama terkenal di Banten, setelah belajar
K.H. Yusuf yang merupakan ulama besar Purwakarta.6 Dengan kecintaan Syekh Nawawi terhadap ilmu agama membuat dirinya bersemangat untuk selalu mempelajari berbagai macam jenis ilmu agama, dalam menuntut ilmu, Imam Nawawi kelihatanya sangat terpengaruh dengan pernyataan Imam Safi‟i dalam mendorong pencarian Ilmu kepada murid-muridnya. “Tidaklah layak bagi seseorang yang berakal dan berilmu beristirahat dalam mencari ilmu. Tinggalkan negerimu dan berkelanalah, kelak engkau akan menemukan pengganti orang yang kau tinggalkan. Bersusah payalah, karena sesungguhnya ketinggian derajat kehidupan hanya bisa dicapai dengan kesusahpayahan”.7
Pernyataan tersebut memacu dan mendorong Syekh Nawawi al- Bantani untuk
menggali, mencari, dan memperdalam ilmu agamanya pada usia 15 tahun, dimana
pada usia tersebut Syekh Nawawi bersama kedua saudaranya pergi ke Makkah untuk
menunaikan ibadah Haji. Setelah musim haji usai ia tidak langsung pulang ke
Indonesia melainkan tinggal di Mekkah untuk memperdalam ilmu Agamanya. 8
3 kesempatan ini digunakannya untuk belajar Ilmu Kalam, Bahasa dan Sastra Arab, Ilmu hadits, Tafsir dan terutama belajar ilmu Fiqh.
PEMBAHASAN
Shaykh Nawawī di bidang aqīdah adalah Ash„ariyah, di bidang fiqh bermadhhab Shāfi„ī dan di bidang tarekat mengikuti Qādiriyah.
12Karya-karyanya cukup banyak
3, meliputi hampir semua cabang ilmu-ilmu ke- Islaman: tafsir, hadīth, kalām, fiqh, tasawwuf, nahwu-saraf, madāīh nabawiyah, tārīkh, balaghah dan tajwid, yang karenanya ilmunya bersifat multi disipliner, bagaikan ensiklopedi, general, seperti Ghazalī Jawa.
4Karyanya yang prestisius ialah Tafsīr Marah Labīd Li Kashf Ma‘na al-Qur‘ān al-Majid, dikenal dengan sebutan Tafsīr al- Munīr. Karena karya-karya Shaykh Nawawī mendapat sebutan Sayyid Ulama al-hijāz.
Kebanyakan karya-karya Shaykh Nawawī adalah berupa sharah,
hashiyah, hāmish dan mukhtasar. Sedangkan karya orisinilnya ialah tafsir Marah Labīd atau tafsir al-Munīr dan ‘Uqūd al-Lujjayn (fiqh gender).
Disamping itu, Shaykh Nawawī juga menaruh nasib bangsanya, yang waktu itu masih dijajah Belanda. Dia memberikan tawsiyahnya doktrin nasionalisme dan patriotisme bahwa perang Sabīlillāh hukumnya fard kifāyah pada setiap tahun terhadap orang-orang kafir yang menjajah negerinya, sedikitnya sekali dalam setahun. Dan bila jihad itu dilakukan lebih dari itu, dipandangnya lebih utama
5. Hal ini merupakan sebagian dari motivasi Pemberontakan Petani Cilegon tahun 1988, yang dipelopori oleh pengikut tarekat Qādiriyah dan santri-santrinya yang dahulunya tergabung dalam Koloni Jawa dan terutama pada jama„ah haji.
Perlu disinggung, jika Shaykh Muhammad Abduh, tokoh modernisme di Mesir, banyak menaruh perhatian terhadap isu-isu modern dan menawarkan gagasan-gagasan baru, maka Shaykh Nawawī lebih memberikan perhatian pada isu-isu kehidupan sehari- hari bernuansa fiqh. Apabila penamaan “fiqh berorientasi kemasyarakatan” diterapkan kepada santri-santri Jawa oleh para modernis, maka Shaykh Nawawī layak disebut sebagai “perintis awalnya”.
