100
Jurnal
PELAKSANAAN
Fakultas Hukum, Volume 1, NomorPEMBAGIAN
1, Januari 2017HAK
WARIS
TERHADAP
ORANG
HILANG
(
MAFQUD
)
(Studi
Kasus
Penetapan
Pengadilan
Nomor.
0102/Pdt.P/2014/PA.Btl)
Suyikati
Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Abstraks
Penelitian tentang pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus
Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl), bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan
pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) dan untuk mengetahui apa permasalahan hukum
yang muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud).
Penelitian tentang pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus
Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl), merupakan penelitian Yuridis Empiris yaitu
Penelitian yang pada awalnya meneliti data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian
terhadap data Primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Selanjutnya data yang telah diperoleh
dianalisis oleh Peneliti dengan Metode Deskriptif Analitis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terkait dengan pelaksanaan pembagian hak waris terhadap
orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl), yaitu bahwa
berdasarkan pada bukti‐bukti otentik yang diperoleh di persidangan serta berdasarkan pada tenggang
waktu lamanya si mafqud pergi meninggalkan tempat tinggalnya, maka Sujiman bin Subaji alias Baji
sebagai Termohon mafqud dapat ditetapkan sebagai orang hilang (mafqud) dan terhadap harta
peninggalannya dapat dibagi kepada para ahli warisnya, dan terkait dengan permasalahan hukum
yang muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus
Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl), yaitu bahwa permasalahan hukum dalam
pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) dapat saja terjadi tetapi jika melihat
pada usia Termohon mafqud dimana apabila Termohon masih hidup maka berusia 107 tahun, sehingga
kecil kemungkinan Termohon mafqud akan kembali dalam keadaan hidup, sehingga permasalahan
hukum terkait dengan pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) dalam kasus
ini diharapkan tidak akan terjadi.
Kata Kunci : Hak waris, orang hilang (mafqud)
LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum kewarisan islam sebagai hukum yang bersumber dari wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi dengan berbagai Sunnahnya dan dikembangkan oleh akal pikir man us ia unt u k dapat menca pai titik kesempurnaan yang hakiki dalam kehidupan.
Manusia dengan akal pikir yang dimiliki mencoba untuk memahami segala kaidah‐ kaidah hukum yang terdapat di dalam Al‐ Qur’an serta Hadis Nabi dan mencoba untuk merumuskan dalam kaidah‐kaidah hukum yang lebih bisa dipahami oleh akal pikir manusia dengan segala keterbatasannya.
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum islam, ayat Al‐Qur’an
mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci, hal ini dapat dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang, kecuali itu, hukum waris langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. (Ahmad Azhar Basyir, 2001 : 3)
Al‐Qur ’an sebagai salah satu sumber hukum waris islam mengatur secara terperinci dan jelas tentang kewarisan islam, terdapat beberapa ayat Al‐Qur ’an yang mengatur tentang pembagian harta warisan, diantaranya di dalam Al‐Qur’an Surat An‐Nisaa’ (4) : 7, yang artinya :
“Bagi laki‐laki ada hak bagian dari harta
101 Suyikati: Pelaksanaan Pembagian Hak Waris terhadap Orang Hilang (Mafqud)
bagi wanita ada hak bagian (pula) dari
harta peninggalan ibu‐bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah
ditetapkan”.
Selain diatur secara terperinci di dalam Al‐ Qur’an pengaturan tentang hukum kewarisan islam juga terdapat di dalam Hadits Nabi.
Dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah
Saw, bersabda : “Nabi Muhammad Saw,
bersabda : “Berikanlah harta pusaka kepada
orang‐orang yang berhak, sesudah itu,
sisanya, untuk orang laki‐laki yang lebih
utama”(HR Bukhari‐Muslim). (Mardani,
2015 : 13)
Meskipun Al‐Qur’an dan Sunah Rasul telah memberi ketentuan terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya Ijtihat, yaitu terhadap hal yang tidak ditentukan dalam Al‐Qur ’an ataupun Sunah Rasul, misalnya mengenai bagian warisan banci, kepada siapa sisa harta warisan yang tidak habis terbagi diberikan, bagian ibu apabila hanya bersama‐sama dengan ayah dan suami atau istri dan sebagainya. (Ahmad Azhar Basyir, 2001: 9), serta ketentuan tentang orang hilang (mafqud).
