• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Anak Tunagrahita

Anak yang memiliki keterbatasan dalam berpikir atau intelektual di bawah rata-rata disebut anak tunagrahita ringan (Sutjihati Somantri, 20011: 104). Anak tunagrahita memiliki istilah lain untuk menyebut di antaranya: mentally retarded, mental retardation, mental defective dan mental deficincy. Pengertian tentang anak tunagrahita menurut AAMD (American Associations Mental Deficiency) sebagai berikut:

Intelektual manusia di bawah rata-rata menyebabkan keterbelakangan mental fungsi secara jelas dan tidak mampu dalam menyesuaikan perilaku yang terjadi di lingkungannya pada masa perkembangan (Kauffman Hallahan dalam Sutjihati Somantri, 2012: 104).

Menurut Mumpuniarti (2013: 20), dalam aspek sosial, kelaianan dan keterbatasan manusia sangat berpengaruh atau menghambat berpartisipasi dalam masyarakat secara maximal bahkan di dalam masyarakat menjadi beban terutama dalam keluarga. Yang dimaksud beban adalah segala sesuatu semua kegiatan masih tergantung kepada orang lain.

Seseorang dapat dikatakan kurang mampu dalam berpikir atau lemah otak, tidak dapat hidup sederhana di lingkungan masyarakat dengan kemampuan sendiri dan jika mampu perlu penyesuaian diri dalam keadaan sangat baik adalah definisi pandangan sosial oleh Herdershe (Mumpuniati, 2013:27)

Karakteristik umum pada anak tunagrahita (Sutjihati Somantri, 2012: 105-106) antara lain:

1) Keterbatasan Intelegensi

Keterbatasan dalam hal belajar yang bersifat abstrak, seperti membaca, menulis dan berhitung (calistung) yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Anak tunagrahita memiliki kemampuan belajar cenderung tanpa pengertian. Dalam artian anak tersebut sulit untuk memahami.

(2)

2) Keterbatasan Sosial dalam

Anak tunagrahita tidak bisa tanggung jawab dalam lingkungan sosial, mengalami kesulitan mengurus dirinnya sendiri, hidupnya tergantung pada orang tua atau orang di sekitarnya, mudah terpengaruh oleh orang disekitarnya, dan tanpa memikirkan akibat dalam melakukan sesuatu. 1) Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya

Memiliki keterbatasan dalam berbahasa pada anak tunagrahita, karena berpusat dalam pengolahan kata yang kurang berfungsi dengan baik.

Ada empat klasifikasi pada anak tunagrahita, yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Berdasarkan pengklasifikasian ini pada tes Standford Binet dan Skala Wesch (WISC).

Tabel 2.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Tingkat Intelegensinya

Level Keterbelakangan

IQ

Stanford Binet Skala Weschler

Ringan 68-52 69-55

Sedang 51-36 54-40

Berat 32-20 39-25

Sangat Berat >19 >24

Sumber : Blake (Sutjihati Somantri, 2012: 109)

1) Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga maron atau debil. Anak tunagrahhita tingkat ringan masih bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung) secara sederhana tingkat mudah. Mumpuniarti (2013: 41-42) mengungkapkan bahwa anak tunagrahita ringan mampu bergaul dengan lingkungan sekitarnya, mampu melakukan pekerjaan sederhana, dan melakukannya secara penuh tanggung jawab.

Senada dengan terori di atas, Moh. Amin (2010: 22) menjelaskan bahwa anak tunagrahita ringan mempunyai kemampuan untuk berkembang atau berfikir dalam bidang akademik, penyesuaian sosial di lingkungan sekitar, dan

(3)

mampu dalam melakukan pekerjaan. Dalam penyesuaian sosial, anak tunagrahita ringan dapat bergaul atau membaur dengan lingkungannya, menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial yang lebih luas dan mandiri dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Menurut Scheneider (Yettie Wandansari, 2011: 87), penyesuaian sosial di sekolah diartikan sebagai kemampuan siswa dalam adaptasi dengan lingkungan sekolah sehingga siswa mampu berinteraksi secara wajar, baik dan interaksi yang terjalin dapat memberikan kepuasan bagi diri dan lingkungannya.

2) Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Anak tunagrahita sedang memiliki tujuan fungsional yaitu dapat belajar keterampilan di sekolah. Dapat berbicara, berkomunikasi, berinteraksi dan berpatisipasi aktif dalam kegiatan kelas Tulkit (2009:60).

