SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh : SRI WAHYUNI
105381104416
UNIVE RSIT AS MUHAMMADI Y AH MAKAS SAR FAKULTA S KE GU RUA N DA N I LMU PENDIDI KA N
PROGRAM STU DI PEND IDI KA N SOSIOLOGI NOVEMBER 2020
MOTTO
Jagalah hubunganmu dengan Allah, Maka Allah akan menjagamu!
(H. R. Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya bersungguh-sungguh itu adalah gerbang menuju kemenangan maka janganlah takut dalam kegagalan!!!
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya ini Sebagai darma baktiku untuk Ayahanda dan Ibundaku tercinta Serta saudara dan keluargaku tersayang..
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjat kan kepada kehadiran Allah Subhanahu wata’ala atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan nikmat empat ketrampilan berbahasa kepada manusia yang terdiri dari ketrampilan menyemak yang berkaitan dengan pendengaran yang di perintahkan untuk mendengar hal yang baik-baik saja. Kemudian, ketrampilan membaca yang berkaitan dengan penglihatan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah Subhana wata’ala. Selanjutnya, ketrampilan berbicara yang berkaitan dengan ucapan yang bertujuan untuk menyampai kan hal-hal yang positif. Dan ketrampilan menulis yang bertujuan untuk mengikat ilmu yang telah diperoleh. Penulis bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Subhanahu wata’ala.
Selawat dan salam tetap tercurahkan kepada junjungan Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Beliau adalah nabi yang telah menggulung tikar-tikar kejahiliahan dan membentangkan permaidani keislaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Sehingga umat manusia dapat merasakan nikmatnya ilmu pengetahuan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua tercinta atas doa dan kasih sayangnya yang tak pernah padam agar menjadi anak yang sukses. Penulis tak pernah lupa atas semua yang telah mereka berikan. Semoga mereka selalu diberikan umur yang panjang, kesehatan, dan dilindungi Allah Subhana Wata’ala.
1. Teristimewa Orang tua saya Ayahanda Abdul Rahim dan Ibunda Hj Farida Tercinta yang dengan segala pengorbanan nya tak akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. Doa restu, nasihat dan petunjuk bagi mereka yang merupakan dorongan yang paling efektif bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini.
v
2. Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Erwin Akib, M,Pd., Ph.D. Selaku dekan fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar
4. Drs. H. Nurdin, M,Pd. Selaku Ketua Prodi Ketua Prodi Pendidikan Sosiologi
5. Kaharuddin, S.Pd., M.Pd., Ph,D. Selaku sekretaris prodi pendidikan sosiologi
6. Kaharuddin, S.Pd.,M.Pd.,Ph.D. Selaku Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan membimbing penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.
7. Dr. Jamaluddin Arifin, S.Pd.,M.Pd. Selaku pembimbing II yang selalu bijaksana memberikan bimbingan, nasehat serta waktunya selama pembimbingan pembuatan Skripsi.
8. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
9. Masyarakat Desa Bonto Padang Yang telah bersedia menjadi informan.
10. Team Zheyeng yang selalu mensupport untuk menyelesaikan Skripsi ini.
11. Seluruh teman-teman angkatan, terutama untuk kelas Sosiologi B 2016 dan Genosida 2016 yang senantiasa mengisi hari-hari penulis menjadi menyenangkan.
12. Teruntuk sahabatku Nasrah yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
vi
dari berbagai pihak yang sifatnya membangun karena penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan.
Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi penulis.
Billahi Fii sabililhaq, fastabiqul khairat, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Makassar, November 2020
Penulis
vii
vii ABSTRAK
Sri wahyuni, 2020. Perspektif Budaya Siri‟ Dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu Kabupaten Bone (Studi Fenomenologi Kearifan Lokal Bumi Arung Palakka). Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan. Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Kaharuddin dan Pembimbing II . Jamaluddin Arifin.
Budaya Siri‟ bugis merupakan nilai yang terkonstruksi secara alami dan melembaga di tanah Bugis Bone. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih dalam Eksistensi Budaya Siri‟ dan bagaimana perspektif Masyarakat Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone Terkait Budaya Siri‟. Penelitian ini merupakan penelitian fenomenologi dengan menggunakan 6 informan dengan metode pengumpulan data menggunakan metode wawancara dan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan Eksistensi budaya siri‟ di Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu telah ditunjukkan dengan pelaksanaan kearifan lokal yang sampai saat ini masih terjaga. Persatuan, saling membantu, dan kepedulian masyarakat desa satu sama lain menunjukkan wujud budaya siri‟ yang masih cukup kental dalam diri masyarakat desa Bonto Padang. Adapun budaya siri‟
secara budaya ditunjukkan melalui 5 jenis kearifan lokal yang masih ada yaitu:
Marakka bola, Masarappo atau mabbaruga atau walasuji, Kerja bakti, dan gotong royong.Perspektif Masyarakat Desa Bonto Padang Kecamatan terkait tentang budaya siri‟ ditanggapi beragam. Budaya siri‟ menurut pandangan sosial ditunjukan dari tata krama yang ditunjukkan oleh seseorang. Bagaimana berperilaku dan memperlakukan orang lain. Selain itu seseorang yang senantiasa menjaga siri‟ nya maka akan terjaga pula serta akan mendapatkan perlakuan maupun penghargaan dari orang lain karena pandai menjaga diri.
Kata kunci: Budaya siri‟ kearifan lokal, perspektif.
viii
viii ABSTRAK
Sri Wahyuni, 2020. Siri’ Cultural Perspective In The Socio Cultural Life Of The Community In Bonto Padang Village . (Phenomenological Study Of Local Wisdom Of Arung Palakka Earth ). Faculty of teacher training and education, Muhammadiyah University Of Makassar. Advisor I Kaharuddin and Advisor II . Jamaluddin.
Siri' bugis culture is a naturally constructed and institutionalized value in bugis boneland. The purpose of this study is to analyze more in Siri's Cultural Existence and how the community of Into Padang Village Kahu Sub-District, Bone Regency is related to Siri Culture'. This research is a phenomenological study using 7 informants with data collection methods using interview methods and analyzed qualitatively.
The results showed the existence of siri' culture in Bonto Padang Village kahu sub-district has been shown by the implementation of local wisdom that until now is still maintained. The unity, mutual help, and concern of the villagers to each other shows the form of siri' culture that is still quite strong in the village community of Bonto Padang. As for siri culture' is culturally demonstrated through 5 types of local wisdom that still exist: Marakka bola, Masarappo or mabbaruga or mawa suji, Kerja bakti, and gotong royong. The perspective of bonto padang sub-district villagers related to siri' culture responded to various.
The culture of 'siri' according to the social view is shown from the manners indicated by a person. How to behave and treat others. In addition, someone who always guards his series will be awake and will get treatment and appreciation from others for being good at looking after themselves.
