• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Peta Pulau Ambon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Peta Pulau Ambon"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kota Ambon terletak di bagian selatan Pulau Ambon, tepatnya di daerah pesisir Teluk Ambon dan Teluk Baguala. Total luas wilayah Kota Ambon sekitar 786 km2, terbagi atas luas daratan 377 km2 (48,0 %) sedangkan luas perairan 4 mil laut sebesar 409,0 km2 (52,0 %). Luas daratan Kota Ambon ini hampir separuh dari luas Pulau Ambon dengan garis pantai sepanjang 102,7 km. Kawasan pesisir dan perairan Kota Ambon dihadapkan kepada dinamika laut Banda, terdapat dalam bentuk teluk yang relatif tertutup (Teluk Ambon) dan yang lebih terbuka (Teluk Baguala) serta perairan terbuka (Pantai Selatan Kota Ambon) (Gambar 1).

Gambar 1 Peta Pulau Ambon

Laju pertumbahan penduduk Kota Ambon per tahun cenderung meningkat, yaitu untuk periode 1971-1980 meningkat sekitar 6,02 %, untuk periode 1980 - 2000 meningkat sekitar 4,3 %, dan untuk periode 2000 – 2010 meningkat rata-rata 5,65%. Perkembangan penduduk yang demikian tinggi pertumbuhannya, selain mempunyai dampak negatif, namun berdampak positif terhadap pemasaran hasil tangkapan nelayan. Sebab dengan budaya makan ikan masyarakat di Maluku, termasuk Kota Ambon, berdampak positif terhadap permintaan ikan segar untuk konsumsi rumah tangga, sehingga peluang pasar hasil tangkapan nelayan terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk.

(2)

Kondisi ini menyebabkan pusat-pusat pemukiman baru dalam kota selama beberapa tahun terakhir ini terus bertambah, yang membuat sistem tatanan kota yang semakin kompleks. Selain itu, sebagai dampak pengembangan sarana dan prasarana perhubungan dan transportasi di pulau-pulau sekitar yang terkoneksi dengan Kota Ambon, seperti di PP. Lease, Pulau Seram dan Pulau Buru, mengakibatkan hubungan pusat-pusat pengembangan di pulau-pulau tersebut dengan kawasan belakangnya sudah semakin baik karena adanya jalan-jalan raya, transportasi laut dan penyeberangan, sehingga Kota Ambon menjadi kawasan yang cepat tumbuh, dan Kota Ambon telah berfungsi sebagai pendorong pembangunan daerah sekitarnya. Demikian pula Kota Ambon dengan peran sebagai pusat-pusat jasa pemerintahan, ekonomi, keuangan, dan pintu gerbang transit barang dan jasa maupun orang dari dan keluar Maluku, sehingga perkembangan Kota Ambon dari berbagai aspek cukup dinamik.

Dari segi ekonomi, Kota Ambon mengalami perkembangan yang cukup pesat, melebihi kabupaten/kota lainnya di Maluku. Hal ini dapat dilihat dari rata- rata pertumbuhan ekonomi setiap tahun dalam lima tahun terakhir, berkisar 5,5 - 7%, sedangkan kabupaten/kota lain di Maluku rata-rata kurang dari 5% per tahun.

Dari segi struktur ekonomi, perekonomian Kota Ambon dalam tiga tahun terakhir (2008-2010) didominasi 3 sektor primer yang memberi kontribusi tertinggi terhadap PDRB, yaitu :

1) Sektor perdagangan dengan kontribusi rata-rata per tahun 28% dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 6% per tahun;

2) Sektor pemerintahan umum dan pertahanan dengan kontribusi rata-rata per tahun 22% dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 6% per tahun;

3) Sektor perikanan dengan kontribusi rata-rata per tahun 17%, dengan pertumbuhan yang relatif stabil sekitar 4,5% per tahun.

Kontribusi sektor lainnya terhadap PDRB Kota Ambon rata-rata di bawah 6%.

Data-data di atas menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi perekonomian di Kota Ambon. Dengan demikian, sebagai kota pesisir yang memiliki wilayah laut dan dikelilingi oleh laut yang potensial, perikanan dan jasa kelautan dapat menjadi salah satu kontributor penting dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir. Untuk itu, sektor perikanan dapat dikembangkan secara

(3)

maksimal, dan menjadi andalan bagi pengembangan ekonomi di Kota Ambon, terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, karena beberapa pertimbangan, yaitu :

1) Perikanan, terutama perikanan tangkap telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya, termasuk juga masyarakat Kota Ambon, terutama dalam pola konsumsi sehari-hari, dimana ikan wajib ada dalam komposisi menu makan sehari-hari.

