Serpong, 16 Maret 2021 No. : 079/MJ-GKIS/III/2021
Perihal : Permohonan Pelayanan Pembicara Lamp :
Rundown
AcaraKepada Yth,
Pimpinan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta Jl. Proklamasi No.27, RT.11/RW.2,
Pegangsaan, Kec. Menteng, Jakarta 10320
Salam kasih dalam Tuhan Yesus Kristus,
Dengan segala ungkapan syukur dan penuh sukacita, melalui surat ini perkenankan kami memohon kesediaan Pimpinan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta untuk mengijinkan Pdt. Agustinus Setiawidi melayani sebagai pembicara dalam acara Pembekalan Calon Penatua dan Pengembangan Penatua GKI Serpong, dengan tema ”SEHATI SEPIKIR SEBAGAI SESAMA PELAYAN TUHAN” yang akan dilaksanakan secara online dengan fasilitas
Zoom Application Platform
, yang akan dilaksanakan pada :Hari / Tanggal : Rabu / 26 Mei 2021 Waktu : Pkl. 09.00 – 10.30 WIB
Topik : Sesi 4B. Akhir Zaman Menurut Alkitab Term of reference:
- Pembahasan terkait eskatologis menjadi hangat di tengah umat ketika pandemi melanda. Para penatua dan calon penatua pun perlu bersiap dan dibekali dengan pemahaman yang tepat menurut Alkitab sehingga bisa memberi jawab dan pemahaman kepada umat .
Untuk kepentingan acara, perkenankan kami memohon kesediaan Bapak untuk dapat mengirimkan CV dan materi pembicara dalam bentuk
soft copy
, satu minggu sebelum acara. Untuk informasi lebih lanjut mengenai acara ini, dapat menghubungi Pnt. Naomy Herdhianti dengan nomor HP/WA : 0819 7708 0277.Demikian permohonan kami, atas perhatian dan terkabulnya permohonan ini, kami ucapkan terima kasih. Tuhan Yesus memberkati pelayanan kita bersama.
Teriring salam dan doa,
GEREJA KRISTEN INDONESIA SERPONG a.n. Majelis Jemaat
Pnt. William Tjoa
Ketua Umum Pnt. Widya Adi Tjahjono Sekretaris Umum
LAPORAN HASIL KEGIATAN
Pembicara Pembekalan Penatua dan Calon Penatua (GKI Serpong)
Berdasarkan surat tugas Ketua STFT Jakarta No. 089n/Ketua/V/2021 tanggal 20 Mei 2021, saya telah menyampaikan ceramah dalam bentuk seminar di salah satu gereja, GKI Serpong yang bertema “Akhir Zaman Menurut Alkitab”. Materi disampaikan melalui zoom pada Rabu, 26 Mei 2021 sebagai bentuk Pembekalan Calon Penatua dan Pengembangan Penatua GKI Serpong.
Pembinaan ini dilaksanakan dalam kerangka membuka wawasan bagi para penatua GKI Serpong mengenai Akhir Zaman dalam Alkitab. Ceramah ini berlangsung 1 jam 30 menit, dimulai dengan presentasi selama 45 menit, lalu dilanjutkan dengan tanya jawab yang dipandu oleh moderator.
Jakarta, 12 Juli 2021
Agustinus Setiawidi, Th. D.
Akhir Zaman Menurut Alkitab
Agustinus Setiawidi Pengantar
Tahun lalu, 2020, ketika pandemi COVID-19 mulai menyelinap ke Indonesia, optimisme (termasuk dari para pendeta) perlahan-lahan diganti oleh pengakuan bersama secara nasional bahwa Nusantara tidak kebal terhadap virus corona. Sebuah periode baru dimulai.
Pemerintah dan semua pihak sadar (meskipun ada juga yang masih mengeyel) bahwa yang harus dilakukan adalah menjalankan disiplin protokol kesehatan. Sementara itu, secara sporadis gereja merespons pandemi ini dengan menawarkan sejumlah teologi dengan inti pertanyaan: apakah maksud Tuhan di balik pandemi ini? Salah satu respons itu adalah:
pandemi kali ini adalah pertanda akhir zaman. Tetapi, apakah yang sebenarnya akhir zaman itu menurut Alkitab?
Akhir zaman adalah konsep yang dalam disiplin teologi dikenal dengan eskalotogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani eschatos (terakhir, final). Eskatologi adalah ajaran tentang “hal-hal yang terakhir” yang akan terjadi di dalam kehidupan duniawi kita. Konsep atau ajaran ini menunjuk kepada suatu waktu di masa depan, di mana jalannya sejarah akan diganti oleh realitas yang benar-benar baru. Dalam presentasi ini kita akan melihat secara singkat-padat konsep akhir zaman di dalam dunia alkitabiah. Pertama, kita akan berfokus kepada ide-ide eskatologis di dalam Perjanjian Lama. Kedua, kita akan melihat eskatologi dalam PB. Ketiga, kita akan mencoba menarik kesimpulan. Sumber utama dalam paper ini adalah David L.
Petersen, ‘ESCHATOLOGY’ dalam Anchor Bible Dictionary, vol. 2, D. N. Freedman (peny.
utama), NY: Doubleday, 1992 dan D. E. Aune ‘ESCHATOLOGY (EARLY CHRISTIAN)’
dalam Anchor Bible Dictionary, vol. 2, D. N. Freedman (peny. utama), NY: Doubleday, 1992.
Eskatologi Perjanjian Lama
Pertama-tama, kita akan menjernihkan beberapa hal. Pertama, istilah eskatologi itu sendiri dipakai dengan arti yang berbeda-beda. Kedua, di dalam PL, istilah tersebut muncul pada abad ke-19. Ketiga, meskipun baru muncul belakangan, bagi telinga kita istilah tersebut terdengar kuno, seperti sebuah peninggalan kuno yang hendak dipahami secara sistematis.
Kata eskatologi berasal dari istilah Yunani eschatos yang memilki sejumlah arti, bergantung pada kerangka acuannya: jarak terjauh dalam ruang, unsur terakhir dalam waktu, dan sisa uang yang terakhir. Eskatologi menjadi terkenal dalam percakapan teologis karena menunjuk kepada hal-hal terakhir yang terjadi di dunia dan sejarahnya: apokaliptik, bencana alam kosmik, dan konflik zaman baru, yang disusul oleh kebahagiaan utopia. Mungkin kita bisa saja memasukkan kematian setiap orang sebagai eskatologi – lembar terakhir dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, diskusi tentang eskatologi pada umumnya tidak melibatkan kehidupan setelah kematian yang dialami oleh individu. Eskatologi lebih terkait dengan kehidupan komunal dan kosmik, dan ditemukan dalam banyak kepercayaan.