6Problem kehidupan terus berkembang mengikuti irama kehidupan manusia. Maka ajaran agama harus mampu merespon terhadapnya. Di sini diperlukan kontektualisasi ajaran agama seiring problema sosial yang terus berkembang.
Dia menekankan totalitas pengamalan ajaran Islam dengan kronologi yang benar, meliputi: shari‘at, tarīqat dan ma‘rifat. Tanpa pengamalan seperti tersebut
1
2
Nawawī, Bahjat al-Wasāil (Surabaya: Nabhānī, tt), 2
يزداقنا اثهري ًعفاشنا يوىَ دًحي حقيسط
Nawawī, Nihayat al-Zayn Fī Irshād al-Mubtadiīn, (Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt).
اثهري ًعفاشناو اداقرعا يسعشلاا ادهت يزاُرنا سًع ٍتا يوىَ دًحي
3
Menurut: Muslim Ibrahīm Abd. Rauf dalam Tesisnya berjumlah 43 kitab, Yousuf Alian Sarkis berjumlah 38 kitab dan KH. Sirajuddin Abbas berjumlah 34 kitab.
4
Mas„ūd, Intelektual Pesantren: Perhelatan dan Tradisi, (Jogjakarta, L-Kis, 2004), 117.
5
Nawawī, Nihāyat al-Zayn. 369,
حُس مك ًف جسي ههقاو ىهدلاثت زافكنا ٌاك اذا واع مك حيافك ضسف ىه .الله ميثس ًف مرقنا يا داهجنا بات داش اذإف ،
مضفا ىهف .
6
Mas„ūd, Intelektual Pesantren: Perhelatan Tradisi, (Jogjakarta: LKIS, 2004), 124.
4
dipandangnya sebagai sesat dan menyesatkan,
7sekalipun berdalih telah mencapai tingkat kashshāf atau hakekat.
Dalam karya-karyanya, Shaykh Nawawī menyebutkan latar belakang penulisannya, dengan kata-kata li al-muhtājīn, ‘awd al-barakah, rājiyan al-intifā‘, awrathahu Allah ilmān nāfī‘ā, amaranī ba‘d al-a‘izzah atau talaba minnī mirārā, untuk membantu santri-santri Jawa agar mudah memahami kitab-kitab matan yang masih mujmal.
Sikapnya sangat tawādū dan qanā„ah, menyebut dirinya sebagai: al-faqīr, al- mu‘tarif bi al-dhanb, al-taqīr, al-mudhnib, al-faqīr, al-rājī min rabbih al-khabīr dan sebagainya. Tampilan cara berpakaian sehari-harinya, dia terbilang sederhana dan demikian pula dia menulis karya-karyanya pada malam hari hanya dengan lampu kecil minyak tanah. Kesemuanya itu menunjukkan sikap kerendahan budinya sekaligus cerminan sufismenya.
7
Nawawī, Marāqi al-‘Ubudiyah Fi Sharh Bidayah al-Hidayah, (Surabaya: Al-Hidāyah, tt.), 13.
لاف ،ءاينولاا حهًج ٍي زاصو هرجزد دهع ٌاو فهكًنا ٍع حعيسشنا ظقسذ لاو حعيسشنا سيغت حقيسطنا ىيقرسذ لاو
حعيسشنا هُع دطقس حقيقحنا ًنا مصوو اينو زاص ٍي ٌا ىعش ٍيو .اهسيغو جلاصنا ٍي خاضوسفًنا هُع ظقسذ
هف
.ءاينولاا ٍع ظقسذ فيكف ،ولاسنا ىهيهع ءايثَ لاا ٍع ظقسذ ىن جداثعنا ٌلأ مضيو لاض ى
5 Diagram 1. Shaykh Nawawī dan Konteks Sosial
Ketika di Makkah:
-Shaykh Khatīb Sambas -Shaykh Abd. „Ghani Bima - Shaykh Yusuf Sumbulawini -Shaykh Aḥmad Nahrawi - Shaykh Abd. Hamid al-
Daghistani
-Shaykh Ahmad Zayni Daḥlan Ketika di Madinah:
-Shaykh Khatīb al-Hambalī.