Keywords: Siri culture' local wisdom, perception.
ix
ix DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
MOTTO ... iv
KATA PENGANTAR ... v
ABSTRAK ... vii
ABSTRAK ... viii
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LATAR BELAKANG ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 4
E. Defenisi Operasional ... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Kajian Konsep ... 6
1. Konsep Kebudayaan ... 6
2. Konsep Kearifan Lokal... 10
3. Perspektif Tentang Budaya Siri‟ ... 11
B. Kajian Teori ... 13
1. Teori Fakta Sosial (Emile Dhurkerim) ... 13
2. Perilaku Sosial (Max Weber) ... 14
C. Kerangka Pikir ... 17
D. Penelitian Yang Relevan ... 18
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
A. JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN ... 20
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20
1. Lokasi Penelitian ... 20
2. Waktu Penelitian ... 20
C. FOKUS PENELITIAN ... 21
D. INFORMAN PENELITIAN ... 21
x
E. JENIS DAN SUMBER DATA ... 21
F. INSTRUMEN PENELITIAN ... 22
G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA... 23
H. TEKNIK ANALISIS DATA... 25
I. TEKNIK KEABSAHAN DATA ... 27
J. ETIKA PENELITIAN ... 27
BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN ... 30
A. Deskripsi Umum Kabupaten Bone Sebagai Daerah Penelitian ... 30
1. Sejarah Kabupaten Bone ... 30
2. Kondisi Geografis dan Iklim ... 38
3. Topologi, Geologi, dan Hidrologi ... 39
4. Kondisi Demografis... 41
5. Sejarah Singkat Desa Bonto Padang ... 42
B. Kondisi Umum Desa Bonto Padang ... 44
C. Keadaan Penduduk ... 45
D. Keadaan Pendidikan ... 46
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47
A. Hasil Penelitian ... 47.
B. Pembahasan ... 80
BAB VI KESIMPULAN... 94
A. Kesimpulan ... 94
B. Saran ... 95
DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN
xi
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, dan adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Subri (2016:156) menyatakan bahwa Budaya Siri‟ bugis merupakan nilai yang terkonstruksi secara alami dan melembaga di tanah Bugis Bone.
Konstruksi nilai tersebut tentunya tidak terlepas dari peran-peran masyarakat Bugis sehingga budaya tersebut melembaga dan menjadi nilai utama yang melandasi budaya-budaya lainnya. Fenomena peruntukan budaya Siri‟ Bugis terkadang dijumpai dalam hal perkelahian. Ketika seseorang sudah siri‟ maka pantang untuk mundur, lebih baik mati berkelahi daripada menanggung Siri‟.
Uniknya terkadang implementasi Siri‟ tersebut sangat jarang disandarkan pada pertimbangan rasio tetapi lebih banyak disandarkan pada pertimbangan perasaan. Ciri khas lainnya tampak pada karakter umum orang-orang Bugis, yaitu dikenal sebagai masyarakat yang berkarakter keras, tetapi sangat menjunjung kehormatan. Demi mempertahankan kehormatan, masyarakat Bugis bersedia melakukan tindak kekerasan. Namun demikian, dibalik sifat keras itu, orang Bugis memiliki sikap ramah, sangat menghargai orang lain, dan memiliki kesetiakawanan.
Secara umum digambarkan bahwa pandangan orang-orang Bugis terhadap siri dan masalah penyelesaian siri itu hakekatnya sama saja. Begitu pula dengan
masalah siri tersebut. Yakni manakalah rasa ketersinggungan kehormatan (identitas terganggu), maka hal tersebut berarti siri. Karena siri merupakan harkat dan martabat, kebanggaan atau keagungan harga diri. Bagi suku bugis yang diwariskan amanah untuk menjunjung tinggi adat istiadatnya (Tenriajeng, 2015:27).
Menurut Hamid Abdullah siri‟ adalah unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satupun nilai yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan dimuka bumi selain dari pada siri‟. Bagi masyarakat bugis siri‟
ialah jiwa dan harga diri mereka untuk menjunjung budaya tersebut. Oleh karena itu untuk menegakkan dan membela siri‟ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka masyarakat bugis bone akan bersedia mengorbankan apa saja termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‟ dalam kehidupan mereka.
Siri‟ adalah pandangan hidup yang mengandung etika yang membedakan antara manusia dengan binatang yaitu dengan adanya rasa harga diri, harkat dan martabat serta kehormatan dan kesusilaan yang melekat pada manusia dan mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, hak dan kewajiban yang menjadi pedoman hidup guna menjaga, mempertahankan atau meningkatkan harkat dan martabat manusia (Murniaty Sirajuddin,2015:17). Masalah siri‟ intinya adalah harga diri dan harkat martabat , yang merupakan warisan yang harus tetap dipelihara dan dipertahankan dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Orang Bugis menempatkan Siri‟ sebagai sesuatu yang sangat penting hingga mati pun dapat menjadi berharga yang setimpal untuk mempertahankan Siri‟ ini. Banyaknya peristiwa pembunuhan di Sulawesi Selatan yang dilatar belakangi oleh Siri‟ menunjukkan bahwa dalam ukuran tertentu, nilai-nilai budaya bugis ini masih tetap ada dalam keseharian masyarakat di Sulawesi Selatan. Siri‟ bukan semata-mata persoalan pribadi yang muncul dengan spontan.
Siri‟ lebih kepada sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas sosial. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial bagi masyarakat Bugis. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji Siri‟ sebagai suatu kebajikan (Tenriajeng,2015:1).
Pesse‟ atau lengkapnya pesse‟ babua yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras. rasa saling Pesse‟ antar anggota sebuah kelompok adalah kekuatan pemersatu yang penting. Perjanjian antara dua orang menjadi “sesama saudara”, begitu pula kesadaran sebagai anggota sebuah kelompok yang sama, dengan demikian, membawa pula tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan, agar tidak kehilangan kehormatan. Kata pepatah: pauno siri‟, mappalette pesse ri pa‟masareng esse‟(kehormatan bisa menyebabkan kematian, dan rasa iba bisa
membawamu ke alam baka). Itu berarti bahwa antara siri‟ dan pesse‟ harus tetap ada keseimbangan agar bisa saling menetralisir titik ekstrim masing-masing (Pelras,2006:251).
Desa Bonto Padang merupakan salah satu desa yang mengasuh budaya siri‟. Tujuan merawat budaya siri ini sebagai pedoman hidup dalam aktivitas sosial. Namun dalam perkembangannya dari hal tersebut telah bergeser berdasarkan perspektif masalah masyarakat. Begitu pula yang terjadi di Desa Bonto Padang sehingga penulis ingin mengetahui secara mendalam melalui penelitian dengan judul: “Perspektif Budaya Siri’ dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Desa Bonto Padang Kec. Kahu Kabupaten Bone (Studi Fenomenologi Kearifan Lokal di Bumi Arung Palakka)”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Eksistensi Budaya Siri‟ di Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone?
2. Bagaimana Perspektif Masyarakat Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone Terkait Budaya Siri‟?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis lebih dalam Eksistensi Budaya Siri‟ di Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone.
2. Untuk menganalisis berbagai Perspektif Masyarakat Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone Terkait Budaya Siri‟.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Secara Teoritis
a. Hasil penelitian ini sebagai referensi bagi setiap peneliti selanjutnya terkait dengan Budaya Siri di Desa Bonto Padang.
b. Penelitian ini dapat menambah pengetahuan terkait tentang Kearifan Lokal di Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi solusi peneliti bagi setiap masyarakat khususnya di Kabupaten Bone untuk tetap mempertahankan eksistensi Budaya Siri.