2) Kota Ambon tidak memiliki sumber daya alam potensial lain selain sumber daya laut (52% dari luas wilayah Kota Ambon), baik wilayah laut yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan Pemerintah Kota Ambon (sepanjang 4 mil dari garis pantai), maupun wilayah laut diatas 4 mil dari pantai.

3) Dalam struktur ekonomi Kota Ambon, sektor perikanan merupakan sektor dominan ketiga dan pertumbuhan per tahun yang relatif stabil dan cukup tinggi.

4) Kota Ambon ditetapkan sebagai salah satu dari 9 kabupaten/kota lokasi Program Minapolitan percontohan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

5) Produksi atau hasil tangkapan nelayan pesisir belum dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal, karena setiap saat kebutuhan pasar lokal mesti dicukupi dengan sebagian hasil tangkapan dari perikanan industri yang beroperasi di perairan laut Maluku, yang hendak diekspor ke luar Ambon.

6) Potensi sumberdaya manusia produktif di desa atau kelurahan pesisir cukup tersedia, karena angkatan kerja produktif banyak yang menganggur

Namun demikian, peran sektor perikanan bagi pengembangan ekonomi Kota Ambon tersebut belum diikuti oleh kemampuan pasokan hasil tangkapan nelayan lokal pada pasar potensial yang terus berkembang di Kota Ambon. Selama ini, pemenuhan kebutuhan ikan di pasar lokal selalu dicukupi oleh industri perikanan laut yang berbasis di Kota Ambon. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kota Ambon seringkali meminta industri perikanan yang melakukan bongkar-muat ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Ambon maupun Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Erie, agar secara rutin dapat mencukupi permintaan pasar lokal, di samping pasar regional dan ekspor. Kondisi ini tentu sangat disayangkan, karena potensi pasar lokal yang terus meningkat, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, dan tingkat konsumsi ikan per kapita yang tinggi tersebut, tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh nelayan lokal.

(4)

Selain kegiatan perikanan tangkap, di Kota Ambon juga terdapat kelompok kegiatan sosial ekonomi khas perkotaan yang beraktivitas di laut maupun pesisir pantai, seperti transportasi laut dengan menggunakan perahu tradisional, kapal motor dari kecil sampai kapal-kapal niaga besar maupun aktivitas armada Angkatan Laut yang berpangkalan di dalam Teluk Ambon, maupun armada penyeberangan (feri). Terdapat juga kawasan pariwisata pantai, dan kawasan bisnis dan ekonomi lainnya di pesisir pantai Kota Ambon.

Dengan kata lain, pesisir Kota Ambon sangat padat dengan berbagai aktivitas ekonomi yang terus meningkat. Kondisi obyektif ini akan terus berkembang sejalan dengan dinamika kemajuan kota, yang akan berdampak pada pemanfaatan kawasan pesisir secara meluas untuk menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, aktivitas ekonomi yang terus meningkat tersebut belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang terjadi Kota Ambon. Selama ini, aktivitas ekonomi nelayan pesisir sangat sedikit (dibawah 3%) dibanding dengan jumlah total angkatan kerja. Dilain sisi, tingkat pengangguran cukup tinggi, yaitu sebasar 17,57% (BPS Kota Ambon 2010).

Berdasarkan gambaran mengenai status perikanan, terutama perikanan tangkap di Kota Ambon, dan perkembangan berbagai sektor ekonomi lainnya, terutama sektor-sektor ekonomi yang khas perkotaan, seperti perdagangan, dan jasa-jasa (jasa layanan pemerintahan, jasa keuangan, jasa perhotelan dan restoran, jasa transportasi dan telekomunikasi, serta jasa-jasa modern lainnya), dengan melihat indeks perkembangan PDRB Kota Ambon berdasarkan harga berlaku, selama periode 2008 – 2010 (Pendapatan Regional Kota Ambon 2011), sektor perikanan mengalami perkembangan yang stabil, yaitu tiap tahun sekitar 4,5% lebih rendah dari sektor moderen khas perkotaan yang pertumbuhannya di atas 5%. Jika dilihat dari struktur ekonomi Kota Ambon, kontribusi sektor perikanan dalam tiga tahun terakhir relatif stabil, yaitu 17,61% di tahun 2008 dan 16,80% di tahun 2010, sedangkan sektor- sektor modern, yaitu sektor jasa-jasa, terutama jasa perdagangan sedikit mengalami peningkatan kontribusi, yaitu 25,77% di tahun 2008 menjadi 26,36% di tahun 2010, sedangkan sektor unggulan lainnya, yakni sektor pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa, terutama jasa pemerintahan umum dan pemerintahan, yang relatif stabil kontribusi nya terhadap PDRB Kota Ambon dari tahun ke tahun.