Adapun karakteristik sosial anak tunagrahita sedang yaitu memiliki sikap sosial yang kurang baik, rasa etisnya kurang, dan tidak mempunyai rasa terima kasih ketika sudah di beri bantuan, rasa belas kasihan dan rasa keadilan Mumpuniarti, (2013: 28).

3) Tunagrahita Berat dan Sangat Berat

Tunagrahita tingkat berat disebut juga idiot. Kelompok ini di bedakan lagi menjadi tunagrahita berat (severe) dan sangat berat (profound). anak tunagrahita tingkat berat dan sangat berat membutuhkan perawatan, perhatian lebih atau khusus dan bimbingan secara terus menerus dalam hal berpakaian, mandi, makan dan lain-lain Sutjihati (2011:106-108).

(4)

Mumpuniarti (2013:29) menjelaskan bahwa anak tunagrahita tingkat berat dan sangat berat memiliki keterbatasan untuk berhubungan dengan orang lain, tidak mempunyai rasa kasih sayang dan bersikap apatis atau tidak peduli pada sekitarnya.

1. Karakteristik Anak Tuanagrahita Ringan

Anak tunagrahita ringan pada aspek fisik tidak memiliki perbedaan dengan anak normal pada umumnya, tetapi psikis anak tunagrahita memiliki

perbedaan dengan anak normal pada umumnya. Menurut Mumpuniarti (2013: 41), ada 3 karakteristik pada anak tunagrahita yaitu secara sosial, psikis dan fisik yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Karakteristik sosial mampu menyesuaikan diri, dapat bergaul, dengan lingkungan yang tidak sebatas pada keluarga, ada yang mampu mandiri dalam lingkungan masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang ringan dan memiliki rasa tanggung jawab.

b. Karakteristik psikis, yaitu susah berpikir abstrak dan logis. Kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi yang lemah, suka mengendalikan perasaan atau gampang emosi, mudah dipengaruhi dan memiliki kepribadian yang kurang harmonis karena tidak dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk. c. Karakteritik fisik tidak ada perbedaan seperti anak normal lainnya, hanya

memiliki sedikit keterlambatan pada kemampuan sensorik.

Ada beberapa karakteristik anak tunagrahita ringan menurut Munzayanah (2014: 24) yaitu:

a. Dilatih dengan mengerjakan perkerjaan maupun keterampilan setiap harinya di lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat.

(5)

b. Memiliki kemampuan yang terbatas dalam bidang intelektual, sehingga dapat dilatih untuk membaca, menulis dan menghitung (calistung) secara sederhana. c. Mengalami kelainan bicara speech direct, sehingga sulit diajak

berkomunikasi.

d. Dapat dilatih dengan kegiatan yang ringan.

e. Sensitif terhadap penyakit atau disebut terlalu sering sakit.

Dapat disimpulkan bahwa secara umum anak tunagrahita dari berbagai pendapat yang sudah dikemukakan mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Kondisi fisik anak tunagrahita ringan tidak ada perbedaan dengan anak

normal, akan tetapi dalam keterampilan motorik lebih rendah dibandingkan dengan anak normal lainnya.

b. Kondisi psikis anak tunagrahita ringan kemampuan dalam berpikir kurang, mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektual yang secara bersamaan. Anak tunagrahita masih dapat diberikan pelajaran akademis seperti membaca, menulis dan berhitung (calistung) yang sederhana.

c. Kondisi sosial dan kepribadian anak tunagrahita ringan acuh tak acuh (tidak peduli), cenderung menarik diri, mudah frustasi atau stres dan bergaul dengan anak yang berusia lebih muda dan kurang percaya diri.

d. Pekerjaan yang dilakukan pada anak tunagrahita ringan bersifat semi-skilled berarti sederhana ringan dilakukan.

2. Interaksi Sosial

Interaksi sosial berasal dari dua kata, yaitu interaksi dan sosial. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2009:438), interaksi sosial berati hubungan

(6)

sosial yang dinamis anatar individu dengan individu, kelompok dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok.

Soerjono Soekanto (2012:56) mengungkapkan bahwa interaksi sosial hanya berlagsung antara pihak-pihak apabila terjadi reaksi dari kedua belah pihak. Apabila seorang siswa memukul kursi atau meja, tidak akan terjadi interaksi sosial karena kursi atau meja tersebut tidak akan memberikan reaksi dan mempengaruhi siswa yang telah memukulnya.