E. Definisi Operasional
1. Budaya Siri‟ adalah adalah sistem nilai sosial kultural dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat sama halnya dengan budaya malu, perasaan malu merupakan salah satu pandangan nilai (volume) dalam kehidupan budaya Bugis Bone, mengingat perasaan malu menjadi bagian kompleks konsep, gagasan, ide, yang menempati sistem budaya Bugis. Nilai malu adalah bagian dari sistem nilai budaya siri..
6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Konsep
1. Konsep Kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata Culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambah lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yang mana akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak, sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain- lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat (Maulida,2013:2).
Dengan demikian, kebudayaan atau budaya menyangkut keseluruhan aspek kehidupan manusia baik material maupun nonmaterial. Sebagian besar ahli yang mengartikan kebudayaan seperti ini kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh pandangan evolusionisme, yaitu suatu teori yang mengatakan bahwa kebudayaan itu akan berkembang dari tahapan yang sederhana menuju tahapan yang lebih kompleks
Ide „kebudayaan‟ lebih bersifat metaforik ketimbang deskriptif dan secara filologis, di privasi dari proses-proses pertanian atau horticultural yang meliputi mengolah tanah, bercocok tanam, dan beternak konsep yang disebut di depan,
„peradaban (civilization)‟. Menggambarkan semacam stasis, suatu keanggotaan keadaan menjadi bagian dari suatu entitas, bahkan sebuah status yang begitu sudah didapat, tidak pernah dilupakan sedangkan yang disebut belakangan,
„kebudayaan‟, beresonansi dengan ide-ide lain tentang kemunculan pada perubahan, bahkan mungkin dengan transformasi.
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang bersifat sebagai kesatuan. Menurut Melville J. Herskovits Ada empat unsur pokok kebudayaan, yaitu (1) Alat-alat teknologi, (2) sistem ekonomi, (3) keluarga, dan (4) kekuasaan politik. Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan yaitu:
1. Bahasa
Suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan kebudayaan. Ada dua bentuk bahasa yaitu lisan dan tulisan.
2. Sistem Pengetahuan
Unsur imi berkisar pada pengetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat peralatan yang dipakainya. Sistem pengetahuan meliputi ruang pengetahuan tentang alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia, tubuh manusia.
3. Sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial
Dimaknai sebagai sekelompok masyarakat yang anggotanya merasa satu dengan sesamanya. Organisasi sosial meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, system kesatuan hidup, perkumpulan.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
Teknologi di sini dimaknai sebagai jumlah keseluruhan teknik yang memiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah, pemrosesan bahan- bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lainnya berupa benda material. Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang meliputi, alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman.
5. Sistem mata pencaharian hidup
Ini merupakan segala usaha manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem ekonomi ini meliputi berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan perdagangan.
6. Sistem religi
Perpaduan antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal suci dan tidak terjangkau oleh akal.
Sistem ini meliput, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan.
7. Kesenian
Kesenian dapat dimaknai sebagai segala hasrat manusia terhadap keindahan. Bentuk keindahan yang beraneka ragam itu
timbul dari imajinasi kreatif yang dapat memberikan kepuasan batin bagi manusia. pemetaan bentuk kesenian dapat terbagi menjadi tiga garis besar, yaitu: seni rupa, seni suara dan seni tari.
2. Konsep Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari bahasa masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi agar kearifan lokal ini dapat bertahan di dalam masyarakat. Kearifan lokal dapat bertahan di dalam suatu masyarakat melalui mulut ke mulut dan beberapa cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat. Kearifan lokal dapat ditemui dalam cerita rakyat, peribahasa, lagu, dan permainan rakyat yang ada dan berkembang dalam masyarakat.
Kearifan lokal sebagai suatu pengetahuan yang ditemukan oleh masyarakat lokal melalui kumpulan pengalaman dalam mencoba dan diintegrasikan dengan pemahaman terhadap budaya dan keadaan alam suatu tempat.
Kearifan lokal dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 memberikan pengertian bahwa kearifan lokal, yaitu nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat antara lain untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Kearifan lokal ini ada karena adanya pengetahuan yang dimiliki masyarakat yang memiliki nilai-nilai luhur yang kuat dalam kebudayaan serta dapat mengatur tata kehidupan masyarakat.
Kearifan lokal memiliki ciri sebagai berikut : (a). mempunyai kemampuan mengendalikan, (b). merupakan benteng untuk bertahan dari pengaruh budaya luar, (c). mempunyai kemampuan mengakomodasikan budaya luar. (d).
mempunyai kemampuan memberikan arah perkembangan budaya, (e).
mempunyai kemampuan mengintegrasi atau menyatukan budaya luar.
Teezzi, Marchettini, dan Rosini mengatakan bahwa kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama. Kearifan lokal dapat tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat akan menjadi pegangan kelompok masyarakat serta menjadi sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
3. Perspektif Tentang Budaya Siri’
Siri‟ dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum agama sebagai salah satu nilai utama yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia.
Siri‟ dalam sistem sosial adalah mendimanisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga keseimbangan kekerabatan.
Siri‟ dalam sistem kepribadian adalah sebagai perwujudan yang konkret di dalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan untuk menjaga harkat dan martabat manusia tersebut.
Siri‟ na pesse adalah dua suku kata yang terdiri dari kata siri‟ dan kata pesse. C.H Alam Basjah dan Sappena yang dikutip dalam karya mattulada memberikan batasan atas kata siri‟ dengan memberikan tiga golongan pengertian, yaitu (a). Siri‟ artinya malu, Isin (jawa), Shame (inggris). (b). Siri‟ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan, mengasingkan, mengusir dan sebagainya
terhadap apa atau siapa saja yang menyinggung perasaan. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban norma-norma adat yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat jika tidak dilaksanakan. (c). Siri‟ sebagai daya pendorong yang bisa juga ditujukan ke arah pembangkitan tenaga untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, demi suatu pekerjaan atau usaha (Mattulada,1995:62)
Sedangkan pesse atau lengkapnya pesse babua yang berarti ikut merasakan penderitaan orang lain dalam perut sendiri, mengindikasikan perasaan haru (empati) mendalam terhadap tetangga, kerabat, atau sesama anggota kelompok sosial. Hal ini melambangkan solidaritas, tak hanya pada seseorang yang telah dipermalukan, namun juga bagi siapa saja dalam kelompok sosial yang sedang dalam keadaan serba kekurangan, berduka, mengalami musibah, atau menderita sakit keras (Pelras,2006:252).
Konsep siri‟ na pesse bagi masyarakat Bugis merupakan pondasi dalam diri yang menjadikan masyarakat bugis sebagai masyarakat sosial yang bermartabat, dan mampu menciptakan lingkungan yang harmonis. Siri‟ sebagai nilai yang timbul dalam diri masyarakat bugis yang mampu menjadi motor penggerak dalam melangkah untuk menghasilkan apa yang diinginkan, dan pesse sebagai rasa yang mampu menjadi penyeimbang langkah dalam mencapai tujuan dan berperan penting terhadap terciptanya keharmonisan dalam lingkungan masyarakat bugis maka tidak heran jika di setiap aktivitas masyarakat bugis sering melekat kata siri‟ na pesse.