Guru-Guru utamanya:
Dalam karya-karyanya : Fatḥ al-Majīd, Qaṭr al- Ghayth, Tijān al-Dararī, Nur al-Ẓ alām, Qāmi‘ al- Tughyān dan tema-tema kalam tertentu dalam karya-karyanya yang lain.
- Dalam karya-karyanya: Salālim al- Fuḍalā‘ dan Marāqī al-‘Ubūdiyah, terutama mengikuti al-Ghazālī dan tasawwuf tema-tema tertentu dalam karya-karyanya.
-
Mengikuti tarekat Qādiriyah dan berbay„at langsung kepada Shaykh Khaṭīb Sambas.Mengikuti:
- Imam al-Ash„arī dan Imam-Imam Ash„ariyah dalam kalam.
- Madhab Shāfi„ī dalam fiqh.
Membangun Koloni Jawa
Pemikiran Kalam Shaykh Nawawī
Ahl al-Sunnah Wa al-Jamā„ah Pemikiran Taşawwuf
Santri
Konteks Sosial
- Kyai Khalil Bangkalan -Kyai Hāshim Ash„ari - Kyai Asnawi Kudus -Kyai Ash„arī Bawean
- Kyai Tb. M. Asnawi Caringin Pandegelang -Kyai Arshad Ṭawil Banten
- Santri-santri lainnya.
Dari diagram I, terlihat peranan Shaykh Nawawī membangun Koloni Jawa, bagi
mukimin di Makkah yang di kemudian hari mereka banyak yang menjadi
intelektual pesantren. Demikian pula corak pemikirannya dalam bidang kalam,
fiqh dan tasawwuf memiliki konstribusi dalam faham Ahl al-Sunnah wa al-
Jama‘ah.
6
Diagram 2. Genealogi intelektual kyai-kyai besar di Jawa, terlihat pada diagram berikut
8Pada diagram 2, genealogi intelektual kyai-kyai Jawa ternyata bersumber dari Shaykh Nawawī. Shaykh Mahfud al-Tirmisi (w.1918 M) ulama ahli hadith yang memperoleh gelar al-musnid, pengajar di Masjid al-harām adalah muridnya. Dan muridnya yang lain ialah Kyai Khalil Bangkalan yang lebih menonjol dunia esoteriknya dan Kyai Hāshim Ash„arī Tebuireng yang mengenalkan sistim klasikal pada pengajaran pesantren, yang melahirkan kyai-kyai besar di Jawa dan Madura.
8
Zamakshari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta, LP3ES, 1977), 89.
Hāshim Ash„āri (Hadratus- Shaykh ) 1871-1947 Ro‟is Akbar NU, 1926-1947
Khalil Peterongan Mubarak Suralaya Khalil Bangkalan d.
(1923 M) Mahfuz al-Tarmusi d.
(1918 M) Shaykh Ahmad Khatib
Minangkabau (1916 M)
Abdul Karim
Abd. Ghani Bima Khatib Sambas d. 1875 Abd. Hamīd Daghistani
Shaykh Nawawi
Yusuf Simbulawini
Nahrawi
Bisri Shamsuri 1886-1980 Ro„is Am NU III,
1972-1980
Para pemimpin Tarekat Qādiriyah dan Naqşabandiyah Pemimpin Ulama
pesantren di Jawa dewasa ini
7 Diagram 3. Mata Rantai Intelektual Ulama-Ulama Jawa Dengan Timur Tengah
9,
sebagaimana diagram berikut:
Keterangan:
Tampak pada diagram 3 bahwa Shaykh Nawawī menjadi sentral jaringan ulama- ulama Jawa dengan Timur Tengah, pada abad XIX M. Jaringan tersebut telah mulai terjalin sejak abad XVII dan XVIII M.