(5)

Disisi lain, tingkat kemiskinan penduduk desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon tahun 2011 masih lebih tinggi, yaitu 16,0%, dibanding dengan Kota Ambon secara keseluruhan yang hanya 14,9% (lihat Tabel 1). Dengan kata lain, berbagai aktivitas masyarakat pesisir di 32 desa dan kelurahan di Kota Ambon, pada berbagai sektor, termasuk perikanan, belum efektif mengurangi tingkat kemiskinan, dibanding dengan 18 desa dan kelurahan non pesisir. Karena itu, diperlukan adanya kajian komprehensif untuk menganalisis dan mengidentifikasi penyebab pokok kemiskinan penduduk sehingga dapat merumuskan kebijakan strategis yang tepat.

Tabel 1. Tingkat Kemiskinan Di Kota Ambon

Kecamatan

Seluruh Desa & Kelurahan Desa & Kelurahan Pesisir Desa/

Kel. 2008 2009 2010 2011 Desa/

Kel. 2008 2009 2010 2011

Sirimau 14 12,5% 11,7% 10,2% 10,1% 4 13,1% 13,0% 11,7% 11,7%

Nusaniwe 13 15,4% 15,7% 15,1% 14,7% 8 14,1% 13,9% 13,7% 13,5%

TA. Baguala 7 25,9% 24,7% 22,9% 19,1% 7 25,9% 24,7% 22,9% 19,1%

Teluk Ambon 8 22,8% 20,8% 20,5% 20,7% 7 22,5% 20,8% 20,6% 20,7%

Leitimur

Selatan 8 23,4% 22,6% 22,5% 21,3% 6 20,0% 24,2% 24,0% 22,8%

TOTAL 50 17,2% 16,7% 15,7% 14,9% 32 18,1% 18,1% 17,1% 16,0%

Sumber : Diolah dari data BKKBPM Kota Ambon

Berdasarkan uraian-uraian di atas, salah satu cara yang strategis untuk merumurskan kebijakan pengembangan perikanan, terutama perikanan tangkap, di Kota Ambon, sekaligus sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan di desa dan kelurahan pesisir, ialah klusterisasi desa dan kelurahan pesisir berbasis kesamaan karakteristik.

1.2 Perumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang penelitian ini, paling sedikit ada tiga permasalahan pokok pada sektor perikanan Kota Ambon, yaitu : (1) potensi pasar lokal masih belum mampu dipenuhi oleh hasil tangkapan ikan nelayan lokal, (2) kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Ambon cenderung turun, (3) masyarakat miskin di desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon relatif lebih tinggi dari desa dan kelurahan non pesisir. Kondisi ini tentu sangat memprihatikan, mengingat sektor perikanan khususnya perikanan tangkap termasuk andalan utama di

(6)

Kota Ambon maupun Provinsi Maluku, karena sebagian besar wilayahnya merupakan lautan yang kaya dengan sumberdaya perikanan. Permasalahan pokok ini, selanjutnya dijabarkan ke dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut :

1) Bagaimana tingkat kemajuan perikanan desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon saat ini, apakah sebanding dengan tingkat kemiskinan desa-desa pesisir tersebut?

2) Apakah kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan di desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon sekarang ini layak secara ekonomi untuk dikembangkan di masa yang akan datang secara berkelanjutan?

3) Bagaimana mengklusterkan desa dan kelurahan pesisir di Kota Ambon berbasis usaha perikanan tangkap yang prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang?

4) Apa saja faktor-faktor determinan yang merupakan indikator kebijakan pengembangan perikanan tangkap pada setiap kluster desa di Kota Ambon?

5) Apa kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang tepat dan tidak bertentangan dengan kebijakan nasional maupun provinsi?

6) Bagaimana strategi pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang dapat diandalkan sebagai salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat pesisir dan istrumen penyebaran sentra ekonomi perkotaan pesisir?