Terkait dengan orang hilang (mafqud) Hasbiyallah ( 2007 : 91) mendefinisikan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, domisilinya bahkan tidak diketahui hidup dan matinya.
Orang yang hilang (dalam bahasa Arab diistilahkan dengan mafqud) yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini termasuk tempat tinggal dan keadaannya (apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia). (Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, 2004 : 63)
Dalam Faraid dijelaskan diantara persyaratan ahli waris ialah ia jelas hidup pada saat kematian pewaris dan diantara
syarat pewaris ialah pasti pula kamatiannya. Ketidakpastian tersebut menimbulkan masalah dalam kewarisan. (Amir Sarifuddin, 2011 : 136) Terkaid dengan orang hilang, Istri orang yang hilang (mafqud) tidak boleh dikawinkan, harta yang dimiliki oleh orang hilang (mafqud) tidak dapat diwariskan kepada ahli warisnya serta hak‐hak yang dimiliki oleh orang hilang
(mafqud) tidak dapat dibelanjakan sebelum
ada kejelasan tertait status hukum dari si
mafqud.
Dalam menentukan status hukum bagi orang hilang (mafqud), terdapat dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam mencari kejelasan terkait status hukum orang hilang (mafqud) yaitu : 1. Berdasarkan bukti‐bukti yang otentik
yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum. 2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya
s i m a f q u d p e r g i a t a u b e r d a s a r k a n kadaluwarsa.
Penentuan status hukum bagi si mafqud, merupakan suatu keharusan, hal tersebut menyangkut kepentingan si mafqud sendiri, ahli waris yang ditinggalkan, harta yang dimiliki apakah dapat dibagi atau tidak serta untuk mencegah munculnya permasalahan hukum di kemudian hari.
Salah satu contoh Penetapan Pengadilan terhadap orang hilang (mafqud) dan terhadap harta yang ditinggalkan dinyatakan dibagi kepada seluruh ahli warisnya adalah Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl, yang ditetapkan oleh Majelis Hakim pada tanggal 13 Mei 2015.
Berdasarkan latar belakang diatas, t e r d a p a t p e r m a s a l a h a n y a n g p e r l u mendapatkan perhatian, yaitu: Pertama, Bagaimana pelaksanaan pembagian hak waris
Jurnal Fakultas Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2017 102
terhadap orang hilang (mafqud), Kedua, Apa permasalahan hukum yang muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud).
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian tentang Pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/ Pdt.P/2014/PA. Btl), adalah Penelitian Yuridis Empiris yaitu Penelitian yang pada awalnya meneliti data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat. (Soerjono Soekanto,1986 : 52)
Sumber Data
Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari Subyek penelitian, untuk memberikan kejelasan terkait dengan permasalahan yang di teliti baik yang diperoleh dari Responden ataupun Narasumber. Subyek penelitian didalam penelitian ini meliputi :
1. Hakim Pengadilan Agama Bantul 2. Advokat/Praktisi Hukum
Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh oleh peneliti dari Penelitian Kepustakaan, dimana data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari :
‐ Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan‐bahan yang mengikat terdiri dari:
1. Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/ Pdt.P/2014/PA.Btl.
2. Kompilasi Hukum Islam.
‐ Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan‐bahan yang memberikan Penjelasan mengenai bahan hukum Primer, terdiri dari :
1. Buku‐buku yang membahas tentang hukum waris Islam.
2. Berbagai hasil Penelitian mengenai hak waris orang hilang (mafqud).
‐ Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, (Soerjono Soekanto, 1986 : 52), bahan hukum Tersier yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tafsir Al‐Qur’an dan Tafsir Hadits.
Teknik Pengumpulan Data
a. Untuk memperoleh data Primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara Wawancara atau Interview. dalam penelitian ini peneliti mengunakan tipe wawancara terarah (directive interview), (Soerjono Soekanto, 1986:229) disini wawancara dilakukan berdasarkan pada daftar pertanyaan yang telah dibuat sebelumnya oleh Peneliti.
b. Unt uk memperoleh data Sek u nder dalam penelitian ini dilakukan dengan mengkaji buku‐buku, Peraturan Perundang
‐undangan, karya ilmiah, artikel‐artikel,
serta bahan‐bahan lain yang terkait dengan penelitian ini.