Ciri peribadi siri‟ na pesse terwujud dari peribadi manusia yang Tawakkal kepada Allah SWT, mempunyai bawaan hati yang baik, ikhlas, jujur, cendekia, berani, teguh dalam pendirian, konsekuen dalam mengambil tindakan, berdaya saing tinggi, ulet, percaya pada usaha keras dan ketekunan, sehingga keberhasilan dapat dicapai penciptaan, berlaku wajar atau patut, cermat, tanggung jawab, terbuka, merdeka, solider, mencipta (merujuk pada tujuan akhir).
Tidak heran jika saat ini muncul pandangan-pandangan masyarakat luar bahwa masyarakat bugis terkesan sensitif, mudah tersinggung, agresif, gengsi tinggi. Hal ini terjadi ketika konsep siri‟ hanya mengandung makna harga diri saja, sedangkan tidak di barengi dengan malu seperti biasanya malu (Masiri’- siri’), malu ketika menjadi manusia yang tidak produktif (Sri’-Masiri’), dan disandingkan dengan Pesse. Maka hal ini yang kerap menimbulkan masalah sosial dalam masyarakat bugis.
B. Kajian Teori
1. Teori Fakta Sosial (Emile Durkheim)
Menurut Durkheim fakta sosial dapat didefinisikan dengan dua cara, yaitu fakta sosial yang dialami sebagai paksaan eksternal ketimbang dorongan internal dan fakta sosial merupakan hal yang umum melekat di seluruh masyarakat atau tidak melekat pada setiap diri individu khusus.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa fakta sosial adalah cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berperilaku pada diri individu sebagai sebuah paksaan eksternal, atau bisa juga dikatakan bahwa fakta sosial
adalah cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat dan pada saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi individual.
2. Perilaku Sosial (Max Weber) a. Pengertian Perilaku Sosial
Perilaku sosial menurut Max Weber adalah tindakan individu sepanjang tindakan itu mempunyai makna atau arti subjek bagi dirinya diarahkan kepada tindakan orang lain ( Weber dalam Ritzer 1975). Suatu perilaku individu yang diarahkan kepada benda mati tidak masuk dalam kategori perilaku sosial suatu perilaku akan dikatakan sebagai perilaku sosial ketika perilaku tersebut benar-benar diarahkan kepada orang lain (individu lainnya). Meski tidak jarang perilaku sosial dapat berupa tindakan yang bersifat membatin atau bersifat subjektif yang mungkin terjadi Karena pengaruh positif dari situasi tertentu. Bahkan terkadang tindakan dapat berulang kembali dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu (Weber dalam Turner 2000).
Ada 5 ciri pokok perilaku sosial menurut Max Weber sebagai berikut:
1. Jika tindakan manusia itu menurut aktornya mengandung makna subjektif dan hal ini bisa meliputi berbagai tindakan nyata
2. Tindakan nyata itu bisa bersifat membatin sepenuhnya
3. Tindakan itu berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam dari pihak manapun
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu
5. Tindakan itu memperhatikan Tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.
Selain kelima ciri pokok tersebut , menurut Weber tindakan sosial dapat pula dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran tindakan sosial bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku sosial adalah suatu tingkah laku seseorang yang merupakan hasil timbal balik hubungan antara seseorang dengan lingkungan sekitarnya yang merupakan tanggapan pada lingkungan sosialnya menurut Sarlito Wirawan sarwono, perilaku sosial adalah sikap pada seseorang atau kelompok yang ditujukan pada suatu objek yang menjadi perhatian seluruh orang-orang tersebut. Dari pandangannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku sosial adalah perlakuan seseorang atau kelompok yang merupakan hasil dari interaksi antar seseorang atau kelompok tersebut dengan lingkungannya yang merupakan hubungan timbal balik pada lingkungan sosialnya. Sama halnya dengan Abu Ahmadi menurutnya perilaku sosial adalah kesadaran perilaku seseorang nampak pada perbuatan yang nyata dari berulang-ulang pada objek sosial. Kesadaran yang dimaksud dalam hal ini adalah kesadaran akan tanggung jawab, menghormati orang lain.
Tolong menolong dan partisipasi sosial yang merupakan unsur yang terpenting dalam perilaku sosial.
b. Pembentukan Perilaku Sosial
Pembentukan perilaku sosial pada diri seseorang tidak terjadi begitu saja namun banyak faktor-faktor dan unsur-unsur yang mempengaruhi dan membentuk perilaku sosial tersebut. Pembentukan perilaku sosial karena interaksi manusia dengan manusia lainnya dan lingkungannya berkaitan dengan objek tersebut.
perilaku sosial bisa terbentuk disebabkan atas beberapa faktor dari dalam seseorang dan faktor-faktor dari luar seseorang yang masing- masing memiliki fungsi masing-masing. Faktor dari dalam adalah faktor yang ada pada diri seseorang, berupa selektivitas atau daya tangkap seseorang untuk memilih dan menerima pengaruh-pengaruh dari luar. Adapun yang dimaksud faktor dari luar adalah faktor yang ada diluar pribadi diri seseorang, berupa interaksi sosial, cara bersikap atau berperilaku dengan lingkungan sekitar. Perilaku sosial bisa saja terbentuk melalui berbagai cara, bisa saja berupa adopsi, diferensiasi, integrasi, dan trauma.
c. Aspek-aspek Perilaku Sosial 1. Taat dan patuh
Taat dan patuh memiliki pengertian mentaati dan mematuhi aturan dan larangan yang ada.
2. Sabar
Sabar adalah menahan diri atas segala sesuatu yang terjadi.
Menurut Sukanda Sadeli ada tiga bagian sabar, yakni sabar dalam ketaatan (Sabar feat tahat), sabar tidak berbuat maksiat (sabar anil maksiat) dan sabar atas musibah (sebarindal musibah)
3. Menghormati orang lain
Saling menghormati sangat dikedepankan oleh semua agama, juga dalam berbangsa dan bernegara karena dengan adanya sikap saling hormat menghormati akan terwujud suatu kerukunan antar beragama .
C. Kerangka Pikir
Budaya siri‟ sangat mewarnai kehidupan masyarakat bugis. Siri‟
menjadi tatanan nilai dan norma yang menjadi barometer perilaku manusia yang baik. Tentunya budaya siri‟ memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat, utamanya di Desa Bonto Padang, Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone.
Gambar 1. 1. Kerangka Pikir
D. Penelitian Yang Relevan
1. Dewi Sartika Tenriajeng (2015), melakukan penelitian yang berjudul Tinjauan Kriminologis tentang Budaya Siri‟ dalam Tindak Pidana Pembunuhan di Masyarakat Sulawesi Selatan. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa setiap hal dalam suatu persidangan baik
Kehidupan sosial budaya
Eksistensi budaya siri‟
Eksistensi budaya siri dari aspek gotong royong
Eksistensi budaya siri‟ dari aspek pemenuhan nafka
Eksistensi budaya siri‟ dari aspek entitas
Perspektif budaya siri‟
masyarakat bonto padang Perspektif masyarakat desa bonto padang terkait tentang budaya siri‟ dari tinjauan gotong royong
Perspektif masyarakat desa bonto padang terkait tentang pemenuhan kebutuhan
Perspektif masyarakat desa bomto padang terkait tentang budaya siri dari tinjauan konflik identitas.