1.3 Tujuan

Secara umum, penelitian ini bertujuan ”merancang sebuah model pengembangan industri perikanan tangkap berbasis kluster desa di Kota Ambon sebagai salah satu instrumen pemberdayaan masyarakat pesisir dan istrumen penyebaran sentra ekonomi perkotaan pesisir”.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1) Menganalisis tingkat kemajuan desa-desa pesisir di Kota Ambon saat ini.

2) Menganalisis kelayakan usaha perikanan tangkap di desa-desa pesisir Kota Ambon jika dikembangkan di masa yang akan datang secara berkelanjutan.

3) Membuat kluster desa-desa pesisir di Kota Ambon berbasis usaha perikanan tangkap yang prospektif untuk dikembangkan di masa yang akan datang.

(7)

4) Menganalisis faktor-faktor kontekstual yang merupakan indikator kebijakan pengembangan perikanan tangkap pada setiap kluster desa di Kota Ambon.

5) Menganalisis kebijakan pengembangan perikanan tangkap berbasis desa kluster di Kota Ambon yang tepat dan tidak bertentangan dengan kebijakan nasional maupun provinsi, sehingga dapat menjadi instrumen kebijakan yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat pesisir untuk mengentas kemiskinan.

Dari tujuan-tujuan khusus tersebut, terutama tujuan (5), diharapkan produksi perikanan pesisir dapat memenuhi kebutuhan pasar lokal secara kontinyu, dan kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Ambon tetap menjadi salah satu sektor dominan, sehingga perikanan menjadi lapangan kerja yang menarik bagi penganggur di desa dan kelurahan pesisir, dan akhirnya terjadi peningkatan kesejahteraaan masyarakat pesisir.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada masing-masing pemangku kepentingan, yaitu :

1) Sebagai bahan masukan bagi pengambil kebijakan dalam mengembangkan perikanan yang berbasis desa kluster perkotaan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

2) Sebagai bahan informasi bagi pengelola usaha perikanan dalam mengembangkan usaha perikanannya.

3) Sebagai bahan pemikiran, informasi dan rujukan bagi peneliti-peneliti selanjutnya dalam mengembangkan model pengelolaan ekonomi pesisir yang terintegrasi dengan di topang ekonomi usaha perikanan desa.

1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kegiatan perikanan yang berkembang di Kota Ambon terdiri dari usaha perikanan skala industri (industri perikanan) dan usaha perikanan tradisional.

Usaha perikanan skala industri dimiliki oleh para pemodal yang rata-rata menggunakan armada penangkapan maupun alat tangkap yang relatif lebih moderen dan pada umumnya tidak bermukim di desa pesisir Kota Ambon.

Sementara itu, usaha perikanan rakyat adalah usaha perikanan masyarakat yang bermukim di desa dan kelurahan pesisir Kota Ambon, menggunakan armada

(8)

penangkapan maupun alat tangkap yang relatif sederhana. Kedua kegiatan perikanan tersebut telah menjadi bentuk aktualisasi sektor perikanan selama ini di Kota Ambon dengan kontribusi dan masalahnya masing-masing. Namun demikian, keberhasilan pengembangan perikanan kedepan sangat tergantung pada arah kebijakan yang dipilih dalam memajukan industri dan usaha perikanan tersebut yang umumnya bertumpu pada potensi yang ada di desa-desa pesisir. Kondisi pengelolaan perikanan desa pesisir yang ada saat ini, baik menyangkut alat tangkap, teknologi, jasa perikanan, aktivitas ekonomi pendukung, dan fasilitas penunjang yang ada sangat mempengaruhi perkembangan perikanan tangkap di Kota Ambon ke depan. Hamdan, et. al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kemajuan pembangunan perikanan di suatu wilayah sangat bergantung pada kesiapan komponen pendukung operasi perikanan dan sinergi stakeholders dalam berinteraksi terutama dukungan dunia usaha dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi sumberdaya wilayah.