Analisis Data
Dalam penelitian ini mengunakan Metode Penelitian Deskriptif Analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan Kualitatif terhadap data primer dan data sekunder. (Zainuddin Ali, 2015 : 107).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Kasus Dan Hasil Penelitian
Pada waktu yang tidak dapat diingat lagi ada seseorang bernama Subaji alias Baji, dimana Subaji alias Baji menikah sebanyak tiga kali, pertama dengan Almarhumah Nyonya Subaji alias Kasri, kedua dengan Almarhumah
Suyikati: Pelaksanaan Pembagian Hak Waris terhadap Orang Hilang (Mafqud) 103
Nyonya Subaji alias Pademi dan ketiga dengan Almarhumah Nyonya Subaji alias Siti Naroh.
Dari Pernikahan antara Almarhum Subaji alias Baji dengan Almarhumah Nyonya Subaji alias Kasri dikarunia satu orang anak bernama Sujiman bin Subaji alias Baji, dari pernikahan kedua dengan Almarhumah Nyonya Subaji alias Pademi telah dilahirkan dua orang anak yakni Almarhumah Nyonya Ngadri dan Eko Sugiharto bin Subaji alias Baji, dari pernikahan ketiga antara Subaji alis Baji dengan Almarhumah Nyonya Subaji alias Siti Naroh dikarunia tiga orang anak masing‐ masing bernama Sutopo bin Subaji alias Baji, Harti Utami binti Subaji alias Baji dan Suti Hartati bin Subaji alias Baji.
Pada sekitar tahun 1942 Sujiman bin Subaji alias Baji, yang bertempat tinggal di Dusun Sanden, RT. 005, Desa Sukasari, Kecamatan Klatak, Kabupaten Bantul pergi meninggalkan kampung halamanya dan tidak diketahui keberadaannya hingga saat ini. Pada waktu meninggalkan kampung halamannya Sujiman bin Subaji alias Baji pada saat itu berusia kurang lebih 34 tahun masih bujang tidak memiliki istri serta anak dan meninggalkan dua bidang tanah sawah dan sebidang tanah pekarangan dengan Letter C Desa Sukasari Nomor 1312/Bantengan yang berasal dari warisan Almarhum Subaji alias Baji yaitu :
‐ Persil 141 a/P. III luas 305 M2
‐ Persil 137 S. III luas 110 M2 (telah bersertifikat
M. 1677 luas 97 M2)
‐ Persil 136 b/S III luas 550 M2.
Terletak di Dusun Sanden, Desa Sukasari, Kecamatan Klatak, Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sejak pergi meninggalkan kampung halamannya dari tahun 1942 sampai sekarang, telah berlangsung selama kurun waktu 73 tahun, Sujiman bin Subaji alias Baji belum pernah kembali dan tidak diketahui keberadaannya
juga tidak diketahui apakah masih hidup ataukah sudah meninggal dunia.
Berdasarkan hal tersebut maka ahli waris dari Sujiman bin Subaji alias Baji mengajukan Permohonan ke Pengadilan Agama Bantul untuk mendapatkan kejelasan terkait status hukum dari Sujiman bin Subaji alias Baji dan terhadap harta yang ditinggalkan. Dalam Pertimbangan hukum Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/ 2014/ PA. Btl, disampaikan diantaranya : Bahwa berdasarkan keterangan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan serta didukung oleh bukti P. 16 dan P. 19 maka telah terbukti secara sah bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji telah pergi meninggalkan kampung halamannya pada tahun 1942 dan sampai sekarang telah berlangsung selama kurang lebih 73 tahun tidak pernah kembali, serta tidak diketahui keberadaannya.
Bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji terbukti telah pergi meninggalkan kampung halaman sejak tahun 1942 (telah berlangsung selama kurang lebih 73 tahun) dan sampai sekarang tidak pernah kembali, serta tidak diketahui keberadaannya, apabila Sujiman bin Subaji alias Baji masih hidup berarti ia sudah berusia 107 tahun, melebihi rata‐rata usia harapan hidup orang Yogyakarta yang hanya 80 tahun.