Desa Bonto Padang
yang memberatkan maupun yang meringankan jika berkaitan dengan masalah siri‟ tetap dipertimbangkan sebagai dasar pertimbangan keringanan hukuman tetapi tidak menghapus pidana.
2. Riswandi (2019), melakukan penelitian dengan Judul Pengaruh Nilai Budaya Siri‟ Na Pacce dalam Pelayanan Publik di Kabupaten Bone. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa siri’ na pacce merupakan salah satu faktor utama sehingga Kabupaten Bone dikatakan sebagai kota beradat. Walaupun sebagian besar masyarakat belum mengenal istilah atau budaya Siri’ na Pacce terkhususnya bagi orang dari luar yang tinggal dan berdomisili di Kabupaten Bone begitu juga dengan survei yang telah dilakukan pada beberapa pelayanan publik yang ada di Kabupaten Bone.
3. Murniaty Sirajuddin (2015), Melakukan penelitian dengan judul Siri Dalam Perspektif Dakwah Islam. Hasil penelitian yang dilakukan menyatakan Siri‟ dalam arti sempit kadang-kadang menimbulkan kekeliruan dan hanya mengasosiasikan siri‟ dengan segala bentuk kejahatan .
20 BAB III
METODE PENELITIAN A. JENIS DAN PENDEKATAN PENELITIAN
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yang mengkaji terkait tentang Budaya Siri‟ di Desa Bonto Padang Kecamatan Kahu Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan fenomenologi untuk mendapatkan data secara mudah. Menurut Creswell (1998), Penelitian kualitatif adalah sebagai gambaran kompleks, meneliti kata-kata laporan terinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang alami.
Penelitian ini bersifat deskriptif penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bonto Padang, Kecamatan Kahu Kabupaten Bone. Lokasi ini dipilih karena masih merawat budaya siri‟ sebagai pedoman hidup dalam aktivitas sosial.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan peneliti untuk melakukan penelitian ini dilaksanakan sejak 07 September 2020 sampai tanggal 07 November 2020 terhitung sejak dikeluarkannya surat izin penelitian dalam kurang waktu kurang lebih 2 bulan untuk melakukan penelitian di lokasi penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti.
C. FOKUS PENELITIAN
Fokus dalam penelitian ini adalah dimana peneliti lebih fokus kepada budaya siri‟ sebagai pedoman hidup masyarakat desa bonto padang kecamatan kahu kabupaten bone .
D. INFORMAN PENELITIAN
Informan dalam penelitian ini adalah peneliti mengklasifikasi informan berdasarkan karakter hubungan. Adapun informan yang dimaksud antara lain: 1). Kepala Desa. 2). Sekretaris Desa. 3). Tokoh Adat. 4) RT. 5) IRT.
6). Pemudah Masyarakat.
E. JENIS DAN SUMBER DATA
Adapun sumber data yang dikumpulkan peneliti adalah, sebagai berikut:
1. Data Primer
Data yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung pada objek. Untuk melengkapi data, maka melakukan wawancara secara langsung dan mendalam dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebagai alat pengumpulan data. Dalam hal ini sumber data utama (data primer) diperoleh langsung dari setiap informan yang diwawancarai secara langsung dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Melakukan wawancara langsung kepada beberapa informan yang mengetahui mengenai budaya siri‟ yang ada di desa Bonto Padang Kecamatan Kahu Kabupaten Bone.
a. Informan kunci : Darwis (Tokoh Masyarakat) b. Informan Pendukung :
1. Andi Lagaligo, SE (Kepala Desa) 2. Lukman (RT)
3. Andi Asfar, S. Pd (Sekdes) 4. Ida (IRT)
5. Aswar Habibi ( Tokoh Pemudah)
F. INSTRUMEN PENELITIAN
Adapun instrument penelitian yang digunakanlah instrumen penelitian berupa lembar observasi, panduan wawancara, dokumentasi dan peneliti itu sendiri.sebagai pendukung dalam penelitian. Adapun instrumen yang di maksud adalah sebagai berikut:
1. Catatan Lapangan, berisi catatan yang diperoleh peneliti pada saat melakukan pengamatan langsung dilapangan.
2. Pedoman wawancara, berisi seperangkat daftar pertanyaan peneliti sesuai dengan rumusan masalah pertanyaan.
3. Kamera yang digunakan ketika penulis melakukan observasi untuk merekam kejadian yang penting pada suatu peristiwa baik dalam bentuk foto maupun video.
4. recorder. Recorder digunakan untuk merekam suara ketika melakukan pengumpulan data, baik menggunakan metode wawancara, observasi dan sebagainya.
5. Peneliti itu sendiri.
G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang dilakukan periset untuk mendapatkan data yang mendukung penelitiannya.
Penelitian ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data yakni:
1. Metode observasi
Dalam metode pengumpulan data menggunakan metode observasi dimana teknik pengumpulan data yang mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan sebagainya. Pengamatan memungkinkan pengamat untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subyek penelitian, hidup saat itu, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subjek pada keadaan waktu itu. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara memusatkan perhatian terhadap fenomena-fenomena yang sedang diteliti.
Pada awal penelitian hal yang pertama dilakukan peneliti untuk melakukan metode observasi yaitu dengan mendatang/mengunjungi tempat penelitian, setelah itu peneliti mulai melihat dan merasakan untuk melakukan observasi terhadap masyarakat yang akan diteliti, peneliti membutuhkan waktu selama 2 minggu untuk melakukan observasi di tempat penelitian, setelah data observasi di rasa telah cukup untuk memberikan informasi maka peneliti menghentikan observasi dan melanjutkan ke metode selanjutnya.
2. Metode wawancara
Dalam metode wawancara peneliti sebelum melakukan wawancara peneliti terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada informan, sebelum itu perlu ditetapkan terlebih dahulu informan kunci yang akan pertama kali di wawancarai.
Wawancara dilakukan selama 3 minggu dan hal yang dilakukan sebelum wawancara dengan para informan yaitu dengan mendatangi setiap informan secara langsung serta meminta izin dan membuat janji terlebih dahulu menentukan kapan waktu yang tepat untuk wawancara dengan informan.
Setelah semuanya siap maka dilakukan wawancara dengan informan dimana pada awal wawancara peneliti terlebih dahulu menanyakan mengenai identitas informan seperti nama, umur dan pekerjaan. Serta peneliti juga diwajibkan untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada informan agar informan lebih yakin dan percaya terhadap peneliti dan informasi yang didapatkan dapat maksimal.
Setelah itu peneliti mulai menanyakan satu persatu pertanyaan yang telah dibuat oleh peneliti sebagai panduan dalam melakukan wawancara dengan informan agar informan yang didapatkan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh peneliti sehingga dibutuhkan daftar pertanyaan yang sudah dibuat terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara, peneliti menulis informasi serta merekam informasi atau pendapat yang telah disampaikan oleh informan.