Menurut Wedjajati (2010), manusia mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial di rumah, sekolah dan masyarakat agar hubungan interaksi berjalan dengan lancar.

Dapat disimpulkan berdasarkan definisi di atas bahwa interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara dua belah pihak atau lebih. Di dalam hubungan tersebut individu di mana perilaku setiap individu mengubah, memperbaiki dan mempengaruhi perilaku individu lainnya.

Ada dua syarat agar terjadinya interaksi sosial yaitu adanya komunikasi dan kontak sosial (Soerjono Soekanto, 2012: 59). Terjadinya interaksi sosial merupakan hubungan individu dengan individu lainnya maka disebut kontak sosial. Sebagai gejala sosial, di dalam kontak tidak memerlukam hubungan badaniah, karena seseorang melakukan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya. Sebagai contoh, seseorang berkomunikasi dengan orang lain, berhubungan satu dengan yang lainnya melalui perantara atau alat secara tidak langsung seperti surat, radio, televisi, telepon dan sebagainya.

Menurut (Soerjono Soekanto, 2012: 59) ada 3 bentuk di dalam kontak sosial antara lain:

(7)

a. Antara individu dengan individu

Burhan Bungin (2006: 56) menjelaskan bahwa seseorang mempelajari norma-norma yang terjadi di lingkungan masyarakat.

a. Antara individu dengan suatu kelompok atau sebaliknya

Kontak sosial terjadi apabila seseorang merasakan bahwa tindakannya berlawanan dengan norma-norma di lingkungan masyarakat.

b. Antara kelompok dengan kelompok.

Kontak ini terjadi pada kelompok manusia dengan kelompok lainnya untuk mengerjakan sesuatu secara bersamaan.

Komunikasi mengakibatkan kerja sama antara individu individu antara kelompok-kelompok manusia. Akan tetapi, tidak selalu komunikasi menghasilkan kerja sama bahkan suatu perdebatan mungkin akan terjadi akibat kesalah pahaman atau karena masing-masing sama sama egois.

Ada 3 faktor terjadinya interaksi sosial menurut Morgan et.al. (Tin Suharmini, 2009: 142-143) yaitu:

a. Adanya usaha untuk mengembangkan interaksi sosial. Kelly (Tin Suharmini, 2009: 143) mengungkapkan bahwa tingkat interaksi antara dua orang atau lebih akan meningkat atau menurun tergantung pada tingkat kontak yang dilakukan pada saat berinteraksi, apakah menarik atau tidak.

b. Memiliki daya tarik fisik dengan individu lainnya, seperti reward, keterdekatan, dan memiliki sikap yang sama.

c. Penerimaan dalam suatu kelompok di dalam lingkungannya ditentukan oleh kepantasan sosial atau derajat manusia. Seperti orang kaya cenderung menghindari orang miskin.

(8)

Adapun bentuk-bentuk interaksi sosial adalah kerja sama (cooperation), persaingan (competion), akomodasi (accomodion), dan pertikaian (conflict) (Soerjono Soekanto, 2012; 65). Sedangkan menurut Gillin (Soerjono Soekanto, 2012; 65), ada dua golongan proses sosial sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu proses assosiatif dan proses disasosiatif. Dalam penelitian ini, akan membahas proses asosiatif dan proses disasosiatif.

a. Proses Asosiatif

Proses asosiatif adalah sebuah proses terjadinya yang saling pengertian kerja sama timbal balik antara orang dengan perorang atau kelompok satu dengan kelompok lainnya (Burhan Bungin, 2011: 58). Proses asosiatif menghasilkan pencapaian dalam tujuan bersama. Adapun bentuk-bentuk proses asosiatif adalah sebagai berikut:

1) Kerja sama (Cooperation)

Menurut Burhan Bungin (2011: 59), kerja sama adalah usaha bersama antar individu atau kelompok untuk mencapai satu atau lebih untuk tujuan bersama. Kerja sama dapat terjadi apabila di antara individu atau kelompok tertentu menyadari adanya kepentingan dan ancaman yang sama. Soerjono Soekanto (2012: 66) menjelaskan bahwa kerja sama mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam suatu kelompok tertentu.