Karena itu, penelitian ini memandang perlu untuk mengelobrasi status industri perikanan tersebut dengan potensi desa pesisir di Kota Ambon yang diharapkan menjadi pijakan awal bagi analisis dan pengembangan yang lebih baik bagi kegiatan perikanan Kota Ambon. Analisis ini akan memadukan konsep pengkategorian/klasifikasi desa menurut BPS (1990) dengan indikator umum yang mengacu pada karakteristik kawasan minapolitan sesuai Permen Kelautan &

Perikanan No. 12/MEN/2010. Dengan konsep tersebut diharapkan dapat diketahui dan dikelompokkan jenis desa pesisir dengan kategori desa pesisir mina mula, mina mandiri, dan minapolitan, dalam kaitannya dengan pengelolaan perikanan. Dengan acuan dimaksud, desa pesisir tersebut juga dapat dikelompokkan berdasarkan keberadaan: (a) usaha perikanan, yang meliputi : unit usaha penangkapan, unit usaha budi daya, unit usaha pengolahan, unit usaha pemasaran, teknologi produksi, dan metode operasi; (b) sarana penunjang usaha perikanan, yang meliputi : pabrik es, koperasi, dan lembaga keuangan; serta (c) sosial budaya masyarakat, yang meliputi : spesifikasi mata pencarian penduduk di bidang perikanan, kualitas sumber daya manusia desa, kualitas tenaga kerja usaha perikanan, asal tenaga kerja usaha perikanan, tempat penjualan alat produksi, tradisi dalam menjalankan usaha perikanan, pembauran etnis dalam masyarakat, dan pengawasan sosial.

(9)

Bila melihat perannya terhadap ekonomi daerah, kontribusi kegiatan perikanan terhadap PDRB cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, meskipun kegiatan perikanan tersebut cukup banyak di desa pesisir Kota Ambon.

Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah kegiatan perikanan yang ada di desa-desa pesisir tersebut layak diusahakan secara finansial (ekonomis) atau sebaliknya. Karena itu, dipandang perlu untuk pengembangan suatu konsep analisis yang dapat melihat secara tepat kelayakan usaha perikanan (armada penangkapan) tersebut. Konsep analisis yang digunakan adalah konsep Benefit Cost Analysis (BCA). BCA dianggap lebih baik dalam menilai kelayakan usaha, karena dihitung dengan mengakomodir perubahan suku bunga yang terjadi setiap periode. Analisis BCA ini dapat mengidentifikasi armada atau usaha perikanan yang layak dan tidak layak secara ekonomi untuk dikembangkan di setiap desa pesisir Kota Ambon.

Untuk mendukung analisis selanjutnya, armada/usaha perikanan tersebut kemudian diurutkan berdasarkan nilai BCR-nya.

Setiap desa pesisir di Kota Ambon mempunyai potensi perikanan dan karakteristik tersendiri yang mungkin sangat berbeda satu sama lain. Dalam upaya pengembangan perikanan, hal ini perlu dilihat secara positif, dimana desa dengan industri/usaha perikanan yang sama bisa saling memperbesar (semakin layak) dan yang beda bisa saling melengkapi. Brown and Smith (2005) dan Munasinghe (1993) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi perikanan harus dilakukan atas prinsip keseteraan, saling menguntungkan, dan pengembangan bersama potensi yang dimiliki berdasarkan kesamaan visi dan karakteristik wilayah. Untuk maksud ini, maka desa pesisir tersebut perlu dikelompokkan (clustered villages) menurut karakteristik tiap desa, sehingga efektifitas dan efisiensi program pengembangan perikanan lebih baik. Pemikiran penelitian ini dilakukan dengan membuat kelompok desa pesisir berdasarkan armada/usaha perikanan dengan nilai BCR tertinggi, status desa berdasarkan karakteristik kawasan minapolitan, proporsi kepemilikan usaha perikanan, dan posisi strategis desa terhadap pusat pasar dan jalur distribusi setiap desa.

Untuk menetapkan arah kebijakan yang tepat ke depan, maka berbagai faktor-faktor determinan yang mempengaruhi tiap kluster desa diidentifikasi dan dilihat mana yang berpengaruh signifikan dan tidak signifikan, mana yang signifikan positif dan signifikan negatif. Hal ini akan membantu pengambil

(10)

kebijakan untuk memilih pola pengembangan yang lebih tepat, terutama bila kondisi anggaran yang terbatas. Signifikansi pengaruh dapat memberi arahan bagi pengambil kebijakan untuk mengurangi, mengabaikan, mempertahankan, atau mengembangkan faktor determinan tertentu yang kontekstual dalam pengembangan tiap kluster desa. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan konsep analisis menggunakan metode Structural Equation Modelling (SEM).