Wawancara dilakukan dengan cara bertahap yaitu mulai dari informan kunci lalu setelah itu peneliti mulai melakukan wawancara terhadap beberapa informan pendukung yang dianggap tahu mengenai permasalahan yang diteliti oleh peneliti
3. Dokumentasi
Sejumlah besar fakta dan data tersimpan dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. sebagian besar data yang tersedia yaitu berbentuk surat, catatan harian, laporan dan foto.
H. TEKNIK ANALISIS DATA
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan data.
Metode analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis kualitatif. Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Karakteristik penelitian kualitatif menurut Lexy J Moleong adalah deskripsi yang dikumpulkan berupa kata-kata gambaran bukan berupa angka-angka.
Data yang diperoleh di lapangan kemudian diolah secara kualitatif dengan melalui tiga tahap reduksi data, yaitu:
1. Reduksi data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas untuk mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data, dan mencarinya jika diperlukan.
2. Penyajian data
Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya adalah penyajian data. Melalui penyajian data maka terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data biasa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart atau sejenisnya.
3. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan ini dilakukan secara konduktif, kesimpulan yang diambil kemudian diverifikasi dengan jalan meninjau ulang catatan lapangan dan mendiskusikannya guna mendapatkan kesepakatan intersubjektif, hingga dapat diperoleh kesimpulan yang kokoh.
I. TEKNIK KEABSAHAN DATA
Untuk memperoleh keabsahan data dari penelitian Tentang Perspektif budaya siri dalam kehidupan sosial budaya masyarakat adalah dengan triangulasi. Hal ini dilakukan untuk menganalisis data hasil penelitian yang berupa hasil wawancara dan observasi melalui pengecekan ulang dari berbagai informan.
1. Triangulasi Sumber dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang sama pada informan yang berbeda mengenai eksistensi dan perspektif budaya siri dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
2. Triangulasi Teknik dilakukan dengan melakukan observasi langsung setelah melakukan wawancara dari berbagai informasi seperti data tentang eksistensi dan perspektif budaya siri.
3. Triangulasi Waktu dilakukan untuk pengecekan hasil wawancara observasi sehingga peneliti melakukan wawancara 3-6 orang informan dalam waktu yang berbeda dan melakukan observasi dalam secara berkala.
J. ETIKA PENELITIAN
Etika penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian.
Oleh karena itu Kurniawan (2015) membagi etika menjadi beberapa bagian yang harus diperhatikan. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain :
a. Informed Consent (Surat Persetujuan)
Informed Consent diberikan sebelum melakukan penelitian informan consent ini berupa lembar persetujuan untuk menjadi responden. Pemberian informed consent ini bertujuan agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian serta mengerti dampaknya. Jika subjek tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden atau subjek. Jika subjek bersedia maka harus menandatangani lembar persetujuan.
2. Anonymity (tanpa nama)
Masalah etika pendidikan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.
3. Kerahasiaan
Semua informasi yang telah dikumpulkan maupun masalah- masalah lainnya dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.
4. Jujur
Jujur yaitu dalam pengumpulan bahan pustaka, pengumpulan data, pelaksanaan metode, dan prosedur penelitian, publikasi hasil.
Jujur pada kekurangan atau kegagalan metode yang dilakukan. Hargai rekan peneliti, jangan mengklaim pekerjaan yang bukan pekerjaan anda sebagai pekerjaan anda.
5. Objektif
Upaya Meminimalisasi kesalahan dalam rancangan percobaan, analisis dan interpretasi data, penilaian, ahli/rekan peneliti, keputusan pribadi, pengaruh pemberi dana/ sponsor peneliti.
6. Integritas
Tepati selalu janji dan perjanjian, lakukan penelitian dengan tulus, upayakan selalu menjaga konsisten pikiran dan perbuatan.
7. Keterbukaan
Secara terbuka, saling berbagi data, hasil, ide, alat, dan sumber daya penelitian terbuka terhadap kritik dan ide-ide baru.
30 BAB IV
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
A. Deskripsi Umum Kabupaten Bone Sebagai Daerah Penelitian 1. Sejarah Kabupaten Bone
Kabupaten Bone adalah salah satu Daerah otonom di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di kota Watampone. Dengan luas wilayah Kabupaten Bone sekitar 4.559 km2 persegi, rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kabupaten Bone adalah 162 jiwa per km2.
Kabupaten Bone sebagai salah satu daerah yang berada di pesisir timur Sulawesi Selatan memiliki posisi strategis dalam perdagangan barang dan jasa di kawasan Timur Indonesia yang secara administratif terdiri dari 27 kecamatan, 328 desa dan 44 kelurahan. Kabupaten ini terletak 174 km kearah timur Kota Makassar, berada pada posisi 4ᵒ13‟- 5ᵒ6 LS dan antara 119ᵒ42‟ - 120ᵒ30 BT. Luas wilayah Kabupaten Bone 4.559 km² dengan rincian lahan berikut
▪ Pesawahan: 88.449 Ha
▪ Tegalan/Ladang: 120.524
▪ Tambak/Empang: 11.148 Ha
▪ Perkebunan Negara/Swasta: 43.052,97
▪ Hutan: 145.052,97 Ha
▪ Padang rumput dan lainnya: 10.503,48 Ha
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bone, Jumlah penduduk Kabupaten Bone adalah 738.515 jiwa, terdiri atas 352.081 laki-laki
dan 386.434 perempuan. Dengan luas wilayah Kabupaten sekitar 4559 km² persegi, rata-rata tingkat penduduk kabupaten Bone 162 jiwa/km.
Kerajaan Tanah Bone dahulu terbentuk pada awal abad ke- IV atau pada tahun 1330, namun sebelum Kerajaan Bone terbentuk sudah ada kelompok-kelompok dan pimpinannya digelar mata silompo-e kalula dengan datangnya la ubbi yang digelar to manurung (manurunge ri matajang) atau mata silompo-e. Maka terjadilah penggabungan kelompok-kelompok tersebut termasuk Cina, Barebbo, Awangpone dan Palakka. Pada saat pengangkatan to manurung mata silompo- e menjadi Raja Bone, terjadilah kontrak pemerintahan berupa sumpah setia antara rakyat Bone dalam hal ini diwakili oleh penguasa Cina dengan 10 manurung, sebagai tanda serta lambang kesetiaan kepada Rajanya sekaligus merupakan pencerminan corak pemerintahan Kerajaan Bone di awal berdirinya.
Disamping penyerahan diri kepada Sang Raja juga terpatri pengharapan rakyat agar supaya menjadi kewajiban Raja untuk menciptakan keamanan, kemakmuran, serta terjaminnya penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat.