10Dan puncak karier akademik ulama Nusantara di Makkah adalah pada abad XIX M, yaitu: Shaykh Abd. Ghanī Bima (tidak ada keterangan dengan keahliannya), Shaykh Khatib Sambas (murshid tarekat Qādiriyah), Shaykh Nawawī (multidispliner keilmuannya), Shaykh Mahfud al-Tirmisi (ahli hadīth) dan Shaykh Khatib al-Minangkabawi (ahli usul). Muara jaringan itu bisa sampai ke
9
Mas„ud, Intelektual Pesantren, 89.
10
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 385.
Shaykh Abd. Ghani Bima
Ahmad Khatib as-Sambasi (w. 1878 M).
Sayyid Ahmad Dimyati dari Mekah
Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dari Mekah
Shaykh Ahmad Nahrawi dari Mesir
Shaykh Yusuf Sumbulawini
Shaykh Abd. Hamid al-Daghistānī
Kiai Saleh Darat (1820-1903 M),
Sayyid Abu Bakar b. Sayyid Muhammad Shatta (w. 1892 M)
Kiai Abd. Allah, ayah at-Tirmisi (w. 1896 M),
M. Sa„id al-Hadrami, seorang mufti al- Syafi„i di Mekah.
Shaykh Nawawī (1813 – 1897 M). Mahfud at-Tirmisi (1868 – 1919 M).
Khalil Bangkalan (1819 – 1925 M). Asnawi Kudus (1861 – 1959 M).
Hashim Ash„ari (1871 – 1947 M).
Para pendiri dan pemimpin pesantren utama di seluruh Jawa sejak awal abad XX hingga sekarang termasuk: Kyai Mas„sum (1870–1972 M) di Lasem, Kyai Bisri Syamsuri (1886 -1980 M) Denanyar Jombang, Kyai Munawir (w.
1942 M) Krapyak Yogyakarta, Kiai Wahab Hasbullah (1888-1971 M) Tambakberas Jombang, Kyai Bisri Mustafa (1915-1977 M) Rembang, Kyai As„ad Syamsul Arifin Sukorejo Asembagus, Kyai Manaf Abd. Karim dan Kyai Machrus Ali Lirboyo Kediri, Kyai Jazuli Ploso Kediri, Kyai Zubair Reksosari Salatiga, Kyai Adlan Ali Cukir Jombang, Kyai Mukhtar Shafa„at Abd. Ghofur, Blok Agung Banyuwangi dan Kyai Achmad Siddiq Jember
Guru Utama Hubungan intelektual Guru kedua
8
Nusantara melalui Kyai Khalil Bangkalan, Kyai Hashim Ash„arī dan Kyai Raden Asnawi. Dan Shaykh Nawawī adalah ulama Jāwī yang paling populer di Haramayn.
11Adapun pemikiran kalam Shaykh Nawawī tertuang pada karya-karya kalamnya:
Fath al-Majīd, Tījān al-Durārī, Qatr al-Ghayth, Qāmi‘ al-Tughyān dan Nūr al-Zalām, dan tema-tema kalam yang terdapat pada karya-karyanya yang lain. Dia termasuk mutakallimīn sifātiyyah, artinya tergolong yang ithbāt al-sifat.
PEMIKIRAN KALAM SYAKH NAWAWI
Bahasan masalah kalam dibatasi pada: Dhāt dan sifat, Kalām Allah, Ru‘yat Allah dan al-Af‘āl al-‘Ibād. Telah terjadi perdebatan bagaimana cara mengenal Allah, apakah melalui shara‘ lebih dahulu, kemudian baru menggunakan akal fikiran, atau justru sebaliknya. Menurut Sunni bahwa ma„rifat kepada Allah adalah melalui shara‘
lebih dahulu, kemudian baru menggunakan akal fikiran. Sedangkan menurut Mu„tazilah berpendapat sebaliknya.