Apakah keunikan eskatologi di dalam PL, dibandingkan dengan konsep serupa di dunia kuno? Pertanyaan ini telah menyita perhatian sejak diskusi-diskusi awal di kalangan para pakar PL. Ada yang percaya, antara lain Gressmann, bahwa eskatologi PL berasal dari bahasa dan ideologi kerajaan yang lazim ditemukan di dunia Barat Daya Kuno. Sementara itu, pendapat lain yang diwakili oleh Gunkel mengatakan bahwa kerangka berpikir yang lebih luas di dunia kuno pada waktu itu adalah kepercayaan akan adanya zaman purba atau masa lalu dan kembalinya sejarah kepada masa lalu tersebut. Wellhausen memiliki pendapat yang berbeda. Ia percaya bahwa eskatologi Israel kuno berasal dari nubuat-nubuat dari para nabi yang belum digenapi. Karena itu, ia tidak tertarik untuk membicarakan eskatologi PL dalam konteks dunia kuno yang lebih luas. Sampai saat ini, tampaknya para ahli belum dapat menemukan bukti yang cukup kuat bahwa peradaban dunia kuno di sekitar Israel memiliki pengharapan eskatologis seperti yang kita temukan dalam PL. Apakah kaitan antara
eskatologi dan apokaliptisisme? Kita dapat menyimpulkan bahwa semua apokaliptisisme melibatkan eskatologi, namun tidak semua eskatologi melibatkan apokaliptisisme.
Seluruh literatur apokaliptik dalam PL, baik pada masa awal (mis., Yes. 24-27; Za. 9- 14; Yl. 3-4) maupun kemudian (Daniel 7-12), melibatkan gagasan tentang waktu yang krusial – akhir zaman – ketika TUHAN mengambil keputusan untuk menciptakan sebuah masa kejayaan bagi Israel. Akan tetapi, tidak semua karya yang diberi label eskatologis memiliki karakter apokaliptik. Sementara itu, tampaknya lebih mudah bagi kita untuk berbicara tentang literatur apokaliptik daripada berbicara tentang literatur eskatologis. Istilah eskatologis itu sendiri memang kurang tepat jika diterapkan kepada literatur. Di dalam PL, gagasan eskatologis muncul baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Jadi, tidak ada jenis sastra khusus untuk eskatologi. Ini berbeda dengan apokaliptisisme yang mengacu kepada tulisan-tulisan yang berisi sejumlah penglihatan, sebagaimana yang kita temukan dalam Daniel 7-12. Namun demikian, akan terasa aneh jika kita berbicara tentang eskatologi PL tanpa mengacu kepada Amos 5:18-20, sebagai sebuah teks yang sering diberi label teks eskatologis.
Sumber-sumber Eskatologi PL
Jika kita ingin berbicara tentang sumber-sumber yang mengandung gagasan eskatologis dalam PL, maka kita harus berbicara tentang proses dari gagasan itu sendiri. Dengan kata lain, meskipun eskatologi telah kita pahami sebagai orientasi, pandangan tentang masa depan yang radikal, yang melibarkan perombakan dan penyusunan kembali tatanan sosial dan kosmik, di dalam PL konsep tersebut merupakan hasil dari sebuah proses yang panjang.
1. Tradisi Janji dalam Zaman Para Leluhur
Di dalam PL adalah sejumlah tradisi janji yang sering kali dikaitkan dengan para Leluhur. Meskipun sampai sekarang masih diperdebatkan kapan tradisi-tradisi tersebut muncul, namun yang jelas ialah bentuk janji-janji tersebut mengandung unsur tanah dan keturunan. Janji ini menjadi semakin spesifik jika kita mengamati bahwa tanah yang dimaksud adalah tanah yang yang dikuasai oleh Israel selama zaman kerajaan. Inilah yang kita baca dalam Kejadian 15:18-20. Sedangkan keturunan yang dimaksud adalah sebuah bangsa yang besar, yang tentu saja secara spesifik menujuk kepada konteks nasional (Israel). Dapat disimpulkan bahwa dari sudut pandang para Leluhur, eksistensi Israel yang sesungguhnya ada di masa depan, yang selama periode kerajaan.
2. Tradisi Daud-Sion
Dalam masa pemerintahan Daud, Israel mengamankan tempatnya di dunia Barat Daya Kuno, sebagai sebuah bangsa dengan batas-batas teritori tertentu. Meskipun demikian, institusi kerajaan di Israel memiliki kerumitan tersendiri. Pertama, yang mendominasi adalah kerajaan Selatan atau Yehuda, sebagaimana janji di dalam 2 Samuel 7, bahwa seseorang dari garis keturunan Daud akan selalu duduk di takhta kerajaan. Harapan semacam ini didasarkan atas apa yang dikenal sebagai Perjanjian Daud atau Janji Daud, sebuah hibah yang diberikan oleh YHWH kepada dinasti Daud (lih., misalnya Mzm. 132). Kedua, sistem kerajaan yang diadopsi oleh Israel otomatis membuat bangsa ini berbagi dalam banyak hal dengan bangsa-bangsa lain di dunia kuno. Jika sebuah bangsa memiliki raja, maka akan ada cita-cita, harapan dan proyeksi ke masa depan – perdamaian, kesuburan, keadilan, dlsb. – yang dinanti-nantikan.
Ketiga, dalam tradisi kerajaan di Israel, Daud memiliki lokasi khusus untuk memerintah, yakni Sion. Menurut Gerhard von Rad, kekhususan ini membangun sebuah gagasan tentang masa depan, di mana Sion menjadi pusatnya. Kita bisa memperoleh kesan yang kuat dalam Mazmur 46 atau 48. Sion menjadi kota yang istimewa jika dikaitkan dengan harapan masa depan Israel. Dapat disimpulkan bahwa tradisi-tradisi kerajaan di Yehuda, dan juga di Israel secara keseluruhan, mengandung
tiga harapan di masa depan, yakni: seorang raja keturunan Daud; seorang raja yang adil, yang akan mewujudkan berkat masa depan bagi Israel, kota Daud akan tetap ada dan aman, sampai di masa depan. Ketiga unsur di atas dalam tradisi Israel memperlihatkan dimensi spesifik sekaligus dimensi universal tentang kerajaan dan siapa yang duduk di takhta, yang tidak dapat diganggu gugat. Harapan masa depan semacam ini melahirkan sejarah yang kuat, sekaligus unsur-unsur mitis, yang ingin meyakinkan bahwa apa yang para raja lakukan merupakan perwujudan dari tradisi para Leluhur, dalam bentuk institusi kerajaan.