Ada pun teks sumpah yang diucapkan oleh penguasa Cina mewakili rakyat Bone berbunyi sebagai berikut: ”Angikko kuraukkaju riyaaomi’ri riyakkeng kutappalireng elomu elo rikkeng adammukkuwa mattampako kilao maliko kisawe. millauko ki abbere. mudongirikeng temma tippang. muamppipirikkeng temmakere musalimurikeng” temmadinging. terjemahan: “Engkau angin dan kami daun kayu, kemana berhembus ke situ kami menurut kemauan dan kata- katamu yang jadi dan berlaku atas kami, apabila engkau mengundang kami
menyambut dan apabila engkau meminta kami memberi, walaupun anak isteri kami jika tuan tidak senangi kami pun tidak menyenanginya, tetapi engkau menjaga kami agar tenteram, engkau berlaku adil melindungi agar kami makmur dan sejahtera engkau selimut kami agar tidak keinginan“.
Budaya masyarakat Bone demikian Tinggi mengenai sistem norma atau adat berdasarkan Lima unsur pokok masing-masing : ade’, bicara, rapang, wari dan Sara yang terjalin satu sama lain, sebagai satu kesatuan organis dalam pikiran masyarakat yang memberi rasa harga diri serta martabat dari pribadi masing-masing. Kesemuanya itu terkandung dalam satu konsep yang disebut “siri” merupakan integral dari keLima unsur pokok tersebut diatas yakni pangadereng ( norma adat), untuk mewujudkan nilai pangadereng maka rakyat Bone memiliki sekaligus mengamalkan semangat budaya.
a. Sipakatau, artinya saling memanusiakan, menghormati atau menghargai harkat dan martabat kemanusiaan seseorang sebagai makhluk ciptaan Allah SWT tanpa membeda - bedakan, siapa saja orangnya harus patuh dan taat terhadap norma adat atau hukum yang berlaku.
b. Sipakalebbi, artinya saling memuliakan posisi dan fungsi masing-masing dalam struktur kemasyarakatan dan pemerintahan, senantiasa berperilaku yang baik sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam masyarakat.
c. Sipakainge, artinya saling mengingat kan satu sama lain, menghargai nasihat, pendapat orang lain, menerima saran dan kritikan positif dan siapapun atas dasar kesabaran bahwa sebagai manusia biasa tidak luput dari kekhilafan. Dengan berpegang dan berpijak pada nilai budaya tersebut
diatas, maka sistem pemerintahan Kerajaan Bone adalah berdasarkan musyawarah muafakat. Hal ini dibuktikan di mana waktu itu kedudukan ketujuh ketua kaum (matoa anang) dalam satu majelis di mana Menurunge sebagai ketuanya ketujuh kaum itu diikat dalam satu ikatan persekutuan yang disebut kawerang, artinya Ikatan Persekutuan Tanah Bone. Sistem Kawerang ini berlangsung sejak ManurungE sebagai Raja Bone pertama hingga Raja Bone ke IX yaitu Lapttawe Matinroe Ri Bettung pada akhir abad ke XVI.
Pada tahun 1605 Agama Islam masuk di Kerajaan Bone di masa pemerintahan Raja Bone ke X La Tenri Tuppu Matinroe Ri Sidenreng. Pada masa itu pula sebutan Matoa Pitu diubah menjadi ade pitu ( hadat tujuh ), sekaligus sebutan Matoa mengalami pula perubahan menjadi Arung. Arung misalnya Matua Ujung disebut Arung Ujung dan seterusnya. Demikian perjalanan panjang Kerajaan Bone, maka pada bulan Mei 1950 untuk pertama kalinya selama Kerajaan Bone terbentuk dan berdiri di awal abad ke XIV atau tahun 1330 hingga memasuki masa kemerdekaan terjadi suatu demonstrasi rakyat di kota Watampone yaitu menuntut dibubarkannya Negara Indonesia Timur, serta dihapuskannya pemerintahan Kerajaan dan menyatakan berdiri dibelakang pemerintah Republik Indonesia Beberapa hari kemudian para anggota Hadat Tujuh mengajukan permohonan berhenti.
Disusul pula beberapa tahun kemudian terjadi perubahan nama distrik atau onder distrik menjadi Kecamatan sebagaimana berlaku saat ini. Pada tanggal 6 April 1330 melalui rumusan hasil seminar yang diadakan pada tahun
1989 di Watampone dengan diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Dati II Bone No.1 Tahun 1990 Seri C, maka ditetapkanlah tanggal 6 April 1330 sebagai hari jadi Kabupaten Bone dan diperingati setiap tahun.
Sejarah mencatat bahwa Bone dahulu merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada masa lalu. Kerajaan Bone dalam catatan sejarah didirikan oleh Raja Bone ke-1 yaitu Manurunge ri Matajang pada tahun 1330 M, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan La Tenritatta Arung Palakka pertengahan abad ke-17. Kebesaran kerajaan Bone tersebut dapat memberi pelajaran dan hikmah yang bagi masyarakat Bone saat ini dalam rangka menjawab dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi, pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global.
Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat Bone dalam upaya menata kehidupan ke arah yang lebih baik.
Ketiga hal yang dimaksud adalah :
Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik dan tata
pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam terminologi politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan mereka di dalam dewan adat yang disebut “Ade Pitue”, yaitu tujuh orang
pejabat adat yang bertindak sebagai penasihat raja. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh Ade’ Pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk di laksanakan.
Ade Pitu merupakan lembaga pembantu utama pemerintahan Kerajaan
Bone yang bertugas mengawasi dan membantu pemerintahan kerajaan Bone yang terdiri dari 7 (tujuh) orang iaitu :
1. Arung Ujung, bertugas Mengepalai Urusan Penerangan Kerajaan Bone
2. Arung Ponceng, bertugas Mengepalai Urusan Kepolisian/Kejaksaan dan Pemerintahan
3. Arung Ta, Bertugas Bertugas Mengepalai Urusan Pendidikan dan Urusan Perkara Sipil
4. Arung Tibojong, Bertugas Mengepalai Urusan Perkara / Pengadilan Landschap/ Adat Besar dan Mengawasi Urusan Perkara Pengadilan Distrik.
5. Arung Tanete Riattang, Bertugas Mengepalai Memegang Kas Kerajaan, Mengatur Pajak dan Mengawasi Keuangan
6. Arung Tanete Riawang, Bertugas Mengepalai Pekerjaan Negeri (Landschap Werken – LW) Pajak Jalan Pengawas Opzichter.
7. Arung Macege, Bertugas Mengepalai Pemerintahan Umum Dan Perekonomian.
Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan asas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan Kajaolaliddong seorang cerdik cendekia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586 pada masa pemerintahan Raja Bone ke-7 Latenri Rawe Bongkangnge. Kajao lalliddong berpesan kepada Raja bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan iaitu:
1. Seuwani, Temmatinroi matanna Arung Mangkau’E mitai munrinna gau’e(Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
2. Maduanna, Maccabi Arung Mangkau duppai ada’(Raja harus pintar menjawab kata-kata).
3. Mateluna, Maccapi Arung Mangkau pinru ada’(Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
4. Maeppa’na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng(Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).
Pesan Kajaolaliddong ini antara lain dapat diinterpretasikan ke dalam pemaknaan yang mendalam bagi seorang raja betapa pentingnya perasaan, pikiran dan kehendak rakyat dipahami dan disikapi.
Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari sejarah Bone terletak
pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun negeri agar menjadi lebih baik. Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone di masa lalu. Dan
sebagai bentuk monumental dari pandangan ini di kenal dalam sejarah akan perjanjian dan ikrar bersama kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng yang melahirkan Tellumpoccoe atau dengan sebutan lain “Lamumpatue Ri Timurung”yang dimaksudkan sebagai upaya mempererat tali persaudaraan
ketiga kerajaan untuk memperkuat posisi kerajaan dalam menghadapi tantangan dari luar.
Ketiga, warisan budaya kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang
mencerminkan kecerdasan manusia Bone pada masa lalu. Banyak hikmah yang bisa dipetik dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahan dan dinamikanya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Bone kemudian berkembang terus dan pada akhirnya menjadi suatu daerah yang memiliki wilayah yang luas, dan dengan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959, berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II Bone yang merupakan bagian integral dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten Bone memiliki potensi besar,yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian, perkebunan, kelautan, pariwisata, dan potensi lainnya.
Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat.
Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan, dan perencanaan yang tepat dalam mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Dengan berpegang motto Sumange’ Tealara,yakni Teguh dalam Keyakinan Kukuh dalam Kebersamaan, pemerintah dan masyarakat Bone akan mampu menghadapi segala tantangan menuju Bone yang lebih baik.
2. Kondisi Geografis dan Iklim
Kabupaten Bone secara Geografis terletak antara 4,13 - 5,6 Lintang Selatan dan antara 119,42 – 120,30 Bujur Timur dan mempunyai batasan wilayah, sebagai berikut:
a. Utara: Kabupaten Wajo dan Soppeng b. Timur: Teluk Bone
c. Selatan: Kabupaten Sinjai dan Gowa d. Barat: Kabupaten Maros, Pangkep, Barru
Kabupaten Bone merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di pesisir Timur Provinsi Sulawesi Selatan dan berjarak sekitar 174 km dari kota Makassar. Luas wilayahnya sekitar 4.559 km ata9u 9,78 persen dari luas Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Bone mempunyai garis pantai sepanjang 138 km. Wilayah yang besar ini terbagi menjadi 27 Kecamatan dan 372 Desa/Kelurahan. Ibukota Kabupaten Bone adalah Watampone.
Letaknya yang dekat dengan garis khatulistiwa menjadikan Kabupaten Bone beriklim tropis. Sepanjang tahun-tahun sebelumnya, kelembaban udara berkisar 77-86 persen dengan suhu udara 24,4 C – 27,6 C. Wilayah Kabupaten Bone terbagi menjadi dua tipe hujan yaitu tipe hujan monsun dan tipe hujan lokal, tipe hujan monsun memiliki curah hujan tertinggi saat bertiup angin muson Asia yaitu bulan Januari dan Februari. Tipe ini mencakup wilayah Kabupaten Bone bagian Barat. Tipe kedua memiliki kriteria pola hujan terbalik dengan pola monsun, yaitu curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Mei – Juni.
Tipe ini mencakup sebagian besar wilayah Kabupaten Bone.
3. Topologi, Geologi, dan Hidrologi
Topologi wilayah Kabupaten Bone terdiri dari daerah pantai, daratan dan perbukitan. Bagian barat adalah daerah pantai dan dataran rendah dengan kemiringan antara 0-4 derajat sedang ketinggian ruang bervariasi antara 0-26 derajat sedangkan ketinggian ruang bervariasi antara 0-26 dengan batuan penyusunan geomorfologi dataran didominasi pantai, batu gamping, marmer dolomit, kuarsa, batu sabak dan basal serta batu tempel (ornamen stone).
Berdasarkan kondisi geologi yang berkembang di Kabupaten Bone, potensi sumber daya mineral dan batubara di daerah ini cukup bervariasi, terdiri dari komoditas logam, bukan logam, batuan dan batubara. Adapun komoditas yang telah diusahakan, meliputi: bijih besi, mangan, batubara, pasir, sirtu, tanah timbun dan batu gamping yang didasarkan atas IUP eksplorasi dan operasi produksi. Prospektif pabrik semen dan bahan baku yang tersedia di Kabupaten Bone adalah batu kapur (limestone) serta batu pasir kuarsa.
Potensi sumber daya air di Kabupaten Bone selain, dipengaruhi oleh kondisi klimatologi wilayah, juga dipengaruhi oleh beberapa aliran sungai yang melintas pada beberapa kawasan, serta sebagian masyarakat Kabupaten Bone juga memanfaatkan air dari Bendungan Ponre-Ponre yang terdapat pada wilayah Kecamatan Libureng dan sekitarnya, hampir seluruhnya masyarakat memanfaatkan airnya untuk kegiatan pertanian dan sumber air baku serta kebutuhan lainnya.
Potensi air tanah dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai air baku untuk berbagai kepentingan kegiatan masyarakat, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun untuk menunjang kegiatan ekonomi masyarakat. Potensi air tanah wilayah Bendungan Ponre-Ponre yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Kabupaten Bone dan tak hanya menjadi sumber irigasi pertanian di Wilayah Kecamatan Libureng dan sekitarnya, namun bendungan terbesar kedua Indonesia itu kini menjadi objek wisata favorit. Bendungan Ponre-ponre memiliki kapasitas tampung 48 juta kubik dan mampu mengairi 4.411 hektar sawah masyarakat Kabupaten Bone dan masyarakat Kabupaten Bone juga
dapat memanfaatkan air dari aliran-aliran sungai yang terdapat di beberapa wilayah Kabupaten Bone.
Pengelolaan dan pengembangan air tanah di Kabupaten Bone masih terus dikembangkan dan dioptimalkan oleh pemerintah dan masyarakat untuk memperoleh kualitas yang baik dan kebutuhan secara terpenuhi. Sumber daya air di Kabupaten Bone umumnya belum dimanfaatkan secara optimal, masih terdapat beberapa sumber air yang dapat dieksploitasi untuk kebutuhan irigasi baik berupa sumber daya air permukaan (sungai) dan mata air, terutama untuk mengantisipasi kekeringan. Potensi sumber daya air yang belum dimanfaatkan umumnya terletak pada kawasan non pengembangan dengan target irigasi 50 – 400 ha berupa air permukaan, embung, dan mata air. Seperti sumber daya air yang berasal dari mata air Trawanie di Kecamatan Bengo Kabupaten Bone.
Debit mata air 26 liter/detik, direncanakan akan dibendung setinggi 10 meter sehingga akan mempunyai air dalam dan tumpukan cukup banyak dan diharapkan akan dapat mengairi hamparan sawah yang ada dengan luas kurang lebih 500 ha. Beberapa hal mendasar menjadi permasalahan potensi air adalah terjadinya kekurangan air di beberapa wilayah. Untuk pengendalian pengelolaan sumber daya air diperlukan pengawasan melalui instansi teknis terkait untuk mencegah terjadinya krisis kebutuhan pelayanan akan air baku oleh masyarakat Kabupaten Bone.
4. Kondisi Demografis
Penduduk merupakan faktor utama dalam perkembangan suatu wilayah/daerah. Wilayah yang dihuni penduduk yang peduli, cerdas dan kreatif