• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah yang dimilikinya dapat menciptakan keanekaragaman yang melimpah. Dengan populasi hampir 252.200.000 jiwa tercatat dalam Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2014 ini membuat Indonesia memiliki keberagaman ras, suku, agama, bahasa hingga budaya. Dengan total penduduk yang telah diketahui, menempatkan Indonesia kedalam 5 besar negara dengan penduduk terbanyak atau lebih tepatnya peringkat 4 dunia dibawah China, India dan Amerika. Tidak bisa dipungkiri memang dengan 1.916.862 m2 (kilo meter persegi) membuat Indonesia menghadirkan karakteristik yang berbeda setiap daerahnya (Badan Pusat Statistik, 2019: 01). Salah satu daerah atau kota yang menarik untuk dikaji adalah Kota Jakarta. Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah salah satu kota terbesar di Indonesia yang sekaligus menjadi ibukota di Indonesia ini. Kota Jakarta juga sudah menunjang infrastruktur yang tergolong modern dan menjadi salah satu kota yang terbaik di Indonesia. Oleh karena itu, Kota Jakarta termasuk dalam Kota Metropolis.

Jakarta merupakan kota yang besar dan terkenal, setiap orang ingin bekerja pada ibu kota Indonesia tersebut. kebanyakan orang dapat dikatakan sukses apabila mampu bekerja di Jakarta. Oleh karena itulah, Kota Jakarta banyak dihuni pendatang dari berbagai daerah. Banyak hal menarik pada kota yang dulunya bernama Batavia ini, seperti, sensasi naik bajaj, laki-laki berjubah dan berjenggot panjang, sauna massal dalam bus kopaja, deretan pedagang dalam jembatan penyeberangan, gedung-gedung tua bekas jajahan belanda, sekumpulan orang yang berbaris dan mengacungkan jempol mereka menyebut dirinya joki three in one. Tak hanya berisi gedung-gedung pencakar langit dan kota tua, pemukiman kumuh tak sedikit menghiasi bantaran sungai Kota Jakarta (Utama, 2019: 01).

(2)

2 Meskipun dengan segala modernitas dan nilai historis yang cukup baik, Kota Jakarta tetap tidak luput dari kesalahan pada beberapa aspek, salah satunya yaitu tata ruang. Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, 80% tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukan (Sumandoyo, 2016: 01). Lahan yang seharusnya digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau justru diubah menjadi daerah perumahan dan daerah komersil. Sebenarnya ruang terbuka di Kota Jakarta tidaklah kurang mengingat terdapat banyak lapangan, taman dan halaman gedung yang luas. Hanya saja pemanfaatnya yang sering disalahgunakan.

Sekitar 12% lahan di Kota Jakarta adalah ROW (Right Of Way, Daerah Milik Jalan=DMJ), apabila ingin membuat orang Jakarta merasa memiliki ruang terbuka yang nyaman, seharusnya membuat ruang jalan yang baik saja (Kusumawijaya, 2004: 110-111), seperti penambahan ruas pejalan kaki (minimal 3 meter), mengurangi volume pot pohon pinggir jalan, tidak terputus-putus galian lubang got, halte bus yang cukup panjang dan nyaman, tiang listrik dan tanda lalu lintas yang rapi tidak menumpuk seenaknya dan menghalangi pejalan kaki, berm jalan tidak terlalu tinggi, bangunan pinggir jalan tidak maju mundur, dan halaman yang menunjang keindahan.

Berbeda dengan penataan ruang, Kota Jakarta memiliki kemajuan perihal film mengingat Bioskop pertama kali muncul di Indonesia, berada di Kota Jakarta. Perkembangan film yang ada di Kota Jakarta pun mengalami peningkatan yang signifikan, menurut Jusuf Kalla (Yunelia, 2019: 01), produksi film terus mengalami peningkatan. Tidak hanya di Kota Jakarta, akan tetapi kota-kota lain di Indonesia juga mengalami pertumbuhan dalam bidang industri film sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang cukup menarik untuk ditonton oleh khalayak luas.