Hari TUHAN menjadi tema yang sentral dalam teks-teks eskatologis. Gagasan ini berasal dari tradisi kerajaan, yang mewakili motif ganda dari peperangan TUHAN, yang berakhir dengan kemenangan-Nya, disusul oleh penobatan TUHAN sebagai raja. Pada awalnya, Hari TUHAN bagi Israel adalah hari suka cita. Akan tetapi, Hari TUHAN juga menjadi hari di mana Dia menyerang musuh-musuh-Nya, baik yang ada di dalam maupun di luar Israel (lih. Am. 5:18-20; Yes. 2:11-17; Zef. 1:11-2:3; Yl 2:1- 2). Dalam literatur pascapembuangan, Hari TUHAN memiliki konsekuensi, baik positif maupun negatif (mis., Yes. 61:2). Pentingnya Hari TUHAN dalam sastra apokaliptik mula-mula tampak dari sering munculnya frasa “pada hari itu” dalam teks-teks seperti Zakharia 12-14.
3. Tradisi Perjanjian Sinai
Meskipun tidak berhubungan langsung dengan tradisi janji para Leluhur atau tradisi kerajaan, tradisi Sinai penting untuk memahami eskatologi PL. Tradisi ini tampaknya sering bersitegang dengan dua tradisi sebelumnya. Tradisi Sinai melibatkan perjanjian yang umat Israel buat dengan Allah mereka, YHWH. Kontrak perjanjian ini mencakup sejumlah peraturan yang harus ditaati. Dengan kata lain, gagasan perjanjian ini menggabungkan gagasan kepatuhan dan ketidakpatuhan di masa depan, yang tercermin dalam bentuk berkat dan kutuk. Jika umat menaati peraturan, maka berkat akan datang (Ul. 28:1-14). Sebaliknya, jika umat tidak mengikuti peraturan dan tidak menjaga relasi yang benar dengan Allah mereka, maka kutuk akan menimpa mereka (Ul. 27:16-46). Tradisi Sinai memiliki orientasi masa depan yang berbeda karena bentuknya adalah perjanjian berkat dan kutuk. Karena itu, meskipun perjanjian Sinai telah membentuk sebuah komunitas yang bisa ditafsirkan terjadi pada masa kini (pada saat perjanjian dibuat), namun akan ekspektasi masa depan yang menentukan, terkait keberlangsungan komunitas Israel. Ekspektasi tersebut dapat dipahami dalam eksistensi Israel yang diberkati atau dikutuk di masa depan.
Eskatologi Para Nabi
1. Para Nabi Prapembuangan
Tiga tradisi yang terdahulu: janji para Leluhur, kerajaan, dan perjanjian Sinai mengandung pengharapan yang melibatkan masa depan. Para nabi mempertajam dan bahkan menantang sejumlah pengharapan masa depan ini. Mereka ini adalah para juru bicara yang memanfaatkan berbagai tradisi yang sudah ada, khususnya tradisi Sinai. Para nabi tampaknya menjalankan fungsi sebagai orang-orang yang mendeteksi kesalahan-kesalahan orang Israel, yang telah melanggar perjanjian dan menyampaikan hukuman yang akan menimpa, yang bisa kita pahami sebagai kutukan perjanjian. Karakter dari Hari TUHAN sebagai hari bagi pengharapan yang negatif diperdengarkan kembali oleh para nabi ini. Lambat laun, gambaran negatif dari Hari TUHAN menjadi begitu suram sehingga orang akan membayangkan suatu keadaan di mana zaman yang baru akan terbit, diawali oleh bencana yang mengerikan dan kehancuran nasional, sebagaimana yang bisa kita baca dalam kitab Amos,
Zefanya, dan Yehezkiel. Masa depan yang diramalkan oleh para nabi sangat berbeda dengan apa yang Israel telah alami dan harapkan: lenyapnya eksistensi sebagai bangsa, kekalahan Sion, hancurnya bait suci, dan lenyapnya kerajaan. Semua ini dipahami secara eskatologis – sebagai final atau akhir zaman. Gambaran yang dipakai oleh para nabi yang berasal dari konsep kutuk menandakan berakhirnya cara bereksistensi Israel yang selama ini dialami. Di sini kita melihat sebuah eskatologi yang negatif. Harapan yang baik tentang kerajaan, kenegaraan, dan kondisi bangsa yang damai dan sejahtera dibatalkan. Peristiwa yang menentukan adalah jatuhnya Yerusalem pada 597 dan 598, dan yang lebih menentukan lagi adalah hukuman atas Israel sebagai sebuah bangsa. Sebuah akhir dari kebangsaan Israel telah diramalkan.
Eskatologi yang disampaikan oleh para nabi ini dapat kita tafsirkan berasal dari tradisi Sinai. Akan tetapi, paling tidak tradisi kerajaan juga tidak jauh berbeda dengan tradisi Sinai – membayangkan masa depan yang positif. Yang dapat dipastikan adalah memang ada penghakiman yang negatif atas raja-raja yang tidak menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka sesuai perjanjian, sebagaimana yang kita baca dalam Yeremia 21:11-22:30. Bagian akhir dari nubuat Yeremia ini tampaknya menghindari kemungkinan keturunan Daud untuk menjadi raja di masa depan. Namun demikian, tradisi kenabian yang sama dalam Yeremia 23:5-6 masih meramalkan suatu masa di mana penerus Daud akan duduk di takhta kerajaan dan memerintah dengan adil.
Tradisi Daud tampaknya bukan hanya memiliki standar untuk menilai para raja, tetapi juga untuk memikirkan sosok seorang raja yang tak terlihat di masa depan, yang akan memerintah dengan keadilan dan kebenaran. Dengan kata lain, apa yang tampak sebagai eskatologi negatif, ternyata juga melibatkan harapan yang positif. Dalam hal ini, kita melihat bahwa tradisi kerajaan membawa umat kepada pengharapan mesianik, yakni pengharapan akan munculnya seorang manusia yang akan diurapi untuk menjadi pemimpin bangsa; seorang raja yang akan membawa kejayaan bagi Israel.
Tradisi Sinai, sama dengan tradisi kerajaan, memiliki ekspektasi negatif dan positif.
Bagi sebagian besar nabi sebelum pembuangan (587), kutuk perjanjian sering dinubuatkan. Menurut nubuat-nubuat mereka, Israel telah melanggar peraturan dan hukum dalam perjanjian yang telah diikat dengan Allah mereka. Bagi orang-orang Israel yang masih tetap percaya bahwa relasi perjanjian itu masih mengingat dan memiliki kuasa, bahkan setelah kehancuran dan pembuangan di Babilonia, berkat- berkat yang berasal dari perjanjian yang sama masih tetap dinantikan, dan diyakini masih mungkin terjadi, seperti yang kita baca dalam Yesaya 35. Keyakinan tersebut bergantung kepada praanggapan bahwa ketaatan yang radikal kepada perjanjian itu mau tidak mau harus dilakukan. Inilah yang dimaksudkan dengan perjanjian baru di dalam konteks eskatologis (Yer. 31 dan Yeh. 11). Seiring dengan pengharapan akan berkat perjanjian dalam periode pembuangan dan pascapembuangan ini, kita bisa mengingat dan mengulang kembali apa yang ada dalam tradisi para Leluhur tentang harapan akan pemulihan batas-batas nasional dan pemukiman di negeri yang dijanjikan TUHAN. Tidak berlebihan, jika kita menyimpulkan bahwa sebelum abad ke-6 sZB (sM) ketiga tradisi para Leluhur, kerajaan, dan Sinai menyuarakan harapan- harapan yang positif, yang bisa kita sebut sebagai pengharapan eskatologis. Beberapa waktu sebelum kehancurannya, Israel mengungkapkan bahasa eskatologis yang negatif – malapetaka. Lalu, di kemudian hari, setelah pembuangan, bahasa eskatologis menjadi positif kembali.