2) Akomodasi (Accomodation)

Istilah akomodasi menunjuk pada keadaan dan menunjuk pada proses. Menurut Burhan Bungin (20011: 68), akomodasi yang menunjuk pada suatu keadaan berarti adanya suatu keadaan seimbang dalam interaksi sosial antara individu dan antar kelompok di dalam masyarakat. Sedangkan akomodasi

(9)

yang menunjuk pada proses berarti akomodasi menampakkan proses untuk meredakan pertikaian atau pertentangan yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat, baik pertikaian atau pertentangan antar individu, kelompok dan masyarakat, maupun nilai norma-norma yang berlaku di masyarakat itu. 3) Asimilasi

Menurut Soerjono Soekanto (2012: 72), adanya suatu usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat antara individu dengan individu atau kelompok dengan kelompok disebut proses asimilasi. apabila dua kelompok mengadakan asimilasi, batas antara kelompok dengan kelompok tersebut akan hilang melebur menjadi satu kelompok.

b. Proses disadosiatif

Proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu dengan indivdu dan kelompok dengan kelompok dalam proses sosial pada suatu masyarakat disebut proses sosial disaosiatif (Burhan Bungin 20011: 63). Menurut Soerjono Soekanto (2012: 85), oposisi diartikan cara berjuang untuk melawan individu atau kelompok untuk mencapai suaru tujauan yang di capai.

Bentuk-bentuk proses disasosiatif adalah kontravensi, konflik dan persaingan.

1) Kontravensi (Contravention)

Antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian adalah proses sosial (Burhan Bungin, 2011: 63). Kontravensi adalah sikap mental yang tersembunyi pada orang lain dalam unsur kebudayaan atau golongan tertentu. Sikap yang tersembunyi akan menjadi adu kebencian tetapi tidak sampai menjadi pertikaian (Soerjono Soekanto 2012: 88).

(10)

2) Conflict (Pertentangan atau Pertikaia)

adalah proses sosial dengan cara menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan di mana individu ataupun kelompok (Soerjono Soekanto 2012: 91).

3) Persaingan (Competion)

Adalah proses sosial di mana individu atau kelompok dengan kelompok manusia bersaing untuk mencari keuntungan pada suatu bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, namun tidak menggunakan ancaman atau kekerasan (Burhan Bungin, 2011: 62).

3. Interaksi Sosial Anak Tunagrahita

Interaksi sosial dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok satu dengan kelompok lainnya. Interaksi sosial sangat penting dalam kehidupan sosial karena tanpa adanya interaksi sosial, kehidupan bersama tidak mungkin terjadi atau tidak akan pernah terjadi.

Ada dua syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya komunikasi dan kontak sosial. Soejono Soekanto (2012: 62) menjelaskan bahwa pentingnya komunikasi dan kontak terwujudnya interaksi sosial dapat diterapkan pada kehidupan yang terasing (isolation). Kehidupan terasing ditandai dengan ketidakmampuan seseorang melakukan interaksi sosial dengan pihak lainnya.

Anak tunagrahita dapat terasing disebabkan oleh berbagai akibat, salah satunya cacat pada mental anak tunagrahita (hambatan mental). Orang yang

(11)

megalami hambatan mental akan mengalami kurang percaya diri, karena kemungkinan untuk mengungkapkan kepribadiannya tertutup sekali.

Melalui sekolah inklusif adalah upaya meminimalisir adanya kehidupan anak tunagrahiyta yang terasing. Anak tunagrahita akan bertemu, bermain bersama, belajar dan berinteraksi dengan anak kebutuhanan khusus lainnya dan anak normal di sekolah inklusif.

Suatu hubungan sosial yang dinamis antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok disebut interaksi sosial (Soerjono Soekanto 2014:61). Menjalin kontak sosial dan komunikasi dengan orang lain adalah sebagai pembuktian pada kemampuan anak tunagrahita. Di sekolah, interaksi sosial dilakukan dengan sesama anak tunagrahita, anak normal, anak berkebutuhan khusus lainnya, guru dan warga di sekolah lainnya.

Selain itu anak tunagrahita mengalami masalah dalam hal penyesiuaian diri mengalami kesulitan yaitu kesulitan dalam berhubungan dengan kelompok maupun individu di sekitarnya dan hal ini dipengaruhi akibat kecerdasan yang dibawah rata-rata (soerjono Soekanto 2014:62). Dilihat dari berberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita mengalami gangguan pada intelegensi (IQ) dan keterampilan interaksi sosial. Terhadap sesama sehingga pendidikan dan pengajaran yang diberikan memerlukan perhatian lebih dan program khusus.