Sebuah film berubah menjadi alat representasi dan distribusi dari kebudayaan suatu daerah, menggambarkan sebuah kejadian, keindahan, kemajuan hingga pengenalan. Film juga dapat disebut sebagai media massa seutuhnya, dalam hal ini memiliki arti bahwa film mampu menjangkau populasi yang jauh lebih besar dengan cepat. Hal itu pula yang membuat

(3)

3 film dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau informasi karena kemudahannya. Tak terkecuali untuk menyampaikan unsur kedaerahan.

Film merupakan salah satu jenis dari media komunikasi massa. Disebut demikian sebab dalam prosesnya digunakan sebagai saluran atau media untuk menghubungkan pesan dari komunikator (pembuat film) dan komunikan secara massal. Sesuai dengan fungsi utamanya sebagai media komunikasi massa yang bersifat bisa visual saja atau audio visual untuk menyampaikan pesan kepada khalayak tertentu ditempat tertentu (Vera, 2015: 91). Terlebih lagi, film yang mampu membentuk karakter orang melalui pesan yang disampaikan semakin menekankan bahwasanya film bukan hanya sebagai media yang memiliki fungsi untuk menghibur saja. Akan tetapi, telah merambah pada komunikasi massa itu sendiri.

Awal sejarah film di Indonesia tidak lepas dari perubahan di negeri ini. Ketika bioskop pertama kali didirikan di Batavia atau yang sekarang dikenal dengan Kota Jakarta. Melalui film yang disebut sebagai “film sejarah” rezim orde baru membangun format relasi sipil-militer, memperkuat padangan tentang kekuasaan pemerintah dengan memfokuskan pada peran semasa berkuasa pada tahun 1945 sampai 1949. Kini film dibalut dengan nuansa yang lebih damai dan menghibur (Sobur, 2014: 218). Selain sebagai sarana hiburan, film juga sebagai media komunikasi massa yang sangat efektif, mengingat jangkauan film yang begitu luas.

Dalam proses komunikasi, baik secara verbal atau non-verbal, terdiri dari simbol-simbol yang perlu dimaknai agar menghindari terjadinya kesalahan pesan atau informasi. Oleh karena itu, perlu adanya ilmu untuk mendalami dan menekuni hal ini. Dalam kaitan ini, yaitu semiologi (ilmu tentang tanda-tanda). Graeme Turner menolak perspektif yang melihat film sebagai refleksi masyarakat. Makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat, bagi Turner, berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar “memindah” realitas ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan “menghadirkan kembali” realitas berdasarkan

(4)

4 kode-kode, konveksi-konveksi, dan ideologi dari kebudayaan. Jadi, film memiliki banyak peran maupun fungsi, tergantung sudut pandang dan kegunaan yang dibutuhkan. Film juga bisa merepresentasikan suatu hal yang memiliki nilai lebih (Irawanto, 1999: 14 dalam Sobur, 2013: 127-128).

Pada tahun 2016, Jason Iskandar merilis film terbarunya. Film yang merupakan berkat kerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Federal Jerman dan Studio Antelope ini telah ditonton lebih dari 700 ribu kali di Youtube, dan memiliki rating positif di salah satu web platform yakni Vidsee. Jason sebagai sutradara di film ini ingin melihat dan menunjukkan Kota Jakarta melalui berbagai aspek dalam segi pembangunan dan perubahannya. Gambar demi gambar yang ditunjukkan konsisten dalam penggambaran Jakarta dengan seluruh hiruk-pikuknya, layaknya macet, gedung-gedung tinggi dan hal-hal autentik yang dapat dijumpai di daerah terpadat Indonesia itu. Tidak sampai disitu saja, budaya menerobos lalu lintas juga ditampilkan pada film ini.