Bahwa Majelis hakim telah menemukan fakta‐fakta hukum didepan dipersidangan sebagai berikut :
‐ Bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji sejak tahun 1942 telah pergi meninggalkan kampung halamanya sampai sekarang telah berlangsung selama 73 tahun tidak pernah kembali.
‐ Bahwa pihak keluarga telah berusaha untuk menemukan Sujiman bin Subaji alias Baji namun tidak berhasil.
‐ Bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji telah meninggalkan ahli waris yaitu Pemohon.
‐ Bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji meninggalkan harta berupa sawah dan tanah pekarangan yaitu :
Jurnal Fakultas Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2017 104
‐ Persil 141 a/P. III luas 305 M2
‐ Persil 137 S. III luas 110 M2 (telah bersertifikat
M. 1677 luas 97 M2)
‐ Persil 136 b/S III luas 550 M2.
Bahwa kepergian Sujiman bin Subaji alias Baji selama 73 tahun dan tidak pernah kembali lagi serta tidak diketahui keberadaannya, dapat diduga telah meninggal dunia, hal ini sejalan dengan pendapat DR. Wahbah Al‐ Zuhayli dalam bukunya Al‐Fiqh Al‐Islami Wa Adillatuhi Vol. 10 halaman 484 yang diambil alih sebagai pendapat mejelis, bahwa orang hilang yang sudah berlalu 70 tahun ‐ 80 tahun diperkirakan telah meninggal dunia.
Dalam Penetapannya Majelis hakim Menetapkan :
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menetapkan Sujiman bin Subaji/Baji telah
mafqud sejak tahun 1942;
3. Menetapkan para Pemohon (Muntik bin
Ngadri, Eko Sugiharto bin Subaji alias Baji, Sutopo bin Subaji/Baji, Harti Utami binti Subaji/Baji dan Suti Hartati binti Subaji/Baji) adalah ahli waris Sujiman bin Subaji/Baji; 4. M e n e t a p k a n s a wa h d a n t a n a h pekarangan: ‐ Persil 141 a/P. III luas 305 M2
‐ Persil 137 S. III luas 110 M2 (telah
bersertifikat M. 1677 luas 97 M2)
‐ Persil 136 b/S III luas 550 M2.
Terletak di Dusun Sanden, Desa Sukasari,
Kecamatan Klatak, Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah harta peninggalan Sujiman bin Subaji/Baji yang menjadi hak para ahli warisnya tersebut poin 3;
5. Membebankan kepada Para Pemohon untuk membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 471.000,‐ (Empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).
Terkait dengan Penetapan ini menurut Bapak Awang Guntoro selaku Advokat/ Praktisi Hukum menyampaikan bahwa Majelis hakim dalam menetapkan Termohon mafqud yakni saudara Sujiman bin Subaji alia Baji sudah tepat dimana Penetapan
mafqud tersebut didasarkan pada bukti‐bukti
otentik yang diperoleh di Persidangan yakni b e r d a s a r k a n p a d a bukti surat serta keterangan saksi‐ saksi yang dihadirkan dalam Persidangan.(wawancara, 13 Agustus 2016), sedangkan terkait dengan permasalahan hukum yang muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) bisa saja terjadi dimana orang yang sudah dinyatakan hilang (mafqud) ternyata kembali dalam keadaan hidup dan menuntut harta miliknya yang telah dibagi untuk dikembalikan, untuk mencegah hal tersebut, Pengadilan Agama Bantul memberikan batasan minimal agar seseorang dinyatakan hilang (mafqud) yakni minimal 5 tahun. (wawancara dengan Bapak Yusuf selaku Hakim Pengadilan Agama Bantul : 10 Agustus 2016).
Pelaksanaan pembagian hak waris terhadap
orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan
Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl).
Orang hilang (mafqud) adalah orang yang meninggalkan tempat untuk beberapa lamanya tanpa diketahui peri keadaannya. (Ahmad Azhar Basyir, 2001 : 98).
