• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG WARISAN ORANG YANG HILANG (MAFQUD)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG WARISAN ORANG YANG HILANG (MAFQUD)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

51

WARISAN ORANG YANG HILANG (MAFQUD)

1st. Analisis Terhadap Pendapat Imam Asy-Syafi’i Tentang Warisan Orang Yang Hilang (Mafqud)

Setelah penulis paparkan secara keseluruhan tentang pusaka (waris), baik mengenai rukun, syarat, batalnya pusaka dan aspek-aspek yang lainnya serta pendapat yang disampaikan oleh para ulama dan khususnya imam Asy- Syafi’i tentang warisan orang yang hilang (mafqud), maka pada bab ini penulis akan kemukakan analisis secara khusus terhadap pendapat imam asy- Syafi’i tentang warisan orang yang hilang (mafqud) serta implikasinya.

Dalam bab sebelumnya yaitu bab III telah penulis jelaskan tentang pendapat imam Asy-Syafi’i, yaitu warisan orang yang hilang (mafqud), menurut Asy-Syafi’i bahwa, orang yang hilang dalam waktu yang lama dan tidak diketahui kabar beritanya, apakah orang tersebut masih hidup atau sudah mati, maka orang tersebut harus dihukumi masih hidup sampai diketahui dengan pasti bahwa orang tersebut sudah mati, dan tidak boleh menghukumi kematian sesorang kecuali dengan yakin.1 Apabila belum diketahui dengan yakin tentang kematiannya, maka wajib menunda dulu kepemilikan hartanya sampai batas waktu yang telah ditentukan. Apabila masa tidak boleh memberikan penghidupan kepada mafqud sudah berlalu, maka hartanya

Abi Hasan Ali, Al- Khaw al-Kabir, juz 7, (Baerut-Libanon: Darul Kutub Alamiah, tt.), 1

hlm. 88.

(2)

dibagikan kepada ahli warisnya yang masih hidup. Jika ahli waris dari si mafqud itu sudah meninggal dunia, maka harta warisan mafqud itu harus ditunda sampai ada kejelasan tentang perkaranya; yaitu kalau dia itu masih hidup, ketika si mafqud mati, maka dia termasuk sebagai ahli waris dan jika ia sudah mati sebelum si mafqud itu mati, maka dia tidak termasuk ahli waris, sehingga begiannya diberikan kepada ahli waris yang lain.2

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan bahwa tidak ada warisan sebelum orang yang mewarisi (pewaris) itu meninggal dunia. Apabila meninggal dunia, maka waris itu ada, sebab orang hidup itu berbeda dengan orang mati. Mengenai orang hilang (mafqud) menurut Imam Syafi’i, hartanya tidak boleh dibagi-bagikan terlebih dahulu sebelum diketahui dengan yakin akan meninggalnya mafqud tersebut.3

Dalam menentukan tenggang waktu yang dijadikan ukuran seseorang yang hilang tersebut masih dalam keadaan masih hidup atau sudah mati, Imam Syafi’i menjelaskan dari pendapatnya Umar ibn Khattab bahwa tenggang waktu yang diperbolehkan untuk memberikan vonis kematian kepada si mafqud ialah 4 tahun, maka dengan adanya keputusan hakim tersebut harta si mafqud itu boleh dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuannya.4

Hal ini disebutkan dalam kitab Al-Umm sebagai berikut:

Ibid., hlm. 89. 2

Imam Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, tt.), juz.3, hlm. 78. 3

Imam Syafi’i, Al-Umm. Terj., hlm. 395. 4

(3)

) ﻰﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﻝﺎـﻗ (

ﻝﺎﻗ ﺏﺎﹼﻄﳋﺍ ﺮﻤﻋ ﹼﻥﺍ ﺐﻴﺴﳌﺍ ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﺑ ﲕﳛ ﻦﻋ ﻚﻟﺎﻣ ﺎﻧﱪﺧﺍ