12Mengenai sifat Allah, Sunni berpendapat ithbāt al- ifat, Mu„tazilah sebaliknya, nafy al-sifat.
Beriman kepada Allah, berarti harus percaya dengan sepenuh keyakinan akan sifat-sifatNya, yang merupakan sifat-sifat kesempurnaan UlūhiyyahNya. Shaykh Nawawī mengikuti pendahulunya, Imam al-Sanusi dalam sharah Umm al-Barāhīn mengatakan bahwa yang wajib bagiNya ada 20 sifat, dengan klasifikasi sifat-sifatNya, yaitu Nafsiyah Salbiyah, Ma‘ānī dan Ma‘nawiyah. Semua nama-nama Allah yang tercantum dalam al-Qur„ān adalah sifat-sifatNya, kecuali satu sifat saja yang tidak, yaitu asma “Allah” yang merupakan DhātNya, bukan sifatNya, disebut Ism al-Jalālah. Nama- namaNya disebut al-Asmā‘ al-Husnā.
Relasi antara dhāt dan sifat menjadi perdebatan, apakah sifat itu ‘ayn al-dhāt atau zāidah ‘alā al-dhāt, apakah ia itu qadīm, sementara dhāt juga qadīm? Menurut Mu„tazilah, bila dhāt itu qadīm dan sifat itu juga qadīm, maka akan terjadi ta‘addud al- qudamā‘. Golongan Māturīdī Samarkand tidak sependapat dengan Mu„tazilah, karena sebagai Sunnī mereka berpendirian bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan.
13Sedangkan golongan Māturīdī Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Persoalan ta‘addud al-qudamā‘, agar tidak menimbulkan kemusyrikan, mereka menyatakan bahwa sifat-sifat Tuhan itu abadi melalui keabadian yang terdapat dalam essensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri.
Shaykh Nawawī mula-mula berpendapat bahwa al-sifat zāidah ‘alā al-dhāt.
14Namun demikian, tiga tahun kemudian, dia merubah pendapatnya bahwa al-sifat qāimah al-dhāt.
15Pendapat ini terkesan ambigu baginya.
Tentang Kalām Allah, Sunnī berpendapat ia adalah qadīm, bukan hādith. Al- Qur„ān adalah Kalam Nafsi dari Dhāt yang qadīm, tidak berupa huruf-huruf dan suara.
Adapun mu af adalah ādith dari madlulnya yang qadīm.
16Shaykh Nawawī berpendapat bahwa harus dibedakan antara kalām Nafsī dengan kalām Laf ī. Kalām Nafsī yang tidak berwujud huruf ataupun suara, yang qāimah ‘alā al-dhāt adalah qadīm, sedangkan al-Qur„an yang diturunkan kepada Nabi SAW adalah
11
Ibid, 379.
12
Abd. Jabbar b. Ahmad, Shar al-Usūl al-Khamsah, (Beyrut: Maktabar Wahbiyah, tt), 41.
13
Harun Nasution, Teologi Islam, 137.
14
Nawawī, Fat al-Majid, (Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt), 5.
15
_______, Tījān, (Bandung: Al-Ma„arif, tt), 8.
16
_______, Fat al-Majīd, 33.
9 hādith.
17Al-Qur„ān adalah Kalam Allah, ia merupakan ifat yang ada pada DhātNya.
Karena DhātNya itu qadīm, demikian pula KalamNya adalah qadīm juga. Sedangkan al- Qur„ān yang diturunkan oleh malaikat Jibril AS secara berangsur-angsur selama hampir 23 tahun, ia adalah hādith dari madlulnya yang qadīm.