2. Para Nabi Pascapembuangan
Jika sebelum dan selama masa pembuangan kita menyaksikan tradisi eskatologis yang diisi oleh kejayaan dan kehancuran, maka dalam periode pascapembuangan pengharapan eskatologis itu berkembang dalam cara yang baru dan tegas. Dengan
pembangunan kembali bait suci, sebuah tahap baru eskatologis yang positif, yang membayangkan kejayaan Israel disuarakan dengan lantang oleh Deuteroyesaya. Akan tetapi, kejayaan itu tidak pernah terjadi. Lambat-laun dan samar-samar, eskatologi kejayaan dan kehancuran digabungkan dan menjadi sebuah ideologi yang kita kenal sebagai “apokaliptisisme” mula-mula. Proses ini tentu saja dipengaruhi oleh frustrasi dengan mereka yang tidak melihat terwujudnya harapan-harapan eskatologis yang positif, selama akhir abad ke-6 dan ke-5 sZB (sM). Dengan jelas kita bisa memperbandingkan janji-janji berkat yang berasal dari periode Keluaran (mis. Yes.
54:11 dst.), atau dari periode restorasi awal pascapembuangan (mis. Hag. 2:6 dst.), dengan kenyataan yang ada pada akhir abad ke-6 dan ke-5, untuk melihat kontras antara apa yang diharapkan dan apa yang sebenarnya terjadi. “Zaman yang baik”
yang sangat baru, dengan jalan-jalan yang dilapisi emas dan hasil panen yang belum pernah terjadi di masa lalu, tidak terwujud bagi mereka yang telah kembali dari pembuangan. Akibatnya, banyak yang frustrasi, terutama mereka yang membayangkan pemulihan kejayaan Israel; meskipun pengharapan itu sendiri masih tetap ada. Akhirnya, perkembangan selanjutnya kita lihat ketika tradisi eskatologis menjadi apokaliptisme, sebagaimana yang diekspresikan dalam kitab-kitab apokaliptik: sebuah gagasan yang percaya bahwa masa depan yang depan terkait dengan malapetaka masa depan. Sebagai contoh, Zakharia 9-14 membayangkan kemungkinan masa depan yang penuh kejayaan, dan kehancuran di dalam Israel itu sendiri, dalam Zakharia 14:2-5. Apa yang akan terjadi di masa depan ternyata melampau apa yang manusia ketahui tentang dunia ini: “pada waktu itu tidak akan ada lagi udara dingin atau keadaan beku, tetapi akan ada satu hari – hari itu diketahui oleh TUHAN – dengan tidak ada pergantian siang dan malam, dan malampun menjadi siang.” Pengharapan semacam ini tampaknya melampaui – selangkah lebih maju – gagasan tentang hari kemenangan atau hari kesetiaan radikal terhadap perjanjian yang diproklamasikan oleh para nabi prapembuangan. Dalam Zakharia 14, misalnya, kita mengamati adanya gagasan tentang tatanan kosmik dan sosial yang secara fundamental berbeda; perbedaan yang mencakup waktu, tatanan alam, eksistensi sosial, afiliasi keagamaan, bahkan karakter dari YHWH itu sendiri.
Semuanya sungguh-sungguh baru, tidak pernah ada sebelumnya. Jika, eskatalogi sebelumnya berfokus kepada sebuah “akhir,” kini sastra apokaliptik meramalkan sebuah “zaman baru.” Ada sesuatu yang melampaui “akhir” itu sendiri. Keprihatinan terhadap zaman baru merupakan salah satu ciri dari apokaliptisme.
Dari peleburan tradisi Israel mula-mula menjadi tradisi eskatologis yang berkembang dalam periode akhir kerajaan, dan perkembangan tradisi eskatologis menjadi sastra apokaliptik dalam periode awal pascapembuangan, karya-karya apokaliptik yang sepenuhnya berkembang tidak memakan waktu yang lama untuk muncul. Di dalam PL, kita memiliki kitab Daniel sebagai sebuah sastra apokaliptik yang utuh. Dengan meleburnya tradisi eskatologis menjadi sastra apokaliptik, maka berakhirlah perkembangan eskatologi PL.
Dinamika dalam Eskatologi PL 1. Perkembangan Historis
Dari tinjauan singkat kita di atas, ada tiga hal yang bisa kita amati. Pertama, eskatologi PL ternyata harus dibahas dalam konteks perkembangan sejarahnya.
Eskatologi PL paling baik dipahami sebagai sebuah kompleksitas dari sejumlah tradisi yang berevolusi dari tradisi-tradisi Israel kuno yang berbeda-beda.
Eskatologi PL pada hakikatnya bukanlah sebuah istilah teologis yang sistematis.
Oleh karena itu, cukup sulit untuk membahas eskatologi seperti halnya kita harus
membahas sebuah konsep. Pengharapan eskatologis Israel kuno dalam PL telah berubah banyak dari waktu ke waktu. Dalam hal ini penting untuk kita catat bahwa banyak dari eskatologi, misalnya selama abad ke-6, merupakan hasil dari perkembangan internal Israel. Tentu saja, ada gagasan-gagasan tentang kerajaan yang umumnya dikenal di dunia kuno, di sekitar Palestina. Akan tetapi, tradisi janji para Leluhur, begitu juga tradisi-tradisi pewaris Daud dan perjanjian Sinai sangat spesifik-Israel. Eskatologi Israel kuno berbeda (namun tidak otomatis lebih tinggi atau mulia) dari pengharapan masa depan yang dipahami di dalam budaya- budaya Siro-Palestina dan Mesopotamia.
2. Konteks Sosial
Tidak semua orang Israel percaya kepada pengharapan eskatologis PL. Ada juga kelompok-kelompok tertentu di Israel, khususnya selama masa pembuangan dan selama masa restorasi, yang tidak memakai bahasa eskatologis ataupun apokaliptik. Sebagai contoh, kalangan orang bijak, sebagaimana yang kita temukan dalam kitab-kitab Amsal, Ayub, dan Pengkhotbah, tampaknya tidak memeluk gagasan tentang penghakiman yang radikal, ataupun masa depan yang sungguh-sungguh berbeda daripada apa yang pernah dialami. Di samping itu, ada pula beberapa kelompok yang pandangannya dapat kita temukan dalam kitab Ezra dan Nehemia, dan juga dalam kitab Tawarikh. Kelompok-kelompok tersebut memahami keberadaan Israel selama periode Persia dengan cara-cara yang tidak eskatologis. Hal yang sama juga berlaku untuk kelompok-kelompok Imam yang diasosiakan dengan sumber P. Dengan kata lain, eskatologi PL bukanlah fenomena seluruh umat Israel, melainkan sebuah cara pandang yang penting dalam memahami realitas. Kemungkinan besar pemahaman eskatologis tentang kenyataan hidup dialami oleh mereka yang tidak harus terlibat langsung dalam urusan politik ataupun institusi keagamaan.