ﺪﻘﻓ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺎﻤﻳﺍ ﺕ

ﻌﺑﺭﺍ ﺪﺘﻌﺗ ﹼﰒ ،ﲔﻨﺳ ﻊﺑﺭﺍ ﺮﻈﺘﻨﺗ ﺎﻬﻧﺎﻓ ﻮﻫ ﻦﻳﺍ ﺭﺪﺗ ﱂ ﺎﻬﺟﻭﺯ ﺔ

ﺮﻬﺷﺍ

ﹼﻞﲢ ﹼﰒ ﺍﺮﺸﻋﻭ }

ﻰﻌﻓﺎﺸﻟﺍﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

5

{

Imam Syafi’i berkata; Imam Malik menggambarkan kepada saya dari Yahya bin Sa’id bin Musayyab bahwasanya Umar bin Khattab berkata;

setiap perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang tiada mengetahui di mana suaminya, maka ia diminta menaati 4 (empat) tahun. Kemudian setelah itu beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal (HR. Bukhari dan Syafi’i)

Dalam kitab Mughni Muhtaj disebutkan;

ﺐﻠﻐﻳ ﺓﺪﻣ ﻰﻀﲤﻭﺍ ﻪﺗﻮﲟ ﺔﻨﻴﺑ ﻡﻮﻘﺗ ﻰﺘﺣ ﻪﻟﺎﻣ ﻙﺮﺗ ﻩﱪﺧ ﻊﻄﻘﻧﺍﻭ ﺪﻘﻓﻭﺍ ﺮﺳﺍ ﻦـﻣﻭ ﺖﻗﻭ ﻪﺛﺮﻳ ﻦﻣ ﻪﻟﺎﻣ ﻰﻄﻌﻳ ﹼﰒ ﻪﺗﻮﲟ ﻢﻜﳛﻭ ﻰﺿﺎﻘﻟﺍ ﺪﻬﺘﺠﻴﻓ ﺎﻬﻗﻮﻓ ﻪﻧﺍ ﻦـﹼﻈﻟﺍ ﻰـﻠﻋ

6

ﻢﻜﳊﺍ

Orang yang ditahan atau orang yang putus kabar beritanya dan meninggalkan harta maka hartanya ditunda (tidak dibagi) sampai ada kejelasan tentang kematiannya atau dalam waktu yang lama sehingga diperkirakan sudah mati dan hakim telah memutuskan bahwa si mafqud sudah mati kemudian hartanya diberikan kepada ahli warisnya pada waktu terjadi hukum tersebut.7

Dalam kitab ini dijelaskan pula;

ﻒﹼﻠﺧ ﻮﻟﻭ ﺀﺍﻮﺳﻻﺎﺑ ﻦﻳﺮﺿﺎﳊﺍ ﰱ ﺎﻨﻠﻤﻋﻭ ﻪﺘﺼﺧ ﺎﻨﻔﻗﻭ ﺩﻮﻘﻔﳌﺍ ﻪﺛﺮﻳ ﻦﻣ ﺕﺎﻣﻮـﻟﻭ ﻩﲑﻏ ﻖﺣﻭ ﻪﹼﻘﺣ ﰱ ﻁﻮﺣﻻﺎﺑ ﻞﻤﻋ ﺙﺮﻳ ﺪﻗﻭﺍ ﺙﺮﻳ ﻼﲪ

Imam Syafi’i, op. cit., juz.7, hlm. 78. 5

Syamsuddin Muhammad, Mughni Muhtaj, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, tt.), juz. 4, hlm. 6

48. Ibid., hlm. 49. 7

(4)

Apabila ahli waris orang yang menghilang itu meninggal, maka harta bagiannya ditinggalkan dulu dan memberikan dulu bagian dari ahli waris yang ada dengan sama (sesuai dengan ketentuannnya) dan apabila meninggalkan ahli waris dalam keadaan hamil, maka warisannya harus dibagi dengan hati-hati antara haknya orang yang hamil dengan hak anaknya.

Syarah dari matan di atas dijelaskan bahwa apabila seorang itu mafqud dengan putus kabar beritanya, maka hartanya harus di tunda (tidak dibagi) terlebih dahulu, sehingga ada tanda-tanda yang terang tentang meninggalnya dengan menghitung umurnya yang sudah berlalu mulai dari kelahirannya yang diperkirakan tidak akan hidup lagi di atas umur itu.8 Apabila begitu maka hartanya dapat diberikan kepada orang yang mempunyai haknya (ahli waris), apabila orang yang hilang itu meninggal sebelum ada tanda-tanda atau ketetapan hukum dari hakim, sekalipun tidak lama dari ketetapan itu, maka tidak boleh dibagikan warisan itu dari si mafqud itu, karena dia meninggal masih dalam zaman yang diperkirakan tadi.9