Dalam film ini dapat ditemukan keretakan pada teks (crack in text) berupa penggambaran kota metropolis dalam suatu negara. Dimana menurut Jean Bastie dan Bernard Dezert (1991), Kota Metropolis tidak selalu ditentukan oleh ukuran demografik (faktor kependudukan), tetapi juga oleh faktor yang lebih penting dari ukuran kuantitatif populasinya, dan dicirikan oleh system infrastruktur komunikasi dan transportasi yang melayani pergerakan commuting, aliran informasi, dan pengambilan keputusan (Ramadhani, 2018: 04). Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota yang identik dengan kecanggihan teknologi, ekonomi berkemajuan, penataan pemerintah yang baik, lingkungan yang nyaman, bangunan megah yang terstruktur dan hal-hal baik lainnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak digambarkan dalam film yang dibintangi oleh salah satu warga Jerman asli ini. Jason justru menggambarkan Kota Jakarta sebagai Kota Metropolis yang berkebalikan. Kemacetan panjang, tingkat kesadaran

(5)

5 masyarakat terkait aturan pemerintah yang rendah, lingkungan kumuh dan lain sebagainya yang diterangkan oleh Jason.

Film yang tayang 4 tahun lalu ini menggambarkan Kota Jakarta Jakarta dengan apa adanya tanpa harus menjadi sinis dengan situasinya. Film pendek ini juga dihadirkan dengan tujuan untuk memberikan penggalan cerita keseharian dan perspektif lain tentang Kota Jakarta. Film berdurasi 25 menit ini sendiri bermula ketika Togar (Yoga Muhamad) sarjana yang bekerja sebagai tukang ojek di Jakarta bertemu dengan Gunther (Frederik Neust), turis asing yang dulu sewaktu kecil pernah tinggal di Jakarta. Hanya bermodalkan foto lama yang dibawa, Gunther meminta bantuan kepada Togar untuk mencari rumah sesuai foto yang ia miliki. Tentu saja, mencari hal seperti itu menjadi kesulitan yang harus dihadapi ketika berada di Kota Jakarta. Apalagi sudah banyak perubahan yang terjadi pada Kota ini, yang pastinya semakin menyulitkan upaya mereka.

Secara garis besar, film “Balik Jakarta” karya Jason Iskandar mengupas tentang Kota Jakarta dari sudut pandang yang sederhana. Disini keadaan di Kota Jakarta digambarkan begitu dinamis dengan pengemasan yang sangat menarik. Film ini dimulai dengan pengenalan tokoh yang langsung disandingkan secara “head to head” tanpa adanya unsur berat sebelah. Ditambah dengan penggambaran kota metropolitan dengan segala modernitasnya. Akan tetapi, sisi lain mengenai lingkungan Kota Jakarta tidak dipaparkan secara jelas, seperti susahnya mencari jalan alternatif saat macet, kondisi pengendara apabila sedang macet, kampung padat penduduk, bagaimana penduduk asli Kota Jakarta berinteraksi dan lain masih banyak lagi. Sehingga, perlu adanya analisis data untuk mengungkapkan pemaknaan simbol-simbol komunikasi agar maksud daripada film bisa lebih dimengerti sesuai kajian yang ada. Salah satu kajian yang bisa digunakan dalam pengungkapan makna adalah mitologi Roland Barthes. Barthes memandang signifikansi sebagai suatu proses total dengan satu susunan yang sudah memiliki struktur. Signifikansi tak terbatas pada bahasa, tetapi juga pada hal-hal lain. Barthes juga menganggap kehidupan sosial sebagai sebuah signifikansi. Di lain kata, kehidupan sosial, apapun bentuknya,

(6)

6 merupakan suatu sistem tanda tersendiri (Kurniawan, 2001: 53 dalam Vera, 2015: 27).