3. Periode Sejarah
Perkembangan eskatologi PL bekembang dan menjadi intensif dalam kondisi- kondisi sejarah tertentu, di mana bangsa Israel atau kelompok-kelompok tertentu di Israel sedang mengalami persoalan. Sebagai contoh, peleburan atau penggabungan tradisi-tradisi yang terpisah selama Israel berada di bawah ancaman Kekaisaran Neobabilonia. Pada waktu itu Israel berada dalam kondisi darurat, dan terancam kemerdekaannya, dan memang akhirnya musnah sebagai sebuah bangsa. Lalu muncullah kompleksitas tradisi eskatologi PL dan berkembang dalam periode Persia. Pada masa ini pulalah komunitas Yahwistis yang baru saja pulih identitasnya, mengalami ancaman yang serius. Ditambah lagi, selama periode ini terjadilah perselisihan yang serius di dalam komunitas Yahwistis itu sendiri. Masing-masing kelompok berlomba-lomba ingin memegang tampuk kuasa dan otoritas. Jadi, ancaman bisa datang dari luar dan dari dalam.
Konteks sejarah yang spesifik inilah yang menjadi tempat berkembangnya tradisi eskatologis, untuk kemudian berubah menjadi apokaliptisisme dan literaturnya.
Pengharapan Eskatologis PL
Kita dapat merangkum eskatologi PL sebagai berikut.
1. Pengharapan eskatologis sangat bergantung kepada gagasan tentang kerajaan dan pemerintahan YHWH yang ilahi. YHWH, Allah Israel, diharapkan muncul kembali dan bertindak di masa depan untuk menjalankan dan mengukuhkan wilayah kekuasaan-Nya. Perumpamaan atau metafor militer sangat dominan sebagai cara yang dipakai untuk menggambarkan tindakan ilahi tersebut, meskipun cukup menarik bahwa peristiwa-peristiwa alam seperti kelaparan, kekeringan, wabah penyakit juga bisa dilibatkan dalam mewujudkan tindakan-
Nya itu. Dalam hal ini, seluruh alam semesta terdampak oleh aksi militer YHWH (mis. Yl. 3:15, Yes. 34:4). Selama konflik ini, musuh-musuh YHWH, entah di dalam, entah di luar Israel, akan menikmati upah masing-masing. Barulah dalam sastra apokaliptik yang kemudian muncul, nasib dari mereka yang setia kepada YHWH menjadi fokus refleksi atau perhatian. Meskipun demikian, Yesaya 25:6-9 memberi petunjuk tentang nasib dari mereka yang berkenan di hadirat YHWH. Karena wilayah kekuasaan YHWH adalah alam semesta, semua orang memiliki tempat di dalamnya, dan karena itu semua bangsa, termasuk mereka yang ada di luar batas wilayah Israel dapat dianggap sebagai pemuja dan penyembah YHWH (band. Yes.
2:1-4), dan karena itu pula dimasukkan dalam kerajaan-Nya.
2. Setelah YHWH dinobatkan menjadi raja semesta, orang mengharapkan suasana dan zaman surgawi atau zaman kedamaian. Zaman seperti ini dapat dipahami sebagai zaman dalam perspektif tradisi kerajaan, yaitu zaman yang dihubungkan dengan seorang raja yang adil dan ilahi yang duduk di atas takhta. Pengharapan ini mencakup ditegakannya keadilan, kesuburan tanah dan panen yang melimpah, dan tidak ada lagi peperangan. Meskipun penekanan dalam tradisi eskatologis adalah YHWH sebagai raja, ada tempat bagi seorang yang keturunan Daud yang adil; dia yang akan memerintah dengan keadilan dan kemurahan hati.
Pengharapan ini melahirkan apa yang disebut sebagai teks-teks mesianik yang memperlihatkan harapan akan lahirnya pemimpin keturunan Daud yang sangat baik dan bijaksana, yang belum pernah ada selama ini (Mzm. 18:50; Yeh. 37:23-24).
Bagaimanapun juga, YHWH tetap menjadi pemimpin yang terbaik.
3. Masa yang akan datang dapat pula digambarkan dengan menggunakan bahasa perjanjian, sebagaimana Yesaya 34:16, di mana masa depan diperikan secara eksplisit dengan kitab perjanjian. Masa depan eskatologis adalah masa di mana perjanjian tersebut akan ditaati (Yer. 31), dan itu berarti berkat perjanjian akan terwujud. Bahasa berkat perjanjian yang spesifik ini tidak berbeda dengan apa yang telah dibayangkan sebagai pemerintahan YHWH yang adil. Hal serupa kita temukan juga dalam tradisi janji para Leluhur yang membayangkan skenario eskatologis; bahwa pemerintahan YHWH akan berpusat tidak hanya di langit, atau hanya di Sion, melainkan di seluruh negeri yang telah dijanjikan kepada nenek moyang Israel. Bahwa Israel akan menjadi bangsa yang besar dan banyak jumlahnya, yang menjadi sisi lain dari janji para Leluhur itu, mungkin dapat dianggap sebagai bagian dari tradisi eskatologis yang berkembang jauh di kemudian hari.
4. Akhirnya, teks-teks PL yang berasal dari periode prapembuangan dan yang berasal dari periode pascapembuangan, merangkum apa yang menjadi penekanan dalam kompleksitas tradisi eskatologis PL – Yehezkiel 7:2b-3a: “Berakhir!
Berakhirlah keempat penjuru tanah itu. Kini kesudahanmu tiba dan Aku akan mencurahkan murka-Ku atasmu …”; dan Zakharia 14:9a: “Maka TUHAN akan menjadi Raja atas seluruh bumi.”
DAVID L. PETERSEN
Eskatologi Perjanjian Baru
- Yesus dan Akhir Zaman
Meskipun sulit, namun usaha untuk memahami apa yang Yesus pahami tentang akhir zaman telah dan mungkin akan terus dilakukan. Kesulitan ini terutama disebabkan karena Yesus tidak meninggalkan dokumen yang berasal langsung dari karya-Nya. Paling tidak, ada dua topik yang telah dibahas terkait Yesus dan pandangan eskatologi yang dianut-Nya, yakni:
pandangan Yesus tentang masa depan (perspektif eskatologis-Nya) dan pemahaman diri Yesus tentang peran-Nya dalam kerangka besar eskatologi pada zaman-Nya. Kita tidak tahu
persis apakah Yesus sendiri menganggap diri-Nya memiliki peran itu, tetapi para murid- Nyalah yang segera menempatkan Dia sebagai tokoh eskatologis, tidak lama setelah kematian dan kebangkitan-Nya.