Apabila ahli waris itu meninggal terlebih dahulu, maka harta bagiannya ditinggalkan dulu dan memberikan dulu bagian dari ahli waris yang lain dengan sama (sesuai dengan ketentuannya) dan apabila meninggalkan ahli waris dalam keadaan hamil, maka warisannya harus dibagikan dengan hati-hati antara haknya orang yang hamil dengan hak anak-anaknya.10

Ibid., hlm. 49. 8

Ibid., hlm. 48 9

Ibid., hlm. 49. 10

(5)

Sedangkan Imam Mazhab yang lain, dalam memberikan hukum tentang jangka waktu yang dijadikan patokan oleh hakim itu berbeda-beda, di antara Imam Madzhab yang berpendapat demikian adalah Imam Hanafi, hal ini disebutkan dalam kitab Fathul Qodir, sebagai berikut:

ﻪﺗﻮﲟ ﺎﻨﻤﻜﺣ ﺪﻟﻭ ﻡﻮﻳ ﻦﻣ ﺔﻨﺳ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺔﺋﺎﻣ ﻪﻟ ﹼﰎ ﺍﺫﺍﻭ

11

Apabila dalam menyempurnakan masa tunggu terhadap si mafqud adalah seratus duapuluh tahun dari kelahirannya, maka putuslah dengan kematiannya.

Imam Hanafi berpendapat demikian karena pada masa itu kebanyakan orang meninggal dunia itu sekitar umur 120 tahun. Hal ini senada dengan pendapatnya Imam Abu Yusuf yaitu harus menunggu sampai seratus dua puluh tahun.12 Madzhab Malikiyah dalam kitab Ashal al-Madarik, syarah Irsyadul Malik dalam kitab Fiqih Imam Malik disebutkan;

ﲔﻌﺒﺳ ﻡﺎﲤ ﻞﻴﻗ،ﺎﻴﻟﺎﻏ ﻪﻠﺜﻣ ﱃﺍ ﺶﻴﻌﻳﻻﺎﻣ ﻲﻀﻣﻭﺍ ﻪﺗﻮﻣ ﻦﻴﻘﺘﺑ ﹼﻻﺍ ﻪﺘﻛﺮـﺗ ﻢﺴـﻘﺗﻻﻭ ﲔﻧﺎﲦ ﻞﻴﻗﻭ ،ﺔﻨﺳ

13

Tidak boleh dibagi harta peninggalan (harta waris) kecuali dengan yakin tentang kematian warisnya atau masa penghidupan orang tersebut sudah habis, dan waktu menyempurnakannya harus menunggu 70 tahun atau 80 tahun.

Ulama’ Malikiyah berpendapat demikian karena didasarkan pada hadits yaitu;

Imam Kamaluddin Muhammad, Sukandar Ma’ruf, Fatkhul Qadir, (Beirut: Darul Kutub 11

Alamiah, 1995), hlm. 138.

Abi Muhammad Abdillah, Al-Mughni, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, tt.), hlm. 207. 12

Muhammad Abdul Salim Syamin, Ashal al-Madarik, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, 1995), juz 13

1, hlm. 408.

(6)

ﻝﺎﻗ ﻢﹼﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼﻠﺻ ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﹼﻥﺍ ،ﺓﺮﻳﺮﻫ ﰊﺍ ﻦـﻋ :

ﲔﺘﺴﻟﺍ ﲔﺑ ﺎﻣ ﱴﻣﺍ ﺭﺎﻤﻋﺍ

ﲔﻌﺒﺴﻟﺍ ﱃﺍ .

} ﻪﺟﺎﻣ ﻦﺑﺍ ﻩﺍﻭﺭ

14

{

Dari Abu Hurairah, Bahwasanya Rasulullah saw., bersabda: “umur umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh (tahun)”. (HR. Ibnu Majah)

Sedangkan Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa. (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama 4 tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi, pendapat ini dipegang oleh ulama’ Hanabilah. Sedangkan, apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti pergi berdagang atau merantau), ulama’ Hanabilah berbeda pendapat, yaitu:

One. Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan Two. Diserahkan kepada ijtihad hakim.15

Dalam kitab-kitab Fiqh, para fuqaha telah menetapkan bahwa orang yang hilang (mafqud) adalah orang yang putus kabar beritanya dalam waktu yang cukup lama, sehingga tidak diketahui apakah orang tersebut masih hidup atau sudah mati. Untuk menentukan kematiannya itu para ulama sepakat bahwa yang berhak menetapkan tentang kematian orang yang hilang itu adalah seorang hakim, akan tetapi jangka waktu yang dijadikan patokan hakim dalam

14Ibnu Majah, Sunnah Ibnu Majah, (Beirut: Darul Fikri, tt.), hlm. 1415.