B. Kajian Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini menggunakan berbagai macam bahan sumber bacaan yang berfungsi sebagai bahan acuan untuk memperkuat teori-teori yang dipakai dalam

(12)

peneletian ini. Selain dari buku, peneliti juga memakai penelitian yang relevan berupa skripsi dan jurnal penelitian untuk menjadi bahan literature dan rujukan dalam penelitian.

Tabel 2.2 Penelitian yang Relevan

No Judul Nama Persamaan Perbedaaan

1. Kecakapan Sosial Tunagrahita Ringan Kelas Dasar V Di SLB Negeri 2 Yogyakarta

None Fariza Melda Peneliti ini sama-sama meneliti tentang kemampuan anak tunagrahita ringan

Peneliti ini tidak membahas interaksi sosial tetapi kecakapan sosial. 2. Kemampuan

Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus di Kelas Inklusi SD Islamic Global School Bandung Rejosari Malang. Dewi Khalimatul, Rosichin Mansur, Muhammad Sulistiono

Peneliti ini sama-sama meneliti kemapuan interaksi sosial

Peneliti ini tidak membahas anak tunagrahita

melainkan abk autis.

(13)

C. Kerangka Pikir

Adapun kerangka pikir yang akan di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut

=

Gambar 2.1 Kerangka Pikir

Kondisi Ideal:

Kemampuan siswa dalam beradaptasi dengan lingkungan sekolahsehingga anak mampu berinteraksi dengan baik. Anak yang mempunyai kemampuan inteligensi dibawah rata rata dengan IQ berkisar antara 51-70 yang mana keterbatasan inteligensi yang berpengaruh pada kemampuan dalam hubungan sosial yaitu aspek komunikasi.

Kondisi Sekolah:

SDN Punten 01 Kota Batu merupakan salah satu sekolah terbaik di Kota Batu yang merupakan sekolah inklusi sejak tahun 2014. Sekolah tersebut menerima anak berkebutuhan khusus dengan berbagai jenis anak berkebutuhan khusus yang terdiri dari tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, tunagrahita, tuna wicara, autisme, hiperaktif dan slow learner.

Fokus Masalah:

1. Kemampuan interaksi sosial siswa tunagrahita. 2. Kesulitan interaksi sosial siswa tunagrahita.

3. Mengatasi kesulitan interaksi sosial siswa tunagrahita.

Metode Penelitian:

Penelitian dilakukan pada siswa anak tunagrahita ringan di kelas inklusi SDN 01 Punten Kota Batu. Menggunakan Pendekatan Kualitatif dan jenis penelitian deskriptif, dengan menggunakan instrument pedoman observasi, pedoman wawancara, dan dokumentasi.

Tujuan Penelitian:

1. Mendiskripsikan kemampuan interaksi sosial siswa tunagrahita kelas 6 SDN Punten 01 Kota Batu.

2. Mendeskripsikan kesulitan interaksi sosial siswa tunagrahita kelas 6 SDN Punten 01 Kota Batu.

3. Mendeskripsikan cara mengatasi kesulitan interaksi sosial siswa tunagrahita kelas 6 SDN Punten 01 Kota Batu.

Gambar

Tabel 2.1 Klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasarkan Tingkat Intelegensinya  Level
Tabel 2.2  Penelitian yang Relevan
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Kondisi Ideal:

Referensi

Dokumen terkait

Memberikan informasi kepada masyarakat tentang manfaat pemberian formula rehidrasi oral berbasis beras (FROBB/ oralit beras) terhadap lama sakit anak usia 6-24 bulan yang

Penghasilan, asset dan kewajiban dari perusahaan asosiasi dicatat dalam laporan keuangan konsolidasi dengan menggunakan metode ekuitas.Investasi pada perusahaan asosiasi

Indikasi diberikan terapi rehabilitasi medik berupa kemunduran muskuloskeletal (penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot, keterbatasan rentang gerak sendi serta

terbentuk warna merah pada medium setelah ditambahkan a- napthol dan KOH, artinya hasil akhir fermentasi bakteri ini bukan asetil metil karbinol (asetolin). Selain uji

Hasil yang diperoleh dari sistem ini adalah tracking panel surya single axis yang dapat tegak lurus dengan arah matahari dan mendapatkan nilai tegangan, arus dan

Sbg bentuk yg lebih detail dari suatu rencana taman, maka bentuk taman yg akan dibangun sudah dapat dilihat baik ukuran, rupa 2 dimensi (gb. perspektif atau maket). Dari desain

Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia, Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Sistem Pengendalian Internal Terhadap Kualitas