- Model-model untuk Memahami Ajaran Eskatologis Yesus
Keempat injil yang ada dalam PB merupakan hasil akhir dari proses lisan dan penulisan yang panjang, yang berisi berbagai tradisi tentang Yesus dari Nazaret. Pertanyaan di kalangan para ahli adalah: manakah pandangan eskatologis yang memang berasal dari Yesus sendiri?
Pertanyaan ini mulai serius ditanggapi sejak Johannes Weis dan Albert Schweitzer yang meneliti karakter eskatologis dan apokaliptik dari jemaat Kristen mula-mula.
1. Model Eskatologi Konsisten
Para pakar yang mendukung model ini meyakini bahwa pandangan Yesus tentang akhir zaman dilatarbelakangi oleh sastra apokaliptik Yahudi mula-mula. Baik etika maupun eskatologi dalam pengajaran Yesus dan Gereja perdana sangat esensial. Dalam model ini Yesus adalah penganut apokaliptisisme yang menggunakan jadwal eskatologis. Perintah misi yang Yesus sampaikan ketika Ia mengutus Kedua Belas murid (Mat. 10:5-42) mengandung ramalan yang eksplisit tentang kedatangan Anak Manusia yang segera terjadi (Mat. 10:23), yang identik dengan kedatangan kerajaan Allah, penderitaan yang akan dialami oleh para murid (10-34-39); namun kedua ramalan tersebut tidak terwujud (Schweitzer 1961: 358-64). Karena penderitaan dan kesengsaraan besar yang Yesus ramalkan tidak terjadi, Ia mengambil keputusan untuk menyengsarakan diri sendiri, sebagi upaya untuk mendesak datangnya kerajaan Allah itu (Schweitzer 1961: 387-97).
Karena akhir zaman tidak kunjung tiba, Yesus menjadi salah satu contoh nabi yang gagal.
Selanjutnya, sejarah Kekristenan pada kenyataannya didasarkan atas ketidakdatangan Parousia dan sebagai konsekuensinya, eskatologi ditinggalkan. Hanya sedikit pakar yang setuju dengan Schweitzer. Namun pandangannya tentang Yesus sebagai seorang nabi eskatologis tetap mendominasi konsep modern tentang Yesus sejarah.
2. Model Eskatologis yang Terwujud
Dengan model ini pesan atau ajaran Yesus tetap mengandung kebenaran dan relevansi, karena Ia mengajarkan kehadiran yang esensial dari kerajaan Allah. Model ini mengandalkan perkataan-perkataan Yesus dalam Injil-injil, terutama sejumlah perumpamaan. Intinya, eskatologi dalam ajaran Yesus menekankan kehadiran kerajaan Allah, baik di masa depan maupun di masa kini. Dengan kata lain, model ini menolak paham yang melihat kerajaan Allah sebagai konsep apokaliptik. Sebaliknya, kerajaan Allah lebih dipahami sebagai perwujudan dan bukti kedaulatan ilahi melawan kejahatan duniawi. Bagi model ini, persoalannya bukan pada tertundanya Parousia, melainkan pada bagaimana ajaran tentang Parousia yang sudah dekat tersebut menjadi integral dari iman Gereja mula-mula.
3. Model Eskatologi Proleptik
Sebagai reaksi dari dua model sebelumnya, model ini meyakini bahwa Yesus memegang eskatologi yang berisi perbandingan yang paradoks, antara realitas masa kini harapan masa depan. Karakter proleptik (yakni, mengantisipasi) dari model ini ingin menekankan ketegangan antara masa kini dan masa depan dalam pemahaman Yesus tentang kerajaan Allah. Dalam hal ini, masa kini menjadi tahapan kritis dalam perwujudan masa depan yang utuh dari kerajaan Allah. Untuk menjelaskan model ini dan perbedaannya dengan dua model sebelumnya, W. G. Kümmel mengajukan tiga tesis: (1) ada bukti yang tak terbantahkan bahwa dalam pengajaran Yesus, kerajaan Allah merupakan sebuah realitas masa depan yang akan muncul segera (Kümmel 1961: 19-87) ; (2) ada juga bukti bahwa kerajaan Allah merupakan realitas masa kini di dalam dan melalui perkataan dan karya Yesus (105-40); dan (3) pesan eskatologis Yesus harus dibedakan dengan karakteristik eskatologi apokaliptik dari Yudaisme perdana, karena apa yang diperbandingkan oleh
Yesus tentang masa kini dan masa depan ingin menegaskan bahwa fungsi penebusan dari perwujudan eskatologis telah menjadi realitas masa kini dalam misi dan pengajaran Yesus.
4. Model-model yang Mereduksi Eskatologi
Sampai tahun 1990-an, model proleptik mendominasi pandangan di kalangan para pakar, khususnya menyangkut eskatologi Yesus. Belakangan ini muncul sebuah usulan yang mengkritik pendapat umum bahwa Yesus dan pengajarannya ditentukan atau dikendalikan oleh eskatologi; bahwa Yesus memahami misi-Nya dalam kerangka atau konteks akhir zaman. Sebagai gantinya, Yesus “direduksi” menjadi orang bijak gaya Cynic (yang menganut keyakinan bahwa hidup harus memiliki tujuan, yaitu kebajikan, dan keselarasan dengan alam). Model ini didasarkan atas beberapa argumen: (1) Dalam Injil- injil, perkataan-perkataan tentang kedatangan Anak Manusia dianggap tidak otentik, dan tidak ada bukti tentang konsep Anak Manusia yang eskatologis dalam Yudaisme awal, yang diacu oleh Yesus sendiri; (2) Konsep tentang kerajaan Allah yang eskatologis merupakan gagasan yang tidak ditemukan dalam sastra apokaliptik Yahudi awal; (3) Gagasan bahwa pemberitaan Yesus tentang kedatangan kerajaan Allah yang melibatkan akhir zaman merupakan konsep yang tidak memiliki dasar perkataan-perkataan tentang kerajaan itu sendiri; (4) Pemahaman eskatologis dari Yesus belum pernah bisa menjelaskan secara memadai mengapa ada unsur hikmat amsal yang kuat, yang ditemukan dalam ajaran-ajaran Yesus.