15 Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 64.

(7)

menentukan putusan itu, ulama’ madzhab mengalami perbedaan, sesuai dengan ijtihadnya masing-masing.

Menurut hemat penulis bahwa penentuan orang hilang (mafqud) apakah ia masih hidup atau sudah mati lebih tepat dan lebih simpatik bila ia diserahkan kepada pendapat hakim, lebih-lebih pada zaman sekarang yang lebih mudah untuk mengetahui keadaan orang-orang yang hilang. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab Mughni Muhtaj;

ﺐﻠﻐﻳ ﺓﺪﻣ ﻰﻀﲤﻭﺍ ﻪﺗﻮﲟ ﺔﻨﻴﺑ ﻡﻮﻘﺗ ﻰﺘﺣ ﻪﻟﺎﻣ ﻙﺮﺗ ﻩﱪﺧ ﻊﻄﻘﻧﺍﻭ ﺪﻘﻓﻭﺍ ﺮﺳﺍ ﻦـﻣﻭ ﺖﻗﻭ ﻪﺛﺮﻳ ﻦﻣ ﻪﻟﺎﻣ ﻰﻄﻌﻳ ﹼﰒ ﻪﺗﻮﲟ ﻢﻜﳛﻭ ﻰﺿﺎﻘﻟﺍ ﺪﻬﺘﺠﻴﻓ ﺎﻬﻗﻮﻓ ﻪﻧﺍ ﻦـﹼﻈﻟﺍ ﻰـﻠﻋ

16

ﻢﻜﳊﺍ

Orang yang ditahan atau orang yang putus kabar beritanya dan meninggalkan harta maka hartanya ditunda (tidak dibagi) sampai ada kejelasan tentang kematiannya atau dalam waktu yang lama sehingga diperkirakan sudah mati dan hakim telah memutuskan bahwa si mafqud sudah mati kemudian hartanya diberikan kepada ahli warisnya pada waktu terjadi hukum tersebut.

Dari keterangan di atas, apabila seseorang yang hilang dalam waktu yang lama sehingga tidak jelas apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka hartanya ditangguhkan terlebih dahulu sampai ada kepastian tentang ematiannya. Akan tetapi, penetapan kematiannya seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan hakim (keputusan lembaga peradilan).17

Oleh karena itu seseorang yang hilang dalam waktu yang lama, menurut penulis penetapan kematiannya seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh keputusan hakim (keputusan lembaga peradilan); pendapat penulis tersebut

Syamsuddin Muhammad, Mughni Muhtaj…loc. cit. 16

Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, op. cit, 17

(8)

ternyata ada kesesuaian dengan ketentuan mafqud yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Dalam KHI pasal 96 ayat 2 disebutkan:

“Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan pengadilan agama”.18

Adapun mengenai jangka waktunya yang dapat dijadikan ukuran menentukan orang yang hilang tersebut sudah meninggal atau masih dalam keadaan masih hidup, penulis sependapat dengan pendapatnya Imam Syafi’i bahwa orang yang hilang (mafqud) boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada seorangpun dari kawan sebayanya yang masih hidup.

Secara pasti waktu tersebut tidak dapat ditentukan, oleh karenanya beliau menyerahkan kepada ijtihad hakim. Di setiap tempat hakim dapat memberikan vonis kematian si mafqud menurut ijtihadnya demi suatu kemaslahatan.19

Imam Syafi’i juga mengistimbathkan dari perkataan Sayyidina Umar r.a., yang mengatakan:

) ﻰﻌﻓﺎﺸﻟﺍ ﻝﺎـﻗ (

ﻝﺎﻗ ﺏﺎﹼﻄﳋﺍ ﺮﻤﻋ ﹼﻥﺍ ﺐﻴﺴﳌﺍ ﻦﺑ ﺪﻴﻌﺳ ﻦﺑ ﲕﳛ ﻦﻋ ﻚﻟﺎﻣ ﺎﻧﱪﺧﺍ

ﺮﻬﺷﺍ ﻊﺑﺭﺍ ﺪﺘﻌﺗ ﹼﰒ ،ﲔﻨﺳ ﻊﺑﺭﺍ ﺮﻈﻨﺗ ﺎﻬﻧﺎﻓ ﻮﻫ ﻦﻳﺍ ﺭﺪﺗ ﱂ ﺎﻬﺟﻭﺯ ﺕﺪﻘﻓ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺎﻤﻳﺍ ﹼﻞﲢ ﹼﰒ ﺍﺮﺸﻋﻭ .

} ﻰﻌﻓﺎﺸﻟﺍﻭ ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ ﻩﺍﻭﺭ

20

{

Imam Syafi’i berkata; Imam Malik menggambarkan kepada saya dari Yahya bin Sa’id bin Musayyab bahwasanya Umar bin Khattab berkata:

“Setiap perempuan yang ditinggalkan pergi oleh suaminya yang ia tidak

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Banjarmasin: Depag., 1992), hlm. 18

136.

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1994), cet. 3, hlm. 507. 19

Imam Syafi’i, Al-Umm, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, tt.), juz. 7, hlm. 403. 20

(9)

ketahui di mana suaminya, maka ia di minta menanti 4 (empat) tahun, kemudian setelah itu beriddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal”. (HR. Bukhari)

Dari keterangan di atas, bahwa Imam Syafi’i membolehkan seorang hakim dalam memutuskan orang yang hilang (mafqud) setelah menanti lebih dari 4 (empat) tahun atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia tidak dapat hidup lagi menurut adat.

Maka penulis sependapat dengan pendapat Imam Syafi’i bahwa orang yang hilang (mafqud) mengenai istri dan hartanya, tetap istrinya dan tetap hartanya walaupun dalam waktu yang sangat lama, sehingga berat sangkaan bahwa orang itu sudah mati, yaitu dengan melihat kawan-kawan sebayanya sudah mati semua, atau sudah lewat masa yang orang-orang seperti dia tidak hidup lagi menurut adat, dan hakim dapat memberikan vonis kematian si mafqud menurut ijtihadnya setelah menanti selama empat tahun demi suatu kemaslahatan.

2nd. Analisis Terhadap Metode Istimbath Hukum Imam Asy-Syafi’i tentang Warisan Orang yang Hilang (Mafqud)

Istimbath merupakan sistem atau metode para ulama guna menemukan atau menetapkan suatu hukum.Istimbath erat kaitannya dengan fiqh, karena fiqh tidak lain adalah ijtihad para ulama dalam menentukan suatu hukum.

(10)

Nash-nash al-Qur’an dan sunnah Nabi merupakan sumber pokok dari hukum Islam yang disepakati para ulama’.Imam Syafi’i juga dalam mengambil hukum dari al-Qur’an kemudian as-Sunnah. Dalam masalah-masalah yang tidak diatur secara tegas dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah Imam Syafi’i menggunakan Ijma’ dan Qiyas, namun Qiyas lebih lemah dari pada Ijma’.

Akan tetapi, jalan Qiyas baru dapat ditempuh dalam keadaan darurat, karena Qiyas tidak boleh ditempuh selagi masih terdapat khabar (hadits)

Imam Syafi’i tidak sepenuhnya menolak hadits mursal, tetapi mengamalkan hadits mursal bila mendapat hal-hal yang mendukungnya sekalipun hanya global, Imam Syafi’i juga memberi batasan tambahan bahwa hadits mursal hanya dapat diterima dari para tabi’in besar yang banyak bertemu dengan sahabat, karena selalu mendapat dukungan dari hadits lain yang meriwayatkan secara isnad, maka secara umum, hadits-hadits mursal dari Sa’id ibn al-Musayyab diterima oleh Imam Syafi’i.21

Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i, (Bandung: PT. 21

Remaja Rosdakarya, 2001), cet. 1, hlm. 84.

(11)

Menurut penulis, penentuan Umar r.a., terhadap masalah istri orang yang hilang menunggu 4 tahun adalah termasuk ijtihad dan pendapatnya.