Pewarisan mafqud disebut dengan
miratsut‐taqdiriy yaitu pusaka dengan jalan
perkiraan seperti pusaka khunsa dan anak dalam kandungan.(hasbiyallah, 2007 : 91).
Menyangkut status hukum orang yang hilang ini para ahli hukum islam menetapkan bahwa : 1. Istri orang yang hilang tidak boleh
dikawinkan.
2. Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan.
3. Hak‐hak orang yang hilang tidak bo leh dibelanjakan atau dialihkan.
Suyikati: Pelaksanaan Pembagian Hak Waris terhadap Orang Hilang (Mafqud)
105 Ketidakbolehan ketiga hal
tersebut diatas sampai orang yang hilang tersebut diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah ia dalam keadaan masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup sesuai dengan keadaan semula, dan dapat ditambahkan, bahwa yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah mati hanyalah hakim.
Yang menjadi persoalan sekarang, sampai kapankah tenggang waktunya yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan seseorang yang hilang tersebut masih dalam keadaan hidup atau sudah mati ? (Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, 2004 : 63)
Untuk menjawab hal ini para ahli hukum tidak ada persesuaian pendapat, yang pada akhirnya kondisi ini melahirkan beberapa pendapat (Muhammad Ali as‐Shabuni, 1988 : 236 ‐ 237 seperti dikutip Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, 2004 : 64‐65) yaitu sebagai berikut :
1. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman‐teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah mati (pendapat ini dipegang oleh ulama Hanafiyah) sedangkan apabila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah mengemukakan harus terlewati waktu 90 tahun.
Pendapat ini senada dengan pendapat ulama Syafi’iyah akan tetapi penetapan matinya seseorang itu hanya dapat dilakukan oleh Keputusan lembaga Pengadilan.
2. Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewat tenggang waktu 70 tahun.
Pendapat ini didasarkan kepada Hadis yang artinya berbunyi sebagai berikut: ”Umur umatku antara enam puluh dan tujuh
puluh tahun (pendapat ulama Malikiyah).
Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa apabila ada laki‐laki yang hilang di negara Islam dan terputus
beritanya, maka istrinya harus melapor kepada hakim, dan apabila hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4 tahun dan kalau waktu empat tahun sudah terlewati, maka istrinya beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki‐laki lainnya. Dengan Riwayat tersebut berarti seseorang yang hilang dapat dinyatakan mati setelah lewat waktu empat tahun.
3. Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama empat tahun, jika tidak ada kabar beritanya maka hartanya sudah dapat dibagi.
Pendapat ini dipegang oleh ulama‐ ulama Hanabilah. S edangkan, apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti pergi berdagang atau merantau), ulama Hanabilah berbeda pendapat yaitu :
a. Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan.
b. Diserahkan pada Ijtihat hakim.
Penetapan status hukum apakah si mafqud tersebut masih hidup atau sudah meninggal menjadi hal yang amat penting khususnya untuk si mafqud sendiri serta ahli waris yang ditinggalkan, dan penetapan status hukum tersebut diserahkan sepenuhnya kepada keyakinan hakim.
Terdapat dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan oleh hakim dalam mencari kejelasan status hukum si mafqud yaitu :
1. Berdasarkan bukti‐bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum sebagaimana dalam kaidah :
Jurnal Fakultas Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2017
106 d.
“At‐tsabitu bil bayyinah kattsabiti bil
muayanah”.
“yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan.”
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati hakiki. 2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya
s i m a f q u d p e r g i a t a u b e r d a s a r k a n kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi atau menetapkan kematian bagi si mafqud yaitu: a. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya
menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah empat tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan :
“Setiap isteri yang ditinggalkan oleh
suaminya, sedang dia tidak mengetahui
dimana suaminya, maka ia menunggu
empat tahun, kemudian dia ber’iddah
selama empat bulan sepuluh hari, kemudian
lepaslah dia.” (HR. Bukhari dan Syafi’i).
b. Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al‐Hasan berpendapat bahwasimafqudbolehdiputuskankematian nya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada ijtihat hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihat‐nya demi suatu kemaslahatan.
c. Abdul Malik Ibnul ‐ Majisyun memfatwakan agar si mafqud tersebut mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergianya.
Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur‐ umur umatku itu antara 70 dan 90 tahun. d. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud,
hakim harus melihat situasi hilangnya si
mafqud tersebut, menurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas dua situasi :
1. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikan oleh hakim secermat‐cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
2. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menuntut ilmu, ibadah haji dan sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihat‐Nya. (Muhammad Rois, http://www.iswahyudi‐ wahyu.top/2016/01/warisan‐orang‐hilang‐ mafqud‐menurut.html, diakses 20 Juli 2016)
Untuk mencari kejelasan terkait status hukum dari Termohon mafqud yakni Sujiman bin Subaji alias Baji dapat didasarkan pada : 1. Berdasarkan bukti‐bukti yang otentik
yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum.
Dalam Permohonan Penetapan ini terdapat beberapa bukti dalam persidangan yang dapat memperjelas terkait status Termohon mafqud diantaranya adalah bukti surat serta saksi‐saksi yang diajukan di Persidangan.
Suyikati: Pelaksanaan Pembagian Hak Waris terhadap Orang Hilang (Mafqud)
107 Terkait dengan pembagian harta warisan yang dimiliki oleh si mafqud pada prinsipnya Apabila hakim telah memutuskan bahwa si
mafqud telah meninggal dunia pada suatu
tanggal yang ditentukan berdasarkan
Saksi‐saksi yang dihadirkan dalam persidangan masing‐masing diantaranya :
1. Sugito bin Rejodono 2. Margo bin Kamijo
3. Sutrisno bin Sugiraharjo dan 4. Paji bin Sugiharto
Inti dari kesaksian ke empat orang saksi tersebut adalah bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji telah pergi meninggalkan kampung halamannya mulai dari usia 10 tahun karena ikut Romusa pada jaman Jepang.
Sejak kepergiannya tersebut Sujiman bin Subaji alias Baji tidak pernah pulang, tidak mengirim kabar, tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak diketahui juga apakah masih hidup ataukah sudah meninggal.
Pada saat meninggalkan kampung halamannya Sujiman bin Subaji alias Baji belum menikah, tidak punya istri serta tidak punya anak tetapi mempunyai tanah pekarangan dan sawah warisan dari ayahnya yakni Subaji alias Baji.
Selain keterangan saksi‐saksi di Persidangan terdapat pula bukti surat yang diajukan di Persidangan diantaranya adalah Bukti P. 15 yakni fotokopi keterangan atas nama Sujiman bin Subaji alias Baji Nomor. 99/Pem/Trg/IV/2013 yang dikeluarkan oleh Lurah Desa Sukasari, Kecamatan Klatak, Kabupaten Bantul serta bukti P. 19 yakni fotokopi Penetapan Pengadilan Negeri Bantul No. 114/Pdt.P/2011/PN.Btl tertanggal 31 Mei 2011 yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Bantul.
Berdasarkan keterangan saksi‐saksi serta didukung oleh bukti surat yang diajukan di Persidangan telah terbukti secara sah bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji telah pergi meninggalkan kampung halamannya dari tahun 1942 sampai dengan sekarang, hal tersebut telah berlangsung selama kurang lebih 73 tahun, dan apabila Sujiman bin Subaji alias Baji masih hidup maka usianya saat ini adalah 107 tahun, melebihi rata‐rata usia harapan hidup orang Yogya yang hanya 80 tahun.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya s i m a f q u d p e r g i a t a u b e r d a s a r k a n kadaluwarsa.
Berdasarkan keterangan saksi‐saksi dan bukti‐bukti di Persidangan telah terbukti bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji telah meninggalkan kampung halamannya sejak tahun 1942 dan telah berlangsung selama kurang lebih 73 tahun dan apabila masih hidup maka berusia 107 tahun melebihi rata‐rata usia harapan hidup orang Yogya yang rata‐ rata hanya 80 tahun. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhammad bin Al‐Hasan yang berpendapat si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup, dan hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Abdul Malik Ibnu‐Majisyun yang memfatwakan agar
si mafqud tersebut mencapai umur 90 tahun
beserta umur waktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun, beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadis Rasul SAW yang berbunyi “Umur‐umur umatku itu antara
70 dan 90 tahun”.