Hal tersebut diatas sejalan dengan kajian Marxian tentang film, bahwasanya film tidak hanya menitikberatkan pada bentuk dan isi. Tetapi pula pada berlangsungnya film dalam kaitannya dengan subjektifitas proses konstruksi, apapun jenis yang dihasilkannya. Dengan kata lain, pentingnya kajian film terletak pada representasi itu sendiri yang juga tampak sebagai pertanyaan politis. Tentunya, hubungan antara film dan ideologi kebudayaan bersifat problematik karena film adalah produk dari struktur sosial, politik, budaya, tetapi sekaligus membentuk dan mempengaruhi dinamika struktur tersebut. Selain film bekerja pada sistem makna kebudayaan untuk memperbaharui, mereproduksi atau mereviewnya ia juga diprosuksi oleh sistem itu sendiri. Dengan demikian posisi film sesungguhnya berada dalam Tarik ulur dengan ideologi kebudayaan dimana film diproduksi. Bagaimanapun, ini menunjukkan bahwa film tidak pernah otonom dari ideologi yang melatarinya (Irawanto, 2017:18-19).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan dan ditulis sebelumnya, bisa dirumuskan sebuah rumusan permasalahan sebagai berikut:

- Apa makna Identitas Kota Jakarta dalam Film “Balik Jakarta” karya Jason Iskandar?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan sebuah tujuan dari penelitian ini berdasarkan permasalahan di atas sebagai berikut:

- Untuk mengungkap makna Identitas Kota Jakarta pada Film “Balik Jakarta” karya Jason Iskandar.

(7)

7 1.4 Manfaat Penelitian

Dari tujuan penelitian yang telah dijelaskan dan dijabarkan sebelumnya, peneliti berharap agar penelitian ini bisa memberikan manfaat yang bisa menunjang hal terkait. Adapun manfaat penelitian yang bisa diuraikan sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Akademik

Analisis semiotika pada film “Balik Jakarta” ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih pemikiran, menambah wawasan terkait penelitian serupa, khususnya mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang mengkaji penelitian terkait makna dan simbol dalam film.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini juga mengusahakan agar mampu memberikan informasi lebih terkait sudut pandang Identitas Kota Jakarta melalui data dan pemaknaan fenomena yang ada. Agar setiap wisatawan yang akan berkunjung sudah memiliki gambaran terkait kondisi, baik secara sosial, ekonomi, dan budaya di Kota Jakarta itu sendiri.

Referensi

Dokumen terkait

Pola komunikasi yang dibangun Pemkot Cimahi kepada dua target audiens yaitu pelaku UMKM dan masyarakat dalam kampanye perubahan merek Kota Cimahi sebagai Creative City terbagi

Setelah selesainya pelatihan ini, para peserta diharapkan akan mempunyai ide-ide dan pemikiran baru yang lebih baik tentang bagaimana menggunakan berbagai macam tools

Keadaan ini menunjukkan bahwa perusahaan berhasil menciptakan nilai (Create value) bagi pemilik modal sehingga menandakan bahwa kinerja keuangannya sehat. b) EVA

Data yang dikumpulkan terdiri atas data pengeluaran program pada tingkat pusat yaitu dari Kementerian dan Lembaga, data sub nasional yang diperoleh dari 8 provinsi yang meliputi

• Urutan prioritas penyediaan SDA (selain untuk kebutuhan pokok dan untuk irigasi pertanian rakyat) ditetapkan pada setiap WS oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai

Setiap akan melakukan “presentasi latihan praktik manajerial/raow teaching experienceke pendidikan”, mahasiswa harus membuat rencana persiapan praktik (RPP) yang

Gambar 1.14 Diagram Persentase Persepsi Pelatih Terhadap SDM Berdasarkan diagram persentase persepsi pelatih di atas maka sumber daya manusia (SDM) yang ada di Akademi

Proses ini akan menghasilkan hasil dari sebuah klasifikasi pada dokumen rekam medis untuk digunakan proses informasi ekstraksi teks kedalam database yang akan