- Yesus dan Kerajaan Allah
Kerajaan Allah, yang menjadi fokus dari pengajaran Yesus dalam Injil-injil Sinoptik, juga menjadi pemberitaan sentral dari Yesus sejarah. Yesus memberitakan kerajaan itu, menjelaskannya melalui sejumlah perumpamaan, mengajak para murid untuk ikut serta menyebarluaskannya, serta terlibat dalam perdebatan dengan para pemimpin agama Yahudi, terkait makna kerajaan Allah. Sangat mungkin, Yesus harus mati sebagai akibat dari kontroversi yang muncul dari pemberitaan-Nya tentang kerajaan Allah tersebut. Injil-injil tidak memberi penjelasan yang memadai tentang apa yang Yesus maksudkan dengan kerajaan Allah. Para pembacalah yang harus menafsirkannya. Karena istilah kerajaan dalam Yudaisme mengacu kepada pemerintahan atau kedaulatan Allah, dan bukan pada teritori, batas wilayah atau kawasan yang diperintah oleh Allah, terjemahan yang lebih tepat untuk frasa Yunani basileia tou theou (yang merefleksikan frasa Ibrani mālkût šāmayim) adalah
“pemerintahan Allah.” Meskipun frasa ini jarang ditemukan dalam literatur apokaliptik Yahudi awal, tidak berlebihan jika kita membayangkan bahwa pada zaman Yesus telah muncul pengharapan yang meluas bahwa Allah akan segera bertindak dengan cara yang tegas untuk menilik dan menebus umat-Nya. Singkat kata, konsep kerajaan Allah yang Yesus ajarkan membutuhkan penjelasan atau penafsiran. Bagaimanapun juga, kalau kita memahami kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus sebagai konsep eskatologis, maka kita menemukannya juga dalam Yudaisme awal. Sebagai contoh, dalam Gulungan Naskah Qumran yang berisi himne, kita mendapat bukti bahwa kelompok Qumran percaya kepada keselamatan eskatologis yang sudah dimulai pada masa kini, di dalam sejarah dan pengalaman komunitas mereka.
Yesus sebagai sang Mesias
Jemaat Kristen mula-mula memberi gelar Mesias kepada Yesus. Dalam kurun waktu 20 tahun setelah penyaliban Yesus, sebagaimana yang kita bisa temukan dalam surat-surat Paulus, sebanyak 266 kali istilah Christos (Ibr. Messiakh) muncul; bisanya muncul sebagai nama diri untuk Yesus: Yesus Kristus atau Kristus Yesus. Dari sini kita mendapat kesan bahwa Paulus tidak terlalu tertarik dengan status kemesiasan Yesus. Akan tetapi dalam Injil-injil dan Kisah Para Rasul, selain sebagai nama diri, gelar mesias juga muncul sebagai predikat bagi Yesus
(Mrk. 8:29), dan sebagai tanda bahwa Dialah raja eskatologis keturunan Daud (Mrk. 12:35;
Kis. 2:31). Dapat disimpulkan bahwa sebutan “mesias” yang dikenakan kepada Yesus oleh orang-orang Kristen awal ditentukan terutama sekali oleh konsep-konsep Kristen, daripada oleh pemahaman konvensional Yahudi tentang gelar tersebut.
Yesus dan Anak Manusia
Sebutan Anak Manusia muncul 69 kali dalam Injil-injil Sinoptik, dan 13 kali dalam Injil Yohanes (dan di beberapa kitab lain), yang dipakai Yesus untuk merujuk kepada diri-Nya sendiri. Sebutan Anak Manusia yang dipakai tidak selalu eksklusif bersifat eskatologis, tetapi mengacu kepada Anak Manusia pada saat ini (pada waktu Injil-injil tersebut ditulis dan diselesaikan; mis. Mrk 2:10, 28), atau penderitaan Anak Manusia (Mrk. 8:31; 9:31; 10:33-34);
dan Anak Manusia di masa depan atau eskatologis.
Asal mula gelar Anak Manusia telah menjadi topik perdebatan di kalangan para ahli PB. Pernah ada anggapan bahwa “Anak Manusia” adalah istilah yang dipakai untuk menunjuk seorang figur eskatologis surgawi yang diharapakan oleh kelompok-kelompok apokaliptik dalam Yudaisme. Akan tetapi, sejak 1960-an, semakin jelas bahwa konsep semacam itu tidak dikenal dalam Yudaisme awal. Sementara itu, Injil-injil memuat sejumlah perkataan eskatologis tentang Anak Manusia, yang berpusat pada Parousia. Namun demikian, sebagian besar ahli menyimpulkan bahwa teks-teks tersebut tidak otentik; artinya berasal dari penyunting yang kemudian. Yang menjadi pegangan para ahli adalah fakta bahwa dari perkataan-perkataan Yesus yang dianggap otentik tak pernah ditemukan kedua konsep – Anak Manusia dan Kerajaan Allah – secara bersamaan. Fakta ini mendorong ditariknya kesimpulan bahwa konsep Anak Manusia muncul belakangan.
Yesus: Eskatologi dan Etika
Pandangan umum selama ini mengamati adanya kaitan antara pemberitaan Yesus tentang kedatangan kerajaan Allah yang segera namun akan berlangsung di masa depan dengan pertobatan yang dibuktikan dengan perubahan perilaku di masa kini (Mrk 1:15; Mat. 4:17).
Namun demikian, jika kita amati banyak dari ajaran etis Yesus yang tampaknya tidak memiliki kaitan logis dengan pemberitaan-Nya tentang kerajaan Allah, misalnya: ajaran tentang perceraian (Mrk. 10:11-12; Mat. 5:31-21). Usaha untuk mendamaikan eskatologi Yesus dan ajaran etis-Nya tampaknya berasal dari “tuntutan” Yesus sendiri kepada para murid dan pendengar-Nya bahwa mereka harus mengambil keputusan masa kini, sebab keputusan tersebut akan memengaruhi masa depan mereka dengan Allah.
Paulus dan Eskatologi 1. Sumber dan Persoalan
Mirip dengan topik tentang Yesus dan eskatologi-Nya, kita menghadapi persoalan sumber-sumber asli yang akan kita pakai untuk mengamati pandangan Paulus tentang akhir zaman. Kita maklum, bahwa para ahli telah mengambil kesimpulan bahwa tidak semua surat dalam PB yang mengatasnamakan Paulus, ditulis oleh ia sendiri. Umumnya, dari 13 surat, hanya 7 yang diyakini berasal dari tangan Paulus sendiri: Surat Roma, 1-2 Korintus, Galatia, Filipi, 1 Tesalonika, dan Filemon. Dari ketujuh surat ini, kita tetap menghadapi persoalan untuk menentukan apakah eskatologi (dan apokaliptisisme) memainkan peran sentral dalam teologi Paulus.
2. Transformasi Apokaliptisisme
Salah satu surat yang sering diacu untuk mengamati pandangan eskatologis Paulus adalah surat 1 Tesalonika: “… bagaimana kamu berbalik dari berhala-berhala kepada Allah … dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang” (10). Dari ayat ini kita menemukan beberapa gagasan:
Parousia, kebangkitan, dan penghakiman, saling berkaitan. Eskatologi ini memiliki orientasi apokaliptis, dengan beberapa ciri khas: (1) dualisme eskatologis; perbedaan zaman sekarang dengan zaman yang akan datang; (2) eskatologi kosmik; kemenangan Allah yang sudah diantisipasi atas dunia yang diciptakan-Nya; dan (3) keyakinan bahwa akhir zaman akan segera tiba.