Dalam Permohonan Penetapan ini Sujiman bin Subaji alias Baji apabila masih hidup berusia 107 tahun, sehingga kecil harapan hidupnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari DR. Wahbah Al‐ Zuhayli dalam bukunya Al‐Fiqh Al‐Islami Wa Adillatuhi, Vol. 10 halaman 484 yang diambil alih sebagai pendapat Majelis, bahwa orang hilang yang sudah berlalu 70 tahun – 80 tahun, diperkirakan telah meninggal dunia.
Berdasarkan pada bukti‐bukti otentik ya n g d i p e r o l e h d i Pe r s i d a n g a n s e r t a berdasarkan tenggang waktu lamanya si
mafqud meninggalkan tempat tinggalnya maka
dapat disimpulkan bahwa Sujiman bin Subaji alias Baji dapat dinyatakan hilang (mafqud).
Jurnal Fakultas Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2017
108
dalil yang membuktikan kematiannya, baik merupakan pengakuan saksi ataupun surat maka mafqud dianggap meninggal sejak waktu keluarnya Putusan Hakim. Adapun harta peninggalannya dapat segera dibagikan kepada para ahli waris. (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009 :153).
Permasalahan hukum yang muncul dalam
pelaksanaan pembagian hak waris terhadap
orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan
Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA.Btl)
Dalam mensikapi persoalan hukum terhadap orang hilang (mafqud) Ahmad Azhar Basyir (2001 : 98‐99) menguraikan bahwa kedudukan hukum orang hilang
(mafqud) dipandang hidup dalam hal‐hal yang
menyangkut hak‐haknya dan dipandang mati dalam hal yang menyangkut hak orang lain hingga dapat diketahui mati atau hidupnya, atau terdapat keputusan hakim tentang mati atau hidupnya.
Akibat dari ketentuan tersebut adalah : a. Harta bendanya tidak boleh diwaris pada
saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu dapat diketahui masih hidup.
b. Tidak berhak waris terhadap hart a peninggalan kerabatnya yang meninggal setelah mafqud meninggalkan tempat. Namun, karena kematian mafqud tidak dapat diketahui dengan pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian warisan, seperti halnya anak dalam kandungan. Bagian mafqud harus disisihkan hingga dapat diketahui keadaannya, masih hidup atau sudah meninggal atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal.
Untuk menguraikan lebih lanjut tentang kewarisan mafqud, perlu diadakan pemisahan dalam kedudukannya.(Fatchul Rahman, 504, seperti dikutip Mardani, 2015 : 96) :
a. Kedudukan mafqud sebagai Pewaris.
Kedudukan mafqud sebagai pewaris, para
ulama sepakat bahwa mafqud dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak bisa dibagi kepada ahli waris sampai ada berita yang jelas bahwa ia benar‐benar telah meninggal atau divonis oleh hakim tentang kematiannya. Mereka berargumentasi kepada :
1. S i m a f q u d m a s i h d i r a g u k a n
kematiannya.
2. Ada kemungkinan ia masih hidup.
b. Kedudukan mafqud sebagai ahli waris.
Mayoritas ulama sepakat bahwa bagian si
mafqud ditahan dahulu sampai jelas
kematiannya, alasannya :
1. Si mafqud masih diragukan
kematiannya.
2. Dapat menimbulkan masalah, bila setelah dibagikan ternyata ia masih hidup, kecuali bila sudah diyakini kematiannya atau sudah ada putusan pengadilan yang memutus bahwa ia secara hukum telah mati.
Salah satu permasalahan hukum yang akan muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) adalah ketika ternyata si mafqud kembali muncul dalam keadaan hidup, sedangkan harta yang dimiliki telah dibagi kepada seluruh ahli warisnya.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Pertama, jika ia muncul dalam keadaan
hidup, sebelum adanya vonis hakim atau sesudah adanya vonis hakim tetapi harta peninggalannya belum dibagi‐bagikan kepada para ahli waris, maka ia berhak mengambil bagiannya yang sedang ditahan oleh ahli waris yang memang disediakan untuknya.