Barangkali situasi yang dilihatnya menghendaki yang demikian. Seluruh kasus yang hilang yang dinukilkan adalah peristiwa yang mempunyai keadaan dan situasi, maka beliau memutuskan sesuai dengan keadaan itu menurut pendapatnya.

Menurut pendapat Imam Syafi’i dalam penggunaan qaul sahabat ini, karena secara sah dapat dijadikan contoh dalam menetapkan suatu hukum.

Pada umumnya fatwa sahabat adalah fatwa yang berasal dari sahabat besar yang didasarkan pada naql dan fatwa sahabat itu berwujud hadits yang wajib diamalkan.

Dari sinilah Imam Syafi’i mengikuti apa yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab, karena Umar termasuk sahabat besar yang memiliki kecerdasan luar biasa sehingga dalam ijtihadnya sering sekali dikemukakan hal-hal baru yang sama sekali belum pernah terdapat pada masa sebelumnya, karena pada prinsipnya sahabat Umar bukan hanya pada peristiwa yang tidak ada nashnya tetapi ijtihadnya berdasarkan kemaslahatan yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut hemat penulis bahwa pendapat Umar bin Khattab itu merupakan sebuah hasil ijtihad yang secara sah dapat dijadikan contoh dalam menetapkan suatu hukum, karena tidak ada rujukan lain, maka fatwa atau putusan dari para sahabatlah yang menempati posisi puncak dalam penataan hukum.

(12)

Sebagaimana telah penulis ungkapkan pada bab III, Imam Syafi’i telah menjadikan qaidah-qaidah fiqihyah yang telah disepakati oleh jumhur ulama’

sebagai dasar istimbath hukum. Adapun qaidah-qaidah fiqihyah yang digunakan Imam Syafi’i dalam masalah ini adalah sebagai penguat dalam melakukan ijtihad untuk menentukan hukum warisan orang yang hilang (mafqud).

Namun menurut penulis, masih ada dalil hukum lainnya yang dapat digunakan dalam masalah ini, yaitu Maslahah mursalah, menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan di mana syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Hal ini juga disebutkan dalam qaidah induk fiqh:

ﻰﻠﻋ ﻡ ﺪﻘﻣ ﺪﺳ ﺎﻔﳌ ﺍﺀﺭﺩ ﱀﺎﺼﳌﺍ ﺐﻠﺟ

22

(Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik segala yang bermaslahah)

Menurut hemat penulis hal itulah yang mendasari kecenderungan penulis pada pendapat Imam Syafi’i, karena dalam kasus ini sama sakali tidak terdapat aturan bakunya baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadits. Dan Imam Syafi’i pun hanya mendasarkan pendapatnya pada qaul sahabat yang menurut hemat penulis, qaul sahabat merupakan hasil ijtihad yang secara sah dapat dijadikan contoh dalam menetapkan suatu hukum, karena tidak ada rujukan yang lain, maka fatwa atau putusan dari para sahabatlah yang menempati puncak dalam penataan hukum.

22

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau meninggal dunia), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang

itu masih hidup atau sudah meninggal dunia merupakan hal yang penting untuk. menentukan status hukumnya, karena menyangkut berbagai macam

Artinya: “Yang asal pada perintah untuk wajib”. Demikian Imam Syafi’i begitu juga dengan ulama-ulama lain, menghendaki tidak sah nikah tanpa adanya saksi. Imam Syafi’i

Hakikat asuransi campur adalah mencakup dua premi, yaitu untuk menutup bahaya kematian dan untuk menyiapkan uang yang harus dibayar jika dia tidak meninggal dunia dalam

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwasanya ada dua kemungkinan terkait dengan status harta yang diwakafkan.Harta wakaf tetap dapat dimiliki oleh wāqifsebagaimana

Ghurrah ini di tanggung oleh keluarga ashabahnya, baik yang ushul (bapak ke atas) maupun furu‟ (anak ke bawah) karena si pembunuh tidak bersalah, sehingga

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Melihat secara normatif dari pasal tersebut, bahwa standarisasi ketika terjadi perceraian, hak asuh anak terletak pada umur

Selain itu hukum Islam juga memiliki prinsip yang sangat bersahaja, dengan konsep kemaslahatan, menegakkan keadilan, tidak menyulitkan, menyedikitkan beban,