3. Paulus dan Kerajaan Mesianik Sementara
Salah satu topik diskusi terkait eskatologi Paulus adalah pertanyaan: Apakah Paulus mengharapkan Kerajaan Mesianik sementara sebelum akhir zaman benar-benar terjadi? Beberapa ahli sepakat bahwa Paulus (khususnya dalam 1 Kor. 15:20-28), sama seperti Yohanes (Why. 20:1-15) memang menantikan kerajaan mesianik sementara yang akan diawali oleh kebangkitan pertama, lalu diakhiri dengan kebangkitan yang kedua. Secara spesifik, mereka menawarkan skema sebagai berikut.
Pertama, Parousia yang mendadak, tak ada yang menduga (1 Tes. 5:1-4).
Kedua, kebangkitan tubuh dari orang-orang percaya yang sudah meninggal dan perubahan wujud dari orang-orang percaya yang masih hidup (1 Tes. 4:16 dst.).
Ketiga, penghakiman mesianik yang dipimpin oleh Kristus (2 Kor. 5:10), atau Allah (Rm. 14:10).
Keempat, munculnya kerajaan mesianik (tidak dijelaskan, namun diasumsikan oleh Paulus).
Kelima, perubahan wujud dari seluruh alam (Rm. 8:19 dst.) dan pertempuran melawan Iblis (Rm. 16:20) sampai kematian itu sendiri ditaklukkan.
Keenam, kerajaan mesianik berakhir (Paulus tidak menyebut sampai berapa lama).
Ketujuh, kebangkitan bersama (1 Kor. 6:3) yang disusul oleh penghakiman atas semua orang dan para malaikat yang kalah.
Akan tetapi skenario ini banyak mendapat kritik. Pertama, tidak ada bukti bahwa Paulus mengharapkan kerajaan mesianik sementara, dan kedua, tidak ada bukti bahwa Paulus menantikan kebangkita bersama. Dalam pemahaman Paulus, yang ada hanyalah waktu jeda yang tak dapat diduga, antara kebangkitan dan Parousia Kristus.
4. Paulus: Eskatologi dan Etika
Paulus sering kali menggunakan bahasa eskatologis sebagai alat untuk sikap atau perangai tertentu. Dalam Roma 8:18-25 ia beragumen bahwa penderitaan yang dialami oleh orang Kristen dan kesukaran besar merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan demi kemuliaan yang akan datang (band. 2 Kor. 4:7-12; Rm. 5:3-5; 6:5-11).
Dalam hal ini, tampaknya, pandangan eskatologis Paulus memiliki penilaian yang negatif atas kehidupan di dunia ini. Sementara itu, kalau kita membaca Galatia 5:21, pada akhir daftar kejahatan, dia mengklaim bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian (yang ada dalam daftar pendosa sebelumnya), ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Di sini kita melihat sebuah eskatologi yang memberikan sanksi langsung bagi tingkah laku atau perangai yang dianggap tidak bisa diterima, dan ini memperlihatkan kaitan antara eskatologi dan etika hidup orang Kristen.
Eskatologi dalam Injil-injil Sinoptik dan Kisah Para Rasul 1. Injil Markus
Di dalam Injil Markus kita menemukan istilah “kerajaan Allah” sebanyak 14 kali.
Para ahli pada umumnya sepakat bahwa istilah ini mengacu kepada masa depan – kerajaan Allah segera datang. Meskipun, sebagian kecil percaya bahwa Markus percaya akan kerajaan Allah yang sudah terwujud di masa kini. Di dalam Markus
13, kita menemukan skenario eskatologis yang mengindikasikan adanya orientasi apokaliptik. Setelah meramalkan kehancuran Yerusalem, Yesus meramalkan serangkaian peristiwa eskatologis, termasuk munculnya mesias-mesias palsu, perang, gempa bumi, dan bencana kelaparan, dan masa kesukaran yang besar (13:5-8). Penangkapan dan penuntutan terhadap para murid Yesus juga diramalkan, diikuti penyiksaan bahkan oleh anggota-anggota keluarga (13:9-13).
Akhirnya, setelah gejolak kosmik (13:24-25), Anak Manusia akan datang dari awan dan mengumpulkan mereka yang dipilihnya dari seluruh penjuru bumi (13:26-27).
2. Injil Matius
Secara umum diyakini bahwa jemaat Matius adalah kelompok Yahudi-Kristen yang berkonflik dengan Yudaisme, setelah Pemberontakan Yahudi Pertama selama tahun 66-73 (Mat. 23:1-36). Bagi Injil Matius, Gereja merupakan Israel yang sejati, dan janji-janji eskatologis yang diberikan oleh Allah di dalam PL telah digenapi di dalam hidup dan pelayanan Yesus. Istilah kerajaan Allah hanya ditemukan sebanyak 4 kali, sedangkan kerajaan surga sebanyak 32 kali.
Kemungkinan besar “surga” dipakai sebagai istilah yang lebih memperlihatkan rasa hormat terhadap Allah. Secara umum, harapan Injil Matius akan datangnya akhir zaman tidak sesegara, sebagaimana yang kita baca di dalam Injil Markus.
3. Injil Lukas dan Kisah Para Rasul
Eskatologi jelas merupakan pokok sentral dalam Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, tetapi sekaligus menjadi pokok yang kompleks dan menjadi perdebatan terkait teologi Lukas. Persoalannya bukan apakah Lukas mengantisipasi terwujudnya akhir zaman, melainkan apakah ia memahami perwujudan tersebut sebagai sesuatu yang akan segera terjadi atau masih jauh di depan.
4. Injil Yohanes Kesimpulan
1. Di dalam Alkitab, akhir zaman adalah sebuah konsep teologis yang lahir dari sebuah proses yang cukup panjang. Tiga tradisi besar dalam PL diyakini oleh para ahli berperan penting dalam memapankan keyakinan eskatologis. Keyakinan bahwa kehidupan di dalam dunia ini pada suatu saat akan berakhir, jelas bukanlah monopoli dunia Alkitab. Akhir zaman sebagai sebuah keyakinan alkitabiah menjadi khas karena dinamika sosial, politik dan keagamaan yang dialami oleh Israel kuno, yang berbeda dengan apa yang dialami oleh bangsa-bangsa di sekitarnya. Karena apa yang kita miliki sebagai sumber adalah tradisi tulisan, kita harus juga membayangkan bahwa apa yang tertulis tidak harus dipegang dan diyakini oleh semua orang Israel. Dengan kata lain, tidak semua orang Israel kuno memegang ajaran tentang akhir zaman.
Mungkin untuk sebagian kalangan, kehidupan di dunia ini memang akan berakhir tetapi melalui proses alamiah yang panjang.