Kedua, jika ia muncul dalam keadaan
hidup, sesudah adanya vonis dari hakim tentang kematiannya dan harta peninggalan sudah dibagi‐bagikan kepada para ahli waris, sampai bagian yang ditahan untuk si mafqud sekalipun, maka ia berhak
Suyikati: Pelaksanaan Pembagian Hak Waris terhadap Orang Hilang (Mafqud)
109 mengambil sisa bagiannya yang tinggal
pada tangan ahli waris. Ini berarti jika bagiannya yang telah dibagi‐bagikan kepada ahli waris itu telah habis atau telah rusak hingga tak ada sisa sedikitpun, para ahli waris tidak dimintai pertanggung jawaban untuk menggantinya atau menukarnya. Sebab dengan adanya putusan hakim tentang kematiannnya, walaupun putusan hakim tersebut ternyata kemudian tidak sesuai dengan kenyataannya itu tidak dapat membatalkan hak para ahli waris untuk memiliki dan mentransaksikan harta milik sesuai dengan putusan, selain harta peninggalan yang masih tinggal pada mereka.(Muhammad Rois, http://www. Iswayudi‐wahyu.top/2016/01/warisan‐ orang‐hilang‐mafqud‐menurut.html, diakses 20 Juli 2016).
Dalam persoalan ini kemungkinan bisa terjadi dimana Termohon mafqud yakni Sujiman bin Subaji alias Baji kembali dalam keadaan hidup setelah adanya vonis hakim dan jika si mafqud muncul kembali dalam keadaan hidup maka penyelesaiannya adalah
si mafqud berhak untuk mengambil sisa
bagiannya yang tinggal pada tangan ahli waris, dan jika harta peninggalannya telah habis atau rusak dan hingga tidak ada sisanya sama sekali maka para ahli waris tidak dapat dimintai pertanggung jawaban untuk mengantikan karena telah adanya Penetapan Pengadilan tentang kematian dari si mafqud.
Tetapi jika dilihat dari usia Termohon
mafqud yakni apabila masih hidup maka berusia
107 tahun, maka kemungkinan kecil Termohon
mafqud masih hidup, sehingga permasalahan
hukum terkait dengan pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) yang termuat dalam Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P /PA.Btl diharapkan tidak akan terjadi. Karena hakim dalam menetapkan Termohon mafqud dilakukan secara cermat dan teliti dan didasarkan pada bukti‐bukti yang ada dalam Persidangan.
KESIMPULAN
Setelah dilakukan analisis berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Terkait dengan pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA. Btl), yaitu bahwa berdasarkan pada bukti‐bukti otentik yang diperoleh di Persidangan serta berdasarkan pada tenggang waktu lamanya si mafqud pergi meninggalkan tempat tinggalnya, maka Sujiman bin Subaji alias Baji sebagai Termohon mafqud dapat ditetapkan sebagai orang hilang (mafqud) dan terhadap harta peninggalannya dapat dibagi kepada para ahli warisnya.
2. Terkait dengan permasalahan hukum yang muncul dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) (Studi kasus Penetapan Pengadilan Nomor. 0102/Pdt.P/2014/PA. Btl), yaitu bahwa permasalahan hukum dalam pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang
(mafqud) dapat saja terjadi tetapi jika melihat
pada usia Termohon mafqud dimana apabila Termohon masih hidup maka berusia 107 tahun, sehingga kecil kemungkinan Termohon mafqud akan kembali dalam keadaan hidup, sehingga permasalahan hukum terkait dengan pelaksanaan pembagian hak waris terhadap orang hilang (mafqud) dalam kasus ini diharapkan tidak akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Edisi Revisi, UII Press, Yogyakarta, 2001.
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi Kedua, Prenadamedia Group, Jakarta, 2011.
Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007. Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2015.
Jurnal Fakultas Hukum, Volume 1, Nomor 1, Januari 2017
110
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaharuan Hukum Positif di Indonesia,
Sinar Grafika, Jakarta,2009.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Hukum, UI‐Press, Jakarta,1986.
Suhrawardi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Artikel Internet :
Muhammad Rois, Makalah Warisan Orang Hilang (mafqud) Menurut Ulama Faraid, diakses 20 Juli 2016.