Dengan pendekatan yang dipadukan dari hasil analisis tersebut akan diketahui berbagai aspek pengelolaan yang dapat menjadi arahan kebijakan integratif yang memperhatikan potensi, status desa pesisir, jenis interaksi yang berpengaruh dan signifikan di setiap kluster desa. Menurut Hartoto, et.al (2009) penyusunan kebijakan perikanan yang mempertimbangkan semua aspek pengelolaan dan kepentingan stakeholders akan menjadikan kebijakan lebih dapat diterima, tahan banting, stabil terhadap berbagai intervensi pengelolaan yang terjadi. Supaya dapat diterapkan secara nyata dan lebih luas, maka arahan kebijakan tersebut perlu dibuat lebih makro dan berskala prioritas. Hal ini akan coba dilakukan dengan mengembangkan konsep hierarki interaksi dan kepentingan menggunakan Analytical Hirarchy Process (AHP). Penentuan prioritas kebijakan dalam AHP ini akan dilakukan melalui analisis terstruktur mulai dari analisis tujuan pengembangan, analisis kriteria pengembangan (berdasarkan kluster desa pesisir), analisis sub kriteria (beberapa syarat penting dalam pengembangan), dan analisis berbagai arahan/alternatif kebijakan pengembangan yang ditawarkan.

Pengembangan integratif dari hasil identifikasi status desa, analisis kelayakan usaha (BCA), SEM, dan AHP ini diupayakan dapat menjadi Model Pengembangan Perikanan Tangkap Berbasis Kluster Desa (Villages Clustered) yang tidak hanya dapat diimplementasikan di Kota Ambon tetapi juga di wilayah lain, terutama yang mempunyai karakteristik yang serupa, ataupun menggunakan pola klasterisasi desa seperti yang dikembangkan dalam disertasi ini.

Marijan (2005) dan Klapwijk (1997) menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai karakteristiktik dan kesiapan tersendiri dalam mendukung pengembangan suatu usaha ekonomi, dan oleh karenanya diperlukan strategi tepat yang mampu memaksimalkan potensi wilayah serta mengeliminasi konflik kepentingan yang mungkin terjadi. Karena itu, dalam konteks pengembangan desa berbasis kluster di Kota Ambon, perlu dikembangkan strategi yang tetap yang

(11)

sesuai dengan kondisi dan kebutuhan tiap kluster desa. Hesieh dan Li (2009) menyatakan klusterisasi dilakukan untuk memetahkan wilayah berdasarkan kondisi dan permasalahan-permasalahannya, sehingga strategi dan tindakan pengembangan dapat dilakukan secara tepat. Penelitian ini mengembangkan prioritas strategi kebijakan yang berkesesuaian untuk pengembangan perikanan tangkap setiap kelompok kluster desa di Kota Ambon, disamping prioritas strategi yang sifatnya makro atau lintas kluster desa. Strategi kebijakan makro (lintas kluster) akan menjadi panduan umum yang harus dilakukan dan mengikat bagi setiap kluster desa untuk mendukung pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan di Kota Ambon. Agar strategi kebijakan berhasil maksimal, maka dalam pelaksanaan harus dikontrol, selalu dipantau dan dievaluasi kesesuaiannya dengan kebutuhan dan konsep pengembangan kluster desa di Kota Ambon.

Secara singkat, kerangka pemikiran yang dipaparkan di atas, digambarkan dalam sebuah diagram seperti ditunjukkan pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar

Tabel 1. Tingkat Kemiskinan Di Kota Ambon

Referensi

Dokumen terkait

Peristiwa atau kejadian yang terjadi di lokasi penelitian seperti kegiatan di mapalus suka/duka, arisan, kelompok mapalus tani bunga dan kelompok mapalus tani, kerja

Tabel 7.4 Strategi dan Kebijakan yang Diperlukan untuk Mewujudkan Perikanan Budidaya Nasional yang Berkelanjutan ....

Caranya adalah dengan memberikan komitmen untuk senantiasa memberi kepuasan kepada pelanggan yang pada gilirannya akan menjadi sumber penyempurnaan mutu produk atau jasa dan

Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan sudah menerbitkan Sustainability Report sampai pada tahun 2012 dengan standar yang diberlakukan

Elemen Elemen yang yang menjelaskan menjelaskan teknologi/kapabi teknologi/kapabilitas litas (know how) (know how) yang diperlukan dan akan yang diperlukan dan

Jika dulu anda berbelanja sebanyak RM1K misalnya, kini 100% boleh disimpan terus ke akaun simpanan atau pelaburan anda, oleh itu jika selama ini sebagai contoh anda berbelanja

Hutan mangrove juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau.Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas

Berdasarkan penilaian tersebut maka dinyatakan bahwa pengembangan model pembelajaran berbasis alam layak digunakan dengan revisi sebagai model pembelajaran