Tentang ru‘yat, Shaykh Nawawī pendapatnya sejalan dengan Imam al-Ash„arī, sebagaimana terlihat pada kitab-kitabnya: Maraḥ Labid,
18Fath al-Majīd,
19dan Nūr al- Zalam.
20Ru„yat adalah suatu yang jāiz di akherat dan di dunia ini adalah mustahil.
Telah terjadi perdebatan pendapat ketika Nabi SAW mi„rāj. Sahabat Ibn „Abbas, Anas, al-Hasan dan Ikrimah berpendapat bahwa Nabi SAW melihat TuhanNya yang tidak dibisa dibayangkan kayfiyahnya. Siti „Āishah dan Ibn Mas„ūd menolak pendapat tersebut, karena yang dilihat olehnya adalah bentuk asli malaikat Jibri AS.
21Imam al-Ash„arī tidak membahas ru„yat Nabi SAW sewaktu mi„rāj, sedangkan Shaykh Nawawī membahasnya panjang-lebar dan berpendapat ra‘āhu bi al-jinān.
Mengenai af‘āl al-‘ibād, telah terjadi perdebatan, apakah ia bersifat ikhtiyārī atau ijbārī. Firqah Qadariyah-Mu„tazilah berseberangan dengan Jabariyah. Al-Ash„arī bersikap tawassut, dengan teori kasbnya. Kasb menurut al-Ash„arī adalah suatu perbuatan yang terjadi dengan perantaraan potensi (qudrat) yang diciptakan Tuhan, sehingga kasb menjadi perolehan bagi orang yang dengan potensi tersebut perbuatan itu timbul.
22Sekalipun Shaykh Nawawī itu Ash„ariyah,
23dalam beberapa masalah lebih maju pemikirannya. Hal itu mungkin pengaruh guru-gurunya yang berasal dari Mesir, yang kemungkinan telah tersentuh oleh pembaharuan. Dalam bidang fiqh dia bermadhhab Shāfi„ī,
24tetapi tidak selalu Shāfi„ī minded. Pada karya-karya fiqhnya, dia sebutkan beberapa pendapat di berbagai madhhab, kadang-kadang dia sebutkan pendapat pribadinya atau kadang-kadang tidak menunjukkan pendiriannya. Di bidang tarekat dia pengikut Qādiriyah,
25sekalipun kenyataannya lebih dekat sufisme Ghazāli. Namun demikian dia tetap menjalin hubungan spiritual dengan guru tarekatnya, Shaykh Khatib Sambas. Dia mengecam sufisme yang heterodog sinkritis, dan excessive, sufisme yang dipandangnya sesat.
26Dari uraian tersebut, layak bagi Shaykh Nawawī disebut sebagai
“Neo Tradisionalisme”, dan ikut membangun akar pembaharuan Islam di Indonesia. Dia telah membawa isnād-isnād dan silsilah-silsilah ilmu dan tradisi agama pada masa peralihan dari tradisionalisme ke modernisme.
2717
_______, al-Majīd, 33.
18
Nawawī, Mara Labīd, (Surabaya: Dār al-Ilm, tt), 415.
19
_______, Fat al-Majīd, 39.
20
_______, Nūr al- alam, (Al-Haramayn: Singapora, Jedah, Indonesia, tt), 37.
21
Sunan al-Turmudhī, no. hadīth 3200, CD Mausū„al-Ash„arī al-Hadīth al-Sharīf, dan al-Qur„an, al-Najm (53): 13.
22
Musa, Nash‘at al-Ash‘ariyah, 46.
يسعشلاا لاقف ةسك وأ زادحا ًهعزدقي لا دثعنا ٌأت حيسثجنا دناقو ،معفنا زادحا ًهع دثعنا جزدقت حنصرعًنا دناق .معفنا ةسك ًهع دثعنا جزدقت
23
Nawawī, Nihāyat, 3.
24
_______, Bahjat, 2.
25
Ibid.
26
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, 380.
27